"Widuri, kita harus segera sampai ka Banyubiru, aku khawatir sisa-sisa golongan hitam itu sudah mulai mengacau di sana"
"Ya kakang.." jawab Widuri singkat.
"Dukun muda itu terlampau baik, bahkan rela mencarikan pinjaman kuda-kuda ini, sehingga peejalanan kita akan menjadi lebih cepat" lanjut Arya Salaka.
Akan tetapi Widuri masih di selimuti pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, tentang dukun Muda yang bernama Tanu Metir tersebut.
"Apakah aku salah mengira? tapi kenapa kakang Timur tidak mengenaliku?"
Tak henti pertanyaan itu selalu bergelung di dalam hatinya, sehingga tanpa sadar di atas punggung kuda itu Widuri terpejam sesaat sambil menggeleng-gelengkan kepelanya.
"Kau tak apa-apa Widuri?" terdengar Arya Salaka bertanya.
"Aku tidak apa-apa kakang, mungkin aku belum pulih benar hingga kadang kepalaku terasa pening"
"Kita istirahat dulu..?" Lanjut Arya Salaka
"Aku rasa aku masih kuat berjalan kakang, kita lewati beberapa pedukuhan dulu baru istirahat" jawab Widuri
Kedua pasangan Suami istri itu kemudian memacu kudanya dengan kencang melewati bulak panjang setelah keluar gerbang pedukuhan pakuwon, sebelum pada akhirnya akan berbelok menuju jalan utama ke arah Pengging, kemudian ke arah Banyubiru.
Akan tetapi belum habis jalan di bulak panjang itu mereka lalui, sapasang mata dengan tajam memperhatikan mereka berdua, setelah sebelumnya bersimpangan arah,
Seorang lelaki yang berusia hampir sepauh baya itu termangu-mangu memperhatikan kuda-kuda yang di tumpangi sepasang suami istri tersebut.
Seseorang yang berkuda bersama seorang anak kecil itu kemudian berdesis,
"Siapakah kedua orang itu..? Aku seperti mengenal kuda-kuda mereka..apakah aku harus menanyai mereka?, hemm.. lebih baik aku segera ke Pakuwon, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan adi Tanu Metir" - berkata orang otu dalam hatinya.
Orang itu kemudian memacu kudanya menuju Pakuwon, sementara Arya Salaka dan Widuri semakin lama semakin terlihat jauh pula.
Ketika penunggang kuda bersama anak kecil itu telah memasuki pedukuhan Pakuwon, mereka pun langsung menuju rumah dukun muda itu.Sementara Raden Pamungkas/Tanu Metir yang sedang duduk sendiri di pringgitan itu menjadi berdebar-debar mendengar suara kaki kuda menbarah menuju rumahnya tersebut, dalam hatinya mengira putra Banyubiru dan istrinya itu kembali lagi,
Akan tetapi ketika seseorang muncul dari balik regol rumahnya, dia menjadi termangu-mangu, ternyata bukan suami istri itu lagi datang.
"Kau.. Kakang Sadewa.. marilah"
Dengan serta-merta Raden Pamungkas kemudian mempersilahkan seseorang yang tidak lain adalah Ki Sadewa, sahabatnya yang tinggal di Jatianom tersebut.
"Trimakasih adhi.." -- Jawab Ki Sadewa, yang beberapa saat kemudian duduk di pringgitan rumah tersebut,
Kemudian mereka berbincang-bincang, setelah saling menanyakan kabar keselamatan masing-masing.
"Kakang sudah kembali dari Pajang?, lalu bagaimana dengan Untara putramu itu?" bertanya Raden Pamungkas
"Sudah, dan atas ijin Yang Murbeng Dumadi, Untara telah di berikan kemudahan, anak itu kini telah menjadi prajurit Prawira Anom di Pajang" -- jawab Ki Sadewa
Raden Pamungkas mengangguk anggukkan kepalanya lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum berucap,
"Syukurlah, aku melihat anak itu memang berbakat besar menjadi seorang prajurit"
Ki Sadewa pun mengangguk anggukkan kepalanya, akan tetapi serta merta dia berpaling memandang anak kecil yang datang bersamanya tersebut setelah mendengar anak itu menyela,
"Ayah, bolehkah aku main di halaman itu?"-- berkata anak itu.
"Baiklah, kau mainlah di situ, tapi jangan keluar regol, nanti jika ibumu tau akan marah"-- jawab Ki Sadewa.
Anak itu kemudian mengangguk kecil lalu bergegas lari menuju halaman rumah Raden Pamungkas yang memang nampak asri dengan betbagai macam tanaman tersebar di sekitarnya,
"Sedayu..!! ingat pesan ayah..jangan jauh-jauh" -- teriak Ki Sadewa
Sementara Raden Pamungkas sedari tadi memperhatikan gerak gerik anak Ki Sadewa tersebut, ada sesuatu yang aneh dalam hati nya seakan-akan melihat sesuatu dari anak itu, sesuatu yang belum jelas apa sebenarnya, namun terasa akrab walau baru sekali ini dia melihat anak itu.--"Kakang Sadewa, anak itu..."
"Ya, dialah putraku yang bungsu, namanya Agung Sedayu.." jawab Ki Sadewa
Raden Pamungkas hanya mengangguk anggukkan kepalanya, sementara pandangan matanya masih saja mengarah anak kecil tersebut, -- "Nampaknya aku melihat sesuatu dalam diri anak itu" desis Raden Pamungkas,
"Sesuatu..? maksud Adi?"-- bertanya KI Sadewa
"Kakang Sadewa, sebagai seorang dukun pengobatan aku pernah pula mempelajari susunan tulang pada tubuh manusia, dan aku juga yakin dari segi pandangan kakang sebagai seorang tokoh dunia olah kanuragan juga melihat, namun tidak memperhatikan, bahwa dari mentuk tubuh anak itu mempunyai susunan tulang yang bagus bagi seorang berilmu" - lanjut Raden Pamungkas
"Sebenarnyalah aku juga melihat Adi Tanu, bahkan menurut pemahamanku jika anak itu mendapat bimbingan, akan mampu melebihi kakanya, namun itu tidak mungkin" -- desis Ki Sadewa
"Tidak mungkin? bukankah kakang Sadewa sendiri yang dapat menuntunnya?" -- tukas Raden Pamungkas alias Tanu Metir tersebut
Ki Sadewa kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara lagi,-- "Adi Tanu, ada hal yang tidak mungkin aku menuntunnya layaknya aku menuntun Untara anakku yang sulung itu"
Raden Pamungkaspun termangu mangu mendengar apa yang di katakan sahabatnya itu, namun dengan seksama ia pun memperhatikannya.
"Adi Tanu, seperti yang kau tau, berapa tahun lalu sebelum Agung Sedayu lahir, aku telah kehilangan dua orang anakku yang semuanya laki-laki, yang membuat ibunya begitu terpukul, sehingga setelah beberapa tahun kemudian Yang maha Agung kembali memberikan kami seorang anak laki-laki, ibunya menjadi sangat memanjakannya dan tak ingin anak bungsunya berhubungan dengan hal-hal yang berbau kekerasan, bahkan bermain kemanapun selalu di awasinya, seakan-akan tak ingin lagi kehilangan anak seperti yang pernah dialami ya, sehingga anak itu tumbuh menjadi seorang anak yang cengeng, bahkan pengecut, sangat jauh dengan perangai kakaknya itu" -- sekilas Ki Sadewa menceritakan lelakon kehidupannya tersebut.
Raden Pamungkas mengangguk-anggukkan kepalanya, dalam benaknya dia memaklumi sikap Nyi Sadewa tersebut. Namun dalam hati kecilnya ada satu yang tiba-tiba merasa menyukai anak itu, ada sesuatu yang tak dapat di pahaminya dia merasa dekat dengan anak ki Sadewa yang bernama Agung Sedayu tersebut.
Waktu yang bergulir seakan-akan tak dirasakan oleh kedua orang sahabat yang lama tidak bersua tersebut, pelan tapi pasti mataharipun semakin bergeser kearah peraduannya, sementara seakan masih terlalu banyak hal-hal yang hendak diceritakan keduanya,
"Adi Tanu, rasa-rasanya sebentar lagi hari akan menjadi gelap, sebaiknya aku mohon diri, istriku tentu sudah mencemaskan putra bungsuku itu" -- berkata Ki Sadewa sembari menarik nafas dalam-dalam.
"Baiklah.. aku hanya bisa berharap kakang beserta keluarga selalu dalam lindungan yang Maha Agung" -- jawab raden Pamungkas
Demikianlah setelah Ki Sadewa memanggil putranya, keduanya serta merta beranjak meninggalkan kediaman Raden Pamungkas tersebut. Akan tetapi Ki Sadewa tiba-tiba berpaling_ -- "adi...jika tiba waktunya kau menjemput calon istrimu ada baiknya kau sudi mengajakku, mungkin aku bisa kau jadikan wakil dari keluargamu" -- berkata Ki Sadewa seraya teesenyum.
"Terima kasih kakang, sudah tentu aku membutuhkan orang untuk mewakili keluargaku" -- tukas Raden Pamungkas lalu menundukkan kepalanya.
Demikian lalu Ki Sadewa pun serta merta memacu kudanya menyusuri jalan-jalan bulak panjang menuju kademangan Jatianom.
***
Kesibukan yang terjadi di Tanah Perdikan Banyubiru semakin hari semakin terlihat, berbagai umbul-umbul nampak meriah disepanjang tepian jalan yang berhubungan dengan pedukuhan induk didaerah tersebut, dalam mempersiapkan hari yang sangat menentukan bagi kelangsungan kehidupan di Tanah Perdikan tersebut.
Ki Ageng Gajah Sora yang semakin lama menjadi semakin tua itu dipastikan dua hari kedepan akan menyerahkan kedudukannya sebagai kepala tanah Perdikan Banyubiru kepada Arya Salaka putra satu-satunya itu. Segala persiapan untuk menggelar acara pergantian kepemimpinan itu telah jauh-jauh hari dilakukan, baik tentang prosesi acara, tamu undangan dari berbagai daerah, tak lupa persiapan pengamanan yang cukup diperhitungkan.
Para penduduk di berbagai pedukuhan yang menjadi wilayah perdikan Banyubiru dengan bersuka ria menyambut hari yang tentunya sangat bersejarah atas kelangsungan tanah Perdikan yang sangat mereka cintai itu.
Akan tetapi seperti yang telah didengar Arya Salaka dari seorang dukun pengobatan yang bernama Ki Tanu Metir beberapa waktu lalu...sesungguhnyalah Banyubiru harus waspada, dendam keturunan para sakti golongan hitam terhadap Banyubiru tentu akan merusak segalanya.Dan memang sebenarnyalah hal itu akan menjadi sebuah kenyataan yang pahit bagi Banyubiru manakala pemangku tanah perdikan itu lengah dalam mengantisipasinya.
Demikian pada saat yang sama memang orang-orang golongan hitam yang diprakarsai oleh Harimau dari Lodaya itu telah berkumpul seluruhnya disisi sebelah barat Rawa Pening. Setidaknya ada tiga panji sebagai ciri perguruan telah berkibar diantara perkemahan-perkemahan yang membentang sisi barat Rawa Pening tersebut...
Yang pertama adalah panji-panji sebagai ciri perguruan Harimau Lodaya yang saat ini dipimpin Oleh Ki Singo Rodra, penerus dari Harimau Tua Ki Simorodra dari alas Lodaya.
Yang kedua adalah panji-panji Bajak Laut Nusa Kambangan dibawah pimpinan Kyai Naga Pertala, adik seperguruan dari mendiang Kyai Naga Pasa yang beberapa tahun lalu tewas dalam dalam pergolakan Banyubiru pula.
Tidak ketinggalan laskar perguruan Gunung Cireme yang diketuai Ki Badak Wijil sebagai penerus Kyai Bugel Kaliki.
Rupa-rupanya Banyubiru akan mengalami kesulitan yang cukup berarti jiga laskar dari gabungan tiga perguruan itu benar-benar menyerang. Apa lagi kini para kelompok itu dipimpin oleh orang-orang yang berilmu sangat tinggi melebihi para pendahulunya.
Bahkan beberapa waktu lalu Arya Salaka bersama istrinya pun hampir saja meregang nyawa terkena senjata beracun yang dilontarkan Kyai Naga Pertala, jika saja tidak bertemu seorang dukun luar biasa dari pedhukuhan Pakuwon yang menawarkan racun dalam tubuhnya itu.
Disisi lain kekuatan Banyubiru boleh dikatakan hanya bertumpu pada kekuatan pasukan pengawal tanah perdikan yang memang punya begitu banyak pengalaman dalam perang gelar. Lalu siapakah yang akan menghadapi para pimpinan gerombolan hitam yang rata-rata berilmu sangat tinggi itu?.
Tidak seperti Banyubiru pada masa-masa peristiwa hilangnya keris Kyai Nagasasra Sabukinten, yang pada saat itu penuh dengan tokoh-tokoh yang berilmu sangat tinggi yang berdiri dibelakangnya, sehingga menjadikan kekuatan Banyubiru sulit ditaklukkan, akan tetapi sekarang praktis Banyubiru hanya bertumpu pada seorang Ki Ageng Gajah Sora yang sudah menua dan Arya Salaka.
Ki Ageng Gajah Sora yang terlihat semakin tua dan dan kadang sakit-sakitan itu tentu saja tidak akan mampu menghadapi orang-orang semacam Kyai Nagapertala dari Nusa Kambangan ataupun Ki Badak Wijil dari gunung Cireme. Maka dapat dipastikan Banyubiru akan hancur jika kekuatan golongan hitam itu benar-benar menyerang.
Disisi lain usaha Arya Salaka untuk memohon kehadiran gurunya juga gagal, setelah berhari-hari mencari orang yang beberapa tahun lalu namanya telah menjadi buah bibir seantero Demak Bintoro. Akan tetapi sebagai putra-putra Banyubiru tentu saja pantang untuk menyerah begitu saja,
"Arya, adakah kau telah menyelidiki tentang gerombolan itu?" -- bertanya Ki Ageng Gajah Sora pada sebuah pertemuan para pimpinan dan tetua tanah perdikan Banyubiru malam itu.
Sesaat Arya Salaka menarik nafas panjang-panjang sebelum menjelaskan kepada ayahnya tersebut,--
"Menurut telik sandi kita, memang disebelah barat Rawa Pening mereka seakan-akan telah bersiap segala sesuatunya untuk menyerang kita dua hari kedepan ayah" -- desis Arya Salaka
Ki Ageng Gajah Sora terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, sesaat kemudian nampak sorot matanya yang kelihatan sayu itu seakan.akan menerawang jauh menembus gelapnya malam.-- "Ya, nampaknya mereka akan menyerang tepat pada saat kita melakukan hal yang penting untuk kelangsungan tanah perdikan ini" -- desis Ki Ageng seolah suaranya tidak terdengar
"Benar Ki Ageng" -- terdengar suara Ki Panjawi yang kemudian sedikit beringsut dari duduknya seraya melanjutkan ucapannya, -- "Bahkan menurut telik sandi yang aku kirim menyusup diantara pasukan mereka, bahwa gerombolan yang katanya mendendam terhadap Banyubiru begitu kuat didukung para pimpinan yang rata-rata berilmu sangat tinggi" ---berkata ki Panjawi.
"Akan tetapi kita tidak boleh menyerah adi Panjawi.." -- sergah Ki Ageng Gajah Sora, lalu melanjutkan ucapannya, -- "apapun yang terjadi Banyubiru akan tetap bertahan sampai darah penghabisan, mudah-mudahan yang maha Agung selalu melindungi kita semua"
Panjawi pun hanya menjawab dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menarik nafas panjang-panjang.
Malam semakin larut itu seakan mengingatkan kepada para pimpinan Banyubiru yang sedang berbincang-bincang itu untuk beristirahat, mereka diharuskan menghemat segala daya pikir dan tenaga untuk menapaki jalan kedepan yang seakan penuh dengan awan hitam tersebut.
Arya Salaka seakan tidak mampu memejamkan matanya meskipun malam sudah semakin larut, berbagai warna persoalan selalu saja membayang dipelupuk matanya.terutama tentang ancaman yang akan menimpa Banyubiru.
Terbayang pula olehnya pada masa kecilnya, dimana justru pada saat itu Arya Salaka mulai menempa dirinya, dengan bimbingan gurunya yang kini entah dimana?.
Seorang guru yang telah menempa dirinya menjadi salah satu pewaris ilmu perguruan Pengging walaupun sampai saat ini aji Sasrabirawa yang dimiliki Arya Salaka belum jua mencapai tataran yang sanggup melawan seorang Singo Rodra, yang hampir pula membuatnya tewas jika tidak ditolong Ki Dipasanjaya atau Ki Mayang Jati beberapa waktu yang lalu.
Akan tetapi tiba-tiba saja Arya Salaka mendengar desir langkah seseorang seakan-akan mendekati dinding biliknya sebelah luar, -- "He, siapa malam-malam begini berani datang? apakah maling? -- desis Arya Salaka dalam hati.
Bahkan desir langkah halus itu seakan-akan tidak mau pergi melangkah disebelah luar bilik tersebut, sehingga serta merta Arya Salaka pun keluar mencarai arah datangnya langkah tersebut.
"He, siapa kau !!" -- bentak Arya Salaka yang ternyata membuat orang mencurigakan itu berpaling dan terkejut laru secepat kilat pergi dari Pandangan matanya. Bahkan ternyata orang mencurigakan itu memakai selembar topeng yang cukup tipis.Arya Salakapun serta merta mengejar ke arah dimana orang bertopeng itu lari,
Bayang-bayang orang bertopeng itu masih saja berlari membelah kapekatan malam diantara rimbun daun-daun yang bertebaran ditepian jalan menuju sebuah perbukitan kecil diantara ngarai-ngarai yang tidak terlalu curam.
Dengan penuh rasa penasaran Arya Salaka pun seakan-akan tidak ingin kehilangan jejak orang yang mencurigakan tersebut. Dalam hatinya berfikir bahwa orang itu bagian dari kelompok yang saat ini berada dibarat Rawa Pening yang harus ditangkap demi keterangan yang mungkin aja berguna.
"Bukan main...! Siapakah orang itu? dalam pandangan mataku dia berlari tidak scepat aku, akan tetapi bayangan tubuhnya seakan-akan terlalu cepat untuk ku kejar" -- desis Arya Salaka dalam hatinya.
Sebenarnyalah orang bertopeng itu terlihat berlari tidak terlalu cepat, akan tetapi bayangan tubuhnya seperti terdorong kakuatan yang tiada tara sehingga membuat Arya Salaka teramat keteteran mengejar orang tersebut. Hingga sampai pada sebuah pintu goa yang tidak terlalu besar orang bertopeng itu berhenti. Bayangan tubuhnya tidak bergerak membelakangi Arya Salaka yang beberapa saat kemudian berhasil menyusulnyandan berhenti pula.
"Siapakah kau? dan apa maksudmu datang ke Banyubiru, menyerahlah.. dan ikutlah aku ke Banyubiru aku aku tidak akan menyakitimu" -- berkata Arya Salaka kepada orang betopeng tersebut.
Namun tiba-tiba saja orang bertopeng itu bepaling sambil tertawa lirih,-- "Menyerah?, jangan mengigau!! sungguh bodoh orang yang sudi menyerah kepada manusia lemah macammu itu" -- jawab orang itu lalu meneruskan ucapannya, -- "apa yang menjadi piandelmu sehingga memerintahkan aku untuk menyerah. Baiklah jika kau ingin tau namaku adalah Karebet."
Arya Salaka seketika menjadi termangu-mangu mendengar pengakuan orang tersebut, lalu menarik nafas panjang-panjang dan berkata, -- "Kau jangan bergurau kisanak, aku sangat mengenal orang yang bernama Karebet itu" -- tukas Arya Salaka
"Terserah apa katamu, aku sudah mengatakan siapa diriku, sekarang pergilah dan jangan ikuti aku sebelum habis kesabaranku" -- geram orang itu
"Tidak bisa begitu kisanak..!! Kau telah berbuat sesuatu yang mencurigakan disaat Banyubiru sedang dalam kewaspadaan, maka sudah menjadi tanggung jawabku untuk menangkapmu" -- kata Arya Salaka
"O, begitu.. Jika aku menolak?" -- tukas orang itu
"Apa boleh buat, aku terpaksa memaksamu" -- sahut Arya Salaka yang kemudian disusul gelak tawa orang bertopeng tersebut.
"Jangankan kau anak bodoh..!! gurumu Mahesa Jenar pun tak akan mampu memaksaku, apa lagi kau?!" -- demikian orang itu bersuara lantang.
"Kau mengenal paman Mahesa Jenar?" -- bertanya Arya Salaka
"Bukan hanya mengenal, aku bahkan telah membunuhnya dalam perang tanding" -- Pengakuan orang itu seraya membuat darah Arya Salaka menjadi mendidih. Setelah beberapa hari mencari dimana gurunya berada, kini seseorang telah datang mengaku telah membunuh orang yang sangat dihormatinya tersebut.
"Kau jangan membual kisanak..!! baiklah aku ingin tau perti apa dirimu hingga berani membual telah membunuh paman Mahesa Jenar" -- geram Arya Salaka yang serta merta menerjang orang bertopeng tersebut.
Orang bertopeng itu seakan tidak menjadi terkejut dengan serangan seketika yang dilancarkan Arya Salaka, dengan tenang orang itu sedikit menggeserkan tubuhnya kesamping lalu dengan gerakan yang tidak bisa ditangkap mata disibakkannya tangan kanannya menepis serangan Arya Salaka kemudian dengan satu putaran kekiri dinulurkannya siku kiri mendorong kearah punggung Arya Salaka yang serta merta terjungkal kedepan. Lalu dibalik topengnya orang itu seakan tertawa sambil menyeringai.
"Seperti inikah kehebatan murid Rangga Tohjaya yang perkasa itu?" -- desis orang itu sambil tertawa kecil.
Disisi lain Arya Salaka menjadi merah padam. Sebagai seorang yang selama ini cukup dipandang sebagai orang yang pilih tanding, ternyata dengan sedikit sentuhan saja sudah tidak mampu mempertahankan dirinya berhadapan orang yang belum dikenaknya itu. Sehingga timbullah rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi. Dipersiapkanlah nalar dan budinya untuk mengingat kembali apa yang telah diajarkan gurunya selam dalam masa pengembaraan beberapa tahun lalu. Berawal dari gerakan-gerakan dasar hingga ketika belajar memahami gerak pertarungan binatang-binatang yang dulu pernah dipelajari bersama gurunya..
Maka kembali dengan gigih Arya Salaka membuka serangan-serangannya, sehingga udara disekitar perbukitan itu menjadi bersiuran, sekali-sekali Arya Salaka bergerak lincah bagai kucing, kadang berkelit , bahkan kadang-kadang meloncat bagai terbang seperti burung elang lalu menukik dahsyat menyerang lawannya. Akan tetapi orang bertopeng itu seperti tidak menjadi kebingungan menghadapi gerakan-gerakan aneh yang dilakukan Arya Salaka tersebut. Nalurinya seperti mampu melihat segala serangan yang dilancarkan Arya Salaka tersebut.
Dengan tenang orang itu selalu bergerak mengimbangi apa yang dilakukan Arya Salaka, bahkan kadang-kadang orang itu sedikit demi sedikit telah mampu mendaratkan beberapa pukulannya ketubuh Arya Salaka yang semakin lama semakin terdesak. Sehingga semakin lama Arya Salaka hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Segala daya upaya telah dilakukan Arya Salaka untuk menudukkan orang bertopeng tersebut akan tetapi seperti tidak berarti apa-apa bagi orang bertopeng tersebut. Tataran demi tataran ilmunya selalu dapat diimbangi oleh orang itu, bahkan pada beberapa kesempatan orang itu justru mampu menggapai tubuhnya dalam gerakan yang sulit dimengertinya.
Maka seketika Arya Salaka menghentikan serangannya, tubuhnya tegak berdiri dan memandang tajam kearah orang bertopeng tersebut. dipusatkannya nalar dan budinya, tangan kanan diangkat tinggi-tinggi sementara tangan kiri menyilang didepan dada, kemudian kaki kananya terangkat dengan lutut sedikit menekuk dan berdiri bertunpu pada satu kaki kirinya, -- "Apa boleh buat..." desis Arya Sayaka.
Sementara orang bertopeng itu seperti termangu-mangu melihat Arya Salaka menganbil sikap, hingga pada suatu saat Arya Salaka meloncat dengan kecepatan kilat melakukan gerak putaran setengah melingkar kemudian dengan kekuatan penuh melontarkan sebuah pukulan.
Yang terjadi kemudian sungguh luar biasa....
Tanah diperbukitan itu bagaikan bergemuruh berhias kilatan cahaya-cahaya putih berkilauan sekejab membelah kegelapan di malam yang beranjak pagi itu. Serta merta debupun berhamburan membungkus bayang-bayang pepohonan dan bebatuan diperbukitan kecil tersebut. Aji Sasrabirawa yang dilontarkan Arya Salaka dengan sepenuh tenaga itu bagai memporak-porandakan segalanya.
Entah apa yang terjadi dengan manusia bertopeng itu?.
Tak terlihat usaha sedikitpun menahan serangan atau terlihat mengambil sikap pengungkapan sebuah ilmu untuk menahan aji Sarsrabirawa tersebut, kecuali justru hanya terlihat berdiri termangu-mangu memandang gerak Arya Salaka.
Disisi lain Arya Salakapun termangu-mangu pula melihat kenyataan yang dialaminya. Dan tak menyangka sedikitpun manusia bertopeng itu bagaikan pasrah diterjang aji Sasrabirawa yang dilontarkannya.
"Gila..kenapa orang itu tidak menahan sedikitpun seranganku? apakah dia tidak mempunyai piandel sebuah Ajian?" -- desis Arya Salaka seakan menyesal dengan apa yang dilakukan. Dalam hatinya menyangka tentu orang bertopeng itu menjadi lumat ditelan Aji Sasra Birawa miliknya.
Sesaat Arya Salaka masih tertegun melihat sisa-sisa debu yang semakin lama kebali luruh. Kemudian samar-samar mulai terlihat lagi bayang-bayang pepohonan yang menghiasi kegelapan malam itu
Dan ketika pemandangan itu mejadi semakin jelas, betapa Arya Salaka menjadi heran. Tak terlihat sosok manusia bertopeng itu kecuali sisa-sisa bebatuan yang hancur berkeping-keping.
"Dimana orang itu?" -- bertanya Arya Salaka dalam hatinya.
Sebuah kenyataan yang membuat Arya Salaka kembali tercengang melihat apa yang dilihatnya.
Serasa tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Dilihatnya seseorang yang tidak lain orang bertopeng itu sosoknya bagaikan kapas melayang diudara dengan satu kaki kiri hanya bertumpu ujung daun sebuah pohon yang berjarak bebetapa tombak didepan Arya Salaka. Sementara kaki kanannya terangkat dengan lutut yang sedikit ditekuk. Sementara tangan kananya diangkat tinggi-tinggi dengan tangan kiri menyilang disepan dada, persis seperti sikap dimana tadi Arya Salaka mentrapkan ilmunya ...."Aji Sasra Birawa..!!" -- desis Arya Salaka.
Belum lagi usai Arya Salaka dalam ketertegunannya melihat kenyataan itu, dengan gerakan yang begitu menakjubkan orang bertopeng itu melakukan berputar setengah lingkaran. Lalu secepat kilat digerakkan tangan kanannya mengarah sebuah batu sebesar gajah yang berada sekitar empat tombak dari tempat Arya Salaka berdiri.
Seleret sinar hijau kebiru-biruan bagai muncul dari telapak tangan Orang bertopeng tersebut berulang-ulang menghantam batu yang sebenarnyalah dijadikan sasarannya. Tidak ada suara yang terlalu keras dalam benturan itu. Akan tetapi getaran yang ditimbulkan begitu dahsyat meski tak terlihat secara kasat mata, yang secara tak terduga membuat tubuh Arya Salaka terdorong beberapa langkah kebelakang.
Betapa Arya Salaka merasakan dadanya menjadi sesak ketika menahan sebuah gelombang udara tak kasat mata dari lontaran ilmu Orang bertopeng tersebut,
"Luar biasa!! siapa sesungguhnya orang itu? Aji Sasrabirawa yang dimilikinya telah mwncapai tataran yang sangat tinggi"-- desis Arya Salaka dalam hatinya, -- "tapi kenapa tidak dilontarkannya mengarah padaku?" -- beberapa pertanyaan dalam hatinya tiba-tiba muncul silih berganti.
Dalam pada itu orang bertopeng itu telah tegak berdiri dengan kedua kakinya diatas tanah, lalu berjalan pelan mendekati batu besar yang baru saja dihantamnya tersebut, namun ternyata batu itu masih terlihat utuh.
Perlahan namun pasti orang bertopeng itu kemudian berjalan mendekati Arya Salaka yang masih berdiri termangu-mangu melihat kenyataan yang didapatinya. Demikian setelah tepat didepan Arya Salaka, perlahan-lahan orang itu membuka penutup wajahnya.
