Gugat Trah Kusuma VII
GTK VII-1
Gaung malam sepi lambat laun telah menyelimuti suasana dihamparan ara-ara amba tepian Rawa Pening yang beberapa saat baru saja menjadi saksi pertumpahan darah dari beberapa anak manusia dengan berbagai alasan yang tak mampu terelakkan untuk saling membunuh dan berlomba-lomba saling mempertahankan kehidupan mereka masing-masing.
Perang yang pasti meninggalkan selaksa kepedihan dan kesengsaraan selalu saja mewarnai pernik-pernik kehidupan didalamnya. Baik karna ambisi, dendam, ataupun demi mempertahankan kemerdekaan hidupnya yang Kadang-kadang tertindas oleh sesamanya. Bahkan kadang kala perang juga acap terjadi dengan sebuah alasan yang tak sebanding dengan nyawa-nyawa yang melayang.
Demikianlah kini ara-ara tepian Rawa Pening itu semakin lama menjadi semakin sepi. Gemerincing beradunya senjata, juga teriakan-teriakan dendam, bahkan suara-suara jerit kematian itu seakan-akan sirna bersama jejak-jejak malam yang semakin mendekati pagi. Sementara beberapa orang masih sibuk mengurus jasad-jasad yang bergelimpangan meregang nyawa, untuk dikuburkan sebagai mana mestinya.
Dalam pada itu agak ketengah hamparan ara-ara itu, Mahesa Jenar masih memusatkan nalar dan budinya demi mengatur alur penafasanya tak beraturan akibat benturan ilmu yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Kyai Naga Pertala yang kini terdiam beku.
Dengan setia Rara Wilis menunggui orang yang sangat dicintainya itu dengan perasaan yang masih didera kecemasan yang luar biasa. Sesekali diusapnya dahi Mahesa Jenar yang kadang dipenuhi oleh keringatnya yang mengucur.
Dipandanginya wajah yang menyiratkan kekerasa hati, bahkan kadangkala kaku dalam pendiriannya. Kekakuan yang sebenarnya adalah cerminan dari ketulusan jiwanya dan kerelaannya berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar. Termasuk jika dia harus mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Sikapnya yang demikian inilah yang pada suatu ketika mampu membuat perasaan Rara Wilis luluh untuk menentukan kebersamaan bersamaan lelaki itu
Demikian Rara Wilis terlihat masih larut dalam lamunannya. Matanya yang masih menyisakan kejelitaan dimasa muda itu seakan-akan jauh menembus keremangan malam yang sebentar lagi mencapai batasnya.
Tiba-tiba dia terbayang masa-masa dimana dia terpaksa menempuh kerasnya alam bebas demi mencari kakeknya yang tidak terlalu jelas keberadaannya. Oleh karna mala petaka yang telah menghantam keutuhan keluarganya sehingga kehilangan ibunya. Sementara ayahnya telah menjadi gila mengikuti seorang wanita sakti yang berkelakuan jahat yang ternyata anak perempuan dari Kyai Simo Rodra sepuh dari Lodaya.
Dalam kebingungannya itulah Rara Wilis yang baru saja lepas dari masa remajanya itu tepaksa mencari kakeknya yang merupakan keluarga satu-satunya yang masih dimilikinya. Kakeknya yang dikenal Rara Wilis sebagai Ki Ardi itulah belakangan dikenal sebagai seorang Sakti yang luar biasa. Ki Ageng Pandan Alas.
Teringat pula akan alas Tambakbaya yang begitu mengerikan dalam perjalanan hidupnya. Yang hampir saja kehormatannya terenggut seorang pemuda bengis berilmu tinggi. Jaka Soka yang dalam pandangan matanya bagaikan hantu yang teramat mengerikan
Akan tetapi di hutan Tambakbaya itu pula dia menemukan satu-satunya pria yang mampu meluluhkan hatinya. Seorang pria yang dingin dan bodoh memahami arti tatapan wanita.
Namun tiba-tba saja lamunan Rara Wilis itu terhenti mana kala satu suara yang begitu dikenalnya itu memanggil namanya,
"Wilis.."" -- desis Mahesa Jenar yang baru saja membuka matanya.
"Kakang, apakah kau baik-baik saja?" -- Rara Wilis nampaknya masih mencemaskan keadaan Mahesa Jenar tersebut.
