GUGAT TRAH KUSUMA JILID V
Jarak Pedukuhan Kepoh
menuju Pakuwon memang masih harus melewati beberapa Kademangan lagi,
akan tetapi tidaklah seramai ketika Raden Pamungkas melewati Kota
Kadipaten Pajang beberapa waktu lalu, terlebih masih banyak hutan-hutan
kecil yang membatasi pedukuhan yang satu dengan pedukuhan lainnya,
Bahkan kadang kala tersiar kabar bahwa di hutan-hutan kecil itu juga
sering terjadi gangguan keamanan kepada orang-orang yang melintas,
adalah kelompok Ki Macan Gembong yang konon paling kuat dari kelompok
kelompok Kecu yang lainnya, bahkan menurut kabar pernah seorang Prajurit
di hajar habis-habisan ketika pada suatu saat menghalangi kelompok itu
sedang beraksi.
Raden Pamungkas masih berjalan menyusuri daerah
itu, akan tetapi kadang kala harus berhenti ketika menjumpai satu, dua
rumah yang ada di sepanjang jalan itu untuk sekedar minum air kendi yang
terletak di sisi kanan regol nya.
Sampai ketika melewati bulak panjang sebelum kembali harus melintasi hutan kecil di ujung jalan itu.
Pandangan matanya seakan-akan di manjakan dengan keindahan pemandangan
sawah yang terlihat sangat jauh dari tempatnya berjalan, di tambah
betapa megahnya Gunung Merapi yang menjulang tinggi dengan asap putih
yang selalu mengepul diatas puncaknya.
Namun beberapa saat
sebelum memasuki hutan kecil di ujung bulak itu, Raden Pamungkas sedikit
tertegun, telinganya yang terlatih itu seakan-akan mendengar sesuatu
yang aneh disekitar pinggir hutan kecil itu.
"Lapat-lapat seperti ada suara senjata beradu.." -- desis Raden Pamungkas
Dengan hati-hati diapun mencoba mendekati arah suara itu, sehingga
semakin lama suara denting senjata beradu itu semakin jelas di
dengarnya, kemudian di balik sebuah batu yang cukup besar itu Raden
Pamungkas berjongkok memperhatikan apa yang kemudian di lihatnya.
"Nampaknya ada yang sedang berkelahi.." -- desis Raden Pamungkas.
Akan tetapi hatinya berdesir ketika pengeliatannya menjadi semakin
jelas, dengan mengerutkan dahinya Raden Pamungkas kemudian berbicara
dalam hatinya, -- "Aku seperti mengenal orang yang duduk di pinggir
arena perkelahian itu"
Lalu seperti membeliakkan matanya leber-lebar
dia pun kembali berdesis,-- "bukan kan itu kakang Sadewa?, kenapa dia
berada di sana seperti menonton perkelahian itu?, lalu siapa anak yang
masih muda belia yang bertarung melawan orang berwajah garang itu?"
Berbagai pertanyaan muncul di hati Raden Pamungkas, namun dia
memutuskan sementara tetap bersembunyi di balik batu besar itu, sambil
memperhatikan pertarungan itu.
Dia melihat betapa lincahnya anak
muda itu mencecar lawannya yang memiliki tubuh tinggi besar trsebut,
bahkan orang yang berwajah garang itu sesekali kebingungan meladeni
serangan jurus-jurus yang membingungkan dari anak itu. tak jarang orang
itu harus surut satu dua langkah ketika menahan benturan-benturan pedang
di antara mereka,
Sementara dibalik batu besar itu Raden
Pamungkas masih seksama mempeehatikan perkelahian yang semakin lama
semakin sengit tersebut,
"Sepertinya orang berwajah garang itu
tak akan lagi mampu bertahan lama,...anak muda itu benar-benar tanggon,
tata geraknya sama persis dengan jurus-jurus yang di miliki Kakang
Sadewa, aneh, rumit, dan membingungkan"',
sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian dia kembali berdesis,-- "apakah
anak muda itu murid Kakang Sadewa? lalu kenapa dia hanya menonton saja?"