Sebuah raut wajah yang sudah mendekati garis-garis ketuaan tampak tersenyum kepadanya, tatap matanya yang tajam menyiratkan sebuah keteguhan hati yang begitu dalam. Sisa-sisa kegagahannya masih terlihat dari dadanya yang bidang meskipun orang itu sudah bisa dibilang tua, dengan janggut yang tertata rapi meskipun berhias warna-warna putih.
"Paman.!! Paman Mahesa Jenar..!!" -- bergetar suara Arya Salaka memanggil sosok yang kini berdiri sambil tersenyum tepat didepanya.
"Paman Mahesa Jenar..!!" -- sekali lagi Arya Salaka memanggil nama pamannya sekaligus gurunya tersebut seraya berlari dan memeluk orang yang memang bagi Arya Salaka ayahnya itu.
Mahesa Jenar kemudian menepuk-nepuk punggung Arya Salaka seraya berkata, -- "Kau sudah begitu dewasa Arya.. maafkan paman jika harus menemuimu dengan cara seperti ini. karna sebenarnyalah paman ingin melihat perkembangan ilmu kau" -- desis Mahesa Jenar.
"Maafkan aku paman, mungkin paman kecewa melihat apa yang bisa aku lakukan sekarang" - berkata Arya Salaka kemudian.
Mahesa Jenarpun kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali menepuk-nepuk pundak Arya Salaka, -- "Aku bangga padamu Arya, sebenarnyalah kau sudah mencapai tataran yang membaggakan bagiku, akan tetapi..." --- Mahesa Jenar serta merta menarik nafas panjang-panjang sebelum melanjutkan ucapannya, -- "marilah kita duduk dibebatuan sana, mungkin ada beberapa hal yang ingin paman sampaikan kepadamu".
Demikian Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah duduk beralaskan batu-batu yang banyak berserak di perbukitan itu, melanjutkan pembicaraan tentang beberapa hal, tentu saja tentang perkembangan tanah perdikan Banyubiru yang saat ini sedang dalam bahaya besar. Maka setelah keduanya saling mengabarkan keadaan satu dengan lainnya, Mahesa Jenar kemdian berkata'
"Dua puluh tahun lebih sejak peristiwa
geger Banyubiru karna raibnya kyai Nagasasra dan Kyai Sabukinten aku
menjalankan nadarku untuk menepi dari hiruk pikuknya dunia, tiba-tiba
saja ada sesuatu yang bergejolak dalam batinku yang memaksa aku
mengunjungi kaliyan disini, ternyata sesuatu yang teramat penting akan
terjadi disini" --berkata Mahesa Jenar.
"Aku telah berusaha mencari paman untuk hadir dalam penobatanku menggantikan kedudukan ayah, akan tetapi aku tidak pernah menemukan dimana paman berada" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, -- "Sudahlah Arya, ternyata justru Yang Maha Agung telah menuntunku sehingga aku sampai ke Banyubiru ini tanpa sebab yang tidak aku ketahui. Terlebih ancaman dari para penerus golongan hitam yang akan membuat keonaran tepat pada hari penobatanmu sebagai pimpinan Banyubiru menggantikan ayahmu" -- sahut Mahesa Jenar
"Ya, orang-orang golongan hitam yang rata-rata mempunyai ilmu yang sangat tinggi melebihi para pendahulunya" - desis Arya Salaka.kemudian
"Aku sudah tau Arya, dan tentu aku tidak akan tinggal diam meskipun tubuh paman yang hampir renta ini harus berloncat-loncatan kembali, karna sesungguhnya mereka mencari aku" -- lanjut Mahesa Jenar
"Namun.." -- kata Mahesa Jenar lagi, -- "aku sengaja menarikmu kesini untuk suatu hal yang penting sehubungan antara guru dan murid".
"Maksud paman?" -- bertanya Arya Salaka.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berdiri. Lalu dimintanya Arya Salaka berdiri pula dan berjalan ke arah batu besar yang beberapa saat lalu menjadi sasaran lontaran ilmu Mahesa Jenar, -- "Arya, kau lihat batu ini?" - berkata Mahesa Jenar
"Ya paman, ini batu yang paman jadikan sasaran lontaran ilmu paman" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali bicara, -- "apa yang kau lihat dengan batu itu arya?"
"Seperti tak terjadi apapun paman...batu itu masih utuh seperti semula" -- jawab Arya Salaka
"Sekarang kau sentuhlah batu itu" -- lanjut Mahesa Jenar.
Demikian Arya Salaka termangu-mangu melihat wujud batu besar itu sesungguhnya, setelah jemarinya menyentuh salah satu sisinya. Batu sebesar gajah itupun serta merta luruh bagai serbuk, kemudian berserakan di atas tanah
"Luar biasa..!!" desis Arya Salaka, -- "apa jadinya kalau lontaran ilmu itu mengenai tubuh manusia?" -- kata Arya Salaka kembali,
"Itulah inti kekuatan Aji Sasrabirawa.." - berkata Mahesa Jenar.
Arya Salaka lalu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, -- "Tentu butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai tataran yang paman kuasai"
"Tentu saja Arya, tentu butuh waktu...dan kau telah melewati waktu itu" -- Lanjut Mahsa Jenar
"Maksud paman?"
"Ya, bukankah kau telah memiliki waktu itu?"
Arya Salaka kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, -- "Rasanya aku butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk mencapainya paman"
"Kau salah Arya, kini apa yang kau kuasai tentang Aji Sasrabirawa itu boleh dikatakan telah lengkap, karnanya tinggal selangkah untuk mencapai tingkatan paling akhir" .. Kata Mahesa Jenar
"Akan tetapi tetap saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapainya" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu pandangan matanya seakan menatap jauh dilangit yang penuh bintang itu. Seakan menerawang jauh pada masa-masa ketika dalam waktu semalam mampu mendapatkan kematangan ilmunya bantuan Ki Kebo Kanigara sehingga Mahesa Jenar mampu membuka simpul-simpul kekuatan inti dari ilmu perguruan Pengging tersebut. Lalu Mahesa Jenar tiba-tiba mengucap, -- "Arya.. marilah, ikutlah paman.."
Kemudian Mahesa Jenar berjalan menuju sebuah pintu gua yang tidak begitu besar disisi agak menjorok dari perbukitan itu, dikuti Arya Salaka yang berjalan tak jauh darinya. Terdapat beberapa cabang lorong gua yang tak begitu besar pula diantara dinding-dinding lorong utama yang mereka lalui. Dan pada lorong cabang ketiga mereka bebelok kekanan lalu melalui jala yang sedikit menurun sebelum terlihat ruang yang cukup luas didalam goa tersebut.
"Paman, dari mana paman mengetahui ruang dalam goa ini?" -- bertanya Arya Salaka
Dan Mahesa Jenar pun tersenyum sebelum menjawab -- "Ceritanya panjang Arya, yang terpenting bukan untuk bicara tentang gua ini tujuanku membawamu kemari"
Arya Salaka pun hanya diam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Sebelum Mahesa Jenar kembali terdengar berucap, -- "Arya, kau masih punya waktu dua hari menyempurnakan ilmu yang telah kau miliki itu, mudah mudahan Yang Maha Agung memberikan kemudahan untukmu hingga pada saat yang di rencanakan kau akan menjadi berbeda dari sekarang"
Kemudian Mahesa Jenar mulai memberikan petunjuk-petunjuk kepada Arya Salaka demi menyempurnakan Ilmu yang dimilikinya. Petunjuk-petunjuk yang dulu pernah diberikan oleh Ki Kebo Kanigoro kepada dirinya, meski dengan cara yang berbeda. Demikian mengikuti apa yang dikatakan Gurunya tersebut, Arya Salaka pun kemudian mengambil sikap dan berusaha mengendalikan nalar dan budinya untuk kembali mengingat dan mempelajari ilmu-ilmu yang dimilikinya dari tingkat yang paling rendah, kemudian setahap-demi setahap memahami sifat-sifat baik dalam bentuk kewadagan ataupun kejiwaan.
Lambat namun pasti Arya Salaka kemudian mampu mengkusukkan dirinya sehingga seakan-akan tidak ingat apa-apa lagi kecuali nalar dan budinya yang terfokus pada apa yang menjadi niatnya saat ini.
Dengan seksama Mahesa Jenar mengamati usaha yang dilakukan murid satu-satunya tersebut, sekali-sekali diangguk-anggukkannya kepalanya ketika terlihat tubuh Arya Salaka penuh dengan cucuran keringat meskipun hawa dalam goa itu cenderung dingin.
Rupa-rupanya meskipun Arya Salaka sedikitpun tidak menggerakkan badannya ternyata olah batinnya telah bekerja cukuo keras,. Bahkan lama-kelamaan asap tipis seakan muncul dari sekujur tubuhnya.
***
"Aku telah berusaha mencari paman untuk hadir dalam penobatanku menggantikan kedudukan ayah, akan tetapi aku tidak pernah menemukan dimana paman berada" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, -- "Sudahlah Arya, ternyata justru Yang Maha Agung telah menuntunku sehingga aku sampai ke Banyubiru ini tanpa sebab yang tidak aku ketahui. Terlebih ancaman dari para penerus golongan hitam yang akan membuat keonaran tepat pada hari penobatanmu sebagai pimpinan Banyubiru menggantikan ayahmu" -- sahut Mahesa Jenar
"Ya, orang-orang golongan hitam yang rata-rata mempunyai ilmu yang sangat tinggi melebihi para pendahulunya" - desis Arya Salaka.kemudian
"Aku sudah tau Arya, dan tentu aku tidak akan tinggal diam meskipun tubuh paman yang hampir renta ini harus berloncat-loncatan kembali, karna sesungguhnya mereka mencari aku" -- lanjut Mahesa Jenar
"Namun.." -- kata Mahesa Jenar lagi, -- "aku sengaja menarikmu kesini untuk suatu hal yang penting sehubungan antara guru dan murid".
"Maksud paman?" -- bertanya Arya Salaka.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berdiri. Lalu dimintanya Arya Salaka berdiri pula dan berjalan ke arah batu besar yang beberapa saat lalu menjadi sasaran lontaran ilmu Mahesa Jenar, -- "Arya, kau lihat batu ini?" - berkata Mahesa Jenar
"Ya paman, ini batu yang paman jadikan sasaran lontaran ilmu paman" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali bicara, -- "apa yang kau lihat dengan batu itu arya?"
"Seperti tak terjadi apapun paman...batu itu masih utuh seperti semula" -- jawab Arya Salaka
"Sekarang kau sentuhlah batu itu" -- lanjut Mahesa Jenar.
Demikian Arya Salaka termangu-mangu melihat wujud batu besar itu sesungguhnya, setelah jemarinya menyentuh salah satu sisinya. Batu sebesar gajah itupun serta merta luruh bagai serbuk, kemudian berserakan di atas tanah
"Luar biasa..!!" desis Arya Salaka, -- "apa jadinya kalau lontaran ilmu itu mengenai tubuh manusia?" -- kata Arya Salaka kembali,
"Itulah inti kekuatan Aji Sasrabirawa.." - berkata Mahesa Jenar.
Arya Salaka lalu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, -- "Tentu butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai tataran yang paman kuasai"
"Tentu saja Arya, tentu butuh waktu...dan kau telah melewati waktu itu" -- Lanjut Mahsa Jenar
"Maksud paman?"
"Ya, bukankah kau telah memiliki waktu itu?"
Arya Salaka kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, -- "Rasanya aku butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk mencapainya paman"
"Kau salah Arya, kini apa yang kau kuasai tentang Aji Sasrabirawa itu boleh dikatakan telah lengkap, karnanya tinggal selangkah untuk mencapai tingkatan paling akhir" .. Kata Mahesa Jenar
"Akan tetapi tetap saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapainya" -- desis Arya Salaka.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu pandangan matanya seakan menatap jauh dilangit yang penuh bintang itu. Seakan menerawang jauh pada masa-masa ketika dalam waktu semalam mampu mendapatkan kematangan ilmunya bantuan Ki Kebo Kanigara sehingga Mahesa Jenar mampu membuka simpul-simpul kekuatan inti dari ilmu perguruan Pengging tersebut. Lalu Mahesa Jenar tiba-tiba mengucap, -- "Arya.. marilah, ikutlah paman.."
Kemudian Mahesa Jenar berjalan menuju sebuah pintu gua yang tidak begitu besar disisi agak menjorok dari perbukitan itu, dikuti Arya Salaka yang berjalan tak jauh darinya. Terdapat beberapa cabang lorong gua yang tak begitu besar pula diantara dinding-dinding lorong utama yang mereka lalui. Dan pada lorong cabang ketiga mereka bebelok kekanan lalu melalui jala yang sedikit menurun sebelum terlihat ruang yang cukup luas didalam goa tersebut.
"Paman, dari mana paman mengetahui ruang dalam goa ini?" -- bertanya Arya Salaka
Dan Mahesa Jenar pun tersenyum sebelum menjawab -- "Ceritanya panjang Arya, yang terpenting bukan untuk bicara tentang gua ini tujuanku membawamu kemari"
Arya Salaka pun hanya diam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Sebelum Mahesa Jenar kembali terdengar berucap, -- "Arya, kau masih punya waktu dua hari menyempurnakan ilmu yang telah kau miliki itu, mudah mudahan Yang Maha Agung memberikan kemudahan untukmu hingga pada saat yang di rencanakan kau akan menjadi berbeda dari sekarang"
Kemudian Mahesa Jenar mulai memberikan petunjuk-petunjuk kepada Arya Salaka demi menyempurnakan Ilmu yang dimilikinya. Petunjuk-petunjuk yang dulu pernah diberikan oleh Ki Kebo Kanigoro kepada dirinya, meski dengan cara yang berbeda. Demikian mengikuti apa yang dikatakan Gurunya tersebut, Arya Salaka pun kemudian mengambil sikap dan berusaha mengendalikan nalar dan budinya untuk kembali mengingat dan mempelajari ilmu-ilmu yang dimilikinya dari tingkat yang paling rendah, kemudian setahap-demi setahap memahami sifat-sifat baik dalam bentuk kewadagan ataupun kejiwaan.
Lambat namun pasti Arya Salaka kemudian mampu mengkusukkan dirinya sehingga seakan-akan tidak ingat apa-apa lagi kecuali nalar dan budinya yang terfokus pada apa yang menjadi niatnya saat ini.
Dengan seksama Mahesa Jenar mengamati usaha yang dilakukan murid satu-satunya tersebut, sekali-sekali diangguk-anggukkannya kepalanya ketika terlihat tubuh Arya Salaka penuh dengan cucuran keringat meskipun hawa dalam goa itu cenderung dingin.
Rupa-rupanya meskipun Arya Salaka sedikitpun tidak menggerakkan badannya ternyata olah batinnya telah bekerja cukuo keras,. Bahkan lama-kelamaan asap tipis seakan muncul dari sekujur tubuhnya.
***
GEGER BANYUBIRU
Seluruh penjuru bahkan hutan-hutan diperbatasan hingga jauh keluar wilayah tanah perdikanpun telah disisir seakan-akan tak ada sejengkalpun jejak Arya Salaka ditemukan.
"Adi Panjawi..." - demikian suara Ki Ageng Gajah Sora memanggil satu-satunya orang yang selama ini menjadi kepecayaannya itu. - "apakah belum ada sedikitpun sisik melik simana anak itu berada?"
Ki Panjawipun serta merta beringsut dari duduknya seraya menarik nafas dalam-dalam dan berkata, --"Rasanya sudah tidak ada tempat disekitar Banyubiru yang luput dari pencarian para pengawal kita kakang, kecuali..." - Ki Panjawi kemudian kembali menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya,
"Kecuali kenapa adi?" - sahut Ki Gajah Sora
"Kecuali daerah barat Rawa Pening yang saat ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang golongan hitam itu" - desis ki Panjawi
"Apakah mungkin anak itu ditangkap mereka?" - bertanya Ki Ageng Gajah Sora dengan raut muka yang cemas.
"Menurut pengintaian para telik sandi itu tidak mungkin kakang, karna jika Arya Salaka ditangkap mereka tentu para telik sandi mengetahuinya" - tukas Ki Panjawi.
Demikian raut muka Ki Ageng Gajah Sora yang sudah terlihat lanjut itu seakan-akan menyimpan beribu pertanyaan akan keberadaan putra tunggalnya tersebut. Hingga tanpa sadar Ki Ageng Gajah Sora kemudian terlihat bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan mondar-mandir sehingga menyiratkan kegundahan hatinya yang Luar biasa.
Hingga pada suatu ketika Widagdo, yang kini menjadi pimpinan pengawal Tanah Perdikan Banyubiru itu tergopoh-gopoh menyelonong masuk ke Pringgitan tanpa dipanggil.
"He, Widagdo...adakah sesuatu yang penting yang ingin kau katakan?" - Ki Ageng serta merta bertanya
Widagdopun kemudian duduk dan menarik nafas panjang-panjang lalu berkata, "ada sesuatu yang ingin saya sampaikan Ki Ageng.." - kata Widagdo
"Kau telah menemukan jejak Arya Salaka?" - tukas Ki Ageng
"Belum Ki Ageng. aku belum menemukan jejak kakang Arya Salaka" - desis Widagdo
"Lalu?" - sahut Ki Ageng Gajah Sora sambil menatap wajah Widagdo
Akan tetapi Widuri yang sejak tadi diam dalam kecemasan serta merta berucap,
"Ayah, ijinkan aku mencari kakang Arya Salaka.."
"Jangan Widuri, baiknya kau dirumah saja biarlah para bebahu yang akan mencarinya" - jawab Ki Ageng
"Tapi ayah..."
"Sudahlah Widuri, percayakan persoalan ini kepada para bebahu juga para pasukan pengawal tanah perdikan, mudah-mudahan Yang Maha Agung akan memberikan petunjuk tentang keberadaan suamimu itu" - tukas Ki Ageng.
Widuripun kemudian menundukkan wajahnya. Ada rasa kesedihan didalam dada perempuan itu hingga perlahan-lahan matanya terlihat membasah.
"Lalu apa yang akan kau katakan Widagdo?" -- bertanya Ki Ageng lalu menoleh ke arah widagdo.
"Ki Ageng...ada laporang dari telik sandi yang betugas diperbatasan sebelah utara, bahwa mereka melihat iring-iringan prajurit berkuda yang berjumlah sekitar 20 orang" - kata Widagdo
"Iring-iringan prajurit?"
"Benar ki Ageng.." - sahut Widagdo
Serta merta Ki Ageng Gajah Sora menjadi berdebar-debar tentang apa yang dikatakan Widagdo tersebut, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali berucap, "prajurit dari mana kah?" - bertanya Ki Ageng pada Widagdo
"Menurut petugas yang memantau perbatasan disebelah utara, mereka nampaknya rombongan prajurit dari kadipaten Pajang, Ki Ageng" - jawab Widagdo.
"Prajurit Pajang?" - desis Ki Ageng
"Benar Ki Ageng, mereka membawa tunggul kebesaran Pajang bahkan menurut petugas kita ada yang mengenal bahwa rombongan Prajurit itu dipimpin olah seseorang yang menjadi punggawa pilihan kadipaten Pajang" - lanjut Widagdo
Kemudian Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum menarik nafas dalam-dalam, - "apakah kau tau siapa pemimpin rombongan itu?" - bertanya Ki Ageng kemudian .
"Ada salah seorang petugas kita yang mengenalnya dan mengatakan rombongan Prajurit itu dipimpin oleh Ki Juru Mertani" - jawab Widagdo
"Ki Juru Mertani..!!" desis Ki Ageng Gajah Sora seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian seperti tersadar segera memerintahkan kepada ki Panjawi.
"Adi Panjawi...lekas siapkan penyambutan, aku yakin rombongan Prajurit itu mengemban titah langsung dari Kanjeng Adipati Adiwijaya berkenaan dengan tanah perdikan ini" - ucap Ki Ageng
Serta merta Ki Panjawi mohon diri dan menyiapkan upacara penyambutan kepada rombongan tamu dari Pajang tersebut. Hal ini memang telah diperkirakan oleh Ki Panjawi, tentu akan ada perwakilan dari Pajang untuk hadir pada upacara pergantian pimpinan Banyubiru tersebut, karna memang antara Kanjeng Adipati Pajang punya hubungan yang khusus dengan Arya Salaka.
**
Sementara Ki Panjawi sedang mempersiapkan penyambutan rombongan tamu dari Kadipaten Pajang. Agak jauh disisi barat Rawa Pening juga telah terlihat kesibukan yang tidak kalah ramainya.
Tiga kelompok perguruan yang beberapa waktu lalu cukup menggemparkan jagad kanuragan telah berkumpul dan menyusun rencana-rencana mereka. Tiga kelompok perguruan yang menyatakan diri sebagai penerus tiga perguruan itu adalah perguruan Macan Lodaya, perguruan Bajak Laut Nusa Kambangan, dan Perguruan dari Gunung Cireme.
Akan tetapi nampaknya hadir pula dua orang yang sepertinya bukan dari anggota ketiga perguruan tersebut. Dua orang yang pernah disinggung-singgung sebagai kelompok yang justru mempunyai ambisi yang jauh lebih besar dari ke tiga kelompok peeguruan yang sedang dibakar api dendam kepada tanah perdikan Banyu Biru tersebut.
Kedua orang tersebut tidak lain adalah utusan dari kelompok yang konon diketuai seorang yang menamakan diri Ki Bagus Respati yang ingin kembali membangun masa-masa kejayaan Majapahit. Dua orang itulah yang disebut pimpinan kelompok muda yang menamakan diri Bango Lamatan dan Kecruk Putih.
Mereka telah berkumpul membicarakan strategi-strategi untuk melumatkan Banyubiru tepat pada saat pergantian kepala tanahn perdikan tersebut.
Mereka tidak lain Ki Simo Rodra juga Ki Macan Wulung dari perguran Macan Lodaya. Kyai Badak Wijil dari Gunung Cireme, juga Kyai Nagapertala dari kelompok Nusa Kambangan, dan tak ketinggalan utusan Ki Bagus Respati yang beejuluk Kecruk Putih dan Bango Lamatan.
"Kyai Nagapertala.." - berkata Ki Simo Rodra kemudian - "ada sesuatu yang penting saat ini perlu kita ketahui tentang Banyubiru berkenaan dengan rencana penyerangan ini" -
"Katakanlah.." - jawab Kyai Naga Pertala Singkat.
Ki Singo Rodra pun diam sesaat lalu berkata lagi, - "ada kabar yang mengejutkan menurut anak buahku bahwa Anak Gajah Sora itu katanya tidak ada di Banyubiru saat ini"
Sesaat kemudian suasana dalam pertemuan itu menjadi hening kecuali mata mereka yang saling memandang satu sama lain seakan-akan tidak percaya dengan apa yang di katakan Ki Singo Rodra.
"Kau jangan bergurah Ki Singo Rodra. Apa maksudmu mengatakan anak setan itu tidak ada di Banyubiru" -- sergah Ki Badak Wijil
"Menurut anak buahku anak Gajah Sora itu raib, dan tak seorangpun tau kemana perginya" -- lanjut Ki Singo Rodra
"Hemm...hati-hati jangan-jangan ini siasat licik Gajah Sora untuk mengelabuhi kita" -- sahut Ki Badak Wijil
"Bagiku tidak peduli taktik apa yang akan digunakan Gajah Sora pokoknya dua hari lagi tepat hari pergantian kepala tanah perdikan itu mereka pasti lumat" -- geram Ki Naga Pertala.
"Bagaimana jika benar Arya Salaka benar-benar hilang atau lari ketakutan sebelum kita menyerang?" -- bertanya Kyai Singo Rodra.
"Baiklah...kirim anak buahmu untuk memastikannya. Jika memang dugaanmu benar alangkah baiknya kita majukan waktu penyerangan ini? disaat mereka sedang kalut maka dengan mudah akan dapat kita lumatkan" -- kata Kyai Badak Wijil. Yang membuat semua orang yang hadir disitu mengangguk'anggukkan kepalanya.
"Aku tidak setuju..!!" -- satu suara yang tidak lain Bango Lamatan itu tiba-tiba nyeletuk .
"He, apa hakmu berkata seperti itu.?" geram Kyai Singo Rodra seraya melanjutkan -- "kau hanya tamu disini, dan tidak selayaknya kau berkata tidak setuju. Ini urusan kami tiga peguruan" ...
Bango Lamatan pun hanya tersenyum kecil dan menjawab--- "kalian lupa siapa yang mengutusku? Ingat aku membawa tugas dari Ki Bagus Respati seorang trah Majapahit, beliau ingin mengambil kekuatan Banyubiru. Silahkan jika kalian akan melumatkan para pemimpin Banyubiru akan tetapi harus tepat pada hari pergantian kepala tanah perdikan tersebut"
"Kau mengatur kami?" -- geram Kyai Naga Pertala
"Terserah kata Kyai, aku hanya menyampaikan maksud Ki Bagus Respati yang mempunyai niat lebih besar dari sekedar dendam kalian. Dan jika kalian membangkang jangan menyesal jika kalian akan ditumpes kelor tanpa sisa" -- tukas Kecruk Putih.
Kyai Naga Pertala sesaat menjadi berdebar-debar. Sebagai seorang yang boleh dikatakan berilmu sangat tinggi menjadi teesinggung dengan ucapan Kecruk Putih tersebut. Akan tetapi sungguh nama Ki Bagus Respati yang konon seseorang yang mempunyai ilmu aneh-aneh dan nggegirisi itu mampu membuat Kyai Naga Pertala jeri. Sehingga diapun diam saja mendengar apa yang diucapkan kedua orang itu.
Diam-diam dalam hati Kyai Naga Pertala, Ki Singo Rodra juga Kyai Badak Wijil merasa tidk nyaman atas kehadiran dua orang yang mengaku utusan Ki Bagus Respati tersebut. Mereka tidak senang atas tekanan yang dilakukan kedua orang itu.
Sebenarnya ketiga tokoh golongan hitam itu juga belum pernah bertemu dengan orang yang berjuluk Ki Bagus Respati yang menurut Bango Lamatan juga Kecruk Putih adalah seorang trah Majapahit yang sesungguhnya berhak memegang kekuasaan di tanah jawa ini. Akan tetapi cerita tentang Ki Bagus Respati memang berkembang dikalangan orang-orang seperti mereka sebagai seorang yang luar biasa. Konon dikalangan perguruan-perguruan Ki Bagus Respati adalah orang yang mempunyai ilmu tanpa batas, dan tidak ada tandingannya diseluruh penjuru tanah jawa ini.
Untuk itu Kyai Naga Pertala yang sesungguhnya mempunyai ilmu sangat tinggi itu pun sedikit gentar mendengar nama yang gedab-edabi tersebut. Maka untuk sementara Kyai Nagapertala terpaksa menahan hati dalam menghadapi kedua utusan yang dalam pandangan Kyai Naga Pertala sudah berlaku degsura dihadapannya. Meskipun sebenarnya dadanya seperti terbakar
"Ingin rasanya aku lumatkan manusia-manusia sombong ini..!!" - berkata Kyai Naga Pertala dalam hatinya seraya meremas-remaskan jemari tangannya.
Akan tetapi Kecruk Putih mampu melihat gejolak hati orang tua tersebut. Maka diapun tersenyum kecil sambil berkata dalam hati,
"Dasar manusia-manusia dungu yang tak tau apa itu perjuangan...orang-orang berilmu tapi otaknya tumpul" - desisnya dalam hati pula.
Ketegangan yang terjadi dalam pertemuan itu serta merta membuat suasana menjadi hening sebelum kembali terdengar suara Ki Singo Rodra, -- "Baiklah, kita akan melakukan sesuai rencana, dua hari kedepan kita buat Banyubiru menjadi karang abang. Setelah Aku tidak peduli peesoalan Banyubiru seterusnya. Karna bagiku dendam Macan Lodaya harus tuntas!!" - Geram Ki Singo Rodra.
Dalam pada itu ketika Ki Simo Rodra dan para tokoh golongan hitam itu sedang berbincang, tanpa diketahui siapapun seseorang telah mengikuti setiap pembicaraan diantara mereka.
Di atas pohon yang berjarak sekitar tujuh tombak dari perkemahan tempat mereka berbincang-bincang itu sedari tadi telah bertengger seseorang berperawakan sedang, tak terlihat jelas wajahnya yang tertutup selembar kain hingga matanya saja yang terlihat.
"Hem...nampaknya orang yang mengaku bernama Bango Lamatan dan Kecruk Putih itu lebih berbahaya dari pada ketiga pimpinan golongan hitam itu.." - desis orang itu dalam hati. -- "siapa sesungguhnya Ki Bagus Respati yang mereka sebut-sebut sebagai trah Majapahit itu" --
Orang itu masih saja dengan seksama memperhatikan pembicaraan mereka. Ditingkatkannya ketajaman pendengarannya untuk menyadap segala apa yang direncanakan orang-orang tersebut.