"Aku tidak apa-apa...hanya nafasku ini yang terasa menjadi tidak beraturan" -- jawab Mahesa Jenar kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam lalu kembali berkata, -- "orang yang bernama Kyai Naga Pertala itu benar-benar berilmu sangat tinggi, akan tetapi nampaknya Hyang Widi masih melindungiku" -- desis Mahesa Jenar.
Semilir angin yang berhembus mengiringi malam yang semakin jauh itu seakan-akan sedikit memberikan kesegaran pada setiap jengkal tubuh Mahesa Jenar sehingga lambat laun tenaga Mahesa Jenar berangsur-angsur menjadi agak pulih. Maka selanjutnya Mahesa Jenar pun kemudian terlihat lebih segar, wajahnya yang memucat telah kembali sedikit memerah meskipun Mahesa Jenar merasakan lelah tubuhnya tiada tara.
"Arya, kau disini..?! Bagaimana keadaan ayahmu?" -- berkata Mahesa Jenar serta merta menoleh ke arah Arya Salaka yang memang sejak tadi diam duduk didekatnya.
"Ayah belum siuman paman, akan tetapi nampaknya keadaan ayah tidak begitu mengkhawatirkan, Widuri dan paman Panjawi ada bersamanya" -- jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "Syukurlah...mudah mudahan Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua" -- bekata Mahesa Jenar. Dan setelah menarik nafas dalam-dalam diapun beringsut dari duduknya seraya mencoba untuk berdiri, lalu melanjutkan ucapannya, -- "marilah kita menengok ayahmu" -- desis Mahesa Jenar.
Ternyata luka dalam yang dialami Mahesa Jenar tidak begitu parah sehingga ketiga orang tersebut kemudian berjalan menuju dimana Ki Ageng Gajah Sora terbaring. Akan tetapi ternyata Ki Ageng Gajah Sora sudah tidak ada lagi ditempat itu yang menurut salah seorang pasukan pengawal tanah Perdikan Banyubiru Ki Ageng Gajah Sora sudah dibawa ke pedukuhan induk. Karnanya ketiga orang itu dengan berkuda menyusul ke pedukuhan induk pula.
GTK VII - 2
Lapat-lapat suara kokok ayam itu telah mulai terdengar bersahutan diantara pedukuhan-pedukuhan yang terhampar diwilayah perdikan Banyubiru. Bahkan derit suara sengotpun satu dua mulai terdengar pula diantara rumah-rumah penduduk, sementara Mahesa Jenar, Rara Wilis, juga Arya Salaka terlihat memacu kudanya denan pelan melewati erep-erep rumah dimana para penghuninya satu, dua sudah mulai bangun dari tidurnya. Sementara semburat merah lambat laun terlihat semakin jelas di langit timur membawa terang yang sebentar lagi menyibak keremangan pagi.
Dalam pada itu suasan dibanjar bangunan induk perdikan Banyubiru itu masih terlihat beberapa pasukan pengawal masih sibuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan mereka.
Ki Juru Mertani nampaknya juga belum beristirahat. Bahkan beberapa pimpinan tanah Perdikan Banyubiru juga masih nampak duduk berkalang didalam pendapa bangunan induk tersebut.
Sebenarnyalah mereka masih mengkhawatirkan keadaan Ki Ageng Gajah Sora yang masih juga berbaring didalam gandok pribadinya dalam keadaan yang masih cukup memprihatinkan. Betapapun memang terlalu berat bagi Ki Ageng Gajah Sora menghadapi Ki Singo Rodra juga Kyai Naga Pertala scara bersamaan. Sehingga telah mengakibatkan luka didalam cukup berat.
"Bagaimana keadaannya..?" -- bertanya Ki Ageng Lembu Sora kepada Widuri yang senantiasa menjaga tubuh yang kini berbaring lemah tersebut.
Ki Ageng Lembu Sora yang tiba-tiba saja masuk kedalam gandok serta merta mendekat dan memeriksa keadaan kakak satu-satunya tersebut. Dipandanginya wajah yang semakin menua yang kini terlihat pucat tak berdaya itu dengan penuh seksama. Seorang kakak yang dulu pernah dikhianatinya hanya karna ambisinya yang terhasut orang-orang golongan hitam beberapa tahun silam. Pengkhianatan yang sempat membuat kehidupan kakak kandungnya itu porak-poranda bahkan terlunta-lunta sebagai pesakitan. Akan tetapi tidak ada rasa dendam sedikitpun dihati kakak satu-satunya tersebut. Walaupun prilaku Ki Ageng Lembu Sora yang tersesat beberapa tahun lalu harus ditebus dengan kematian putra satu-satunya. Sawung Sariti.