Ternyata dugaan Raden Pamungkas benar, setelah melewati beberapa
gerakan akhirnya orang yang berwajah garang itu telah kehilangan
pedangnya dan terlentang tak berdaya diatas tanah, sementara ujung
pedeng anak muda itu menempel di leher orang itu.--
"Untara berhenti..!! jangan kau bunuh orang itu" -- teriak orang yang duduk menonton perkelahian tersebut.
Sementara anak muda itunpun menghentikan laju pedangnya, akan tetapi ujung pedangnya masih menempel di leher orang itu.
"Apakah kau menyerah..?!" -- berkata anak muda itu kepada lawannya yang
sudah tidak berdaya itu,-- "tubuhmu telah penuh luka, akan tetapi jika kau
tidak menyerah pedang ini akan merobek lehermu"
"Baik, anak
muda, baik aku menyerah... Jangan bunuh aku" -- orang itu kemudian
berpaling ke arah orang yang sedari tadi duduk menonton pertarungannya
seakan memohon supaya mengendalikan kemarahan anak muda itu.
Perlahan-lahan anak muda itu mengendorkan tekanan ujung pedangnya sehingga leher orang itu menjadi lega.
Kemudian orang yang di sebut Kakang Sadewa oleh Raden Pamungkas itu terdengan berbicara,
"Katakan siapa kau..yang dengan sombong telah berani menyamun seorang diri di tempat ini"
"Ampun Ki, namaku Macan Gembong.." -- desis orang itu
"O, jadi kau yang selama ini menjadi kembang lambe di sekitar hutan kecil ini?"-- lanjut Ki Sadewa
Orang itu tidak menjawab, kepalanya hanya bisa menunduk menerima
kenyataan yang dihadapi, sebagai gegeduk yang di segani di kawasan hutan
itu harus mengakui kehebatan orang yang masih sangat muda tersebut.
"Apakah kau punya kawanan?" -- bertanya Ki Sadewa kembali
Ki Macan Gembong hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya,
"Baiklah kisanak, kali ini aku sedang ada keperluan penting dari
sekedar mengurusimu, kau boleh pergi meski kau tadi sudah berusaha
hendak menyamun kami,..pergilah, dan jangan sekali-sekali aku melihatmu,
juga kawanmu kembali berbuat yang dapat merugikan orang lagi, jika
tidak aku sendiri yang akan membinasakanmu" --
"Baiklah.. aku tidak akan berbuat buruk lagi ditempat ini" -- desis Ki Macan Gembong
"Di manapun..tidak hanya di sekitar hutan ini" -- sahut anak muda itu,
"Baik, aku berjanji"-- kata Macan Gembong
Sejenak kemudian Ki Macan Gembong pergi meninggalkan kedua orang itu
menuju ke dalam hutan kecil itu, kemudian ketika orang itu sudah
menghilang di balik pepohonan keduanya nampak bergegas pergi pula
meninggalkan tempat itu,
Akan tetapi keduanya menjadi termangu-mangu ketika melihat seorang berdiri menghalangi jalan mereka,
"Apa kabar kakang Sadewa.." -- Berkata orang yang tak lain adalah Raden Pamungkas tersebut.
"Adi Tanu Metir..?" ---desis Ki Sadewa
Demikian kedua sahabat itu saling menyapa, setelah menanyakan kabar
keselamatan masing-masing, keduanya lalu mencari tempat untuk duduk, di
ikuti anak muda itu.
"Adi Tanu, entah sudah berapa kali matahari
itu hilir mudik antara gelap dan terang, sehingga aku mengira tak akan
lagi bertemu denganmu, setelah sekian lama aku tak lagi pernah
melihatmu, sehingga aku menjadi cemas kemana aku harus mencari obat jika
pada suatu saat aku masuk angin, kemanakah kau selama ini?" --berkata Ki
Sadewa memulai percakapannya sambil tertawa.
"Ah, bukan aku yang
menghilang tapi kau, sang pencinta seni olah kanuragan yang selalu haus
akan hal yang baru, sehingga dari ujung ke ujung pulau ini harus kau
jelajahi" -- dengan tertawa pula Raden Pamungkas, atau Tanu Metir dalam
pengenalan Ki Sadewa, itu menjawab.