Siapa orang yang memperhatikan pembicaraan diantara para tokoh golongan hitam itu tidak lain adalah Raden Pamungkas, yang memang sengaja datang ke Banyubiru setelah mendengar rencana-rencana tersembunyi dari sekedar konflik dendam golongan hitam.
Apa lagi beberapa waktu yang lalu dia mendengar dari seorang kepala Bajak Laut bahwa ada kelompok tersembunyi yang berambisi besar mengobarkan perang demi perjuangan yang konon dari para trah Majapahit, yang tentu akan memancing di air keruh dari persengketaan Istana Demak yang semakin meruncing. -- "aku tidak akan ikut campur soal dendam yang akan berkobar di tanah prdikan Banyubiru ini, akan tetapi niat kelompok yang menamakan diri kelompok Ki Bagus Respati itu harus di hentikan..!" -- desis Raden Pamungkas dalam hatinya.
**
Sementara itu di pedukuhan Induk Tanah Perdikan Banyubiru Ki Ageng Gajah Sora terlihat tergopoh-gopoh menyambut kehadiran utusan dari Pajang yang dipimpin Ki Juru Mertani tersebut. Maka malam itu suasana rumah Ki Ageng Gajah Sora terlihat begitu ramai dari biasanya.
Ki Juru Mertani dan dua orang senopati telah dipersilahkan naik ke pringgitan sementara para prajurit telah dipersiapkan pula gandok-gandok darurat untuk beristirahat.
Sesaat kemudian ruang pringgitan itu telah duduk beberapa sentana kadipaten Pajang juga para pemimpin dan bebahu Tanah perdikan Banyubiru. Dan setelah saling mengucapkan selamat serta kabar masing-masing Ki Ageng Gajah Sora kemudian berkata,
"Ki Juru....Satu kehormatan yang luar biasa bagi tanah perdikan Banyubiru hingga Kanjeng Adipati telah mengutus Ki Juru untuk hadir pada hajat yang sebenarnya tidak begitu berarti ini. Maka atas nama seluruh rakyat Banyubiru saya mengucapkan terima kasih kepada Kanjeng Adipati Pajang" - terdengar suara Ki Ageng Gajah Sora
Demikian Ki Juru Mertani kemudian tersenyum dan menjawab, -- "ah jangan terlalu sungkan Ki Ageng. Bagi kanjeng Adipati Pajang Banyubiru adalah hal yang sangat berarti, maka sudah semestinya memperhatikan Banyubiru yang sebentar lagi melaksanakan hajatan yang penting bagi kelangsungan tanah perdikan ini" --
berkata Ki Juru Mertani yang kemudian terdiam sesaat sambil pandangannya mengintari seluruh sudut ruang pringgitan tersebut, kemudian meneruskan ucapannya.
"Ki Ageng...kedatanganku kesini disamping mewakili Kanjeng Adipati untuk hadir juga secara khusus menyampaikan salam Kanjeng Adipati kepada calon Ki Gede Banyubiru yang baru Ki Arya Salaka"
-- kembali Ki Juru memandang berkeliling kemudian bertanya -- "Ki Ageng, maaf aku belum pernah bertemu yang manakah ki Arya Salaka?"
Seketika suasana pringgitan itu menjadi hening, Ki Ageng Gajah Sora nampak menarik nafas panjang-panjang seperti bingung akan menjawab apa. Akan tetapi mau tak mau Ki Ageng harus berterus terang. Dan diceritakanlah tentang raibnya Arya Salaka beberapa waktu lalu tanpa seorangpun tau dimana kini keberadaannya.
Dengan seksama Ki Juru Mertani mendengarkan satu persatu keterangan yang disampaikan Ki Ageng Gajah Sora tentang apa saja yang terjadi belakangan ini di tanah perdikan Banyubiru menjelang pergantian tanah perdikan tersebut. Baik tentang raibnnya Arya Salaka juga berkumpulnya tokoh-tokoh golongan hitam yang bersiap mengacau Banyubiru tepat pada saat upacara pergantian kepala tanah Perdikan itu dilaksanakan.
Sesekali Ki Juru Mertani mengangguk-anggukkan kepalanya menyimak apa yang di katakan Ki Ageng Gajah Sora tersebut.
"Ki Ageng...apakah ada kemungkinan Ki Arya Salakan di tawan kelompok itu?" --- bertanya Ki Juru.
"Entahlah..akan tetapi menurut para petugas sandi yang bertugas mengintai kelompok itu tidak melihat tanda-tanda kesana' -- jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Kembali Ki Juru mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menarik nafas dalam-dalam,
"Semoga tidak terjadi sesuatu apapun kepada Ki Arya Salaka, dan akan kembali kesini sebelum upacara berlangsung" -- desis Ki Juru yang kemudian melanjutkan ucapannya, -- "Ki Ageng, sejujurnya kedatanganku juga karna ada orang-orang berbahaya bagi Demak juga Pajang yang menyusup dan bergabung diantara para golongan hitam yang akan huru-hara di tanah perdikan ini" -- berkata ki Juru Mertani
Ki Ageng Gajah Sora nampak mengerutkan keningnya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"O, ternyata persoalan yang akan melanda Banyubiru ini nampaknya tidak berdiri sebatas dendam orang-orang yang mengaku penerus golongan hitam kepada kami" -- desis Ki Ageng
"Benar Ki Ageng..!" -- sahut Ki Juru lalu meneruskannya -- "ada niat orang-orang yang aku sebutkan itu untuk meduduki Banyubiru untuk membangun sebuah kekuatan dalam menghadapi Demak ataupun Pajang...tentu saja setelah usaha mereka menyerang Banyubiru itu berhasil".
Tiba-tiba saja Ki Ageng Gajah Sora berdiri dari tempat duduknya. Dadanya seakan-akan terbakar demi mendengar Banyubiru akan dijadikan basis perlawanan terhadap Demak atau Pajang oleh kelompok-kelompok yang belum jelas tersebut. Akan tetapi kesetiaannya terhadap Demak sejak dia masih muda telah membakar darahnya. Terlebih kini terhadap Pajang sehubungan dengan Kanjeng Adipati yang punya pertalian khusus dengan putra putrinya.
Maka tanpa sadar terlihat Ki Ageng Gajah Sora meremas jemarinya kuat-kuat dan menggeram, -- " baiklah..!! mereka aka datang dua hari kedepan, demi Banyubiru akan aku binasakan mereka disini.." -- desis Ki Ageng yang sesaat tersadar dan kembali duduk ditempatnya.
"Ki Ageng...dua hari kedepan upacara penobatan Ki Arya Salaka sebagai kepala tanah perdikan yang baru akan dilaksanakan. Apakah tidak lebih menyenangkan jika upacara itu terlaksana tanpa gangguan sedikitpun?" -- berkata Ki Juru kapada Ki Ageng Gajah Sora.
"Maksud Ki juru..?" -- desis ki Ageng Gajah Sora.
Ki Juru Mertani tidak segera menjelaskan maksudnya. Namun setelah diam sesaat kemudian menarik nafas panjang dan berkata, -- "Ada kalanya jika kita berjalan didepan lebih mendapatkan keuntungan, maka ketika orang-orang golongan hitam itu memberi waktu dua hari, mungkin akan lebih beruntung jika waktu itu kita potong satu hari, karna memang kita tidak menginginkan dua hari kedatangan mereka disini yang akan membuat penduduk tanah perdikan ini menjadi ketakutan, juga kerugian materi yang luar biasa" --
Ki Ageng Gajah Sora kemudian menangguk-anggukkan kepalannya dan berkata,
"Maksud Ki Juru kita serang mereka terlebih dulu sebelum mereka datang kesini dua hari besok?"
"Demikianlah jika Ki Ageng setuju, aku cuma melontarkan gagasan semata" -- desis Ki Juru
Demikian terlihat Ki Ageng Gajah Sora kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, sesekali dia menarik nafas dalam-dalam menimbang-nimbang gagasan yang disampaikan Ki Juru tersebut.
Sesekali pula tatapan matanya mengarah kepada Ki Panjawi, Widagdo juga para bebehu yang hadir dalam pertemuan tersebut, akan tetapi tak satupun diantara mereka yang berbicara kecuali diam.
"Baiklah.! Kita akan mendahului mereka..!! aku tak ingin darah mereka mengotori tanah perdikan ini.. " -- desis Ki Ageng yang kemudian berpaling ke arah Panjawi, -- "Adi Panjawi..malam ini juga perintahkan kepada para pemimpin pasukan pengawal untuk bersiaga..!! Kita akan ke Rawa Pening" --
Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam kembali terdengar suara KI Ageng Gajah Sora
"Adi Panjawi, bagaimana laporan-laporan tentang keadaan grombolan yang bercokol di Rawa Pening itu sekarang?" -- bertanya Ki Ageng Gajah Sora kepada Ki Panjawi.
"Nampaknya mereka tdak begitu memndang kekuatan Banyubiru saat ini kakang. Mereka nampaknya berkeyakinan bahwa ketangguhan ilmu-ilmu pemimpin mereka akan mampu melumatkan kita dalam sekejap.." -- jawb Ki Panjawi
"Bagus....ini adalah salah satu keberuntungan kita. Akan tetapi memang orang-orang smacam Ki Singo Rodra, Kyai Naga Pertala juga KiBadak Wijil perlu kita wapadai kiprahnya. Konon ilmu merka telah melampaui pendahulunya macam Kyai Nagapasa jua Ki Bugel Kaliki atau Sima Rodra tua dari Lodaya" -- desis Ki Ageng Gajah Sora.
"Belum lagi kelompok-kelompok yang aku katakan Ki Ageng" --- sahut Ki Juru Mertani seraya menark nafas panjang-panjang dan melanjutkan ucapannya, -- "kelompok-kelompok yang bergerak seperti hantu, tak terlihat yang tentu ditopang oleh pimpnan mereka yang berilmu sangat tinggi" -- desis Ki Juru.
Ki Ageng Gajah Sora terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya pula, pandangan matanya jauh menembus kegelapan malam dan seolah mencari jawaban tentang apa yang akan dihadapinya. Lalu perlahan-lahan berpaling kearah Ki Juru yang seakan juga sedang berpikir. Akan tetapi belum lagi Ki Ageng Gajah Sora bericara kembali, tiba-tiba seorang pasukan pengawal tanah perdikan itu tergopoh gopoh memasuki ruang pringgtan. Sehingga Ki Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya.
"Maaf Ki Ageng, ada laporan dri utara ada pergerakan pasukan menuju kemari..!!" -- berkata pemimpin pasukan pngawal tersebut.
"He, kau Sarkam..!!" berkata Ki Ageng..
"Benar ki Ageng" -- jawab orang itu.
"Apakah kau tau pasukan dari mana yang menuju kemari?"
"Mnurut laporan mereka pasukan dari Pamingit ki ageng.." --- jelas Sarkam
"He, Pamingit?" -- Ki Ageng pun kemudian menangguk-angukkan kepalanya -- "Adi Lembu Sora... baiklah Sarkam, kau kirim seorang utusan untuk menyambutnya agar tidak terjadi kesalah pahaman" -- perintah Ki Ageng.
"Baik Ki Ageng...aku mohon diri" --- desis Sarkam.
"Adi Panjawi, bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan seberapa besar kira-kira jumlah pasukan mereka" -- berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora kepada kepercayaannya tersebut.
Demikian Ki Panjawi beringsut dari tempatnya duduk kemudian menjawab, --- "sebenaryalah sudah ada gambaran seberapa besar pasukan mereka Ki Ageng" -- berkata Ki Panjawi selanjutnya -- "seperti laporan para petugas sandi kita mereka mengenali tiga kelompok perguruan yang memang beberapa kali pernah mengacau di wilayah-wilayah kita, mereka mengenali simbul simbul ketiganya, akan tetapi nampaknya ada kelompok lain yang terdiri dari perguruan-perguruan yang sama sekali kita belum mengenalnya. Dan sebenarnyalah jika bergabung pasukan mereka cukup besar Ki Ageng" -- Ki Panjawi Menjelaskan.
Ki Ageng Gajah Sora kembali mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan berusaha memahami keadaan yang dipunyainya.
"Apakah jumlah Pasukan Banyubiru dan Pamingit tidak cukup besar untuk menandingi jumlah mereka?" -- bertanya Ki Ageng kemudian.
"Kemungkinan memang mereka jauh lebih banyak...kecuali.." -- Ki Panjawi terdiam sejenak sambil berpaling kepada Ki Juru Mertani yang duduk tidak jauh dari Ki Ageng Gajah Sora.
Ki Juru pun tau apa yang ada dibenak salah seorang Sesepuh Banyubiru tersebut. Maka setelah beringsut dari tempat duduknya diapun berkata seraya tersenyum,
"Maaf Ki Ageng, juga kepada para pemimpin tanah perdikan ini. Sebenarnyalah bukan niat saya untuk berlaku degsura dihadapan para kisanak sekalian, saya tau jika Banyubiru adalah tempat para laskar-laskar tempur yang tentu tidak diragukan lagi ketangguhannya, perjalanan kehidupan di tanah perdikan ini telah tertempa berbagai macam persoalan dimasa lalu yang tentu membuat tanah perdikan ini tak bisa dipandang sebelah mata, akan tetapi perkenankanlah saya dan beberapa pasukan yang tidak berarti itu andil dalam perkara ini, bukan saya merendahkan kekuatan Banyubiru akan tetapi karna sebuah titah dadi Kanjeng Adipati untuk menangkap musuh-musuh Pajang yang kebetulan tergabung dengan kelompok yang bercokol di Rawa Pening itu" -- secara rinci Ki Jurupun menjelaskan niatnya.
Ki Ageng Gajah Sora juga para bebahu tanah perdikan itu serta merta mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Ki Juru Mertani tersebut.
"Ki Juru, sebuah kabar yang menurutku terlalu dibesar-besarkan tentang Banyubiru yang sesungguhnya tak seperti yang Ki Juru dengar, sebenarnyalah kami sekarang rapuh, dan tidak sekuat ketika Banyubiru dipenuhi tokoh-tokoh yang luar biasa seperti pada saat peristiwa Nagasasra Sabukinten dan tentu sebuah keberuntungan besar jika pasukan Pajang sudi membantu perjuangan kami saat ini" -- desis Ki Ageng Gajah Sora.
Ki Jurupun kemudian semaki tersenyum lebar,--- "padi gemuk memang selalu menunduk, aku kira tak satupun pimpinan gerombolan itu mampu menandingi puncak Aji Lebur Seketi Ki Ageng Gajah Sora yang nggegirisi itu" -- desis Ki Juru.
"Ah, bukankah ini perang terbuka? jadi apalah arti sebuah Ilmu untuk menghadapi ribuan orang" -- desis Ki Ageng Gajah Sora
"Ki Ageng benar, cuma menurut dugaanku kelompok-kelompok semacam itu akan melakukan perlawanan berdasarkan kemampuan orang per orang, jarang kelompok-kelompok semacam itu membangun gelar perang kecuali perang Brubuh yang bergerak tanpa aturan yang jelas, untuk itu kemungkinan menuju sebuah perang tanding akan semakin dekat Ki Ageng" -- sahut Ki Juru.
"ya, aku setuju cara pandang Ki Juru, memang demikianlah kenyataan kelompok-kelompok seperti itu, akan tetapi tetap saja kita akan membangun satu atau dua gelar perang untuk menyerang mereka meskipun pada akhirnya akan bergeser menjadi perang brubuh" -- kata Ki Ageng Gajah Sora kemudian
"Ya, untuk itu kita juga harus mempersiapkan siapa akan melawan siapa jika bergeser pada perang brubuh" -- sela Ki Panjawi.
"aku sendiri yang akan menghadapi Kyai Naga Pertala atau Ki Singo Rodra itu. Mudah mudahan diusiaku yang semakin renta ini aku masih mampu bermain loncat-loncatan" -- berkata Ki Ageng Gajah Sora. lalu berpaling ke arah Ki Panjawi sebelum meneruskan ucapannya, -- "adi Panjawi, aku kira hanya kau atau adi Lembu Sora yang akan menghadapi salah satu diantara tokoh itu... andai saja Arya Salaka ada.."
"Ayah.. biarla aku ikut.." -- satu suara yang tidak lain adalah Widuri itu tiba-tiba muncul dari pintu ruang tengah.
"Widuri..." -- desis Ki Ageng Gajah Sora. -- "suamimu belum kembali, apakah tidak sebaiknya kau tetap dipedukuhan induk ini?"
"Tidak ayah...aku tidak bisa tinggal diam dirumah dalam suasana seperti ini" -- sahut Widuri
"Dengarkan aku ngger....aku tidak ingin terjadi suatu apapun denganmu, bukannya ayah meragukan memampuanmu, akan tetapi kau harus menunggu suamimu di sini..!!" -- Ki Ageng Gajah Sora kembali menegaskan. Sehingga Widuri pun nampak kecewa dan kembali masuk ke gandoknya.
Sesaat kemudian Ki Ageng Gajah Sora berpaling kepada Ki Juru Mertani,
"Ki Juru, aku mohon maaf, tidak seharusnya aku menyambut tamu Agung utusan Kanjeng Adipati dengan suasana seperti ini" - desis Ki Ageng
Ki Juru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum,
"Jangan terlalu sungkan Ki Ageng, sebenarnyalah kanjeng Adipati Adiwijaya tau apa yang nanti bakal bergolak di Banyubiru ini, dan kami memang sudah memahami semuanya, walau sekecil apapun kami atas nama Pajang akan ikut berjuang disini" -- jawab Ki Juru Mertani
Sesaat Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil berkata."
"baiklah...tabik hormatku dan seluruh rakyat Banyubiru untuk Kanjeng Sultan Pajang mohon Ki juru sampaikan" --
"baiklah Ki Ageng.." -- jawab Ki Juru Mertani.
Demikian selanjutnya segala sesuatu lebih dipersiapkan lagi, juga mmpeesiapkan strategi penyerangan dengan gelar-gelar perang yang dianggap jitu untuk menundukkan para kelompok golongan hitam yang kini bercokol di sebelah barat Rawa Pening tersebut. Dan nampaknya Ki Ageng Gajah Sora tidak akan main-main sehingga berencana menyiapkan Gelar perang andalannya untuk membuka serangan itu. Dirada Meta.
Kemudian daripada itu, disaat para pimpinan tanah Perdikan Banyubiru juga Ki Juru Mertani tengah merencanakan gelar-gelar perang yang jitu untuk menumpas gerombolan Ki Singo Rodra. Widuri yang merasa kecewa karna tidak mendapatkan ijin dalam pertempuran, melalui pintu belakang menuju sebuah halaman belakang bangunan induk.
Dalam kegelapan malam itu kemudian ia berdiri tegak ditengah halaman yang sebenarnya mirip sebuah taman tersebut. Perlahan-lahan terdengar suara gemerincing halus ketka sebuah senjatanya yang sepert rantai kecil berbandul itu terurai dari genggaman tangannya.
Perlahan-lahan dipusatkan nalar dan budinya dengan mata terpejam, akan tetapi tangan permpuan itu nampak bergetar hebat, juga nafasnya yang tersngal tidak beraturan menandakan gejolak hati yang tertahan dari berbagai rasa yang sulit terkendali.
Maka disertai teriakan pendek tangan Widuri mulai bergerak memutar sebat snjatanya pada arah yang bersilang-silang kekanan dan kekiri. Kadang-kadang senjata itu memutar datar bagai baling-baling hingga mengugkapkan lingkaran diudara yang begitu rapat.
Gerak langkah kaki Widuri yang begitu luwes mengikuti arah pusaran ratai yang kini nampak seperti lingaran kuning berkilau dari patulan bulan yang kebetuan bersinar cukup terang.
Semakin lama gerak tubuh Widuri semakin cepat sehingga mengungkapkan suara seperti anging bersiuran membelah keheningan malam. Widuri sekan-akan ingin mlepaskan segala gejolak hatinya yang luar biasa. Tanpa disadarinya bandul diujung rantai itu kadang kala menggapai tanah dihalaman itu hingga beberapa titik terjadi beberapa lobang yang cukup dalam. Bahkan sentuhan bandul senjata itu semkin lama semakin sebat hingga apa saja yang tersmbar menjadi berantakan.
Bahkan karna gejolak hati yang dirasakan Widuri seakan tidak merasakan lelah ditubuhnya sedikitpun mekipun sebenarnalah dia telah memeras sluruh tenaganya
Akan tetapi sebuah suara lembut memaksa Widuri untuk menghentikan gerakannya,
"Luar biasa...ternyata calon Nyi Gede Banyubiru adalah wanita yang perkasa.." -- satu suara lembut muncul dari sudut yang agak gelap disisi sebelah kanan taman itu. Sosok yang berdiri tegak seakan tak berpaling sedikitpun melihat tandang Widuri yang baru saja mengungkapkan gerak olah kanuragannya.
"He, siapa kau..?" -- bertanya Widuri.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab, namun perlahan berjalan mendekat ke arah Widuri.
Baru ketika sinar rembulan menerangi tubuh orang itu ternyata adalah sosok yang bertubuh langsing dengan tinggi badan sepeti rata-rata tinggi seorang wanita. Selembar kain menutupi sebagian besar muka orang itu hingga hanya terlihat matanya yang bulat meskipun segaris kantong mata telah nampak juga kerut- kerut wajah yang sudah menghiasi disekar matanya tersebut.
"Sekali lagi aku bertanya, siapa kau kisanak? jika kau tidak berterus terang jangan salahkan aku jika harus berbuat lebih keras kapadamu" -- sekali lagi Widuri bertanya.
Akan tetapi orang itu tidak juga menjawab dan seenak berhenti tepat didepan Widuri yang menjadi termangu-mangu. Dalam malam yang diterangi rembulan itu kemudian orang itu mengangkat tangannya lalu mengapai ikatan cadar yang menutupi wajahnya. Hingga tiba-tiba Widuri menjadi berdebar-debar dan matanya terbelalak...mulutnya seakan tersekat dan berat untuk bicara,
"Bibi....bbibiiiiii...!!" -- hanya dua kata yang muncul dari mulut Widuri lalu serta merta mendekati orang yang ternyata seorang perempuan itu dan merangkulnya begtu erat.
Sebenarnyalah orang itu seorang wanita paruh baya dengan mengenakan pakaian khusus layaknya pria. Masih terliat paras rupawan diwajah perempuan itu meski warna kerutan diwjahnya telah terlihat cukup banyak.
"Sudahlah Widuri...baru kali ini aku melihatmu menangis, kau kenapa ndhuk?" -- berkata wanita itu sambil trsenyum.
"Bibi jangan pergi...bibi kawani aku bibi..!!" sahut Widuri.
"Bukankah aku sekarang disini..marilah kita duduk di buk batu itu" -- tukas wanita itu.
Kemudian keduanya berjalan mendekati buk batu yang tak jauh dari pintu belakang rumah bangunan induk tersebut.
"Apa yang kau pikirkan Widuri...hingga aku mlihat tata gerak olah kanuraganmu menjadi kacau tak beraturan?" bertanya Wanita paruh baya itu.
"Bibi...dengan siapa bibi datang kemari? " -- justru Widuri balik bertanya. Sehigga wanita itu menjadi tersnyum dan berakata.
"Bagaimana kalau aku datang sendiri" -- jawab wanta itu.
"Tidak mungkin..!!, paman Mahesa Jenar tentu tidak akan membiarkan bibi datang kesini sendirin" -- sahut Widuri.
Ternyata wanita itu tdak lain adalah Rara Wilis yang sengaja ingin menemui Widuri. Akan tetapi Rara Wilis belum menjawab pertanyaan Widuri.
"Mana Paman Mahesa Jenar bibi...dan pasti kakang Arya Salaka da pada kalian.." -- celoteh Widuri.
"Kau memang wanita cerdas Widuri..." -- berkata Wilis seraya tersenyum , -- "akan tetapi aku harus pergi sementara waktu, kau boleh tenang karna Arya Salaka ada bersama pamanmu Mahesa Jenar" .
"Kenapa kaliyan tidak langsung kesini?" -- sergah Widuri
"Nanti kau akan tau, dan pada akhirnya kami pasti akan datang menemui ayah mertuamu itu, kakang Gajah Sora, sekarang kau masuklah ke rumah dan istirahatlah, mudah-mudahan kini hatimu menjadi tenang, aku mohon diri dulu" -- kata Rara Wilis
"tapi bibi.."
"Sudahlah aku pergi dulu, dan jangan kau katakan pada siapapun kalau aku menemuimu" -- desis Wilis seraya tersnyum dan berjalan meninggalkan Widuri yang hanya mmandang kepergian wanita itu.
Sementara itu pada saat yang sama didalam sebuah goa Arya Salaka masih terlihat duduk diatas sebuah batu hitam. Suasana yang hening seakan tak mempedulikan tarian cahaya empat buah obor yang tertempel di sudut-sudut goa tersebut.
Hari telah merangkak mendekati pagi namun Arya Salaka seakan tak berkeming dalam duduknya. Semakin memusatkan nalar dan budi demi meraih inti dari ilmu yang dimilikinya tersebut. Bahkan mulai nampak seperti asap putih yang tipis membungkus setiap jengkal tubuhnya. Dan sebenarnyalah Arya Salaka lambat laun semakin memahami perwatakan aji Sasrabirawa yang sesungguhnya selama ini telah dikuasainya secara tuntas tersebut.
Tenaga cadangannya kini dirasakan menjadi semakin berlipat-lipat hingga Arya Salaka sendiri telah merasakan ada sesuatu perubahan yang sangat luar biasa mengalir dalam setiap urat-urat darahnya.
Sehingga pelan namun pasti Arya Salaka telah tuntas menjalani mesu diri dalam memahami inti dari kekuatan ilmunya.
Dalam bimbingan gurunya yang dilakukan dengan cara-cara yang aneh itu Arya Salaka telah mampu mensenyawakan diri dengan kekuatan Aji Sasrabirawa tidak lebih dari satu malam. Bahkan melampaui apa yang dulu pernah dilakukan gurunya Mahesa Jenah saat melakukan hal yang sama.
Arya salakapun perlahan-lahan merasakan perbedaan yang dirasakan dari setiap aliran darah yang mengalir dalam tubuhnya. Pernafasannya menjadi semakin terasa lega, bahkan seluruh panca inderanya seakan-akan menjadi bertambah tajam. Bahkan desir langkah semut yang berjalan berbaris di dinding gua itu seakan-akan mampu dirasakannya.
Mata Arya Salakapun kemudian perlahan mulai terbuka. Lalu ditengadahkanlah wajahnya seraya menghirup nafas dalam-dalam dan dihembuskanya kembali setelah ditahannya beberapa saat. Namun ketika Arya Salaka berusaha mencoba untuk bangkit dari duduknya justru merasakan tulang kakinya seperti luluh tanpa daya hingga tubuh itu roboh dengan sendirinya terkapar di lantai goa.
"Arya, jangan kau paksakan untuk tergesa-gesa bangkit, biarkan wadagmu kau istirahatkan dulu" - berkata Mahesa Jenar seraya menghampiri Arya Salaka dan menyodorkan sesuatu - "minumlah air tajin ini lalu rebahkanlah tubuhmu sementara hingga tenaga wadagmu kembali pulih" - lanjut Mahesa Jenar.
Arya Salaka hanya menganguk pelan dan setelah meminum air tajin pemberian gurunya itu diapun merangkak ke sebuah batu dan merebahkan tubuhnya. Tidur.
Waktu yang berjalan pelan namun pasti hingga pada suatu saat cahaya matahari pagipun mulai nampak menyeruak diantara lubang-lubang kecil diantara dinding-dinding goa tersebut. Sehingga ruang dalam goa itupun menjadi sedikit terang meskipun hanya nampak remang-remang.
Satu cayaha matahari yang menyeruak itu terlihat menggapai wajah Arya Salaka yang sedang pulas dalam tidurnya hingga membuatnya menjadi terjaga. Kesegaran yang dirasakan Arya Salaka seakan-akan menjadi petunjuk bahwa tenaga wadagnya perlahan-lahan akan menjadi pulih kembali
"Kau sudah bangun Arya?" - kembali Mahesa Jenar menghampiri muridnya tersebut.
"Rasa-rasanya tubuhku ini berangsur-angsur menjadi pulih kembali paman" - jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenarpun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, --"baiklah, sekarang basuhlah wajahmu, aku membawakan makanan untukmu. Makanlah. mudah-mudahan tubuhmu akan cepat pulih"
Beberapa saat kemudian didalam ruang yang cukup luas dalam gua itu seakan-akan mnjadi bergemuruh. Seperti suara-suara angin bersiuran disertai letupan letupan kecil yang terdengar silih berganti.
Arya Salaka terlihat mencoba mengtrapkan apa yang telah dipahaminya dalam usaha mesu diri yang tlah dilakukannya.
Tubuhnya begitu sebat dan sesekali melenting seringan kapas sebelum melakukan gerakan memukul, menendang dalam gerak yang begitu mengagumkan.