Ki Ageng Lembu Sora yang diwaktu mudanya adalah seorang yang berhati keras dan garang itu perlahan-lahan matanya sedikit mambasah mengingat hal-hal buruk yang pernah dilaluinya, sehingga disela-sela lamunannya itu tanpa sadar diapun berdesis, -- "kau harus kuat kakang..!! kau tidak boleh menyerah pada keadaan seperti ini, kau adalah Gajah Sora, putra Ki Ageng Sora Dipayana. ayah kita" --
Dalam pada iti Mahesa Jenar, Rara Wilis, juga Arya Salakan telah memasuki regol bangunan induk perdikan Banyubiru tersebut, lalu dengan serta merta mereka memasuki ruang pendapa utama sesaat setelah menabatkan kuda mereka.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Panjawi menyambut kedatangan ketiga orang tersebut sebelum mempersilahkan ketinganya masuk,
-- "marilah tuan.." -- berkata Ki Panjawi kepada Mahesa Jenar.
"ah kau, jangan memanggilku seperti itu Panjawi, bukankah kita bukan baru saja kenal?" -- desis Mahesa Jenar sebelum kembali berkata setelah melihat Panjawi yang justru termangu-mangu, -- "rasanya aku lebih tua beberapa tahun darimu adi Panjawi, panggil saja aku kakang, yang tentunya akan menambah keakraban diantara kita" -- lanjut Mahesa Jenar sambil menyunggingkan senyumnya.
Namun tiba-tba saja Panjawi terkejut mendengar Arya Salaka bertanya kepadanya, -- "bagaimana keadaan ayah, paman?" -- desis Arya Salaka.
"Oh...ya ngger, ayahmu ada didalam gandoknya ditunggui istri dan pamanmu Ki Ageng Lembu Sora" -- jawab Panjawi terbata-bata. Lalu tanpa bertanya lagi Arya Salaka pun serta merta pergi menuju bilik pribadi ayahnya tersebut. Bahkan Rara Wilis pun mengikutinya dibelakang.
Terlihat Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menarik nafas dalam-dalam dan berkata -- "bagaimana keadaan kakang Gajah Sora, adi Panjawi?"
"Nampaknya luka dalam yang dialami Ki Ageng cukup berat kakang, hingga sampai sekarang beliau belum sadarkan diri.." -- jawab Panjawi seraya berdesis.
"Baiklah..aku akan melihat keadaan kakang Gajah Sora" -- lanjut Mahesa Jenar.
Namun sebelum beringsut, Mahesa Jenar sejenak melayangkan pandanganya orang-orang yang sebelumnya telah berada dipendapa itu dan bermaksud hendak mohon diri. Namun ternyata ada beberapa orang yang secara naluri memaksa Mahesa Jenar untuk menyapa,
"apakah aku tak salah melihat, kau Wirasaba..? kau juga disini?" -- bertanya Mahesa Jenar agak terkejut.
"Seperti yang kau lihat Mahesa Jenar, meskipun usia bertambah tua tentu suara kita tak berubah" -- jawab Wirasaba seraya tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya, -- "sebenarnyalah aku mendengar bahwa akan ada jumenengan kepala tanah perdikan baru disini, akan tetapi justru aku mendapati hal yang tidak aku sangka-sangka" -- jawab Ki Wirasaba,
Kemudian merekapun secara singkat menanyakan kabar keselamatan diantara keduanya sebelum Mahesa Jenar mohon diri untuk melihat keadaan Ki Ageng Gajah Sora.
Akan tetapi Mahesa Jenar sekali lagi termangu-mangu setelah melihat keberadaan Ki Juru Mertani yang juga hadir disitu,
"Kau..?" -- desis Mahesa Jenar setelah memandang Ki Juru Mertani.
GTK VII - 3
"Taklimku pada paman Rangga Tohjaya" -- berkata Ki Juru Mertani seraya tersenyum, sebelum melanjutkan ucapannya, -- "aku adalah Martani, yang dulu paman lihat di kediaman paman Henis di Sela, bersama-sama dengan adi Pemanahan juga adi Penjawi" -- lanjut Ki Juru Mertani yang masih membiaskan senyum.