Kemudian Tanu Metir berpaling
kepada anak muda yang duduk di sebelah Ki Sadewa tersebut, ada guratan
semangat yang begitu tinggi pada tatapan mata anak muda itu, juga sikap
ketegasan dan kesetiaan pada apa yang di yakininya, demikian dalam
pandangan mata Raden Pamungkas alias Tanu Metir terhadap anak muda itu.
"Kakang Sadewa, aku seperti melihat dirimu dalam setiap gerak anak muda ini, apakah dia....."
"Sebenarnyalah.." -- sahut ki Sadewa sambil tersenyum, -- "Untara, putraku
yang sulung yang pada waktu itu pernah aku bawa ke kediamanmu di
Pakuwon"
Tanu Metir kemudian mengangguk anggukkan kepalanya,
setelah menarik nafas dalam-dalam tiba-tiba diapun terdiam dalam
angan-angannya sendiri, Ki Sadewa yang usianya hanya terpaut kira-kira
empat atau lima tahun lebih tua darinya sudah berputra sebesar itu,
sedangkan dirinya memulai langkah menjadi kodrat seorang laki-laki pun
belum.
Sekilas terbayang pula wajah seorang gadis yang beberapa
waktu lalu telah menyentuh hatinya, angan-angannya tiba-tiba seperti
meronta seakan-akan ingin cepat-cepat kembali dan membawa gadis itu
bersamanya ke Pakuwon, kemudian tanpa sadar bibirnya pun bergumam
"Laras.."
"He, siapa dia?" -- bertanya Ki Sadewa Sambil tersenyum
Tanu Metir pun menjadi terkejut, mukanya menjadi merah, sehingga diapun
menjadi sadar akan lamunanya, lalu menundukkan wajahnya.
Bahkan kemudian dengan semakin tersenyum lebar Ki Sadewa melanjutkan ucapannya
"Sudah, tak perlu sungkan, aku tak tau siapa perempuan yang kau sebut
itu, akan tetapi menurutku kau sudah terlalu terlambat untuk menjalani
kodrat sebagai seorang lelaki, untuk itu aku akan sangat gembira jika
bisa segera melihatmu menempuh kehidupan itu"
"Ah, entahlah, aku hanya berserah kepada Yang Agung, kalau memang aku berjodoh tentu aku akan mensyukurinya" -- desis Tanu Metir
Ki Sadewa pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali berkata, -- "adi Tanu, sebenarnya aku masih ingin banyak berbincang denganmu, akan
tetapi aku ada keperluan menyangkut putraku ini, mudah mudahan setelah
semuanya selesai aku bisa menemui mu di Pakuwon"
"Kakang hendak kemanakah?" -- bertanya Tanu Metir
"Ke pajang, mengantar Untara mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang Prajurit disana" -- jawab Ki Sadewa
"O, begitu.." -- Tanu Metir pun menghampiri anak muda itu sambil
menepuk-nepuk pundaknya, kemudian dengan tersenyum berkata, "kau sangat
berbakat, kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan"
"Trimakasih.." desis Untara sambil mengangguk kecil
Namun belum sempat mereka beranjak pergi, satu suara yang berat telah mengejutkan mereka,
"Di mana anak muda sombong yang telah menghinaku..!!"
Ketiganya menjadi termangu-mangu, mereka belum mengerti maksud orang
yang terlihat berusia lanjut itu dengan apa yang di katakannya, karnanya
serta merta Ki Sadewa pun menghampirinya sembari berkata,
"Maaf, siapakah kisanak ini? dan apa yang kisanak maksudkan?"
"Jangan berlagak bodoh..!! Aku adalah Darba Menak guru dari Macan
Gembong, aku menginginkan anak muda yang telah mempermalukannya,
sehingga itu aku anggap telah menghina aku"
Mendengar ucapan
orang tua itu mecarinya, Untara pun tidak serta merta menjadi takut,
bahkan memandang orang tua itu dengan tatapan mata yang tajam.
Sementara Ki Sadewa terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, -- "Kyai, sebenaryalah murid mu baru saja bermain-main dengan putraku
disini, akan tetapi bukankah muridmu juga baik-baik saja dan tidak
cidera berat?"