Inti dari seluruh kekuatan aji Sasrabirawa seakan-akan bersenyawa secara sempurna dalam tubuhnya sehingga dia merasakan bahwa tenaga cadangannya menjadi berlipat ganda.
Kemudian entah dari mana setiap gerak Arya Salaka telah mengungkapkan larik-larik sinar kuning keemasan silang menyilang silih berganti. Ternyata tangan kanan Arya Salaka telah menggenggam sepucuk pisau belati panjang yang memancarkan sinar Kuning keemasan gemerlapan. Kyai Suluh.
Sebuah pusaka pemberian mendiang Panembahan Ismaya dimana pisau panjang itu pernah menjadi ciri khas seorang tokoh yang begitu ngegirisi pasda masanya. Pasingsingan.
"Berhenti !" - terdengar suara Mahesa Jenar - "Arya, kini pusatkanlah nalar budimu untuk mengungkapkan Aji Sasrabiwamu, kau lihatlah batu besar empat tombak didepanmu itu" - lanjut Mahesa Jenar.
Arya Salaka kemudian berjalan mendekati batu hitam yang cukup didepanya lalu berdiri tegak untuk memusatkan nalar dan budinya, demikian kedua tangan Arya Salaka merangkap didepan dada lalu diangkatnya satu kaki kanan dengan lutut sedikit ditekuk kedepan, demikian diangkatnya tangan kananya tinggi-tingi diatas kepala dengan sisi telapak kanan miring kedepan dengan tangan kiri tetap menyilang didepan dada.
Disertai loncatan kecil sedikin memutar satu sisi telapak tangan kanan Arya Salaka kemudian menggapai ke arah batu besar tersebut.
Dan yang terjadi begitu mengagumkan.
Sebelum sisi telapak kanan Arya Salaka menyentuh batu itu, seleret sinar hijau kebiru-biruan tiba-tiba mencuat dari telapak tangannya dan cahaya seperti lidah-lidah naga itu menggapai batu besar itu. Satu letupan kecil mengungkapkan cahaya bagai kilat diudara beberapa kali mencuat diantara sisi batu besar tersebut.
Arya Salaka kemudian berdiri bagai termangu-mangu memandang batu besar tersebut. Lalu dengan satu setuhan jari Arya Salaka menggamit batu itu yang kemudian luruh bagai tepung teronggok diatas tanah.
**
Kepercayaan diri para pemimpin gabngan tiga perguruan Nusa Kambangan, Gunung Cireme, dan Macan Lodaya akan kesaktian yang mereka miliki itu membuat kelompok itu menjadi kurang waspada. Mereka sangat yakin bahwa Banyubiru saat in tidak sama seperti Banyubiru ketika peristwa Nagasasra Sabukinten. Menurut mereka tidak ada orang yang perlu khawatirkan sejak Ki Ageng Sora Dipayana tiada, juga tokoh tokoh semacam Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten telah tada pula.
Sehingga dalam pangraita para pemimpin tiga perguruan itu berpendapat bahwa tidak ada lagi hal yang berarti untuk melumatkan Banyubiru. Untuk itu tak terlintas dibenak para pemimpin golongan hitam itu bahwa tanah pertdikan Banyubiru justru melakukan serangan terlebih dulu, sampai pada suatu saat golongan hitam itu dihadapkan sebuah kenyataan yang sulit dimengerti mereka.
Disaat mereka terlena menunggu waktu untuk melanda Banyubiru. Ternyata justru pagi itu, sehari menjelang rancana mereka, Laskar Banyubiru telah tegak berjajar dihadapan mereka. Walaupun dalam jarak yang masih cukup jauh berbatas ara-ara tepian Rawa Pening.
Akan tetapi panji-panji kebesaran tanah perdikan Banyubiru telah menunjukkan kepada para gerombolan Singo Rodra bahwa laskar Banyubiru tidak main-main.
Dengan keyakinan yang mantap untuk menghancurkan setiap lawan didepannya jelas terungkap dalam barisan pasukan Banyubiru tersebut. Meskipun usianya sudah memasuki masa senja Ki Ageng Gajah Sora masih begitu perkasa dengan mengenakan pakaian kebesaran Kepala Tanah Perdikan Banyubiru. Tatapan matanya yang begitu tajam seakan-akan menunggu saat-saat yang tepat untuk meneriakkan maklumat perang. Tombak berlandaian pendek Kyai Bancak digenggaman tangan kanan Ki Ageng Gajah Sora selalu bergetar seakan tidak sabar menyambar ujung-ujung senjata lawan.
Ki Ageng Gajah Sora sebagai senopati utama telah berdiri ditepat ditengah sebagai kepala Gajah yang sedang dilanda kemarahan, dengan senopati pengapit yang berkedudukan sebagai dua buah gading yang siap mengkoyak pertahanan lawan. Ki Panjawi telah siap mengendalikan ketajaman gading sebelah kiri, sementara gading sebelah kanan dikendalikan seorang yang bertubuh tegap meski usianya sudah tidak muda pula. Ki Ageng Lembu Sora.
Tidak kalah nggegirisi di gelaran belalai gajah itu telah berdiri Ki Juru Mertani dan beberapa senopati muda dari kasultanan pajang. Sementara dibagian ekor diisi oleh para pemimpin pengawal tanah perdikan Banyubiru yang dikendalikan oleh widagdo, juga Jaka Raras bersama para Cantrik padepokan di Pengrantunan yang merupakan anak murid Ki Ageng Gajah Sora tersebut.
Sementara disebrang ara-ara amba di tepian Rawa Pening itu gerombolan Singo Rodra menjadi kalang kabut. Sehingg Ki Singo Rodra sendiri berkali-kali mengumpat umpat dalam hatinya.
"Iblis licik Gajah Sora..!! dia memanfaatkan kelengahan kita..!!" -- Geram Ki Singo Rodra yang berdiri disamping Kyai Naga Pertala.
"Hemm....biarkan mereka mau melakukan apa, ini justru mempercepat tujuan kita, hari ini akan aku lumatkan Gajah Sora beserta pengikutnya tanpa sisa" -- desis Kyai Naga Pertala seraya tersenyum sinis.
"He, kau jangan sombong Kyai, kau kira dengan kesaktian kalian mampu melumatkan ribuan pasukan Banyubiru itu..?!" --tukas Bango Lamatan
"Bango Lamatan..!! buka matamu lebar-lebar..!! bukankah aku disini tidak sendiri?" - jawab Kyai Naga Pertala yang nampaknya tersinggung dengan apa yang dikatakan Bango Lamatan.
Akan tetapi justru Kecruk Putihlah yang terdengar berbicara seraya tertawa terbahak-bahak,
"Mungkin kalian kira kalian sedang berhadapan untuk berkelahi dengan gerombolan brandal alas? yang hanya menggunakan ototnya" - tukas Kecruk Putih yang terlihat masih tertawa menyakitkan.
"Diam kau Kecruk Putih..!!" - bentak Ki Singo Rodra kemudian - "jika kau juga Bango lamatan hanya selalu membuat perselisihan, kenapa datang kemari?" - geram Ki Singo Rodra.
"Jangan sekali lagi kau berani membentakku sekali lagi Ki Simo Rodra..!! Jika tidak, aku, juga Bango Lamatan akan pergi dari sini beserta beberapa perguruan silat yang aku bawa serta. Aku ingin lihat apakah kesombongan kalian sesuai dengan tandang kalian menghadapi laskar Banyubiru itu tanpa aku" - geram Kecruk Putih yang tak kalah kerasnya.
Hal ini membuat Ki Singo Rodra menjadi termangu-mangu seraya memandang titik-titik dari ribuan manusia di sebrang ara-ara tersebut. Sebenarnyalah hati kecilnya tidak bisa ingkar. Tanpa kehadiran Bango Lamatan juga Kecruk Putih beserta pasukannya, niscaya dalam waktu yang singkat akan dapat dilibas pasukan Banyubaru itu.
"Sudahlah..!! Jangan berselisih diantara kita pada saat-saat seperti ini" - desis Kyai Badak Wijil mencoba mendinginkan suasana diantara kawan-kawannya.
"Akan tetapi jika Kecruk Putih dan Bango Lamatan kemarin tidak menghambat keinginanku untuk menyerang, tentu saat ini kita yang berada ditapal batas pertahanan laskar Banyubiru itu" -- desis Ki Singo Rodra.
"Sudahlah Ki Singo Rodra.." -- berkata Kyai Badak Wijil kemudian, -- "saat ini yang kita butuhkan bagaimana cara kita untuk menghadapi si Gajah Sora itu bukannya saling berselisih diantara kita" -- tukas Ki Badak Wijil.
"Kau berpikir lebih jernih Kyai..!" -- berkata Bango Lamatan seraya berpaling ke arah Ki Badak Wijil sebelum meneruskan ucapannya' - "akan tetapi lihatlah siapa yang bercokol di belalai gelar Gajah Ngamuk itu? apakah kau kira kalian dengan mudah melibas kekuatan Banyubiru itu sementara aku melihat beberapa tunggul Kasultanan Pajang muncul di antara laskar Banyubiru tersebut"
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu Bango..?!" - bertanya ki Badak Wijil.
"Yang pasti jika Pajang dengan sengaja mengirimkan pasukan ke Banyubiru tentu bukan sembarang orang yang menjadi pemimpinnya. Bisa Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, bahkan Ki Juru Mertani, atau mungkin Ki Wila. Orang-orang yang pandai dalam strategi perang" -- berkata Ki Bango Lamatan seraya berpaling ke arah Kyai Badak Wijil, sebelum meneruskan ucapannya, -- "Apa lagi jika yang datang saat ini Ki Juru Mertani.. Tentu kita harus memeras otak untuk menghancurkan Banyubiru".
"Aku sendiri yang akan membinasakan Juru Mertani itu.!!" -- sergah Kyai Naga Pertala.
"Kenapa kau masih saja sombong Kyai..!!" -- sahut Kecruk Putih-- "mungkin kau lebih punya pengalman lebih terhadap Juru Mertani itu karna memang kau lebih tua. Tapi aku ingatkan kelihaiannya akan melebihi usia mu..!!" - berkata Kecruk Putih dengan senyum yang terlihat menyakitkan dimata Kyai Naga Pertala. Sehingga raut muka Kyai Naga Pertala menjadi semburat merah sambil memandang tajam kearah Kecruk Putih.
"Suatu saat akan ku sumpal mulut orang ini..!!" -- berkata Kyai Naga Pertala dalam hatinya.
"Baiklah jika kalian meminta pendapatku usahakan perang ini menjadi tidak beraturan. Perintahkan kepada seluruh pipinan laskar kita untuk memaksa Laskar Banyubiru itu masuk dalam perang Brubuh sehingga Gelar Dirada Meta itu menjadi berantakan. Sebelum formasi gajah ngamuk itu menghancurkan seluruh kekuatan kita" -- sahut Bango Lamatan kemudian.
Kyai Badak Wijil juga Ki Singo Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya untuk berusaha memahami apa yang diucapkan Bango Lamatan tersebut, juga menimbang-nimbang apakah maksud Bango Lamatan itu baik atau justru akan menjerumuskan seluruh pasukannya.
"Kenapa kalian diam saja?" -- tukas Bango Lamatan, yang selanjutnya berucap lagi -- "kau kira aku akan menjerumuskan kalian?!. Ingat. Sekali lagi, kalian akan hancur jika hanya mengikuti alur kemauan laskar Banyubiru itu. Karna pasukan kalian taunya hanya berkelahi tapi buta soal gelar perang"
"Baiklah Bango...kali ini aku akan menerima pendapatmu, akan segera aku perintahkan seluruh pasukan berbuat seperti yang kau katakan" -- berkata Ki Singo Rodra datar.
"Bagus..!! Karna harapan kita hanya satu. Perang Brubuh..!! kita akan bisa memilih lawan kita berkelahi semau kita.." -- tukas Bango Lamatan sambil tertawa.
"Macan Wulung..!!" - tiba-tiba Ki Singo Rodra berteriak memanggil Macan Wulung.
"Saya Ki Lurah..!!" - jawab Macan Wulung.
"Cepat perintahkan dan atur pasukan seperti yang dikatakan Ki Bango Lamatan, kita sambut laskar Banyubiru yang sombong itu..!!" - geram Ki Singo Rodra.
"Baik ki Lurah, segera kami laksanakan, aku mohon diri" - sahut Macan Wulung yang dengan serta merta pergi menemui seluruh pimpinan pasukan di masing-masing kelompoknya.
Dengan cepat Ki Macan wulung segera mengerjakan perintah pimpinannya tersebut. Kemudian serta bersama Seca Ireng mereka menuju barisan para paskannya, menemui para pemimpin kelompoknya untuk meneruskan perintah pimpinan utama mereka.
Barisan perguruan Macan Lodaya, perguruan Bukit Cireme, juga kelompok Nusa Kambangan ditambah lagi kelompok perguruan-perguruan dari brang timur yang dibawa Kecruk Putih dan Bango Lamatan ternyata berjumlah cukup besar. Jumlah itu nampaknya cukup seimbang dengan kekuatan Banyubiru yang bergabung dengan laskar tanah Perdikan Pamingit, padepokan Pengrantunan juga pasukan kecil dari Pajang yang dipimpn Ki Juru Mertani.
Hanya sebenarnya jika dipandang pada kenyataan yang terlihat pasukan Ki Singo Rodra nampak lebih mempunyai keunggulan dimana dalam kelompok itu didukung sekian banyak tokoh yang memunyai ilmu sangat tinggi.
Nama-nama seperti Ki Singo Rodra sendiri, juga Kyai Naga Pertala dan Kyai Badak Wijil merupakan tokoh tokoh yang tandangnya sangat nggegirisi pada waktu-waktu ini.
Belum lagi bergabungnya sebagian kelompok Ki Bagus Respati yang diwakili oleh Kecruk Putih dan Bango Lamatan, juga ketua-ketua perguruan brang wetan yang juga rata-rata berilmu tinggi. Diantaranya adalah Warok Sawa Kembang, juga Sepasang Hantu Sabung Macan yang terkenal sangat bengis bergelar Ki Ganda Pati, dan Nyai Ganda Mayit.
Satu Lagi tokoh bergelar Ki Ajar Toji dari perguruan Mata Satu yang berada di perengan bukit sekitar Karang Pandan yang sangat aneh. Karna seluruh penghuni pedepokan itu hanya bermata satu dengan sisi sebelah mata kanannya buta dan ditutupi selembar kulit bulat berwarna hitam termasuk Ki Ajar Toji itu sendiri.
Sementara sangat jauh mencolok jika melhat laskar Banyubiru yang kurang dalam dukungan orang-orang sakti. Hanya Ki Ageng Gajah Sora sendirilah salah seorang yang bisa dibilang berilmu sangat tinggi, Juga Ki Juru Mertani yang tentu tidak bisa dianggap sebelah mata ketangguhannya. Sementara Ki Ageng Lembu Sora juga Ki Panjawi sebenarnya masih belum dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh semacam Kyai Badak Wijil maupun Ki Naga Pertala.
Praktis dalam hal ini sesungguhnya Laskar Banyubiru hanya mempunyai keunggulan dalam hal kerjasama dalam gelar perang sebagai kekuatan utama. Bahkan Ki Juru Mertani pun sempat berdebar-debar dadanya mana kala peperangan ini akan bergeser seperti pasir wutah dalam perang Brubuh. Karna jelas hal ini membutuhkan banyak tokoh tokoh yeng berilmu tinggi dalam olah kanuragan jasa kasantikan.
Kelemahan Banyubiru ini ternyata sudah terendus oleh Bango Lamatan, sehingga dengan mentap dia menganjurkan kepada Ki Singo Rodra agar memberikan perintah perang tanpa gelar yang tak beratura, atau gelar perang Brubuh.
Demikian dengan sigap Macan Wuilung dan Seca Ireng atas nama pimpinan utama kelompok itu telah menyampaikan apa-apa yang harus dijalankan sesuai arah para pimpinan utama kelompok itu.
Akan tetapi selagi para Gerombolan pimpinan Ki Singo Rodra itu masih menyiapkan barisannya, tiba-tiba saja mereka sempat menjadi terkejut dan sedikit panik ketika muncul suara - suara lecutan cambuk yang meledak keras berulang-ulang memenuhi tempat dimana laskar Singo Rodra itu berada.
Suara ledakan cambuk yang keras itu begitu aneh seakan-akan datang dari berbagai arah penjuru angin. Bahkan seakan-akan seperti tepat meledak didepan hidung mereka. Akan tetapi seluruh grombolan pasukan Singo Rodra, termasuk para pimpinannya sama-sekali tidak melihat bayangan seorangpun dari arah suara ledakan cambuk yang berpindah-pindah dari arah satu dengan lainnya tersebut.
"Luar biasa..!!" - suatu pameran ilmu yang mengagumkan" -- desis Bango Lamatan seraya berpaling ke arah kecruk Putih, -- "kakang, nampaknya pekerjaan kita akan menjadi bertambah berat" -- lanjut Bango Lamatan. Sementara Kecruk Putih hanya mengangguk-anggukkan kepalanya..
"He..siapapun kau iblis...!!! Keluarlah jangan hanya sembunyi memamerkan cambuk gembalamu itu..!!" -- teriak Ki Singo Rodra lantang.
Tidak ada jawaban. Apa lagi muncul sesosok bayangan keluar. Namun beberapa saat kemudian kembali terdengar ledakan-ledakan suara cambuk yang semakin rapat terdengar sangat keras dan berubah-ubah arah dari suaranya yang berpindah-pindah.
Nampaknya Ki Singo Rodra harus mengabaikan kekesalan hatinya akan datangnya suara-suara ledakan cambuk misterius tersebut. Kedua pandangan matanya telah melihat gerakan para pasukan Banyubiru perlahan-laban telah maju melintasi daerah pertahanan mereka.
Sebenarnyalah disisi seberang ara-ara itu nampak Ki Ageng Gajah Sora dengan mantap telah mengangkat tinggi-tinggi tombak berlandaian pendek Kyai Bancak ditangan kanan nya. Maka barisan Laskar Banyu Biru itu bagaikan seekor gajah raksasa telah berjalan pelan maju mendekati garis pertahanan lawan.
Selanjutnya disertai teriakan membahana yang keluar dari mulut Ki Ageng Gajah Sora... Tiba-tiba daerah ara-ara yang lapang itu bagaikan bergemuruh oleh derap pasukan Banyubiru yang bersorang maju bagai melanda apa saja yang berada didepannya dengan berbagai senjata terhunus. Debu-debupun terlihat mengepul diantara teriakan-teriakan para laskar Banyubiru tersebut mengiringi maklumat tempur yang telah diteriakan Ki Ageng Gajah Sora tersebut.
Dengan tak kalah sengitnya kubu pasukan Singo Rodra pun bergerak maju dengan senjata-senjata terhunus pula, bahkan diiringi teriakan suara-suara kotor mengumpat-umpat dari setiap laskar golongan hitam tersebut.
Maka dalam waktu yang tak terlalu lama bertemulah dua pasukan yang cukup besar untuk saling menyerang, membunuh juga saling berlomba untuk bisa keluar dari arena pertempuran itu dengan selamat.
Suara gemerincing beradunya berbagai senjata mulai tedengar. Bahkan beberapa teriakan kematianpun dalam sekejap telah terdengar, mengiringi kucuran darah-darah segar dari setiap tubuh-tubuh kedua kubu.
Gelar Dirada Meta memang cukup tangguh menghajar pertahanan pasukan Singo Rodra di segala posisi. Gabungan laskar Banyubiru memang sebuah pasukan perang yang memang terlatih dalam melakukan berbagai gelar perang yang dikehendaki Senopatinya. Sehingga gelombang serangannya begitu merepotkan pertahanan pasukan Singo Rodra yang hanya mengandalkan gerak perkelahian liar dengan mengandalkan ketrampilan pribadi masing-masing anggotanya.
Teriakan-teriakan kasar juga berbagai umpatan yang disuarakan para pasukan liar Singo Rodra itu sama sekali tiada mampu merutuhkan mental para laskar Banyubiru yang memang sudah paham tentang karakter gerombolan macam itu. Sebaliknya justru semakin lama pasukan Ki Singo Rodra semakin terdesak dengan formasi-formasi perang yang dilakukan para pasukan Banyubiru tersebut.
Akan tetapi sesaat kemudian terdengar sorakan bergemuruh dari pasukan Singo Rodra disebelah kiri. Ki Macan Wulung berusaha memecah formasi tempur pasukan Banyubiru dan mengamuk dan hendak mematahkan gading sebelah kiri dari gelar Dirada Meta tersebut.
Satu persatu laskar Banyubiru pada posisi itu tumbang berjatuhan oleh tebasan-tebasan senjata sebentuk luwuk dari Ki Macan Wulung tersebut.
Ki Macan Wulung memang termasuk orang yang berilmu tinggi diantara para pemimpin pasukan Singo Rodra tersebut, sehingga dengan mudah dia masuk dan memporak porandakan gading kiri Dirada Meta tersebut.
Akan tetapi sebelum Ki Macan Wulung masuh terlalu jauh. Satu suara telah menyapanya.
"Luar biasa..!! kau hebat tapi terlalu ganas kisanak..!!" -- Ki Panjawi yang berada disisi gading sebelah kiri serta merta mendatangi Macan Wulung tersebut.
"He, siapa kau iblis tua..!! Berani menghadang Macan Wulung orang kedua dari Alas Lodaya..!!" -- geram Ki Macan Wulung.
"O, jadi kau yang berjuluk Ki Macan Wulung itu? Jika begitu kita sama, aku juga orang kedua di perdikan Banyubiru. Baiklah. Aku adalah Ki Panjawi" --
"He, dengarkan Panjawi..!! menyingkirlah dari hadapanku sebelum kupenggal kepalamu, dan katakan kepada Gajah Sora. Macan Wulung menunggunya disini..!!" -- sahut Macan Wulung.
"Kau terlalu sombong Macan Wulung..!! Ki Ageng Gajah Sora tidak akan meladeni cecurut macan kau. Cukup aku yang melayani kamu disini" -- berkata Ki Panjawi selanjutnya.
"Iblis kau Panjawi..!! Kau akan menerima akibatnya atas kesombonganmu terhadap Macan Wulung" -- demikian Macan Wulung pun kemudian menggeram seraya tubuhnya meluncur cepat dengan Luwuk terhunus mengarah kedada Ki Panjawi.
Akan tetapi Ki Panjawi bukanlah orang yang mudah ditundukkan begitu saja. Sebagai kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora tentu tingkat ilmu Ki Panjawi juga cukup untuk menghadapi ilmu Macan Wulung.
Maka dengan sedikit menggeser tubuhnya kekanan sapuan pedangnya berhasil menangkis sambaran luwuk Ki Macan Wulung tersebut. Hingga pada akhinya kedua orang itu bertarung dengan semakin sengit.
Dengan demikian tekanan yang dirasakan pasukan Banyubiru ditempat itu semakin mengendor dengan ditahannya serangan Macan Wulung oleh Ki Panjawi. Sehingga lambat laun para pasukan Banyubiru sebelah kiri kembali mampu menekan lawan-lawan mereka.
Tak jauh dari tempat itu ternyata dibagian kanan gading Dirada Meta terjadi hal yang hampir sama. Seca Ireng yang mengamuk disitu telah tertahan oleh Ki Ageng Lembu Sora yang memang madeg Senopati disitu.
Nampaknya Seca Ireng tak setangguh Ki Macan Wulung sehingga Seca Ireng harus bekerrja keras untuk menjatuhkan keperkasaan Ki Ageng Lembu Sora tersebut.
Sementara itu digaris pertahanan Ki Singo Rodra orang-orang yang berilmu tinggi itu masih saja melihat jalanya pertempuran itu.
"Bagaimana Singo Rodra? Apakah akan kita biarkan kebingungan pasukan kita menghadapi tikus-tikus Banyubiru itu?" -- bertanya Kyai Naga Pertala.
Ki Singo Rodra pun kemudian berpaling kepada Kyai Naga Pertala, lalu kepada kawan-kawannya yang lainnya seraya berkata,
"Tidak Kyai...kita tidak boleh terlalu lama dalam tekanan ini, jika tidak semuanya akan hancur berantakan" -- geram Ki Singo Rodra.
"Apakah sudah waktunya kita beraksi..?!" -- berkata kemudian Kecruk Putih
"Ya..!! Kita akan langsung bergerak memporak porandakan gelar itu" -- desis Ki Singo Rodra seraya melanjutkan ucapannya, -- "Baiklah kita akan membagi kekuatan. Aku bersama Kyai Naga Pertala akan memporak porandakan pertahanan mereka dan langsung menuju pusat kekuatan gelar itu. Aku dan Kyai Naga Pertala akan segera melumpuhkan Gajah Sora disana untuk membunuh semangat pasukannya.." --
"Lalu aku dimana?" -- bertanya Kyai Badak Wijil
"Silahkan Kyai bermain-main sementara dengan membinasakan sebanyak-banyaknya pasukan Banyubiru itu" -- tukas Ki Singo Rodra -- "dan aku kira pada bagian belalai itu akan menjadi bagian Bango Lamatan juga Kecruk Putih, dan para pasukannya" -- lanjut Ki Singo Rodra.
"Baiklah, aku juga ingin bermain-main dengan kawan lamaku itu. Ternyata si Bagus Kacung yang menjadi pimpinan prajurit pajang itu" -- ucap Kecruk Putih
"Dan nampaknya aku juga tidak mendapat lawan yang berarti, aku akan bermain main untuk melemaskan ototku bersama curut-curut itu" -- berkata Bango Lamatan sembari tertawa panjang.
Matahari perlahan lahan mulai naik disepenggalan. Namun panas teriknya seakan tidak dirasakan oleh setiap laskar dikedua belah pihak. Bahkan gemerincing senjata semakin keras beradu disegala penjuru disertai teriakan-teriakan pertempuran juga jerit orang-orang yang terluka. Hanya ada dua pilihan yang dilakukan, membunuh atau terbunuh. Mereka tidak ingat lagi kematian-kematian itu akan meninggalkan luka yang panjang terutama bagi yang ditinggalkannya. Akan banyak anak kehilangan bapaknya, istri kehilangan suaminya yang tentu akan meninggalkan kesengsaraan dalam kehidupan selanjutnya. Semua hanya karna satu peesoalan. Perang. Perang untuk menuntaskan ambisi. Perang untuk mempertahankan harga diri. Bahkan perang untuk mempertahankan tatanan kehidupan yang dirusak ambisi itu sendiri.
Dalam pada itu memang pertempuran menjadi semakin sengit. Perlahan-lahan laskar Banyubiru mampu mendesak mundur para grombolan pengacau pimpinan Ki Singo Rodra tersebut.
Akan tetapi tiba-tiba saja keadaan menjadi berubah total. Satu persatu laskar Banyubiru bertumbangan meregang nyawa. Hingga tempik sorak pasukan Singo Rodra terdengar membahana.
Pasukan Banyubiru terlihat kocar kacir diberbagai posisi setelah para pemimpin grombolan Singo Rodra itu turun ke medan perang melanda siapa saja pasukan Banyubiru tanpa ampun.
Kyai Naga Pertala secara bersama-sama dengan Ki Singo Rodra terlihat mengamuk menuju pertahanan pusat dari gelar Dirada Meta itu menuju dimana Ki Ageng Gajah Sora berada. Sehingga perlahan-lahan gelar itu menjadi kacau berantakan. Keadaan menjadi berubah, jika tadi Laskar Banyubiru merasa diatas angin, kini sebaliknya kedudukan pasukan itu terdesak hebat.
Disisi lain Bango Lamatan bersama Kecruk Putih pun berhasil memukul hancur formasi yang berada didepannya. Keduanya nampak tertawa-tawa seperti mendapat permainan yang menyenangkan bagi keduanya. Satu persatu laskar Banyubiru tumbang bergelimang darah bahkan tidak sedikit ada yang meregang nyawa.
"Sejak kapan kau tersesat kesini Kecruk Putih?" -- satu suara membuat Kecruk Putih menghentikan Aksinya.
"O, kau Bagus Kacung, aku kira kau sudah tidak mengenaliku lagi" ---jawab Kecruk Putih
"Mungkin aku bisa tak mengenali mukamu Kecruk Putih, tapi aku tak akan lupa kelakuanmu yang selalu mengabaikan tatanan kehidupan ini" -- jawab orang yang dipanggil Bagus Kacung yang ternyata Ki Juru Mertani tersebut.
"Tutup mulutmu..!! Apa Kau kira kau manusia yang tidak pernah menyentuh keselahan?" -- sergah Kecruk Putih. -- "apa kau kira kau bukan manusia penuh ambisi sehingga rela menjadi gedibalnya Karebet itu?" --
"Setiap manusia memang tidak luput dari kesalahan. Tapi setiap manusia diberi nalar untuk mengerti hal yang prlu dibenahi.dan tidak menjadi dungu sepertimu yang hanya menghikuti ambisi mu yang tidak jelas itu" -- jawab Ki Juru Mertani.