"Oh,.." -- Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "jadi anakmas yang bersama rombongan prajurit Pajang itukah?" --
"Sebenarnyalah paman, kami memang mengemban tugas khusus dari Kanjeng Adipati Pajang yang seharusnya turut menjadi saksi atas penobatan kepala tanah perdikan Banyubiru ini" -- jawab Ki Juru Mertani kemudian.
"Jadi anakmas sekarang tinggal di Pajang?" -- bertanya Mahesa Jenar kemudian.
"Benar paman, aku juga adi Pemanahan dan adi Penjawi" -- jawab Ki Juru Mertani.
Kemudian Mahesa Jenar terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun tidak terlalu mengenal Ki Juru Mertani dan saudara-saudaranya itu, sebagai sahabat Ki Ageng Henis yang juga bergelar Ki Ageng Sela nom itu, tentu Mahesa Jenar sedikit banyak tau keakraban diantara mereka, ditambah Mas Karebet yang sekarang menjadi seorang Adipati di Pejangkung itu. Mas Karebet yang juga salah seorang murid Kyai Henis tersebut.
Oleh karna itu tentu sudah sewajarnya jika orang-orang Sela mendapat tempat yang selayaknya di Kadipaten Pajang.
"Baiklah anakmas, aku mohon diri dulu untuk menjenguk kakang Gajah Sora dibiliknya, nanti kita Lanjutan perbincangan ini" -- berkata Mahesa Jenar kepada Ki Juru Mertani.
"Silahkan paman.." -- jawab Ki Juru Mertani seraya tersnyum.
Dalam pada itu Ki Ageng Gajah Sora masih terbaring dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bahkan semakin lama wajah yang sudah keliatan menua itu nampak semakin pucat, sehingga keadaan itu semakin membuat orang-orang didalam gandok itu dirundung kecemasan yang luar biasa.
"Bagaimana paman?" -- bertanya Arya Salaka kepada Mahesa Jenar yang mencoba semampunya memeriksa keadaan Ki Ageng Gajah Sora tersebut.
Akan tetapi Mahesa Jenar seakan-akan mengerutkan keningnya ketika melihat sesuatu pada diri kepala tanah perdikan Banyubiru itu. Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti menepis apa yang telah dilihatnya.
"Tidak mungkin...!!" -- desis Mahesa Jenar
"Apa yang terjadi paman?" -- kembali Arya Salaka melontarkan kecemasannya.
"Aku bukanlah seorang dukun atau tabib, mudah-mudahan mengelihatanku salah, aku melihat ayahmu seperti terkena pukulan beracun, Arya..!" -- jawab Mahesa Jenar.
"Pukulan beracun?" -- tukas Ki Ageng Lembu Sora.
"Benar Ki Ageng, lihatlah semburat hitam kebiru-biruan diantara wajah kakang Gajah Sora yang pucat itu, meskipun terlihat samar" -- jawab Mahesa Jenar.
"Lalu apakah ayah masih bisa...?" -- tukas Arya Salaka yang kemudian ucapannya terpotong oleh suara Mahesa Jenar.
"Kita berdoa saja..mudah mudahan Yang Maha Agung akan selalu melimpahkan kasihnya pada kita semua, mudah mudahan tidak terjadi sesuatu yang serius, -- tukas Mahesa Jenar.
" Mahesa Jenar, bukankah kau mampu menawar segala jenis racun? -- bertanya Ki Ageng Lembu Sora
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, -- "ya, akan tetapi penawar racun dalam tubuhku itu tidak bisa aku ungkapkan keluar Ki Ageng" -- desis Mahesa Jenar.
"Naga Pertala biadab..!!" -- geram Arya Salaka kemudian sambil mengepalkan tangannya.
"Sudahlah Arya, yang terpenting sekarang bagaimana kita mencari cara untuk mengeluarkan racun dari tubuh ayahmu itu, sungguh akupun sangat menyesal telah membinasakan orang itu" -- sesaat Mahesa Jenar kembali menarik nafas panjang-panjang lalu meneruskan ucapannya, -- "jika tidak tentu kita bisa setidaknya memaksa Kyai Naga Pertala itu untuk memberikan penawarnya" -- lanjut Mahesa Jenar.