Kecruk Putih pun kemudian tertawa panjang lalu berkata kemudian,
"Kau tidak tau Bagus Kacung, bahwa sebenarnya kau yang tidak jelas, mendukung si Karebet yang orang tingkir yang bukan trahing Kusuma itu terlalu tinggi meraih harapannya sebagai seorang Prabu" -- ucap Kecruk Putih.
"Lalu siapa yang lebih pantas menurutmu Kecruk Putih? --- sergah Ki Juru Mertani
"Hanya trah Majapahit yang berhak mengendalikan bekas kerajaan Majapahit ini?" -- lanjut Kecruk Putih.
"Menurutmu orang yang katanya berjuluk Ki Bagus Respati itu kah?" -- tukas Ki Juru sambil tersenyum. Lalu berkata lagi -- "ataukah mungkin orang lain lagi yang mengaku keturunan Brawijaya? atau mungkin pada akhirnya kau sendiri akan berkata bahwa kau keturunan Majapahit yang berhak menjadi raja?"
"Sudahlah, percuma berdebat dengan manusia licin lidah macam kau Bagus Kacung. Sekarang menyingkirlah jika kau masih ingin melihat Matahari besok" -- ancam Kecruk Putih.
"Sebaliknya Kecruk Putih, aku datang kesini untuk meminta kau segera meninggalkan Banyubiru ini atau terpaksa kau akan aku tangkap dan aku bawa ke Pajang" -- jawab Ki Juru yang masih saja tetap tenang.
"Setan kau Bagus Kacung..!!! Kalau begitu bersiaplah untuk Mampus..!!" -- berkata Kecruk Putih yang kemudian tanpa aba aba langsung menerjang ke Arah Ki Juru Mertani. Maka terjadilah pertempuran keduanya semakin lama semakin sengit.
Pada sisi lain dimana Ki Panjawi dan Ki Ageng Lembu Sora yang masing-masing menghadapi Macan Wulung juga Seca Ireng masih saja terikat kepada lawan masing-masing.
Sementara Ki Panjawi dan Ki Ageng Lembu Sora tiba tiba menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya Ki Ageng Gajah Sora berdiri beehadapan dengan dua lawa sekaligus. Ki Singo Rodra dan Kyai Naga Pertala. Sementara Kyai Badak Wijil seperti tak terbendung telah membunuhi laskar Banyubiru satu persatu.
"Gawat...rupa-rupanya malapetaka akan segera menimpa Banyubiru" -- berkata Ki Panjawi dalam hatinya.
"O, ternyata seperti ini orang yang mengaku adik seperguruan Kyai Simo Rodra Lodaya.. Juga kau yang mengaku saudara muda Kyai Nagapasa? hanya bisa melukai anak-anak yang baru belajar berjalan" -- berkata Ki Ageng Gajah Sora sambil menatap tajam kearah kedua tokoh itu.
"Jangan sombong kau iblis...!! Mengertilah aku datang untuk memeggal kepalamu he Gajah Sora..!!" -- geram Ki Singo Rodra -- "kenapa hanya kau sendiri disini? mana si Mahesa Jenar keparat itu?" --
"Singo Rodra !! aku adalah orang yang tidk suka basa-basi. Aku tidak tlaten berbicara sama orang sepertimu. Maka jika kau inginkan kepalaku. Kau ambilah jika mampu" -- suara Ki Ageng Gajah Sora datar.
"Ternyata kau adalah seorang yang sombong Gajah Sora..!! Baiklah.. Aku yang akan mengambil kepalamu..!!" -- sahut Kyai Naga Pertala
"Silahkan..kau ambil bersama-sama pun aku telah siap..!! Majulah kalian" --- desis Ki Ageng Gajah Sora, sementara Kyai Bancak ditangannya semqkin bergetar hebat.
Satu pembukaan serangan tiba-tiba dilakukan Kyai Naga Pertala yang langsung menjulurkan tangannya dengan kecepatan yang luar biasa kearah dad Ki Ageng Gajah Sora. Akan tetapi walau !usianya beranjak tua, Ki Ageng Gajah Sora masihlah terlihat gesit menghadapi kedua orang itu.
Dan nampaknya Kyai Naga Prtala dan Ki Singo Rodra tidak lagi memandang harga diri lagi sehingga tanpa malu-malu mereka secara bersamaan dan sebat berusaha segera melumpuhkan Ki Ageng Gajah Sora tersebut.
Akan tetapi bagaimanapun tidak semudah membalikkan tangan untuk membinasakan seorang Ki Ageng Gajah Sora yang berilmu sangat tinggi itu. Tataran demi tataran telah dilalui ketiganya, akan tetapi belumlah terlihat siapa yang terdesak diantara pertarungan satu lawan dua tersebut.
Pertarungan ketiganya benar-benar dahsyat. Ki Ageng Gajah Sora meskipun terlihat bergerak lambat, akan tetapi kedua tokoh sakti yang menjadi lawannya itu belumlah mampu mendaratkan pukulannya ke tubuh Ki Ageng Gajah Sora. Justru sekali-sekali hampir saja ujung tombak Kyai Bancak menggapai tubuh Ki Singo Rodra yang seketika berteriak mengumpat-umpat. Sehingga pertarungan diantara ketiganya semakin lama menjadi semakin sengit.
Sementara agak jauh disisi kanan Ki Badak Wijil seperti tak terbendung melibas setiap lawan yang didepannya. bahkan sesaat kemudian terdengar suara Kyai Badak Wijil membahana disekitar arena pertempuran itu. Nampaknya Kyai Badak Wijil ingin menyiksa setiap laskar Banyubiru dengan melontarkan Aji Gelap Ngampar melalui suara tertawanya yang menghimpit setiap dada.
Demikianlah....
Ketika Kyai Badak Wijil melontarkan tertawanya seketika itu pula para laskar dihadapannya tiba-tiba lututnya gemetar dan perlahan-lahan roboh diatas tanah. Kembali terdengar sorak membahana dari pasukan Singo Rodra yang kini merasa diatas angin.
Seperti tidak ada puasnya Kyai Badak Wijil masih saja melontarkan aji Gelap Ngamparnya sehingga semakin lama pasukan Banyubiru semakin banyak yang roboh.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh, di atas arena peperangan itu seakan akan mucul desir suara seruling yang begitu merdu alunannya, meskipun ketika semakin keras suara seruling itu terdengar melagukan tembang kematian dalam pupuh MEGATRUH.
Meski begitu suara seruling itu sangatlah terdengar lembut sehingga mengungkapkan hawa yang tiba-tiba saja memberi kekuatan kepada setiap laskar Banyubiru terhadap serangan Aji Gelap Ngampar Kyai Badak Wijil tadi. Sehingga suara tawa yang ditimbulkan Kyai Badak Wijil semakin lama menjadi semakin tidak berarti tersapu Aji Sepi Angin lewat suara seruling tersebut.
Serta merta Kyai Badak Wijil menghentikan tretawanya lalu pandangannya memutar mencari siapa gerangan si peniup seruling trsebut sampai pada suatu ketika mata tuanya melihat sesosok tubuh yang berdiri membelakanginya. Dengan penutup kepala dari caping lebar orang itupun masih saja meniupkan serulingnya.
"Siapa kau berani berlaku sombong dihadapan Kyai Badak Wijil dari bukit Cireme?!" -- geram orang tua itu setelah berjalan menghampiri orang bercaping itu.
Kemudian orang bercaping itupun berpaling ke arah Kyai Badak Wijil. -- "o jadi aku sedang berhadapan dengan saudara muda Ki Bugel Kaliki?" -- desis orang itu.
Kyai Badak Wijil pun menjadi termangu mangu ketika orang bercaping itu menyebut nama Bugel Kaliki. -- "siapa kau kisanak? kenapamkau mengganggu kesenanganku?" -- berkata Kyai Badak Wijil.
Perlahan-lahan orang itu kemudian membuka penutup kepalanya. Kini nampak jelas seorang yang bisa dikatakan sudah memasuki usia sebayandengan Ki Ageng Gajah Sora itu kemudian berkata.
"Sungguh sesuatu yang biadap ketika kematian sesama manusia dianggap sebuah kesenangan" -- desis orang itu.
"Sudahlah jangan sesorah dihadapanku kisanak..!! Akan tetapi jika kau ingin membuka persoalan dengan Ki Badak Wijil, katakan lah siapa kau sebelum aku akan membinasakanmu..!!" -- geram Kyai Badak Wijil.
"Baiklah..aku memang sengaja datang kesini untu ikut campur urusan ini" -- berkata orang itu, lalu melanjutkannya, -- "aku bukan siapa-siapa, dan seperti yang Kyai lihat aku selalu membawa kapak besar dipunggungku ini untuk menebang pohon kering untuk kayunya ku ambil karna aku memang pencari kayu. Dan serulingku ini hanyalah temanku untuk menawarkan rasa lelahku" --- lanjut orang itu.
"Jangan bertele-tele..!! Katakan saja siapa kau..?!" -- bentak Kyai Badak Wijil
"Jangan begitu kisanak, tidak baik bagi kita yang sama-sama mencapai batas umur kita ini.." -- sahut orang itu seraya meneruskan ucapannya -- "baiklah jika kau ingin tau siapa aku, namaku adalah Wirasaba, sejak aku muda orang memanggilku dengan sebutan Suling Gading karna kata orang aku pandai memainkan seruling gadingku ini" --
"Wirasaba..!! Suling Gading..!!" -- Ki Badak Wijil terkesiap mendengar pengakuan orang itu.
"Ya, itulah aku.." -- jawab orang itu
"Baiklah...memang nama besarmu menjulang hingga di sekitar Gunung Cireme, akan tetapi kita tidak pernah ada silang sengketa apapun, kenapa kau mencampuri urusanku?" -- bertanya Kyai Badak Wijil.
"Sudahlah Kyai...hentikanlah kekerasanmu itu maka aku tidak akan mencampurimu" -- sahut Ki Wirasaba
"Setan..!!! Ternyata kau juga sombong Wirasaba, jangan kau kira aku gentar dengan nama besarmu.. jika kau memang ingin berurusan denganku, bersiaplah untuk Mampus..!!" -- geram Kyai Badak Wijil yang sudah tidak telaten lagi itu seraya menerjang ke arah Ki Wirasaba.
Dengan gesit Ki Wirasaba pun kemudian memutar tubuhnya sehingga serangan-serangan Kyai Badak Wijil sama sekali tidak mampu menggapainya. Serangan demi serangan kemudian dilakukan begitu cepat dilakukan Kyai Badak Wijil akan tetapi sampai beberapa tataran ilmu dityingkatkan sama sekali Kyai Badak Wijil belum mampu mengungguli tataran ilmu Ki Wirasaba. Sehingga lama kelamaan peetarunga nya menjadi semakin sengit pula.
Di sektor tengah setelah beberapa lama Ki Singo Rodra bersama Kyai Naga Pertala berusahan membinasakan Ki Ageng Gajah Sora, ternyata belum mampu melaksanakan niatnya.
Ternyata perkiraan kedua orang itu keliru dalam menilai tingkat ilmu Ki Ageng Gajah Sora. Sehingga meskipun kedua tokoh sakti itu bersama-sama mencoba menekan pertahanan Ki Ageng Gajah Sora akan tetapi selalu menemui hal yang membuat mereka gagal. Bahkan mereka pun kadang-kadang justru sekali-sekali tersentuh pukulan Ki Ageng Gajah Sora meskipun tidak terlalu membahayakan mereka. Hal itu telah memberikan sinyal bahwa Kepala Tanah Perdikan Banyubiru memang seorang yang pilih tanding.
Hal ini membuat kedua tokoh golongan hitam itu menjadi bersebar-debar. Sehingga timbul keinginannya untuk menyelesaikan dengan puncak ilmu mereka.
Maka kemudian kedua tokoh itupun tiba-tiba menghentikan serangannya dan berdiri tegak. Dan bersiap untuk segera menyelesaikan niatnya tersbut.
Di sisi lain Ki Ageng Gajah Sora menjadi berdebar-debar pula. Dua buah ilmu dari Aji Nagapasa juga Aji Macan Liwung pada tataran sangat tinggi sebentar lagi akan melada dirinya secara bersamaan. Akan tetapi swbagai seorang Gajah Sora baginya tak ada rasa gentar sedikitpun meskipun menempuh sesuatu yang sangat berbahaya.
Ki Ageng Gajah Sora sekuat tenaga akan menahan kedua Ilmu itu dengan ilmu andalanya Aji Lebur Sekethi yang memang sudah mencapai tataran teetinggi pula. Untuk itu Ki Ageng Gajah Sora serta merta sigap pula menyiapkan nalar dan budinya untuk masuk dalam pengungkapan Aji Lebur Sekethi.
Tidak terasa Matahari semakin bergeser ke arah barat. Pertempuran dua kubu itu justru semakin sengit. saling mendesak silih berganti, sesaat kubu Banyubiru terdesak akan tetapi kadang kedudukan itu tiba-tiba berubah kebalikannya.
Ki Juru Mertani masih sengit tertahan oleh perlawanan Kecruk Putih yang memang sebenarnya kedua orang itu telah mengenal satu sama lain sejak masih anak-anak dalam satu lingkungan yang bisa dikatakan satu daerah yang berdekatan. Nampaknya pertarungan keduanya cukup seimbang sehingga dapat dipastikan pertarungan itu akan berlangsung lama.
Sementara tak jauh dari pertarungan Kecruk Putih melawan Ki Juru Mertani. Seorang yang sudah melewati usia setengah abad dengan badan tinggi besar, sementara celana gombrongnya yang hitam melengkapi keangkeran wajahnya yang berkumis tebal. Dialah Warok Sawa Kembang salah satu penghikut Ki Bagus Respati yang datang bersama kelompok Bango Lamatan pula.
Senjatanya yang berujut seperti untaian kain putih itu senantiasa berputar-putar sebat menggapai setiap laskar Banyubiru yang berani mendekatinya.
"Hayo maju semua he seluruh orang Banyubiru..!! Majulah semua biar tak badhog satu persatu..!!" -- berteriak Warok Sawa Kembang sambil memutar senjatanya bagai baling-baling.
"Luar biasa..!! senjatamu sungguh mengagumkan kisanak.." -- desis seseorang yang tiba-tiba berdiri menghadang Warok Sawa Kembang itu.
"He, siapa kau?! Apakah kau ingin mampus berani berdiri dihadapanku..!!" -- geram Warok Sawa Kembang.
"Jangan begitu Kyai..aku tidak mengganggumu. Aku cuma ingin bertanya apakah kau yang bernama Ki Warok Sawa Kembang?" -- bertanya orang yang baru datang itu.
"Kau sudah mendengar namaku kenapa tidak lekas bersujud.!!" - Geram Warok Sawa Kembang
"Jangan begitu ki Warok, aku hanya bersujud pada Yang Maha Agung bukan kepada manusia termasuk kau" -- jawab orang yang masih bisa dibilang muda itu yang kemudian menerusskan ucapanya -- "aku cuma mau tanya jika Ki Warok berjuluk Sawa Kembang kenapa senjata kau bawa hanya ular putih yang kecil?" -- ucap orang muda itu.
Ki Warok Sawa Kembang tiba-tiba terkesiap ketika tiba-tiba tangannya memegang ular putih yang panjang seakan bergerak-gerak kekanan-dan kekiri, sehingga serta merta dilemparkan ular putih ditanganya itu ke tanah. Akan tetapi Warok Sawa Kembang sesaat tersadart bahwa itu senjata andalannya dan bukan ular putih seperti yang dilihatnya.
"Setan alas terkutuk..!! Kau berani mempermainkan Warok Sawa Kembang dengan sihir usangmu itu iblis..!!, he katakan siapa kau sebelum kau lumat.." -- berkata Warok sawa Kembang seraya mengumpat umpat tak karuan.
Sementara orang muda itu justru teetawa melihat tingkah laku warok itu, -- "aku bukan siapa-siapa ki Warok, jika mau binasakan aku lakukanlah bila mampu, soal nama orang memanggilku dengan sebutan Jaka Raras" --
"Baiklah le....majulah tak badhog kowe..!! Geram Warok Sawa Kembang.
Maka terjadilah satu lagi arena dengan pertarungan yang tak kalah sengitnya antara Jaka Raras melawan Warok Sawa Kembang yang selalu mengumpat umpat tersebut.
Warok itu semakin lama semakin gusar ketika setelah mencapat beberapa tataran belum juga mampu menundukkan lawannya yang masih bisa dibilang muda tersebut. Dan sebenarnyalah memeang ilmu Jaka Raras tidak berada dibawah Warok Sawa Kembang sehingga semakin lama pertarungan diantara keduanya menjadi semakin sengit.
Sementara itu jauh ditepian ara-ara itu seseorang nampak bertengger diatas sebuah pohon seakan mengawasi setiap kegiatan pertempuran ditengah ara-ara itu. Meskipun jarak itu cukup jauh dengan ketajaman aji Sapta Pandulunya orang itu mampu melihat apa yang dilihatnya dalam jarang yang tak bisa dijangkau mata biasa.
"Hemm laskar Banyubiru akan habis dibantai orang yang bernama Bango Lamatan itu" -- berkata orang tersebut dalam hatinya -- "nampaknya Banyubiru sudah kehabisan orang yang mampu menghadapi Bango Lamatan itu sehingga bebas melakukan pembantaian biadab itu" --
Sesaat kemudian orang itu segera memasang penutup wajah sebatas matanya, lalu kemudian dengan melesat secara mengagumkan medekati dimana Bango Lamatan berada.
Disisi lain tiba-tiba Bango Lamatan terkejut ketika sesosok orang dengan cadar itu tau-tau berada didepannya.
"He, apakah kau ingin bunuh diri menghadangku?" -- berkata Bango Lamatan.
"Kisanak, hentikanlah tindakanmu yang tidak terpuji itu..!!" -- jawab orang becadar itu singkat.
"Apa pedulimu he, orang bercadar!! Taukah kau bahwa ini perang!!" -- Geram Bango Lamatan
"Perang pun juga ada aturannya kisanak, tidak asal melakukan pembantaian sekehendak hati" -- desis orang itu.
"Jangan sesorah kau Iblis..!! Katakan siapa kau hingga berani bertindak sombong dihadapanku" -- sahut Bango Lamatan.
"Kau tidak perlu tau siapa aku, cukup kau hentikan saja perbuatan biadabmu dengan membunuhi orang yg bukan selayaknya menjadi lawan tandingmu itu" -- jawab orang bercadar itu kemudian.
Bango Lamatan menjadi begitu penasaran dengan siapa sesungguhnya dia berhadapan. Untuk itu timbul niatnya untuk menjajal kemampuan orang yang menurut nya telah berlaku sombong tersebut.
Maka tanpa permisi dengan kecepatan yang sulit dipandang mata Bango Lamatan tiba-tiba menjulurkan tangannya kearah dada orang itu. Akan tetapi Bango Lamatan terkesiap dan kecewa serangannya itu sama sekali tidak menyentuh lawannya sedikitpun. Padahal apa yang dilakukan Bango Lamatan itu didasari kecepatan gerak sebagai awal pengungkapan ilmunya yang selama ini menjadi momok para lawan-lawannya. Aji Panglimunan.
Dengan demikian Bango Lamatan semakin berhati-hati menghadapi orang bercadar itu. Lalu kembali berusaha melakukan tekanan-tekanan yang semakin rapat.
Dengan tidak mengurangi kewaspadaannya Bango Lamatan pun semakin lama semakin meningkat pada tataran ilamunya yang semakin tinggi, sehingga serangan-serangannya menjadi cepat luar biasa.
Akan tetapi kali ini Bango Lamatan harus menerima kenyataan pahit. Meskipun Bango Lamatan selalu meningkatkan kemampuannya ternyata orang bercadar itu selalu saja mampu mengimbangi setiap gerak serangan-serangannya. Bahkan kadang kala dengan gerakan yang rumit orang bercadar itu secara mengagumkan mampu membuka celah pertahanan Bango Lamatan tersebut hingga pada suatu ketika dengan gerakan tak terduga siku orang bercadar itu memutar dan berhasil menggapai dada kiri Bango Lamatan dengan cukup keras.
Terdengar Bango Lamatan pun mengaduh lalu tubuhnya surut beberapa langkah kebelakang, dan membuatnya susah payah menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak menjadi roboh ke tanah.
"Setan alas ..!! Kau menyakitiku kisanak..!!" -- geram Bango Lamatan -- "jangan menyesal. Kau akan menerima akibatnya"
Akan tetapi orang bercadar itu tidak menjawab dan berdiri tenang memandang Bango Lamatan yang berusaha untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Demikian Bango Lamatan mulai berfikir bahwa dia harus mengeluarkan segenap ilmunya untuk menghadapi orang bercadar tersebut. Maka setelah mampu berdiri, serta merta dijulurkanyalah kedua tangannya dengan telapak kanan yang membuka ke arah orang bercadar itu.
Orang bercadar itu menjadi tertegun ketika tiba-tiba dua buah gumpalan api muncul dari kedua telapak tangan Bango Lamatan, dan dengan cepat mengarah kepadanya'
"Aji Gumbala Geni .." -- berkata orang bercadar itu dalam hati.
Lontaran ilmu Bango Lamatan yang tiba-tiba itu cukup mengejutkan orang bercadar yang serta merta memutar tubuhnya hingga seperti tertarik kebelakang lalu dengan gerakan yang rumit memutar balik mengindari gumpalan-gumpalan api tersebut.
Namun ternyata sedikit sentuhan dari gumpalan api itupun ternyata masih mampu menyentuh ujung lengan baju sebelah kanan orang itu hingga menjadi hangus bagaikan terbakar api.
Bango Lamatan kemudian tertawa terbahak-bahak dengan kemenangan kecilnya itu kemudian berkata,
"Apakah kau masih ingin meneruskan perkelahian ini he..!!" -- geram Bango Lamatan
"Ternyata kau seorang yang tak mempedulikan segala paugeran dalam mewujudkan kemenangan bertarung kisanak" -- desis orang bercadar itu -- "entah apa yang kau lontarkan. Aji Gumbala Geni atau sejenisnya itu belumlah matang sehingga aku masih mampu berdiri tegak.
"Iblis..!! Kau terlalu sombong dalam menilai ilmu ku" -- kata Bango Lamatan yang menjadi semakin gusar -- "baiklah, rasakan ini...!!"
Kembali Bango Lamatan menerjang ke arah orang bercadar itu dengan mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga setiap gerakan tangan dan kakinya senentiasa terasa menggetarkan udara disekitar pertempuran itu.
Ada kekuatan serangan Bango Lamatan yang seakan-akan mendahului wadagnya terasa menyentuh-nyentuh tubuh orang bercadar itu sehingga lambat laun orang bercadar itu merasakan sentuhan-sentuhan yang mulai terasa menembus tubuhnya.
"Bukan main...orang yang berjuluk Bango Lamatan telah mentrapkan dasar-dasar Aji Rog-Rog Asem, jika tidak berhati hati tentu aku bisa menjadi lumat" -- kata orang bercadar itu dalam hati
Demikian orang bercadar itu menjadi semakin berhati-hati menghadapi setiap serangan Bango Lamatan. Perlahan namun pasti seakan-akan tubuh orang bercadar itu nampak semburat sinar tipis berwarna kuning menyelimutinya, sehingga setiap sentuhan sentuhan tanpa wadag yang dilontarkan Bango Lamatan itu tak dirasakan sakit lagi sama sekali.
Disisi lain Bango Lamatan mengumpat-umpat dalam hatinya ketika pada kenyataannya orang itu sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan-serangannya.
"Ternyata manusia bercadar ini mempunyai perisai tubuh yang luar biasa..!!" -- desis Bango Lamatan dalam hati. sebelum tiba-tiba menghentikan serangannya dan berdiri tegak dihadapan orang bercadar itu.
"Bagaimana? Apakah kau menyerah kisanak?" -- berkata orang bercadar itu kepada Bango Lamatan
"Jangan kau bermimpi iblis..!! Katakan siapa namamu? dan sebut nama ibunmu sebelum kau aku lumatkan..!!" -- tukas Bango Lamatan yang serta merta menyiapkan nalar dan budinya untuk melontarkan ilamu andalannya. Aji Rog-Rog Asem.
Orang bercadar itu menjadi berdebar-debar melihat sikap pengungkapan ilmu yang diperlihatkan Bango Lamatan tersebut seraya berdesis,
-- "aku belum tau sampai tataran mana Aji Rog-Rog Asem yang dimiliki orang itu, tapi aku tak ingin mengambil resiko, baiklah aku akan menahannya dengan Aji Tameng Waja" -- berkata orang bercadar itu dalam hati.
Kemudian orang bercadar itu pun menyiapkan nalar dan budinya pula. Perlahan-lahan ditariknya kaki kiri orang bercadar itu kebelakang. Sementara kedua tangannya menyilang tepat didepan dada dengan kedua telapak tangannya yang mengepal. Dan asap tipis berwarna kuning itu semakin lama semakin rapat menyelubungi tubuh orang bercadar itu seperti dalam posisi menahan sesuatu.
Disisi lain dengan teriakan yang lantang Bango Lamatan dengan kecepatan luar biasa menerjang ke arah orang bercadar itu. Kedua genggaman tangan Bango Lamatan terlihat mengeluarkan asap menandakan hawa panas yang taranya sekejap akan melumatkan tubuh orang bercadar itu.
Akan tetapi ketika ujung kepalan tangan Bango Lamatan semakin mendekati sasaran. Tiba-tiba kedua tangan yang menyilang dari orang bercadar itu disorongkan sedikit didepan dadanya. Sehingga sebuah benturan ilmu pun terjadi. Satu letupan yang cukup keras terdengar atas benturan Aji Rog-Rog Asem dan Aji Tameng Waja dimedan pertempuran sebelah utara itu.
Orang bercadar itu terdorong dua langkah kebelakang dengan kaki masih berdiri tegak meski dia merasakan dadanya sesaat seakan-akan terhimpit batu besar. Hanya sesaat kemudian menjadi lega kembali.
Disisi lain Bango Lamatanpun terdorong pula beberapa langkah kebelakang. Kemudian tubuhnya roboh diatas kedua lututnya sebelum terduduk tak mampu menahan keseimbangannya sendiri. Nafasnya yang tersengal-sengal seakan menyertai lelehan darah disudut bibir kanannya.
"Untung orang yang berjuluk Bango Lamatan itu belum mencapai tataran Aji Rog Rog Asem pada tingkat yang tinggi, jika tidak tentu dia akan binasa oleh ilmunya sendiri' -- desis orang bercadar itu dalam hati.
Lalu orang bercadar itu berjalan mendekati Bango Lamatan yang duduk dan berusaha mengatur jalan pernafasannya itu.
"Kau tidak apa-apa kisanak? -- bertanya orang bercadar itu.
Bango Lamatan hanya memandang sekilas lalu kembali matanya terpejam untuk mengendalikan nalar budi dan mengatur jalan pernafasannya seraya tidak mempedulikan apapun.
Sorak-sorai para pasukan Banyubiru tiba-tiba bergemuruh mengiring robohnya Bango Lamatan ditangan orang bercadar itu. Sehingga dengan sendirinya semangat pertempuran mereka pun menjadi bertambah-tambah sehingga dalam sekejap mampu membalkkan keadaan mendesak pasukan Singo Rodra dimedan pertepuran itu.
Terikan-teriakan itu ternyata telah menarik perhatian Ki Juru Mertani dan Kecruk Putih yang bertarung tak jauh dari medan pertempuran simana Bango Lamatan kini tidak berdaya.
Sehingga disela-sela pertarunganna dengan Kecruk Putih itu Ki Juru Mertani bertanya dalam hatinya,
"Luar biasa..!! Siapa sebenarnya orang bercadar itu?" -- desis Ki Juru Mertani.
Sementara Kecruk Putih justru menjadi berdebar-debar menerima kenyataan tumbangnya Bango Lamatan.
Dimata Kecruk Putih, Bango Lamatan dkenalnya sebagai orang yang mempunyai berbagai ilmu yang ngggirisi, akan tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tumbang dengan orang becadar tersebut. Ini menandakan bahwa orang bercadar itu seorang yang sangat luar biasa. Dan yang lebih menggelishkan hatinya bahwa jelas menurut penangannya orang bercadar itu berada diihak laskar Banyubiru.
"Kecruk Putih.. apakah kau masih ingin meneruskan peekelahian ini, lihatlah kawanmu disana itu?" -- berkata Ki Juru Mertani
"Jangan harap..!! Persetan dengan semuanya...orang bercadar itu pasti berlaku licik hingga mampu mengalahan Bango Lamatan" -- geram Kecruk Putih
"Kau bergurau Kecruk putih, mestinya kau tau meskipun kau terikat bertarung denganku tentu kau sempat menyaksikan pertarungan mereka secara ksatria" -- jawab Ki Juru Mertani seraya tersenyum.
"Persetan dngan semuanya..!!" -- sekali lagi Kecruk Putih mengumpat-umpat lalu kembali berusaha melakukan tekanan-tekanan seranganya.
Ki Juru Mertani pun dengan tenang masih melayani serangan-serangan yang diakukan oleh Kecruk Putih. Hingga pada akhirnya pertarungan itu lama-lama merambah pada tataran ilmu puncak mereka.
Hawa panas yang ditimbulkan dari pertarungan kedua orang sakti itu tlah mengisaratkan bahwa kedua orang itu telah mengungkapkan ilmunya pada tingkatan paling atas.
Sementara itu pada medan pertempuran dipusat gelar menjadi saat-saat yang menentukan bagi Ki Ageng Gajah Sora yang sedang berhadapan dengan Ki Singo Rodra juga Kyai Naga Pertala yang nampaknya sudah mencapai pada puncak ilmu mereka.
Dengan terpaksa Ki Ageng Gajah Sora harus beradu ilmu dengan dua orang itu sekaligus. Sementara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Panjawi yang menjadi pengapitnya juga mengalami kesulitan terikat dengan pertarungan melawan musuh mereka masing-masing. Maka praktis Ki Ageng Gajah Sora harus menghadapi kedua orang itu sendiri.
Ki Ageng Gajah Sora pun hatinya menjadi berdebar-debar, karna setinggi apapun ilmunya tentu akan mengalami kesulitan yang luar biasa jika harus berbenturan melawan dua jenis ilmu sekali gus. Maka dalam situasi yang memaksa ini Ki Ageng Gajah Sora mau tidak mau harus menahan serangan kedua tokoh golongan hitam itu.
"Apa boleh buat..!!" -- desis Ki Ageng Gajah Sora dalam hati.
Disisi lain Ki Singo Rodra bersama Kyai Naga Pertala dengan mantap ingin segera mengakhiri perlawanan Ki Ageng Gajah Sora. Karnanya mereka bersua sepakat untuk membenturkan ilmunya secara bersama-sama untuk menundukkan Kepala Tanah Persikan Banyubiru tersebut.
Karna itu setelah mengendapkan nalar dan budinya, tiba tiba Ki Singo Rodra merundukkan badannya setinggi satu pinggang di atas tanah. Kakinya sedikit terbuka, sedang kedua belah tangannya direntangkan lebar-lebar.
Di awali dengan auman yang begitu mengerikan, tiba-tiba saja seluruh tubuh Ki Singo Rodra tiba-tiba bergetar hebat hingga menimbulkan asap dengan hawa panas yang luar biasa.
Demikian juga Kyai Naga Pertala. Tubuhnya tiba-tiba meliuk-liuk bagai seekor ular yang siap meremukkan setiap lawan didepannya. Lalu entah dari mana datangnya sebuah bola api telah muncul diatas telapak tangannya yang tiada pernah terhenti bergerak dan siap terlontar.
Maka dalam sekejap diawali dengan teriakan panjang kedua tokoh golongan hitam itu melesat ke arah Ki Ageng Gajah Sora yang tak ketinggalan juga telah mengetrapkan ilmunya yang nggegirisi. Lebur Sekethi.
Seleret sinar putih ke ungu-unguan muncul kesua belah tangan Ki Singo Rodra. Juga sinar merah kekuning-kuningan dari jari-jari Kyai Naga Pertala telah melesat cepat ke arah Ki geng Gajah Sora yang telah siap dengan ilmunya pula. Bagai kabut asap putih yang memancarkan hawa panas luar biasa telah melesat memapas dua kekukuatan kedua tokoh Golongan hitam itu sehingga menjadi berbenturan.
Suara gemlegar sangat keras terdengar memenuhi medan pertempuran tersebut. Tanah bagaikan bergetar yang menerbangkan potongan potongan rumput juga debu-debu tanah disekitar pertempuran itu.
Ki Ageng Gajah Sora yang sudah semakin tua itu terdorong surut beberapa langkah lalu terjungkal dan terkapar diatas tanah. Akan tetapi nampaknya Ki Ageng Gajah Sora masih berusaha untuk mengangkat tubuhnya, mencoba duduk akan tetapi kembali terkapar dengan nafas yang begitu kacau tak beraturan.
Rupa-rupanya Aji Lebur Sekethi yang telah menyatu sempurna dalam tubuhnya itu sedikit membantu Ki Ageng Gajah Sora dan menahan gabungan dua kekuatan Aji Nagapasa juga Aji Macan Liwung. Sehingga mwskipun terluka parah Ki Ageng Gajah Sora masih terhindar dari kebinasaan.
Sehebat apapun ilmu Ki Ageng Gajah Sora itu ternyata tak mampu menahan serangan-serangan Kyai Naga Pertala dan Ki singo Rodra sekali gus. Maka ketika terjadi bnturan ilmu yang tak imbang itu Ki Ageng Gajah Sora merasakan tubuhnya seperti terhimpit dinding panas yang luar biasa sehingga terlhat terdorong beberapa langkah kebelakang dan rubuh terkapar diatas tanah. Nampak disela bibir Ki Ageng gajah Sora meleleh darah segar yang menandakan ada luka didalam dadanya.
"O, ternyata hanya segitu seorang Ki Ageng Gajah Sora yang perkasa..!!" -- terdengar suara Ki Singo Rodra sambil tertawa begitu keras, demikian Kyai Naga Pertala yang menyungingkan senyum sinisnya.
Ternyata kedua orang itu tidak mengalami kesulitan yang berarti dari benturan ilmu tersebut.
"He, Gajah Sora !! Sebut nama ibumu, dan jangan harap kau mampu melihat sinar matahari besok, dan bersiaplah untuk binasa..!!" -- geram Ki Singo Rodra seraya mencabut senjatanya yang berwujud luwuk lalu serta merta diayunkan ke arah Ki Ageng Gajah Sora.
Nampaknya Ki Singo Rodra benar benar ingin membinasakan ki Ageng Gajah Sora yang sudah tidak berdaya itu. Sehingga tiba-tiba satu cahaya kehitan-hitaman dari luwuk itu seakan-akan melesat dari ayunan Ki Singo Rodra tepat mengarah ke dada Ki Ageng Gajah Sora.
Akan tetapi belum sampai cahaya kehitam-hitaman itu mengapai tubuh Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba seleret sinar kuning keemasan gemerlapan melesat cepat memapas laju cahaya kehitaman yang ditimbulkan senjata luwuk Ki Singo Rodra tersebut. Hingga yang terjadi demkian luar biasa.
Benturan dua cahaya itu bagai meletup dahsyat hingga jelas terlihat cahaya kehitaman itu menjadi pudar berantakan. Bahkan Ki Singo Rodra kemudian terhuyung-huyung surut beberapa langkah kebelakang dan snjata ditangannya tlah terpental entah kemana.
Sesaat kemdian muncul bayangan seseorang dengan gerak melayang mengagumkan bagai burung elang yang kemudian tepat berdiri memebelakangi tubuh Ki Ageng Gajah Sora yang terduduk tak berdaya.
"Kyai Suluh..!!" -- desis Kyai Naga Pertala yang terkesiap melihat pisau belati bermata panjang berpamor kuning keemasan ditangan seorang yang kini berdiri tegak dihadapannya.
Demikian kedatangan orang yang tidak lain adalah Arya Salaka itu memudian berpaling ke arah Ki Ageng Gajah Sora, -- "Ampuni aku ayah, aku datang terlambat.." -- desis Arya Salaka.
Ki ageng Gajah Sora mengangguk lemah lalu berpaling memandang seseorang lain yang tiba-tiba berjongkok di sampingnya.
"Kau juga disini adi Mahesa Jenar..." -- berkata Ki Ageng dngan suara lirih dan nafas yang masih tersengal-sengal kemudian tubuhnya kembali rebah. Pingsan.
"Ayah,.!!" -- tiba-tiba saja satu suara perempuan yang tidak lain adalah widuri itu menjerit menghampiri tubuh Ki Ageng Gajah Sora yang diam dengan wajah yang begitu pucat.
"Tenanglah Widuri, ayah mertuamu memang terluka dalam cukup parah dan hanya pingsan, mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu melindunginya, mari kita bawa ke tempat yang teduh dibawah pohon sana itu" -- sahut Mahesa Jenar seraya memanggil beberapa pengawal tanah perdikan Banyubiru yang kebetulan dekat dengan tempat itu... -- "Wilis...kau kawanilah Widuri merawat kakang Gajah Sora, aku akan melihat Arya Salaka. Mudah-mudahan tidak menemui kesulitan berarti" -- desis Mahesa Jenar.
"Baiklah kakang.." -- jawab Rara Wilis seraya berjalan mendekati dimana tubuh Ki Ageng Gajah Sora terbaring disisi Widuri.
Sementara itu nampaknya Arya Salaka sudah tidak mampu lagi menahan gejolak amarahnya. Cideranya Ki Ageng Gajah Sora yang juga ayahnya itu telah memuat Arya Salaka hampir saja kehilangan akal. sehingga pisau belati errmata panjang ditangan kanannya itu senantiasa bergetar mengikuti alur emosinya yang luar biasa.
Disisi lain Ki Singo Rodra terpaksa harus berguling-guling setelah sebuah gelombang udara dari kekuatan getar cahaya kuning yang dilontarkan Arya Salaka melalui senjatanya yang sangat nggegirisi tersebut. Maka setelah berhasil bangkit Ki Singo Rodrapun mengumpat-umpat tak berkesudahan.
"Anak iblis..!! Licik kau setan..!!" -- geram Ki Singo Rodra seraya matanya melotot tajam ke arah arya Salaka.
"Aku tak mengerti arti licik yang kau maksudkan Singo Rodra, dari setiap kelicikan yang baru saja kau lakukan" - tukas Arya Salaka
"Apa maksudmu anak iblis..?!" -- bentak Ki Singo Rodra
"Tidak ada.." -- jawab Arya Salaka singkat
"Baiklah anak sombong..!! Jngan kau sesali kesombonganmu di depan Singo Rodra Lodaya, karna sebentar lagi kau akan menyusul ayahmu itu.!!" - geram Ki Singo Rodra.
"Sudahlah Singo Rodra..janganlah banyak bicara. Aku sudah menunggu dan ingin tau apa yang dapat kau lakukan terhadapku..majulah..!! aku akan simpan senjataku ini karna aku tau senjatamu sudah tidak ada lagi" -- berkata Arya Salaka yang nampaknya sudah tidak telaten lagi mendengar umpatan-umpatan orang tua itu.
Dengan garang tiba-tiba saja Ki Singo Rodra menyerang dengan kecepatan yang sangat mengagumkan ke arah Arya Salaka. Rupa-rupanya Ki Singo Rodra ingin segera menyelesaikan perlawanan putra Banyubiru itu. Tubuhnya memutar mutar bagaikan harimau yang sedang mengamuk. Kadang kala melenting lalu melompat menerkam seraya menjulurkan kedua telapak tangannya yang setengah mengembang dan mencuatkan kuku-kuku hitam yang begitu tajam yang siap merobek-robek tubuh lawannya.
Akan tetapi Arya Salaka yang kini dihadapinya bukanlah Arya Salaka yang pada beberapa waktu lalu hampir saja dibunuhnya jika saja tidak ditolong seorang yang sakti luar biasa. Ki Mayang Jati.
Arya salaka yang kini dihadapi Ki Singo Rodra adalah Arya Salaka yang telah melakukan mesu diri dengan bimbingan gurunya, sehingga dalam waktu yang singkat telah berubah menjadi seorang yang secara ilmu tidak berada dibawah Ki Singo Rodra itu sendiri.
Watak-watak dari ilmunya yang selama ini teesimpan ditubuhnya menjadi berkembang dengan pesat dan mampu bersenyawa dengan setiap gerak secara lahiriah maupun batiniah.
Dengan demikian meskipun Ki Singo Rodra telah memperagakan pergerakannya sampai ke puncak ilmunya. Arya Salaka tidak menjadi kebingungan. Dan hingga ketika pertarungan itu telah berlangsung cukup lama sekalipun Ki Singo Rodra belum juga mampu menyentuh selembar pakaian Arya Salaka, apa lagi tubuhnya.
"O, pantas kau berani sombong anak iblis..!!! Ternyata kau mampu meningkatkan ilmumu, tapi jangan kau merasa bangga dulu, sekarang aku akan serius membinasakanmu..!!" -- berkata Ki Singo Rodra disela-sela pertarungannya.
Akan tetapi tiba-tiba dengan gerakan rumit yang susah diduga tiba-tiba Arya Salaka memutar dan melenting lalu dengan gerakan yang sulit dipandang mata telapak kaki kanannya telah menggapai dagu Ki Singo Rodra. Tubuh orang tua itu kemudian terlempar kebelakang lalu bergulung-gulung diatas tanah.
"Iblis keparat kau Arya Salaka !!" -- Ki Singo Rodra kemudian bangkit dengan kemarahannya yang semakin bertambah-tambah.
"Aku peringatkan sekali lagi Singo Rodra, kali ini aku sedang tak enak hati karna kau dan Naga Pertala itu telah melukai ayahku, maka jangan salahkan aku jika kau lengah dan terlanda serangankj" -- desis Arya Salaka.
"Baiklah anak iblis...!! Aku ingin tau apakah kesombonganmu itu mampu menahan puncak ilmu ku..!!" -- geram Ki Singo Rodra.
"Luar biasa..!! Anak ini telah menggelitikku juga untu menjajagi ilmunya" -- tiba-tiba saja Ki Naga Pertala menghampiri pertarungan itu.
"O, kau juga menjadi kehilangan akal Naga Pertala?!" -- berkata Arya Salak seraya berpaling kepada Ki Naga Pertala yang semakin lama semakin mendekatinya.
Akan tetapi tiba-tiba satu suara lagi menimpalinya'
"Rasa-rasanya tidak sopan mengganggu sebuah permainan yang seimbang Naga Pertala?" -- berkata orang yang tiba-tiba sudah berada pula di arena itu.
Kyai Naga Pertala menjadi termangu-mangu melihat orang tiba-tiba berani menghentikan niatnya tersebut.
"Siapa kau he,!! apakah kau sedang mengigau berani menghalangi jalan Naga Pertala?" -- suara Kyai Naga Pertala.. --"bukankah kau datang bersama anak Gajah Sora itu he?!"
"O, demikianlah kisanak, aku memang pengasuhnya dan Aku cuma ingin menyaksikan harimau itu melawan asuhanku tu supaya jangan diganggu" -- jawab orang itu
"Apa maksudmu Iblis..!!" -- geram Kyai Naga Pertala.
"Jangan begitu kisanak, tidak baik bagi kita yang sudah tua-tua ini mengumpat-umpat seperti itu" -- sahut orang itu
"Tutup mulutmu..!! Kau tidak perlu mengajari aku" -- tukas Kyai Naga Pertala, lalu kembali berkata -- "cepat sekarang katakan siapa namamu, lalu menyingkirlah dari sini atau aku pecahkan kepalamu!!" .
"Kau terlalu ganas kisanak.." -- berkata orang itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, -- "baiklah, namaku Manahan, tapi aku lebih senang berada disini menyaksikan momonganku yang sedang bertarung itu" .
Demikianlah pertarungan antara Ki Singo Rodra dngan Arya Salaka semakin lama semakin sengit. Getaran udara yang ditimbulkannya seakan menerbangkan debu-debu disekitar pertarungan itu dan membentuk lingaran arena dimana tak satupun diantara para pasukan yang pertempur itupun mendekat.
Ki Singo Rodra yang dilanda kemarahan itu semakin lama semakin gusar ketika sudah mencapai hampir puncak ilmunya belum mampu menundukkan Arya Salaka yang dalam pandanganya masih terlalu muda untuk disejajarkan dengannya.
Maka dari itu keika Ki Singo Rodra sudah mulai jemu melakukan kegagalan kegagalan dalam menundukkn putra Banyubiru itu, maka dengan mantap diapun bereputusan akan mengakhiri pertarungan tersebut dengan ilmu pemungkasnya yang sangat nggegirisi. Aji Macan Liwung.
Arya Salaka menjadi berdebar-debar dalam hatinya ketika melihat Ki Singo Rodra menghentikan serangannya seraya mengambil sikap penerapan ilmu pamungkasnya tersebut.
"Aji Macan Liwung.." -- desis Arya Salaka.
Demikian kemudian Ki Singo Rodra telah mengendalikan nalar budinya lalu tiba-tiba tubuhnya merunduk kebawah sehingga hampir menyentuh tanah. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar dengan posisi jari jemari mencengkram dengan kuku-kuku hitam yang tiba-tiba mencuat diantara jari jarinya. Perlahan-lahan tubuh nya bergetar hebat diiringi kepulan asap putih disekujur tubuhnya.
Ki Singo Rodra memang telah mengembangkan ilmu andalan Perguruan Macan Lodaya itu menjadi berbeda dengan apa pernah dilakukan para pendahulunya. Sehingga apa yang terungkap menjadi semakin nggegirisi.
Seiring tubuhnya yang bergetar hebat dari mulut Ki Singo Rodra tak pernah berhenti mengaum-ngaum mengeluarkan suara yang menggetarkan udara disekitar medan pertempuran itu. Kemudian secara perlahan disilangkannya tangan Ki Singo Rodra itu tepat didepan dadanya dengan jari-jari tetap membuka memperlihatkan kuku-kukunya yang tajam dan siap untuk menghentakkan kekuatannya kearah dimana Arya Salaka yang masih tegak memusatkan nalarndan budinya.
"Apa boleh buat...aku akan mencoba mengungkapkan Aji Sasra Birawa pada tingkat tertinggi yang aku kuasai dari pada tubuhku lumat oleh kekuatan Ki Singo Rodra itu.." -- desis Arya Salaka dalam hatinya.
Maka ketika Ki Singo Rodra sudah siap melontarkan ilmunya yang nggegirisi itu. Arya Salaka pun sudah berkeputusan untuk membenturkan ilmunya.
Demikian pengembangan Aji Sasra Birawa yang telah dicapai Arya Salaka tiba-tiba direntangkan kedua tangannya bagai sayap-sayap elang kemudian dengan memutar tubuhnya Arya Salaka kemudian meleting tinggi lalu bagai seringan kapas perlahan-lahan tubuhnya turun ketanah. Satu rentangan tangan kirinya ditarik menyilang didepan dada, sementara tangan kanan Arya Salaka diangkat tinggi-tinggi dengan sisi tangan menghadap kedepan dan kaki kananpun ditarik keatas dengan sesikit menekuk lututnya.
Disisi lain Ki Singo Rodra kemudian menerkam kedepan dengan kecepatan yang tinggi sembari menyorongkan kedua tangannya kearah Arya Salaka.
Tiba-tiba gumpalan asap putih yang luar biasa muncul dari kedua telapak tangan Ki Singo Rodra melanda dimana Arya Salaka berdiri. Tidak ingin mengalami sebuah resiko, Arya Salaka kemudian kembali melenting dengan memutar tubuhnya setengah lingkaran seraya menghantamkan telapak tangannya kedepan.
Selerat sinar hijau kebiru biruan tiba -tiba terlontar dari telapak tangan Arya Salaka kemudian memapas asap panas yang ditimbulkan kekuatan ilmu Ki Singo Rodra. Sehingga yang terjadi kemudian begitu luar biasa.
Sebuah letupan kecil terdengar akibat dari benturan kedua ilmu nggegirisi tersebut. Asap putih yang ditimbulkan Aji Macan Liwung itu serta merta tersibak dan memudar berantakan disusul kilatan-kilatan cahaya berjalan cepat melanda tubuh Ki Singo Rodra yang kemudian mengaduh tertahan disusul tubuhnya yang terpental beberapa langkah kebelakang.
Arya Salaka pun terlihat tubuhnya terhuyung-huyung satu langkah kebelakang ketika ia merasa seakan-akan tangannya telah menghantam gugusan tebing yang demikian kuat dan keras sehingga seketika Arya Salaka pun tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya lalu terduduk diatas kedua lutunya, meskipun tidak mengalami cidera yang cukup berarti.
Dan ternyata apa yang terjadi dengan Ki Singo Rodra ternyata tidak jauh lebih baik dari apa yang dialami Arya Salaka.
Hanya suara mengaduh yang tersengar dari mulut Ki Singo Rodra yang kemudian tubuhnya terpental kebelakang beberapa langkah ketika kekuatan Aji Sasra Birawa itu sempat menggapai tubuhnya. Lalu tubuh itu roboh membeku dengan dan...Ki Singo Rodra tak mampu lagi menghembuskan nafasnya. Mati.
Gegap gempita suara para Laskar Banyubiru demi melihat Ki Singo Rodra telah mati ditangan calon pemimpin mereka tesebut. Maka seperti tersengat satu tenaga luar biasa kembali barisan Laskar Banyubiru itu seperti menemukan kekuatanya kembali lalu dengan sembangat yang luar biasa kembali mendesak berombolan Singo Rodra tersebut.
Tak jauh dari pertarungan Arya Salaka dengan Ki Singo Rodra itu, baik Ki Panjawi juga Ki Ageng Lembu Sora merasa lega setelah Arya Salaka mampu membinasakan pimpinan gerombolan itu.
Sementara itu Ki Naga Pertala menjadi termangu-mangu melihat Ki Singo Rodra tumbang ditangan calon kepala tanah perdikan Banyubiru tersebut.
"Setan alas..!!" -- anak itu tentu berlaku licik telah membunh Singo Rodra itu" -- geram Kyai Naga Pertala yang kemudian bergerak mendekati tempat dimana Arya Salaka sedang mengatur jalan peenafasannya untuk memperbaiki keadaan tubuhnya.
"Kau mau kemana kisanak?" -- tiba-tiba saja orang yang mengaku bernama Manahan itu berdiri sidepan Kyai Naga Pertala.
"Setan alas..!!" -- kau sudah aku peringatkan untuk menyingkir dari tempat ini, akan tetapi kau malah sombong menantangku" -- berkata Kyi Naga Pertala dengan nada berat.
"Aku juga sudah memperingatkan jangan kau menganggu atau mencampuri secara licik pertarungan Singo Rodra dengan momonganku itu" -- desis Manahan yang tidak lain adalah Mahesa Jenar tersebut.
"Baiklah...aku akan membungkam kesombonganmu itu iblis laknat..!!" -- geram Kyai Naga Pertala.
Sementara Kyai Naga Pertala telah berhadap-hadapan dengan Mahesa Jenar, pada saat yang sama dimedan pertempuran sebelah timur Ki Juru Mertani masih meladeni keganasan ilmu Kecruk Putih yang semakin lama mendaki pada tataran yang semakin tinggi pula.
Akan tetapi Kecruk Putih akhirnya menyadari bahwasanya harus bertarung dua hari dua malam sekalipun dia tidak akan mampu menundukkan Ki Juru Mertani apa lagi membinasakannya. Karna pada menyataannya bagai tak perah kering ilmu simpanan Ki Juru Mertani selalu saja mengimbangi bahkan kadang mengungguli seiap ilmu yang diterapkan Kecruk Putih tersebut sehingga bagaikan putus asa.
Di medan pertempuran yang lain lagi Ki Macan wulung juga Seca Ireng juga telah mengalami tekanan mental yang luar biasa ketika menyaksikan pmpinan mereka, ki Singo Rodra telah tewas ditangan Arya Salaka. Karna itu serngan-serangannya semakin lama semakin tak terarah sehingga Panjawi dan Ki Ageng Lembu Sora telah mendesaknya semakin berat.
Disisi sebelah selatan Ki Badak Wijil juga sudah mendengar kematian Ki Singo Rodra dalam pertarngan melawan putra Banyubiru itu. Akan tetap diapun telah terikat dgan pertarungan melawan Ki Wirasaba yang semakin lama semakin sengit pula. Kampak besar ditangan Ki Wirasaba telah mengurung Kyai Badak Wijil dalam bayangan-bayangan yang rapat menutup setiap celah pertahanannya.
Secara keseluruhan makin terlihat bahwa laskar Banyubiru semakin lama semakin mendesak pertahanan laskar gerombolan Kyai Singo Rodra yang baru saja terguncang dengan tewasnya salah seorang senopatinya tersebut.
Disisi sebelah utara orang bercadar yang baberapa saat lalu bertarung melawan Bango Lamatan tampak termangu-mangu menyaksikan suasana perang tersebut. Sesekali pandangan matanya dilayangkannya ke arah Bango Lamatan yang masih terduduk mengendapka nalar budinya seraya mengatur jalan pernafasan untuk mencoba memulihkan tenaganya.
Akan tetapi desela-sela lamunan orang bercadar tersebut tiba-tiba pendengarannya yang begitu tajam telah menangkap getar udara disertai desing suara yang menderu mengarah kepada dirinya.
Maka dengan kewaspadaan yang tinggi tiba-tiba orang bercadar itu memutar tubuhnya ke arah kiri lalu melenting tinggi dengan gerak yang mengagumkan kemudian tubuhnya memutar-mutar diudara menghindari serangan berdesing yang ternyata sebuah cakram pipih bergerigi yang bagai bermata selalu mengejar kearah dimana orang bercadar itu bergerak.
Ada seutas semacam benang semacam sutra tersambung pada senjata cakram bergerigi tersebut dan mengendalikan setiap putaran-putaran aneh yang ternyata dikendalikan seseorang yang berusia lebih dari setengah abad dengan bentuk tubuh sedang. Terlihat wajahnya yang cukup mengerikan dengan satu mata tetutup selembar kulit berbentuk bulat.
Orang itulah yang diantara para gerombolan Singo Rodra itu berjuluk Ki Ajar Toji. Dengan tertawa-tawa Ki Ajar Toji masih saja mengendalikan senjatanya yang aneh tersebut mematuk matuk kemana saja arah gerak tubuh orang bercadar tersebut.
"Bukan main..!! siapa orang tua bermata satu itu? senjata itu benar-benar berbahaya.." -- desis orang bercadar tersebut.
Disisi lain Ki Ajar Toji seperti mendapatkan sebuah permainan terus saja memutar-mutar senjatanya tersebut. Sebelum pada suatu saat dia menghentikan cakram bergeriginanya tersebut.
"Apakah kau masih ingin bermain dengan cakramku ini he.?!" -- teriak Ki Ajar Toji seraya memandang Orang bercadar yang kini berdiri dihadapannya tersebut.
"Senjatamu benar-benar mengagumkan kisanak.." -- sahut Orang becadar itu, -- "sayang kau sungguh licik melayangkan pada orang yang sedang tidak bersiap.
"Jangan merajuk..tidak ada hal siap ataupun tidak dalam suasana perang..!!" -- jawab Ki Ajar Toji yang kembali mengumbar tertawanya.
Orang bercadar itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sebentar lalu berkata, -- "Kau benar kisanak, ini adalah medan perang" -- sejenak orang bercadar itu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, -- "baiklah, mainkanlah kembali senjatamu itu, biarkan aku mengenalinya dengan seksama".
"Sombong...!!.kau meremehkan senjataku ini?!" --geram Ki Ajar Toji
"Bukan maksudku kisanak" -- desis orang bercadar tersebut.
"Baiklah, kau akan menyesali kesombonganmu itu, sebentar lagi cakramku ini membelah dadamu..!!" -- sahut Ki Ajar Toji yang sesaat kemudian telah bersiap memainkan senjatanya yang nggegirisi itu
Tanpa berbicara kedua kalinya Ki Ajar Toji perlahan mulai memutar senjatanya yang semakin lama semakin cepat. Lalu dihentakkannya benang pengendali itu sehingga cakram bergerigi itu tiba-tiba melesat ke arah orang bercadar tersebut.
Disisi lain orang bercadar itu tidak kehilangan kewaspadaannya. Sehingga sejak awal diam-diam dia telah memsatkan nalar dan budinya untuk semakin menajamkan seluruh panca inderanya sehingga mampu membaca arah setiap gerak senjata Ki Aja Toji yang sngat berbahaya tersebut.
Desir angin yang senantiasa bersiuran diterpa putaran-putaran senjata itu bagai menimbulkan gelombang udara yang sangat kuat bertebaran disegala arah. Sehingga para pasukan kedua belah pihak yang berada disekitar pertarungan itu serta merta menyingkir dan menghindari kengerian didepannya.
Pada gerakan-gerakan berikutnya ternyata senjata cakram Ki Ajar Toji itu semakin lama semakin mengerikan mematuk-matuk kearah dimana orang bercadar itu bergerak. Bahkan kini cakram bergerigi itu seakan-akan seperti telah berubah jumlah menjadi berpululuh-puluh dan terus mencecar orang bercadar itu bertubi-tubi.
"Luar biasa..!! jika begini terus rasa-rasanya aku bisa kehabisan tenaga meladeni senjata gila itu" -- berkata orang bercadar itu dalam hati. -- "aku harus berbuat sesuatu" -- desisnya.
Demikian orang bercadar itu kemudian berusaha untuk bertarung pada jarak yang lebih dekat lagi untuk mencoba membendung ketajaman serangan senjata cakram bergerigi itu.
Akan tetapi nampaknya Ki Ajar Toji paham dengan apa yang ingin dilakukan oleh orang bercadar tersebut. Sehingga diapun semakin merapatkan serangan-serangannya sambil menjaga jarak yang menguntungkan bagi dirinya.