Suasana didalam gandok pribadi Ki Ageng Gajah Sora itu menjadi nampak hening, seakan-akan semua orang yang berada di ruangan itu sedang berpikir keras mencari cara untuk kesembuhan Kepala Tanah Perdikan Banyubiru tersebut. Kemudian tiba-tiba saja suara Widuri justru memecahkan keheningan itu. -- "kakang, bukankah kita pernah terkena pukulan beracun seperti itu, meskipun tidak seberat yang kini diderita ayah?" -- desis Widuri seraya berpaling ke arah Suaminya.
"Tanu...ya, Tanu Metir..!!, harapan kita hanya pada dukun muda itu..." -- tiba-tba saja Arya Salaka teringat seorang dukun muda yang dulu pernah menolongnya itu.
"Tanu Metir..?" -- bertanya Mahesa Jenar kemudian.
"Ya paman,...hanya orang itu harapan satu-satunya, dia seorang dukun muda dipedukuhan kecil yang bernama Pakuwon..dialah yang mengobati aku dan Widuri saat terkena racun yang sama.." -- berkata Arya Salaka, -- "akan tetapi pedukuhan itu cukup jauh dari sini" -- lanjut Arya Salaka yang mulai di rundung keraguan.
Mahesa Jenar kembali mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "Arya, jika kau yakin, lebih baik melakukan sesuatu dari pada diam menunggu.!" -- desisnya.
GTK VII - 4
"Tapi jarak yang harus ku tempuh untuk pergi kepedukuhan itu cukup jauh paman." -- desis Arya Salaka, lalu terdiam sambil memandang tubuh Ki Ageng Gajah Sora yang terbaring diam dipembaringannya... "jika aku kesana sekarang, paling tidak besuk lusa aku baru akan kembali, sedangkan keadaan ayah begitu mengkhawatirkan" -- lanjut Arya Salaka lirih.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat menarik nafas panjang, dia pun memahami apa yang diutarakan Arya Salaka tersebut. Walau begitu Mahesa Jenar masih nampak tenang meskipun tidak dipungkiri hatinya pun dilanda kecemasan luar basa melihat keadaan sahabatnya tersbut.
Akan tetapi Mahesa Jenar mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara lembut bersenandung yang datang dari luar bangunan rumah itu. Lambat laun suara itu begitu jelas seakan-akan menyelinap diantara sela dinding-dinding rumah tersebut. Suara itu begitu merdu seperti memantul mantul lembut seakan-akan bagai datang dari segala menjuru arah susul menyusul. Lantunan sebuah sebuah tembang dhandhanggula seperti membasahi hati setiap orang didalam gandok tersebut sehingga bagai meredam badai kekhawatiran diantara mereka.
"Pangastuti gegamaning urip
Liring ati manembahing Allah
Miwah kalis sakeh pambeng
Kabeh kranan atimu
Ingaranan den dilakoni
Nadyan ketaman lelara
Ati datan purun
Den eling maring sasmita
Gung pacoban nirluwih diraning dhiri
Kalis kersaning Allah"
Untaian kata-kata pada syair tembang itu seperti menuturkan sebuah petuah bahwa kesabaran itu merupakan yang utama dalam menjalani kehidupan ini. Juga untuk selalu ingat kebesaran Sang Khalik, untuk memohon jalan dalam melalui segala aral dan rintangan kehidupan ini. Akan tetapi ketabahan itu memang tergantung pada kekuatan hati masing-masing diri, cara bagai mana untuk menjalaninya. Sebagai titah, setiap orang tidak akan luput dari pada penderitaan, akan tetapi janganlah membiarkan hati larut dalam pederitaan itu. Karna sesungguhnya tidak ada hal yang tidak mampu terselesaikan dari apa yang dialami manusia.
"Tembang dhandhanggula..?" -- desis Mahesa Jenar seraya berpaling kearah istrinya, -- "Wilis...apakah aku tidak salah dengar? suara itu.." --
Bahkan Rara Wilis pun menjadi termangu-mangu bagaikan tak percaya tentang apa tang didengarnya pula. Perlahan-lahan dipusatkannya indera pendengarannya untuk menyimak suara tembang yang sesungguhnya tidak asing baginya tersebut. Tembang yang juga sering didendangkan mediang kakeknya itu seakan-akan membuatnya penasaran.
"Bukan kakang..!" -- desis Rara Wilis seraya memandang suaminya, --"itu tidak mungkin, kakek sudah tiada beberapa tahun lalu"
"Paman...." -- terdengar suara Widuri seperti berbicara pada dirinya sendiri, . -- "ini suara paman Dipasanjaya..!!" -- lanjut Widuri yang serta merta keluar mengikuti arah suara tersebitu
"Dipasanjaya..!!" -- sahut Mahesa Jenar .
Sementara itu Widuri berjalan cepat menuju halaman belakang rumah mengikuti arah suara itu. Rasanya ada perasaan yang aneh akan kedatangan orang yang disebut Ki Dipasanjaya tersebut. sehingga selalu terbayang wajah ayahnya.
GTK VII -5
Semilir angin pagi itu bagaikan menyapa daun-daun pepohonan diantara pagar yang mengelilingi halaman belakang bangunan induk di tanah perdikan Banyubiru tersebut. Sekali-sekali meliuk bergantian menutupkan bayang-bayang sinar matahari diantara celahnya dan bergantian meneduhi pelataran dibawahnya.
Sementara Widuri terlihat termangu-mangu melihat sekeliling pelataran halaman belakang rumah itu, dan tak satupun tanda-tanda sesuatu yang dicarinya. Suara lantunan tembang itu seakan-akan sirna bersama lembutnya angin pagi yang senantiasa berhembus tiada henti.
"Widuri" - - desis Arya Salaka yang menyusulnya dibelakang.
Widuripun serta merta menoleh kearah suaminya, akan tetapi tidak berkata sepatah katapun seraya melayangkan pandanganya kesekeliling pelataran tersebut. Kemudian perlahan berjalan mengintari halaman itu.
"Apakah kita semua salah dengar?" - - suara Widuri lirih seakan berbicara pada dirinya sendiri, -- "seharusnya tidak, suara itu seperti suara yang kita dengar beberapa waktu lalu kakang" - - lanjut Widuri.
Arya Salaka kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menjawab, - - "ya, kau benar, akupun masih hafal suara tembang itu meskipun dalam syair yang berbeda"
Akan tetapi kedua suami istri itu tiba-tiba menjadi terkejut ketika satu suara menyapanya. Seseorang yang justru telah berdiri didepan pintu belakang rumah yang beberapa saat mereka lalui. Bahkan seakan-akan orang itu baru saja muncul dari dalam rumah itu sendiri.
"Anak-anakku, apa yang kalian cari?" desis orang itu.
Demikian mata Widuri menjadi terbelalak demi melihat orang tersebut, wajah wanita cantik dan Kadang-kadang masih menyiratkan menyiratkan kemanjaan itu terlihat seperti gembira, gemas, bahkan berbias sedikit kegusaran oleh karna dorongan kejengkelan dalam dadanya,
"Ayah..!!" - - Teriak Widuri seraya berlari kearah orang itu seraya memeluknya dengan sangat erat, lalu sambil matanya membasah memukul-mukul dada orang tersebut kemudian memeluknya lagi.
"He, Widuri, apa-apan ini, kau bukan anak kecil lagi seperti dulu, lepaskan ayah, apakah kau tidak malu sama suamimu?" - - berkata orang yang ternyata adalah ayahnya itu.
"Aku tak peduli!, salah sendiri kenapa ayah harus sembunyi-sembunyian?' - - tukas Widuri, lalu kembali memukuli dada ayahnya tersebut.
Arya Salaka serta merta menghampiri mereka berdua lalu tersenyum dan berkata, - - "taklimku untuk paman Kanigoro" - - berkata Arya Salaka seraya mengangguk dihadapan mertuannya tersebut.
"Restuku pula untukmu anak-anakku, he Widuri, lepaskan tangan ayah, marilah kita kedalam" - - jawab Ki Kebo Kanigoro.
"Nggak mau!" - - jawab Widuri singkat. Sementara Arya Salaka yang sudah hafal perangai istrinya itu hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya
Dalam pada itu ternyata memang, Ki Kebo Kanigoro bukanlah datang sendirian ditempat itu. Bahkan dalam bilik itu Ki Dipasanjaya telah mengamati keadaan Ki Ageng Gajah Sora tersebut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, bahkan kadang menggelengkan kepalanya pula seraya menarik nafas panjang-panjang, sebelum Ki Kebo Kanigoro bersama anak dan menantunya datang.