Pada satu kesemptan yang menguntungkan, tiba-tiba orang bercadar itu melihat sepercik celah diantara putaran-putaran senjata cakram bergerigi Ki Ajar Toji trsebut. Maka dengan tidak membuang waktu lagi satu gerakan rumit yang tidak mampu terbaca oleh Ki Ajar Toji, Orang bercadar itu kemudian merendahkan sedikit tubuhnya lalu dengan cepat ujung tumit orang bercadar itu telah menggapai dada Ki Ajar Toji sehingga tubuhnya terhuyung-huyung satu langkah kebelakang. Akan tetapi hal itu harus di bayar oleh orang bercadar itu dengan satu goresan cakram yang berasil menggapai lengan nya.
Ki Ajar Toji pun serta merta berdiri lagi sambil mentap penuh amarah ke arah orang bercadar itu lalu mengumpat-umpat tak karuan.
"Iblis laknat..!! Ternyata kau mempunyai perisai dtubuhmu satan..!!" -- Geram Ki Ajar Toji.
Demikian memang senjata cakram bergerigi itu berhasil menggapai lengan kanan Orang bercadar itu, akan tetapi tak sedikitpun luka tergores dilengnnya kecuali Hanya bagian lengan bajunya yang terkoyak.
"Bukan main..!! lengan ku masih terasa perih, padahal Aji Tameng Waja masih bekerja dalam tubuhku" -- desis orang bercadar itu dalam hatinya -- "tenaga cadangan orang itu ternyata demikian tinggi" --lanjutnya.
Disisi lain Ki Ajar Toji masih mengumpat-umpat dalam hatinya menghadapi kenyataan bahwa lawannya itu memiliki semacam ilmu kebal sehingga senjata cakram bergerigi yang dibangga-banggakannya itu tak mampu melukai lawannya.
"Kau jangan bangga dulu he..!! Iblis bercadar, sekarang aku ingin tau apakah ilmu kebalmu itu masih mampu menahan senjataku ini..!!" -- geram Ki Ajar Toji seraya memusatkan nalar dan budinya sebelum kembali menggerakkan senjatanya yang nggegirisi tersebut.
Orang bercadar itu kemudian menjadi berdebar-debar hatinya melihat Ki Ajar Toji yang tubuhnya tiba-tiba mengepulkan asap tipis, sebelum kembali memutar kembali senjatanya.
"He manusia becadar, lekas kau cabut senjatamu jika kau tak ingin cepat binasa..!!" -- berkata Ki Ajar Toji
"Kau tidak perlu mencemaskan aku kisanak, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan" -- jawab Orang bercadar itu.
"Anak ibliss..!! Ternyata kau begitu sombong. Baiklah jangan kau sesali kesombonganmu itu" -- geram Ki Ajar Toji yang kembali memutar-mutar senjata andalannya tersebut.
Dalam pada itu orang bercadar itu menjadi termangu-mangu ketika melihat putaran-putaran cakram bergerigi itu menjadi semakin cepat dan perlahan-lahan berubah merah seperti bara. Lalu seiring tangan Ki Ajar Toji yang bergerak-gerak ke kanan dan kekiri cakram membara itu kemudian melesat melanda orang becadar tersebut.
Satu pemandangan yang luar biasa kembali terlihat dari pertarungan kedua orang itu. Orang bercadar itu bagaikan melayang-layang diudara dimana lingkaran-lingkaran api seakan akan mematuknya tiada henti.
Sesekali orang bercadar itu memutar, bekelit bahkan harus merjungkir balik menghindari patikan-patukan senjata cakram Ki Ajar Toji yang kini merubah seperti bara tersebut.
Demikian udara disekitarnyapun serta merta menjadi panas luar biasa. Bahkan sekali dua kali jurtru cakram berapi itu secara tidak sengaja menggapai para laskar Banyubiru yang kebetulan berada dalam jangkauan putaran cakram berapi tersebut, hingga kadang kala terdengar jerit melengking menghantar kematian mereka terpanggang lingkaran lingkaran bara tersebut.
"Gila..senjata orang tua itu benar-benar ganas tak bermata..!!" -- desis orang bercadar itu dalam hatinnya seraya masih menghindari patukan-patukan cakram membara dari senjata yang dilontarkan Ki Ajar Toji tersebut. -- "apa boleh buat, aku harus menghentikannya" -- demikian orang bercadar itu nampaknya sudah merasa jemu dengan apa yang dilihatnya.
Maka ketika pada suatu saat senjata Ki Ajar Toji itu kembali mencoba melandanya. Tiba-tiba orang bercadar itu melenting keudara disusul dua kali letupan menggelegar diudara bagaikan halilintar sehingga seakan-akan medan disekitar itu bergetar.
Lalu dengan gerak memutar orang bercadar itu kemudian turun dan berdiri beberapa tombak dari tempat Ki Ajar Toji berada. Tak tau entah kapan orang bercadar itu telah mengurai senjatanya yang berupa cambuk bergagang pendek berjuntai panjang yang kini telah berada digenggaman tangannya.
Sementara Ki Ajar Toji masih memutar-mutar senjatanya yang semakin membara itu sambil tetawa terbahak-bahak,
"He, manusia dungu..!! Suara cambukmu sungguh mengagumkan.." -- kembali Ki Ajar Toji tertawa terbahak-bahak sebelum kembali bicara, -- "kau mau melawan senjataku ini dengan cambuk gembalamu itu kah..?!" -- lanjut Ki Ajar Toji. Sementara cakram berapinya itu masih berdesing-desing dan berputar dibawah kendalinya.
Demikianlah orang bercadar yang sebenarnya adalah Raden Pamungkas itu hanya berdiri diam beberapa tombak didepan ki Ajar Toji. Pandangannya yang lembut tetapi tajam itu tak lepas dari pada orang tua bermata satu tersebut. Dibiarkannya ujung cambuk itu terjuntai diatas tanah menunggu serangan yang mungkin akan dilancarkan kembali oleh lawannya.
Sekali lagi Ki Ajar Toji menggerakkan tangannya dengan dilandasi penuh tenaga cadangannya sehingga dengan cepat cakram yang membara itu kembali bergerak kilat melanda ke arah Raden Pamungkas.
Melihat pergerakan lawannya itu. Raden Pamungkas serta merta menarik juntai cambuknya lalu memutar-mutar bagai baling-baling sehingga terlihat membentuk bayangan perisai didepannya. Tetapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mengagumkan.
Dari putaran juntai cambuk itu tiba-tiba muncul pusaran angin yang demikian kuat mengungkapkan gelombang udara yang teramat dahsyat. Lalu Raden Pamungkas tiba-tiba tiga kali menghentakkan juntai cambuk itu secara sendal pancing lalu memukulkan pusaran angin tersebut. Dan keanehan kembali terlihat.
Hentakan cambuk itu hanya meletup pelan. Akan tetapi memunculkan kilatan-kilatan sinar putih perak bagai lidah-lidah halilintar mendorong gerak pusaran angin itu hingga melesat ke arah dimana Ki Ajar Toji berada.
Gelombang angin yang begitu dahsyat itu bagai menggulung tanah hingga debu-debu bertebaran, lalu melesat kedepan memapas senjata Ki Ajar Toji yang berupa cakram membara itu sehingga hilang tertelan gumpalan debu yang tak terbendung. Lalu bagai tak mau behenti gelombang angin itu berlanjut menerjang tubuh Ki Ajar Toji yang menjadi terkesiap dan sama sekali tidak sempat mengelak.
Tak terdengar suara Ki Ajar Toji kecuali tubuhnya yang terpental keras ke udara lalu jatuh terjerembab diatas tanah dan diam untuk selamanya.
Perlahan lahan Raden Pamungkas berjalan mendekati jasad Ki Ajar Toji yang terbujur dan membeku itu. Dalam hati kecilnya ada penyesalan kental menyelubungi perasaannya. Raden Pamungkas menyadari bahwa sejujurnya dirinya belum bisa seutuhnya mengendapkan hatinya dalam menghadapi gejolak emosi yang kadang meletup-letup dalam jiwanya, hingga kadang kala sering tergelitik untuk mengikuti amarah yang timbul.
"Sungguh beban yang aku bawa ini terlampau berat" -- berkata Raden Pamungkas dalam hatinya -- "ilmu-ilmu yang aku bawa ini akan menjadi berbahaya jika aku tidak mampu mengendalikan gejolak jiwaku yang kadang tidak terkekang" --
Raden Pamungkas serta merta memejamkan mata lalu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh penyesalan. ..-- "ampuni aku eyang" -- desis Raden Pamungkas lirih teringat akan segala wejangan yang diberikan kakenya. Empu Windujati.
Ternyata pertarungan singkat antara Ki Ajar Toji melawan orang bercadar yang tidak lain adalah Raden Pamungkas itu telah menarik perhatian orang-orang berkemampuan tinggi di medan peperangan itu.
Bahkan Ki Juru Mertani disela-sela pertarungannya melawan Kecruk Putih sempat bertanya-tanya dalam hatinya.
"Siapa sebenrnya orang bercadar itu?" -- pikir Ki Juru Mertani -- "apakah mungkin orang bercambuk itu kembali malang melintang ke jagad kanuragan? ...rasanya tidak mungkin..!!" -- desis Ki Juru Mertani dalam hatinya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar masih tegak berhadap-hadapan dengan Kyai Naga Pertala yang tengah dilanda kegusaran semakin dalam melihat satu persatu kawannya gugur sehingga kekuatan pasukannya semakin lama semakin susut pula.
"Kisanak lihatlah matahari akan segera surut, menyusul surutnya pasukan Singo Rodra itu, sementara satu persatu para pimpinannya tewas dalam pertarungan. Apakah kau tidak berniat menghentikan semuanya ini" -- berkata Mahesa Jenar datar.
"Kau merajuk lagi..!! Apakah kau merasa takut" -- sahut Kyai Naga Pertala.
"Bukan begitu kisanak, jika aku takut aku tidak akan berdiri disini" -- tukas Mahesa Jenar-- "dan aku hanya menunjukkan kenyataan yang kini ku hadapi bersama-sama pasukanmu itu" -- lanjutnya.
"Anak iblis..!!Kau mencoba menjatuhkan semangantku he..!! sebentar lagi akan aku lumatkan seluruh pasukan Gajah Sora itu, juga kau jika tidak lekas menyingkir dari hadapanku..!" -- geram Kyai Naga Pertala.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, -- "pasukanmu akan segera hancur. Lalu bagaimana bisa kau akan melumatkan pasukan Banyubiru yang jumlahnya masih begitu besar itu?" -- berkata Mahesa Jenar yang masih mencoba untuk mengajak berbicara Kyai Naga Pertala.
"Kau meremehkan Kyai Naga Pertala he,,!! Sekali lagi aku katakan, menyingkirlah dari hadapanku sebelum kau menyesal, aku tidak ingin mengotori tanganku ini dengan membunuh orang yang tidak penting macam kau.. cepat suruh momonganmu itu kesini..!!" -- berkata Kyai Naga Pertala yang nampaknya sudah tidak telaten lagi menghadapi Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar kembali mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menjawab -- "aku tidak akan pergi dari sini Kisanak, apa lagi momonganku itu dalam keadaan lelah setelah bertarung melawan Ki Singo Rodra itu" -- ucapnya.
"Kau mencari mati he..!! Setan Alas..!!" -- Kyai Naga Pertala menjadi semakin marah. -- "baiklah aku akan memberi pelajaran atas kesombongan mu itu..!!" -- berkata Kyai Naga Pertala sambil mengumpat-umpat dalam hatinya.
Sesaat kemudian Kyai Naga Pertala berjalan mendekati dimana Mahesa Jenar berdiri lalu dengan gerakan yang wajar tanganya terlihat bermaksut menampar mulut Mahesa Jenar.
Tentu saja sebagai orang yang boleh dibilang termasuk orang yang tergolong berilmu tinggi, Mahesa Jenar tidak begitu saja pasrah mukanya menjadi sasaran tangan kyai Naga Pertala tersebut.
Maka ketika Mahesa Jenar melihat tangan Kyai Naga Pertala itu melayang ke arahnya. Dengan sedikit menggeser tubuhnya menghindari tamparan orang tua itu.
"Iblis..!! Kau mampu menghindari tanganku he?!" -- bentak Kyai Naga Pertala--
Maka denan semakin marah Kyai Naga Pertala kembali menjulurkan tangannya memukul lebih keras kearah Mahesa Jenar. Akan tetapi Kyai Naga Pertala kembali kecewa ketika pukulannya itu hanya mendapatkan tempat kosong.
Semakin marahlah Kyai Naga Pertala melihat kenyataan itu. Kini dia sadar bahwa orang yang mengaku sebagai momongan Arya Salaka itu sedikit banyak mengerti soal tata gerak kanuragan.
"Iblis laknat..!! ternyata kau tau bagaimana cara menghindari pukulan, tapi kau tidak mengerti sedang berhadapan dengan siapa!!"-- geram Kyai Naga Pertala.
"Tidak begitu kisanak, aku hanya pernah melihat beberapa kali momonganku itu berlatih sehingga aku menirukannya" -- jawab Mahesa Jenar dengan lagak seperti orang bodoh.
Dengan demikian Kyai Naga Pertala kemudian mulai menyerang secara beruntun walaupun masih pada dasar tenaga kewadagannya. Sementara Mahesa Jenar telah berkeputusan untuk mengikuti apa yang ingin dilakukan kepala kelompok bajak laut Nusa Kambangan tersebut.
Mahesa Jenar hanya mencoba menghindar dan menghindar dari setiap serangan yang dilakukan oleh Kyai Naga Pertala tersebut, hingga orang tua itu menjadi semakin marah dan mengumpat-umpat tak karuan merasa dipermainkan oleh lawannya.
"Setan demit kau ..!! kau mempermainkan aku..hmmh..!! Kini penyesalanmu tidak akan ada artinya.!!" geram Kyai Naga Pertala.
"Silahkan kisanak" -- jawab Mahesa Jenar.
Kini Kyai Naga Pertala tidak lagi mengekang serangannya. Dengan gerakan yang cukup cepat dia mulai melancarkan pukulan-pukulannya kembali meskipun belum secara mutlak menggunakan tenaga cadanganya.
Akan tetapi Kyai Naga Pertala mulai bertanya-tanya dalam hatinya dengan siapa sesungguhnya ia berhadapan, ketika setelah semakin lama Kyai Naga Pertala meningkatkan serangannya ternyata dengan mudah Mahesa Jenar mampu menghindarinya.
Maka ketika Kyai Naga Pertala sudah merasa jemu merasa dipermainkan. Dengan sebuah teriakan lantang tubuhnya tiba-tiba melanda dengan ganas ke arah Mahesa Jenar seraya menyarangkan pukulan-pukulannya.
Disisi lain Mahesa Jenar masih saja mengikuti alur permainan Kyai Naga Pertala dengan merapatkan pertahananya. Hingga pada saatnya Kyai Naga Pertala mulai melaukan pukulan-pukulan disertai tenaga cadangannya.
Namun yang terjadi tak seperti yang diharapkan Kyai Naga Pertala. Ketika Kyai Naga Pertala semakin meningkatkan ilmunya, disisi lain Mahesa Jenar selalu mengimbanginya sehingga hal ini membuat Kyai Naga Pertala semakin yakin bahwa lawannya kali ini bukan lawan layaknya orang kebanyakan.
Dengan demikian Kyai Naga Pertala yang memang masih bergerak pada dasar-dasar ilmunya itu mencoba merambah pada tataran yang semakin tinggi.
Akan tetapi sampai saat Kyai Naga Pertala melakukan penerapan ilmunya pada tingkat yang semakin tinggi ternyata lawannya bagai tidak kesulitan sama sekali dalam memberikan perlawanan nya. Sehingga tiba-tiba saja Kyai Naga Pertala justru menghentikan serangannya.
"Siapa kau sebenarnya iblis..!! rupa-rupanya kau mempunyai bekal yang cukup sehingga berani mempermainkanku..!!" -- suara Kyai Naga Pertala kini terdengar berat menahan hawa amarah yang luar biasa.
"Siapa mempermainkanmu kisanak? Bukankah justru aku berbaik hati mengawani mu sekedar bermain loncat-loncatan?" -- tukas Mahesa Jenar
"Kau jangan sombong..!! Aku belum memulai seranganku yang sesungguhnya" -- geram Kya i Naga Pertala. -- "kini sebut siapa kau sebenarnya biar aku tau siapa orang yang aku bunuh..!!" --
Mahesa Jenar lalu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, -- "baiklah kisanak, seperti yang kau lihat, aku hanyalah seorang yang sudah beranjak tua meskipun tak setua kau, namaku memang Ki Manahan pemomong anak kakang Gajah Sora itu" - desis Mahesa Jenar.
"Jangan berbelit-belit !!! Katakan siapa kau sebenarnya?!" -- sahut Kyai Naga Pertala yang merasa tidak telaten itu.
"Apakah kau tuli kisanak..?! Aku sudah katakan namaku Ki Manahan" -- sahut Mahesa Jenar, yang kemudian meneruskan ucapannya, -- "dan waktu aku masih muda orang menyebutku Mahesa Jenar.."
"Mahesa Jenar..!!" -- Kyai Naga Pertala terkesiap. --- "Mahesa Jenar.!!" -- geram Kyai Naga Pertala yang sekali lagi menyebut nama Mahesa Jenar. -- "ternyata berhasil pula aku menemukan salah seorang pewaris perguruan Pengging.. katakan di mana Kebo Kanigoro?!" -- bertanya Kyai Naga Pertala.
"Untuk apa kau mencari kakang Kanigoro?" -- Sahut Mahesa Jenar.
"Jangan berlagak bodoh kau Mahesa Jenar..!! Apakah kau sudah menjadi pikun, dengan licik Kanigoro telah membunuh Kyai Naga Pasa" -- tukas Kyai Naga Pertala kemudian.
"Kau bergurau Kyai... banyak saksi yang melhat bahwa pertarungan Kyai Naga Pasa melawan Kakang Kanigoro berlagsung adil, tak ada hal yang licik sepeti yang kau katakan" -- ucap Mahesa Jenar.
"Omong kosong..!! Jika pertarungan berlangung adil tentu Kebo Kanigoro lah yang akan binasa" -- sahut Kyai Naga Pertala.
"Terserah kau kisanak..!! yang jelas memang pertarungan itu berlangsung adil" -- sela Mahesa Jenar lagi.
"Persetan..!! sekarang katakan dimana Kebo Kanigoro?! Akan aku ambil kembali kehormatan kakang Naga Pasa darinya..!!" -- berkata kemudian Orang tua itu seakan-akan suaranya menggigil menahan gejolak dendam yang luar biasa.
"Kehormatan seperti apa yang kau maksudkan kyai?" -- bertanya Mahesa Jenar.
"Nyawa.. harus di bayar nyawa..!!" -- geram Kyai Naga Pertala
"O, begitu, tapi sayang aku tidak tau dimana kini kakang Kanigoro berada. Andaipun ada dia tentu tidak kan mau melayani tantangan gilamu itu" -- jawab Mahesa Jenar kemudian.
"Baiklah anak iblis..!! Jika demikian kau yang harus binasa" -- tukas Kyai Naga Pertala.
Mahesa Jenar paham bahwa benturan ilmu antara dirinya dengan Kyai Naga Pertala itu tidak akan mampu dihindarkan lagi. Maka dia pun telah memusatkan nalar dan budinya pula.
Kini tentu Kyai Naga Pertala tidak akan bermain-main lagi dalam melakukan setiap serangan-serangannya seperti pada awal-awal dirinya belum mengenal Mahesa Jenar.
Demikianlah Kyai Naga Pertala serta merta telah memusatkan nalar dan budinya sesaat sebelum mulutnya melengking mengirigi gerak tubuhnya yang begitu cepat menerjang ke arah dimana Mahesa Jenar berdiri.
Sesaat kemudian tubuh orang tua itu bagaian meliuk-liuk seperti ular laut yang siap mematuk-matukkan taringnya kearah lawan didepannya. Suara nya yang mendesis-desis seakan mengisaratkan kan hawa kematian kepada siapa saja lawan yang tersentuhnya.
Akan tetapi lawannya kali ini adalah Mahesa Jenar. Yang meski usianya menjadi tua, bekas prajurit Wira Manggala itu masih saja mampu brgerak dengan lincah dan mantap. Sehingga untuk menundukkan Mahesa Jenar itu tidak segampang membalikkan tangan.
Sisa-sisa ketegaran tubuhnya masih terhat jelas ditopang dengan kakinya yang begitu kokoh seakan-akan sulit untuk ditumbangkan. Meskipun secara kewadagannya termakan usia ternyata tenaga cadangannya yang sudah mencapai tataran sangat tinggi itu telah menopang segala kelemahannya. Sehingga meskipun Mahesa Jenar bergerak sangat lincah dan mantap, itu tidak menjadikan masalah bagi ketahanan jasmaninya.
Tidak terasa pertarungan kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu semakin lama semakin sengit seiring meningkatnya ilmu yang dilontarkankanyan masing-masing. Sehingga lama kelamaan tubuh Mahesa Jenar dan Kyai Naga Pertala tidak lagi jelas terlihat kecuali hanya nampak seperti bayang-bayang yang saling menekan, menangkis bahkan mendesak satu sama lain.
Gerakan dari serangan-serangan Kyai Naga Pertala yang menyerupai ular itu benar benar mengerikan. Tubuhnya yang seperti lentur itu senantiasa meliuk-liuk dengan menyatunya jari-jari tangan membentu kepala ular itu bagaikan tak berhenti mematuk ke berbagai bagian tubuh Mahesa Jenar yang bergerak lincah, dan sesekali melenting layaknya seekor belalang.
Semetara pada pertarungan lain nampaknya rata-rata hampir menyelesaikan pertarungannya. Ki Macan Wulung juga Seca Ireng terlihat sudah tidak berdaya lagi menghadapi Ki Panjawi dan Ki Ageng Lembu Sora.
Nampaknha gairah tempur kedua orang dari perguruan Macan Lodaya itu telah hilang semenjak Ki Singo Rodra tewas ditangan Arya Salaka. Dan Keduanya kini sudah tak berkutik dibawah tekanan mata pedang yang menempel di lehernya.
Tidak jauh dari medan pertarungan itu ternyata Warok Sawa Kembang telah mengambil langkah seribu setelah sebelumyan beearung sengit melawan Jaka Raras. Dalam hatinya Warok Sawa Kembang merasa sudah tidak ada untungnya lagi melanjukan pertarungannya setelah pada kenyataannya satu demi satu kawannya telah tewas yang disusul hiruk pikuk terakan Laskar Banyubiru yang berhasil mendesak pasukan Singo Rodra.
Bahan Ki Badak Wijil hatinya menjadi berdebar-debar ketika sampai saat matahari hampir tenggelam belum juga mampu menundukkan Ki Wirasaba yang semakin lama semakin ganas memutar-mutar kapaknya.
Dimana Ki Badak Wijilpun menyadari bahwa kedudukan pasukannya semakin lama semakin lemah. Sehingga munculah ide dalam kepalanya untk membuat celah sebagai pintu untuk melarikan diri pada saat diperlukan.
Bahkan Ki Juru Mertani pun telah kehilangan lawannya, ketika Kecruk Putih tiba-tiba saja menaburkan semacam bumbung sehingga mengeluatkan asap tebal sebelum melarikan diri. Disusul Bango Lamatan yang juga sudah tak terlihat dimana pada saat dia duduk memusatkan pengaturan aliran darah ditubuhnya.
Para pengikut gerombolan Ki Singo Rodra itupun kemudian banyak yang lari tunggang langgang meninggalkan medan pertempuran tersebut. Dan sebagian lagi juga banyak yang ditaklhukkan kemudian menjadi tawanan.
Praktis kini telah tersisa satu lingkaran pertarungan antara Kyai Naga Pertala dengan Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi semakin sengit pula.
Kemudian disela-sela pertaungan keduanya, Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk berbicara kepada Kyai Naga Pertala.
"Kau dan pasukanmu sudah tidak akan punya harapan lagii Kisanak !! -- berkata Mahesa Jenar .. " lebih baik menyerahlah.!"
"Jangan kau harap,he..!! Mahesa Jenar..!! jangan harap pertarungan ini berhenti sebelum kau atau aku yang binasa.!!" -- bentak Kyai Naga Pertala.
"maksud kisanak..?" -- bertanya Mahesa Jenar
"Kita lanjutkan dengan perang tanding sampai salah satu diantara kita binasa..!!" -- tukas Kyai Naga Pertala.
"Hem, kau mulai kehilangan akal kyai..baiklah jika itu kehendakmu, apa boleh buat" -- sahut Mahesa Jenar.
"Meskipun bukan Kebo Kanigoro yang kuhadapi, tapi itu sudah cukup untuk mengambil kembali kehormatan perguruan Naga Pasa, atas kematianmu..!!" -- ucap Kyai Naga Pertala.
"Kau terlalu percaya diri kyai.." -- desis Mahesa Jenar yang lama kelamaan menjadi muak dengan apa yang dikatakan Kyai Naga Pertala tersebut. Karna itu dengan nada berat Mahesa Jenar melanjutkan ucapannya, -- "baiklah kisanak aku mengikuti mu"
Demikian setelah Mahesa Jenar selesai bicaranya tiba-tiba seperti tidak terduga merubah pola pertarungannya. Tidak seperti pada awal-awal pertarungan yang lebih banyak bertahan dan menghindar, Mahesa Jenar pun kemudian secara kilat bergerak menekan Kyai Naga Pertala dengan segenap kemampuannya. Kedua tangannya mengayun-ayun mantap pada gerakan yang begitu rumit sehingga membuat lawannya serta merta menjadi agak bingung menebak arah serangannya sehingga Kyai Naga Pertala terlihat terdesak begitu hebat. Dan buah yang harus dirasakan Kyai Naga Pertala cukup menyakitkan.
Gerak tipuan menyamping yang dilakukan oleh Mahesa Jenar dengan tubuh memutar itu tidak serta merta disusul putaran kakinya, akan tetapi secara tak terduga justru menjulurkan tangan kanannya memutar mengikuti gerak tubuhnya. Kemudian dengan cukup keras justru sikunya tiba-tiba menggapai ulu hati Kyai Naga Pertala. Sehingga tanpa ampun lagi Kyai Naga Pertala terdorong beberapa langkah kebelakang lalu terjatuh diatas tanah.
"Setan keparat..!!" -- serta merta Kyai Naga Pertala mengumpat-umpat lalu mencoba untuk bangkit dari tempat dimana dia telah tersungkur.
Dengan tenang Mahesa Jenar berjalan pelan medekat ke arah Kyai Naga Pertala tersebut.
"Bagaiman kisanak? apakah kau masih ingin melanjutkan permainan anak-anak ini" -- bertanya Mahesa Jenar.
"Kau jangan gembira dengan kemenangan kecilmu ini keparat..!! sebentar lagi kau yang akan terkapar untuk selamanya..!!" -- geram Kyai Naga Pertala.
Matahari yang semakin surut kebarat itu telah membuat terang dimedan peperangan semakin lama semakin surut. Sementara sisi-sisi pertarungan sudah nampak mulai lengang. Sebagian besar anggota gerombolan Ki Singo Rodra menjadi kalang kabut setelah para pemimpinya satu persatu meninggalkan medan pertempuran tersebut, sehingga tak sedikit pula dari mereka mengikuti jejak pemimpin mereka masing-masing. Disisi lain para pengikut Ki Singo Rodra yang tidak sempat kabur dengan terpaksa harus mengikuti segala kehendak Banyubiru.
Sementara itu dibelakang medan Ki Ageng Gajah Sora perlahan-lahan mulai sadarkan diri meskipun belum mampu untuk bangkit dari tempatnya berbaring.
"Ayah.." -- desis Arya Salaka memanggil Ki Ageng Gajah Sora. --
"Aku tak apa-apa Arya.." -- jawab Ki Ageng Gajah Sora lemah
"Tapi ayah begitu pucat" -- lanjut Arya Salaka kemudian
"Aku cuma kelelahan, mungkin wadhagku ini sudah terlalu tua hingga tak lagi mampu untuk sekedar berloncat-loncatan" -- desis Ki Ageng Gajah Sora, lalu melanjutkan ucapannya -- "mana pamanmu?".
"Orang yang berjuluk Kyai Naga Pertala telah mengikatnya untuk berperang tanding" -- jawab Arya Salaka.
"Perang tanding?" -- tiba-tiba Rara Wilis yang duduk tidak jauh dari tempat Ki Ageng Gajah Sora itu menyahutinya seraya beringsut dari tempat duduknya lalu berlari kecil mengikuti bayang-bayang sebuah pertarungan yang masih saja terjadi itu.
"Bibi..tunggu..!!" -- berkata Arya Salaka.
"Aku akan melihat pertarungan itu" -- sahut Rara Wilis seraya meneruskan langkahnya.
"Arya, susullah bibimu..biarkan Widuri dan pamanmu Panjawi mengawani aku disini" -- berkata Ki Ageng Gajah Sora lalu berpaling kearah Ki Panjawi yang ternyata sudah berada ditempat itu.
Dalam pada itu pertarungan Mahesa Jenar melawan Kyai Naga Pertala semakin lama semakin sengit.
Dalam berbagai usaha Kyai Naga Pertala mencoba untuk mendesak pertahanan Mahesa Jenar, akan tetapi sampai sekian lama pertarungan itu berlangsung tak sekalipun usaha itu berhasil. Bahkan Mahesa Jenar yang bergerak bagai banteng yang tangguh itu sekali-sekali justru mampu menyarangkan pukulan-pukulannya ke tubuh orang tua itu.
Rasa sakit akibat memar-memar yang semakin lama semakin menghiasi tubuh Kyai Naga Pertala itu semakin membuat orang tua itu mengumpat-umpat dalam hatinya. Maka pada gerakan selanjutnya tiba-tiba saja Kyai Naga Pertala memundurkan tubuhnya beberapa langkah didepan Mahesa Jenar lalu nampak berdiri tegak diam diatas kakinya.
Entah kapan tangan Kyai Naga Pertala bergerak, tiba-tiba suara gemerincing yang ternyata sebuah senjata berbentuk untaian rantai dengan ujung lengkungan besi jangkar itu telah berada digenggaman tangan orang tua itu.
"Ambil senjatamu iblis.!!" -- berkata Kyai Naga Pertala dengan nada berat.
"Aku tidak mempunyai senjata kisanak" -- jawab Mahesa Jenar
"Ternyata kau benar-benar sombong..!! baiklah jangan salahkan senjataku yang akan mengkoyak-koyak tubuh mu..!!" -- geram Kyai Naga Pertala.
Tanpa membuang waktu lagi Kyai Naga Pertala kemudian menarik senjatanya yang berujud rantai berjangkar tersebut. Lalu begitu senjata itu berputar mengerikan diiringi suaranya yang gemerincing, juga mendesing memenuhi ruang udara disekitar itu.
Mahesa Jenar menjadi lebih meningkatkan kewaspadaannya menghadapi senjata aneh tersebut. Berkali-kali dia terpaksa harus berkelit menghidari tekanan-tekanan yang secara beruntun melandanya seakan bagai tak memberi kesempatan sedikitpun untuk sekedar berhenti sekejap.
Terkadang senjata itu meluncur ke arah Mahesa Jenar dengan tiba-tiba bagaikan cakar elang yang siap mengkoyak dadanya. Akan tetapi tiba-tiba pula senjata itu seperti ditarik kembali dengan mata jangkar yang siap mengait punggungnya. Maka seterusnya Mahesa Jenar terpaksa harus meloncat, melenting bahkan tak jarang harus merjungkir balik diudara menghindari tekanan-tekanan beruntun dari senjata Kyai Naga Pertala tersebut.
Dalam pada itu Kyai Naga Pertala yang kini merasa unggul menjadi begitu senang atas kedudukannya. Suara tawanya terdengar memenuhi udara malam yang baru saja menyentuh medan pertempuran itu. Bagaikan bermain layang-layang berkali-kali Kyai Naga Pertala menarik ulur rantai berjangkarnya tersebut. Bahkan sekali-sekali memutar-mutar ujung rantai itu hingga bergulung-gulung bagai mengungkapkan gelombang angin yang secara beruntun melanda ke arah Mahesa Jenar.
"Sebut nama ibu mu he' manusia sombong..!! Sebentar lagi tubuhmu akan aku lumat terkoyak-koyak..!!" -- teriak Kyai Naga Pertala. Yang semakin merapatkan serangan-serangan nya.
Sebenarnyalah Kyai Naga Pertala tidak mengerti apa yang berkecamuk didalam benak Mahesa Jenar yang secara cermat mencoba memahami perwatakan senjata rantai berjangkar tersebut.
Mahesa Jenar memang bukan seorang yang punya kekhususan senjata sebagai pelengkap ilmunya. Akan tetapi sesungguhnya sebagai bekas prajurit pengawal istana Demak, Mahesa Jenar adalah seorang yang piawai menggunakan jenis senjata apapun. Bahkan dahan kayu pun ketika berada ditangannya akan menjelma menjadi sebuah senjata yang mengagumkan.
Demikianlah ketika rantai berjangkar itu kembali menderu kearahnya, tiba-tiba saja Mahesa Jenar memiringkan sedikit tubuhnya sebelum terdengar suara berdentang keras seperti beradunya dua buah logam.
Seakan secara tak kasat mata ternyata Mahesa Jenar dengan cepat telah memungut sebuah pedang yang mungkin pemilik salah seorang pasukan pada pertempuran beberapa saat lalu.
Akibat benturan senjata itu Kyai Naga Pertala merasakan tangannya bergetar hebat lalu serta merta berusaha membenahi arah senjatanya yang menjadi kacau tertepis pedang ditangan Mahesa Jenar tersebut.
Ternyata meskipun pedang itu terbuat dari besi biasa. Ditangan Mahesa Jenar seakan-akan telah menjadi senjata yang begitu dahsyat didasari tataran tenaga cadangan yang begitu tinggi.
Dengan pedang ditangannya maka kedudukan Mahesa Jenar semakin lama menjadi semakin mampu melepaskan tekanan yang dilakukan oleh Kyai Naga Pertala tersebut.
Disisi lain Kyai Naga Pertala menjadi semakin gusar ketika pada gerakan-gerakan selanjutnya serangan serangannya senjatanya selalu saja dapat dimentahkan oleh permainan pedang Mahesa Jenar. Sehingga pada gebrakan selanjutnya Kyai Naga Pertala telah mengungkapkan kemampuan nya yang lain.
Sesaat setelah Kyai Naga Pertala menjulurkan senjata berantainya, tiba-tiba telapak tanganya seperti menaburkan serbuk hitam pekat yang mengepul bagai asap hitam melucur ke arah Mahesa Jenar.
"Gundala wereng..!!" -- geram Mahesa Jenar yang terkesiap melihat kepulan asap hitam itu lalu memutar tubuhnya surut kebelakang, -- "biadab kau Kyai.!! tidakkah kau tau gumpalan racunmu itu dapat membinasakan orang-orang disekitar kita, bila terbawa angin?!" --
"Persetan dengan semuanya..!! siapa yang menyuruh mereka datang ke pertarungan ini?!" -- berkata Kyai Naga sambil tertawa terbahak-bahak..--:
Sementara di sekitar pertarungan itu orang-orang serta merta menjauh dari pinggir arena perang tanding itu. Bahkan Rara Wilis kemudian menjadi berdebar-debar melihat gumpalan asap hitam yang semakin lama semakin pekat menghiasi malam yang sebenarnya cukup terang oleh sinar bulan yang terlihat bulat. Bediri disamping Rara Wilis, Arya Salaka menjadi termangu-mangu melihat jalannya pertarungan itu seraya berdesis,
-- "asap hitam itu yang tempo hari hampir membinasakan aku dan Widuri...untung aku bertemu Ki Tanu, dukun dari Pakuwon yang luar bisa itu sehingga aku masih bisa melihat malam yang sebenarnya indah ini" -- berkata Arya Salaka dalam hatinya.
Ditengah arena pertarungan Mahesa Jenar masih termangu-mangu melihat kepulan asap hitam yang semakin lama semakin menyebar tak beraturan itu. Sementara perasaannya menjadi semakin gusar melihat prilaku Kyai Naga Pertala yang masih saja tertawa seakan menyambut kemenangannya.
Akan tetapi Mahesa Jenar masih tetap tenang dan tegak berdiri diatas kedua kakinya. Dengan perasaan marah dilemparkannya pedang ditangannya itu sehingga amblas menacap kedalam tanah. Lalu perlahan-lahan memusatkan nalar dan budinya seraya menelangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada.
Perlahan-lahan tubuh Mahesa Jenar seakan-akan membiaskan cahaya putih yang tipis yang lambat laun menjadi semakin pekat menyelubung disekujur wadagnya. Akan tetapi bias putih itu lama kelamaan seperti merambat lalu terkumpul dikedua telapak tangannya. Lalu disertai letupan kecil Mahesa Jenar menjulurkan kedua telapak tangannya kedepan. Dan yang terjadi demikian hebat.
Dari telapak tangan Mahesa Jenar muncul pula gumpalan asap berwarna putih berkilau yang tak kalah pekat dari asap hitam yang dilontarkan Kyai Naga Pertala sebelumnya.
Bagaikan diperintah, kepulan asap putih yang muncul dari telapak tangan Mahesa Jenar itu tiba-tiba meluncur dan mengejar gumpalan-gumpalan asap hitam Kyai Naga Pertala tersebut. lalu mengikatnya sejengkal demi sejengkal hingga kedua asap hitam dan putih itu sama-sama sirna dari udara.
"Iblis.!! dari mana kau dapatkan wisa Gundala Seta itu he..!!" -- geram Kyai Naga Pertala.
"Apakah aku harus ceritakan padamu?" -- jawab Mahesa Jenar.
"Hem...baiklah Mahesa Jenar, sudah saatnya aku akan mengakhiri pertarungan ini dengan beberapa puncak ilmuku" -- geram Kyai Naga Pertala kemudian.
"Silahkan Kyai, aku juga sudah jenuh dengan prilakumu itu..!!" -- jawab Mahesa Jenar yang masih terlihat tenang walau sesungguhnya hatinya kini menjadi begitu gusar.
"Sombong kau Mahesa Jenar..!! baik bersiaplah untuk mati..!!" -- berkata Kyai Naga Pertala yang kemudian memusatkan nalar dan budinya.
Agak jauh dari medan pertarungan antara Mahesa Jenar melawan Kyai Naga Pertala, dibalik gerumbul-gerumbul ilalang ternyata sepasang mata dengan seksama telah mengamati pertarungan itu.
Raden Pamungkas yang beberapa saat lalu mengikuti gerak pelarian kelompok Bango Lamatan dan Kecruk Putih tenyata telah kembali berada ditempat itu. Raden Pamungkas merasa perlu untuk mengikuti jejak perginya kelompok tersebut setelah melarikan diri dari medan peperangan tersebut, oleh karna cemas jika saja kelompok tersebut membuat onar pada setiap rumah-rumah penduduk yang dilewatinya.
Maka setelah semuanya tidak seperti yang dikhawatirkan, Raden Pamungkas pun diam-diam kembali ke medan petempuran itu.
Kini dengan seksama Raden Pamungkas secara diam-diam tanpa seorangpun mengetahuinya menyaksikan pertarungan Kyai Naga Pertala melawan Mahesa Jenar dibalik kegelapan malam.
"Luar biasa, teryata orang yang melawan Kyai Naga Pertala itu adalah paman Rangga Tohjaya" -- berkata Raden Pamungkas dalam hatinya, -- "beberapa kali paman Rangga Tohjaya berkunjung ke padepokan guru, bersama paman Kanigoro, dan baru kali ini aku melhat kehebatan orang tua itu yang sebenarnya" -- desisnya.
Sementara ditengah pertarungan itu Kyai Naga Pertala nampaknya akan memulai dengan ilmu-ilmu pamungkasnya, setelah berbagai cara yang dilakukan gagal menundukkan Mahesa Jenar.
Beberapa tombak tepat didepan Kyai Naga Pertala berdiri, Mahesa Jenar tidak kehilangan kewaspadaannya. Dia tau bahwa Kyai Naga Pertala adalah salah satu tokoh tua golongan hitam yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Maka sebagai orang yang juga tidak kalah jumlah merasakan asam garam dunia kanuragan Mahesa Jenar menjadi sangat behati-hati.
Dengan tetap memusatkan nalar budinya. Tajam matanya menatap setiap gerak-gerik Kyai Naga Pertala yang sedang memusatkan nalar dan budinya pula. Mahesa Jenar melihat setelah Kyai Naga Pertala merangkapkan kedua telapak tangannya, lalu satu kaki kanannya ditarik sedikit kebelakang lalu menyusul kaki kirinya bagaikan berjalan mundur secara pelan-pelan kemudian kembali tegak berdiri dikedua kakinya yang sedikit merapat.
Kemudian didahului lengkingan keras kedua tangan Kyai Naga Pertala agak direntangkan keatas sambil mendongak ke langit malam,
"Geledheg sewu..!!" -- teriak Kyai Naga Pertala. Lalu diikuti sebuah kejadian yang aneh....
Langit malam yang sebenarnya cukup cerah. Bulan bersinar cukup terang dan ditebari jutaan bintang-bintang cukup membuat suasana ditengah ara-ara amba itu cukup indah pula.
Akan tetapi tiba-tiba seperti ada suatu kekuatan yang begitu dahsyat telah mengungkap semacam pusaran angin yang mula-mula kecil lambat laun menjadi deras seraya mengumpulkan awan-awan hitam dilangit menaungi medan pertarungan itu.
Gumpalan awan hitam laksana mendung yang begitu pekat itu perlahan-lahan terlihat memancarkan banyak kilatan-kilatan sinar semacam garis-garis petir yang menyambar-nyambar kebawah. Disertai suara-suara percikan bunga api yang begitu nggegirisi, lambat laun kilatan-kilatan yang menyerupai garis-garis halilintar itu menyatu dikedua tangan Kyai Naga Pertala tersebut.
Demikian jenis ilmu yang menyadap kekuatan halilintar itu semakin lama menjadi semakin terang berkilat-kilat seakan berada digenggaman tangan Kyai Naga Pertala yang masih menjulur keatas.
Disisi lain Mahesa Jenar menjadi agak berdebar-debar melihat apa yang dilakukan Kyai Naga Pertala tersebut. Akan tetapi Mahesa Jenar bukanlah orang kebanyakan dan hatinya tidak mudah menjadi jeri.
Segudang pengalaman hidupnya telah membuat dirinya matang secara lahir dan batin. Dasar ilmu yang diturunkan guru yang sangat dihormatinya. Ki Ageng Pengging Sepuh Handayaningrat. Telah dilengkapinya dengan berbagai ilmu yang didapat dari pengalaman hidupnya. Apa lagi semenjak kecil Mahesa Jenar telah berkawan dengan Ki Ageng Henis yang juga berjuluk Ki Ageng Sela nom. Seseorang yang dikatakan orang mampu menangkap petir seperti ayahnya. Ki Ageng Sela sepuh.
Sehingga demi melihat Aji Geledheg Sewu yang baru saja diterapkan Kyai Naga Pertala, tiba-tba Mahesa Jenar teringat sahabatnya sejak kecil itu. Kyai Henis dari Sela.
Sampai pada suatu saat Mahesa Jenar harus kembali waspada ketika kilatan-kilatan cahaya berwarna putih kebiru-biruan itu melesat deras ke arahnya.
Lalu setelah secara singkat behasil mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Entah apa yang dilakukan Mahesa Jenar. Tiba-tiba satu tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi keatas sementara kepala Mahesa Jenar mendongak keatas dengan mulut seperti bergerak entah apa yang diucapkanya.
Dan yang terjadi tidak kalah anehnya.
Kilat-kilat cahaya berwarna putih perak kebiru-biruan yang baru saja dilontarkan Kyai Naga Pertala kearah Mahesa Jenar itu tiba-tiba berhenti tepat diantara kedua orang itu tegak berdiri. Pemandangan yang menakjubkan itu ternyata berlangsung cukup lama seiring penerapan kekuatan ilmu dari kedua orang tersebut.
Titik-titik keringat perlahan-lahan mulai mengucur deras ditubuh kedua orang tersebut. Bahkan Kyai Naga Pertala merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Tenaganya seakan-akan tersedot kekuatan yang sangat luar biasa hingga dengan sekuat tenaga Kyai Naga Pertala harus mengerahkan tenaga cadangannya begitu kuat.
Demikian pula Mahesa Jenar merasakan seperti apa yang dirasakan Kyai Naga Pertala tersebut. Akan tetapi Mahesa Jenar mempunyai ketahanan tubuh yang mengagumkan. Sehingga lambat laun bagaikan tersedot kekuatan sembrani kilatan-kilatan cahaya bagai tercabut dari genggaman Kyai Naga Pertala dan pindah seluruhnya kedalam genggaman tangan Mahesa Jenar.
Disisi lain Kyai Naga Pertala seperti bagai mendadak kehilangan pegangan pada sebuah tali kekang lalu tersorong limbung kebelakang kemudian tersungkur diatas tanah dengan nafas tak beraturan.
Sementara dengan tegak Mahesa Jenar terlihat bagai memegang Kilatan-kilatan cahaya yang diciptakan Kyai Naga Pertala tersebut lalu dengan sekali hentakan tangan itu melambai kesamping kearah sebuah pohon kluwih ditepian ara-ara itu.
Sebuah suara mengglegar mengiringi laju kilatan-kilatan cahaya putih kebiru-biruan yang kemudian dengan telak menghatam pohon kluwih yang sekejap hangus dan hancur berkeping-keping.
"Bukan main..!!" -- desis Raden Pamungkas disela-sela gelapnya itu.-- "Paman Rangga Tohjaya ternyata mempunyai sikap welas asih meskipun perangai wajahnya terlihat sedikit garang...jika saja ilmu itu diarahkan kepada Kyai Naga Pertala, tentu orang tua itu menjadi lumat" -- bekata Raden Pamungkas dalam hatinya.
Namun ternyata Kyai Naga Pertala adalah seorang yang mempunyai kekerasan hati yang luar biasa. Harga diri orang tua itu begitu tinggi hingga membuatnya menjadi hilang akal.
Setelah sesaat mengatur jalan pernafasannya Kyai Naga Pertala kemudiqn melangkah maju menghampiri Mahesa Jenar dan berkata,
-- "harus ku akui ternyata namamu bukanlah sekedar isapan jempol Mahesa Jenar" -- suara Kyai Naga Pertala berat -- "dan aku akan sujud dihadapanmu jika kau mampu menahan aji pamungkasku..!!" -- lanjut Kyai Naga Pertala dengan wajah yang merah membara.
"Kau kehilangan akal kyai.." -- jawab Mahesa Jenar singkat.
"Terserah apa katamu,... Aku ingin tau, apakah Aji Sasrabirawa benar-benar sehebat yang aku dengar..!!" -- desis Kyai Naga Pertala.
Terlihat Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam diapun berkata, -- "jika itu yang kau inginkan,, apa boleh buat, aku akan menahan Aji Nagapasa yang nggegirisi itu" -- jawab Mahesa Jenar.
Malam nampaknya mulai merangkak semakin larut diiringi belaian angn yang sesekali berhembus agak kencang yang secara serentak mengoyang ujung-ujung rerumputan yang terhampar ara-ara tepian Rawa Pening tersebut. Sementara taburan bintang-bintang diatas langit malam yang cerah itu sebentar lagi akan menjadi saksi dari babak akhir pertarungan diantara kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu.
Kyai Naga Pertala sebagai saudara muda Kyai Naga Pasa memang satu-satunya pewaris ilmu perguruan yang terletak dipedalaman pulau Nusa Kambangan yang telah berhasil menyadap ilmu pamungkas perguruan itu. Aji Nagapasa...
Setelah kekalahan mendiang pemimpin besar mereka yang beberapa tahun lalu tewas ditangan murid perguruan Pengging. Konon Kyai Naga Pertala telah berhasil mempertajam ilmu yang beberapa lama telah menggetarkan jagad kanuragan itu menjadi semakin nggegirisi.
Dari hasil mesu diri yang telah dilakukan oleh Kyai Naga Pertala telah berhasil merobah warna dari Aji Nagapasa itu menjadi sesuatu yang lain sehingga mempunyai daya gempur beberapa kali lipat lebih dahsyat dari ilmu yang dulu pernah dimiliki ole Kyai Naga Pasa itu sendiri.
Pada perkembangannya Kyai Naga Pertala telah berhasil memahami watak-watak dari Aji Nagapasa hingga mampu bersenyawa kedalam tubuhnya lahir maupun batin, sehingga dengan dilandasi tenaga cadangan yang begitu tinggi serangan-serangan yang didasari oleh kekuatan ilmu Nagapasa itu telah mampu melontarkan kekuatannya mendahului sentuhan wadag yang siap menhantam setiap lawannya pada jarak yang berjauhan.
Karnanya Kyai Naga Pertala begitu yakin bahwa pada benturan aji pamungkasnya itu Mahesa Jenar tidak akan mampu menahan Aji Napapasa miliknya meskipun Mahesa Jenar harus mengetrapkan Aji Sasrabirawanya. Dalam pandangan mata hatinya Aji Sasrabirawa yang dimiliki Mahesa Jenar tentu tidak akan melebihi kehebatan ilmu Ki Kebo Kanigoro yangnterhitung saudara tuanya itu. Yang beberapa tahun lalu berhasil membinasakan Kyai Naga Pasa.
Maka dengan keyakinan penuh Kyai Naga Pertala telah memusatkan nalar dan budinya untuk melepas ilmu pamungkasnya itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tak dipedulikan lagi apa akibat dari benturan dua ilmu nggegirisi itu, kini yang menjadi keyakinannya bahwa Mahesa Jenar harus binasa.
Namun Kyai Naga Pertala tak sekalipun memperhitungkan kekuatan apa yang terbenam dalam tubuh Mahesa Jenar.
Seperti Kyai Naga Pertala, dalam pengasingan dirinya. Sebenarnyalah Mahesa Jenar justru mempunyai waktu yang teramat luas dalam memehami apa yang selama ini didapatnya dalam perjalanan hidupnya yang kini telah beranjak menjadi tua.
Keheningan yang dilalui Mahesa Jenar dalam kehidupannya dalam pengasingan dirinya pada kebisingan dunia telah membuat Mahesa Jenar mengenali watak-watak alam sekitarnya.
Kelembutan desah angin yang membelaikan kenyamanan nafas kehidupan dunia ini hingga kemarahan badai topan yang mampu memporak porandakan segala isi dunia telah dipahaminya dengan tuntas.
Juga kesejukan air yang menantiasa memberikan kesejukan dahaga kehidupan justru mampu merubah bahai hembusan nafas-nafas kematian yang berhembus diantara kepakan sayap-sayap malaikat maut.
Melihat semua itu telah menjadikan Mahesa Jenar menjadi begitu kecil. dan begitu tak berdaya dibandingkan kakuatan alam yang sesungguhnya prakarsa. Sang Khalik. Sehingga pada Akhirnya Mahesa Jenar mampu memetik dari rasa kecilnya terhadap ciptaan HYang Maha Agung tersebut, untuk semakin dalam memahami setiap kekurangannya pada berbagai kepandaian yang dimilikinya. Baik ilmu yang berkenaan dengan tatanan kehidupan bebrayan agung sampai pada ilmu-ilmu yang mengungkapkan kekuatan yang teesimpan dalam tubuhnya.
Dengan demikian apa yang diperkirakan Kyai Naga Pertala tentang Mahesa Jenar itu sungguh jauh dari apa yang kini dialami Mahesa Jenar itu sendiri. Karnanya meskipun Mahesa Jenar tidak pernah muncul dalam hiruk pikuknya dunia sejak peristiwa hilangnya Kyai Nagasasra Sabukinten itu usai. Dalam pengasingan dirinya ilmu-ilmu yang dimilikinya menjadi begitu mapan. dan mempunyai daya kekuatan yang sangat luar biasa termasuk ciri khas ilmunya. Aji Sasrabirawa.
Di sisi lain Kyai Naga Pertala dengan keyakinan yang tinggi telah memusatkan nalar dan budinya sebaik mungkin dengan maksud mampu melontarkan Aji Nagapasa dengan kekuatan yang tiada taranya.
Disertai dengan pembukaan gerak yang mengagumkan tiba-tba saja Kyai Naga Pertala berhenti diam dengan kedua tangannya merentang bagai sayap-sayap naga yang hendak melesat terbang keangkasa. Seluruh tubuh orang tua itu bagaikan berlapis bayang-bayang bias panasnya bara api, sehingga lambat laun hawa panaspun mengalir keluar memenuhi ruang udara disekitar itu.
Tiba-tiba disertai teriakan parau, tubuh Kyai Naga Pertala bagaikan ringan seperti kapas melenting perlahan secara memutar hingga tubuhnya tertahan tiga tombak diatas tanah dan melayang diudara. Matanya yang memerah laksana api itu siap melontarkan hawa kematian dengan amarah yang luar biasa.
Lambat-laun kedua tangan Kyai Naga Pertala pun seperti membara pada sebatas sikunya dan siap melontarkan bola-bola api yang siap melanda siapa saja yang diinginkan
Disela-sela pemusatan nalar dan budinya, Mahesa Jenar sempat sekilas melihat apa yang dilakukan Kyai Naga Pertala dengan perkembangan aji Nagapasanya tersebut.
Dengan hati yang berdebar-debar Mahesa Jenar pun kemudian meyakinkan dirinya pula untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan dihadapinya.
Maka dengan mantap Mahesa Jenar berketetapan akan melawan kehebatan Aji Nagapasa itu dengan ilmu andalannya, yang diwarisi dari mendiang Ki Ageng Pengging Sepuh Handayaningrat. Aji Sasrabirawa.
Karnanya demi melihat Kyai Naga Pertala telah mengambil sikap. Serta merta Mahesa Jenar menerapkan pembukaan menuju dasar-dasar pengungkapan Aji Sasrabirawa.
Pertama-tama direntangkanya kedua tangannya sejajar dan menyamping disisi kanan kiri tubuhnya. Lalu ditariknya kedepan kedua tangan itu secara bersamaan hingga kedua telapak tangannya menelangkup bagaikan menyembah, disusul gerak kaki kanannya kebelakang sementara kaki kirinya tetap sebagai penyangga tubuhnya didepan.
Dan disertai gerakan merunduk sekejap tiba-tubuh Mahesa Jenar menyumbul keatas dengan cara memutar sebelum tubuhnyapun bagai ringan mengambang diudara dengan sikap khas pengungkapan Aji Sasrabirawa. Babai melayang diudara terlihat tangan kanan Mahesa Jenar diangkat tinggi-tinggi diatas kepalanya, tangan kiri menyilang didepan dadanya. Sementara kaki kirinya terjuntai dengan kaki kanan sedikit diangkan menekuk diatas lututnya.
Dalam pada itu Kyai Naga Pertala yang telah siap melontarkan ilmunya kemudian melesat maju dengan menjulurkan tangan kanannya melanda Mahesa Jenar. Semburat-semburat cahaya kuning bagaikan gumpalan-gumpalan bola api yang teramat panas mencuat dari telapak kanan Kyai Naga Pertala mendahului gerak wadhagnya yang menyusul dibelakang.
Disisi lain Mahesa Jenar yang tak ingin terlambat telah memutar tubuhnya disertai gerakan tangan kanannya memukul kedepan kearah datangnya serangan.
Seleret sinar hijau kebiru-biruan tiba-tba muncul dari telapak tangan Mahesa Jenar diiringangi kilatan-kilatan cahaya putih perak melesat memapas gumpalan-gumpalan bola api yang dilontarkan Kyai Naga Pertala. Sehingga benturan dua ilmu nggegirisi itu pun terjadi dengan dampak yang luarbiasa.
Sebuah letupan dahsyat tiba-tba terdengar membahana diseantero ara-ara tepian Rawa Pening tersebut, menyusul kilatan-kilatan cahaya warna-warni yang saling mendominasi sebagai ungkapan kekuatan kedua ilmu tersebut.
Bagaikan membentur dinding batu yang begitu keras dan kokoh luar biasa, kekuatan tenqga Mahesa Jenar seakan-akan berbalik menekannya dan melemperkannya kebelakang lalu terjatuh bergulung-gulung diatas tanah. Dadanya bagai terasa pecah sehingga membuatnya sulit untuk bernapas.
Sehingga dengan ketahanan tubuhnya Mahesa Jenar masih berusaha untuk duduk dan memperbaiki pernafasannya yang kacau tersebut.
Akan tetapi malang bagi Kyai Naga Pertala yang nasibnya ternyata lebih buruk dari Mahesa Jenar.
Pada benturan kedua ilmu yang terjadi itu tubuh Kyai Naga Pertala seakan-akan terasa bagai terbakar, ketika berlaksa-laksa cahaya panas bagai menusuki sekujur tubuhnya. Disusul sebuah hantaman dahsyat yang dirasakannya melanda seluruh isi rongga dadanya. Sehingga diapun terpental keras kebelakang sebelum tubuhnya terkapar diatas tanah. Lelehan darah kental deras keluar diantara sela-sela bibirnya menandakan terluka didalam teramat parah sehingga dadanya bagai hangus terpanggang. Malang bagi Kyai Naga Pertala setelah satu keluhan pendek kemudian nafasnya harus terhenti.
****
Swun ki ras
BalasHapusRa bosen moco iki aku
Boleh tanya, kata pangraita dari dalam teks tersebut artinya apa?
BalasHapusseru dan menegangkan....jos gandos Ki ras
BalasHapusHebat seru kesaktian tokoh2 tua yg muncul kembali. Keno Kanigoro belum mumcul....
BalasHapusLuar biasa....ilmu² tua, sasrabirawa, lebur seketi, muncul kmbali bersama mahesa jenar, gajahsora!
BalasHapusMaturnuwun sang3t ki rangga sedayu