"Bagaimana kakang?" -- berkata Ki Kebo Kanigoro seraya memandang sahabatnya tersebut
Tidak seperti biasanya Ki Dipasanjaya yang sebenarnya seorang tua yang suka bercanda itu kini terlihat begitu serius memperhatikan perkembangan luka yang dialami Ki Ageng Gajah Sora.
"Racun dalam tubuh itu nampaknya mulai menyebar.." -- desis Ki Dipasanjaya seraya meneruskan ucapannya, -- "mudah-mudahan kita tidak terlambat, aku akan mencoba sekuat tenaga untuk menawarkan racunnya. Mudah-mudahan usahaku tidak sia-sia" -- lanjut orang thening. ..
Suasana dalam gandok itu serta merta menjadi hening, tak satupun diantara mereka yang bersuara, bahkan Arya Salaka pun hanya diam dan berharap-harap cemas dengan keadaan ayahnya tersebut.
Sesekali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya namun juga tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Demikian Ki Ageng Lembu Sora juga yang lainnya. Sebelum suara Ki Dipasanjaya seakan memecahkan keheningan suasana itu.
"Baiklah, kita tidak boleh membuang waktu, namun sebelumnya dengan tidak menghilangkan rasa hormat biarlah ruangan ini kita buat lebih longgar agar upaya menyembuhan ini menjadi lebih baik" -- desis Ki Dipasanjaya seraya melanjutka ucapannya, -- "kita akan mendesak racun dalam tubuh Ki Ageng, sebelum menawarkan sisa-sisa racun yang menyebar".
Demikianlah kini hanya Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Kebo Kanigoro juga Ki Dipasanjaya sendiri yang masih berada didalam gandok tersebut. Perlahan-lahan dibukanya kancing baju Ki Ageng Gajah Sora sehingga kini terlihat jelas betapa bekas telapak tangan telah menghitam tepat dipunggungnya.
"Gila..!! benar-benar racun yang sangat jahat.." -- desis Ki Dipasanjaya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum melanjutkan ucapannya, -- "kalian tahan tubuh Ki Ageng agar tetap dalam posisi duduk, aku akan membuat jalan untuk mengeluarkan racun pada bekas pukulan itu" --
Ki Dipasanjaya kemudian mengambil dimar yang tergantung didinding bilik itu kemudian menyulutnya hingga dimar itu menyala api. Lalu dari balik bajunya Ki Dipasanjaya mengeluarkan semacam kepis berbahan kulit yang ternyata berisi pisau-pisau kecil yang sangat tajam, seraya mengambil satu dari pisau itu kemudian dipanggangnya diatas api dimar tersebut.
"Ini akan terasa sedikit menyakitkan.." -- berkata Ki Dipasanjaya seraya menotok bagian-bagian sekitar punggung Ki Ageng Gajah Sora yang serta merta terdengar melenguh. Demikian setelah pisau itu nampak membara disudutkanlah sedikit mata pisau yang membara itu kebagian tubuh yang menghitam itu.
Satu keluhan pendek kembali terdengar dari mulut Ki Ageng Gajah Sora.
GTK VII - 6
Pelan namun pasti racun-racun yang mengendap dalam tubuh Ki Ageng Gajah Sora itu sedikit demi sedikit telah mampu dikeluarkan. Hingga pada suatu ketika oleh karna desakan hawa murni dari keempat orang berilmu tinggi itu membuat Ki Ageng Gajah Sora menyemburkan darah hitam dari mulutnya. Keringat dingin pun semakin mengucur dengan derasnya, akan tetapi lambat namun pasti pucat diwajahnya berangsur-angsur membesitkan rona kemerahan meki tidak telalu jelas. Ki Dipasanjaya kemdian mengeluarkan dua butir pil berwarna putih dari dalam bumbung kecil yang terselip di pinggangnya tersebut.
Perlahan-lahan nafas Ki Ageng Gajah Sora pun terlihat mulai mengalun secara teratur. Meskipun Ki Ageng Gajah Sora belum juga terlihat sadarkan diri.
"Baiklah...biarlah Ki Ageng berbaring sejenak, mudah-mudahan obatku mampu bekerja dengan baik" -- berkata Ki Dipasanjaya kemudian.
"Trimakasih paman.." -- desis Arya Salaka
Ki Dipasanjaya kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil kembali berkata, -- "jangan sungkan ngger, aku hanya berusaha, mudah-mudahan Yang Maha Agung mengabulkan permohonan kita untuk kesembuhan ayahmu"
Demikianlah kemudian Ki Ageng Gajah Sora kembali dibaringkan di tempat pembaringannya setelah segala upaya yang dilakukan Ki Dipasanjaya selesai.
"Sekarang biarlah ayahmu tidur...mudah-mudahan sampai nanti sore tubuhnya akan berangsur menjadi baik" -- berkata Ki Dipasanjaya lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, -- "marilah kita keluar dari bilik ini biar udara menjadi semakin segar digandok ini, biarlah angger Arya Salaka yang menunggui sejenak disini" -- lanjut Ki Dipasanjaya seraya berpaling kearah Mahesa Jenar dan Ki Kebo Kanigoro.
Dalam pada itu ketiga orang itu telah memasuki ruang pendapa, yang kemudian dengan tergopoh-gopoh Panjawi yang sudah berada disitu sejak pagi mempersilahkan ketiganya. Tidak lupa Ki Panjawi pun kemudian bertanya tentang keadaan junjungannya tersebut.
"Semua sudah berjalan dengan baik, mudah-mudahan usaha kita mendapatkan hasih seperti yang kita harapkan" -- desis Mahesa Jenar seraya berpaling menatap wajah Ki Penjawi.
"Syukurlah.." -- jawab Penjawi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali berucap, -- "kakang, ada pesan dari Ki Juru Mertani yang beberapa saat lalu mohon diri kembali ke Pajang" -- lanjutnya.
"O, demikian tergesa-gesa?, sebenarnya aku ingin bicara panjang lebar dengannya" -- ucap Mahesa Jenar.
"Nampaknya ada sesuatu yang penting berkenaan dengan Pajang kakang, hingga Ki Juru tidak bisa menunda nya" -- sahut Ki Penjawi.
Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mempersilahkan Ki Kebo Kanigoro dan Ki Dipasanjaya duduk pula. Lalu setelah menarik nafas panjang-panjang berkata, -- "entahlan..bagaimana jadinya jika kakang berdua tidak datang kesini. Pasti kakang Gajah Sora tidak akan bertahan" -- desis Mahesa Jenar.
"Jangan begitu adi Mahesa Jenar.." -- sahut Ki Dipasanjaya kemudian, -- "segala sesuatu pasti ada pemecahannya, lagi pula aku tidak mutlak mampu mengobati Ki Ageng atau tidak, semua kembali kepada kuasa Yang Maha Agung"
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya seakan memahami apa yang dikatakan sahabatnya itu.
"Lalu siapa yang mengabari kakang tentang kemelut disini?" -- bertanya Mahesa Jenar kepada Ki Kebo Kanigoro kemudian.
"Ah...tidak ada adi.." -- Ki Kebo Kanigoro kemudian menarik nafas panjang-panjang sebelum melanjutkan kata-kata nya, -- "entahlah dalam beberapa hari terakhir ini aku seperti ingin menjenguk Widuri disini. Karna kebetulan kakang Dipasanjaya berada bersamaku maka kita jalan bersama" -- jawab Ki Kebo Kanigoro.
"Jadi, yang bermain-main cambuk dimedan pertempuran itu, kakang Dipa..?" -- bertanya Mahesa Jenar demi teringat atraksi orang bercambuk dalam peperangan beberapa saat lalu.
"Cambuk..? Maksudnya?" -- Ki Dipasanjaya kemudian mengerutkan keningnya.
"Ya jurus-jurus cambuk ala pangeran Windu Winata?" -- tukas Mahesa Jenar
"Kau jangan bergurau adi Mahesa Jenar, mana mungkin dia berkeliaran sampai disini diusianya itu" -- lanjut Ki Dipasanjaya.
"Bukankah kakang juga mampu bermain cambuk seperti itu? -- lanjut Mahesa Jenar kemudian.
"Ah, itu bukan aku, kau bisa tanya kawan seperjalananku ini" -- berkata Ki Dipasanjaya sambil tersenyum. Lalu memandang Ki Kebo Kanigoro yang terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi siapa orang bercambuk yang memakai cadar itu" -- bertanya Mahesa Jenar dalam hati.
Bersambung...