"Omong kosong, apapun itu, anak itu dengan sombong
telah menjatuhkan martabat perguruanku, untuk itu serahkan anak muda
itu, aku Kyai Darba Menak akan memberinya pelajaran"
Darah muda
Untara serta merta menjadi mendidih mendengar ucapan orang tua itu,
sehingga tanpa dapat menahan gejolak hatinya diapun berteriak lantang, -- "Majulah orang tua, aku siap menghadapimu..!!"
Serta merta Tanu Metir menggamit pundak anak muda itu sambil berdesis, -- "Sudahlah, biar ayah mu yang mengurusi nya"
"Kyai Darba Menak" -- demikian Ki Sadewa kembali berkata, -- "aku sebenarnya
enggan untuk ribut denganmu, akan tetapi nampaknya kau telah
dikendalikan hawa nafsumu sehingga menganggap persoalan hanya bisa di
selesaikan dengan cara berkelahi, namun baiklah, sebenarnyalah apa yang
dilakukan anak muda itu adalah merupakan perbuatanku juga karna dia
putraku, maka jika kau bersikeras, aku yang akan melayanimu sekedar
bermain loncat-loncatan"
"Iblis...!! Kalian belum tau berhadapan
dengan siapa, jangan lah kau sendiri, majulah kalian bertiga secara
bersamaan agar pekerjaanku tidak terlalu lama, siapapun yang telah
berani menghina Darba Menak harus binasa"
Raden Pamungkas alias
Tanu Metir hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Kyai Darba Menak
itu, karna dia tau betapa tingginya ilmu Ki Sadewa, sehingga walaupun
Kyai Darba Menak berilmu tinggi, diapun harus bekerja keras untuk
menundukkan Ki Sadewa seorang diri.
Sementara Ki Sadewa yang
merasa sudah banyak kehilangan waktunya untuk pergi ke Pajang menjadi
agak gusar, dan ingin secepatnya menyelesaikan persoalan, karnanya
diapun maju dan berkata, --"Kyai Darba Menak...silahkan, aku sudah siap..".
Tanu Metir menggamit bahu anak Ki Sadewa itu seraya melangkah menuju
ketepian jalan. Sementara kedua orang itu terlihat saling mengambil
sikap,
Nampaknya Kyai Darba Menak sudah tidak akan memulai dengan
tataran-tataran awal ilmunya sehingga terlihat setiap gerak pembukaan
jurus jurusnya menjadi mantap dengan di dasari tenaga cadangan yang
dimilikinya, maka setiap gerak tangan dan kakinya bagai bersiuran
menyibak udara di depannya.
Demikian isyarat gerak itu telah
tertangkap oleh seorang Ki Sadewa dalam naluri bertarungnya yang begitu
peka, sehingga hatinya menjadi sedikit berdebar-debar, dia tau betapa
tataran tenaga cadangan orang tua itu begitu tinggi.
Akan tetapi sebagai seorang yang mempunyai pengalaman begitu luas membuatnya menjadi tidak kehilangan akal.
Telah berbagai banyak bentuk watak dan ketinggian ilmu di temuinya dalam petualangan seorang pencinta seni olah kanuragan,
Karna itu ketika Ki Sadewa melihat Kyai Darba Menak bergerak, dengan
tenang diapun menyambut setiap serangan yang mengarah kepadanya, bahkan
dia pun mampu menebak setiap serangan yang di lancarkan orang tua itu.
Di sisi lain, Kyai Darba Menak tidaklah putus asa walau setiap
serangannya mampu di hindari oleh lawannya, dalam hatinya telah
berketetapan harus menundukkan orang yang bernama Ki Sadewa itu,
karnanya serangan-serangan Kyai Darba Menak terlihat semakin membadai,
sambaran-sambaran tangan dan kakinya semakin membuat udara di sekitar
itu bagai bersiur-siur.
Sementara ki Sadewa masih belum
berkesempatan melancarkan serangan akibat tekanan yang dilancarkan Kyai
Darba Menak tersebut, sehingga dia terpaksa melangkah surut beberapa
kali sembil menghindari setiap serangan yang berbahaya itu.
Di
luar pertarungan, Untara yang masih belum begitu banyak melihat luasnya
pengalaman di dunia kenuragan menjadi berdebar-debar, dalam pandangan
matanya ia melihat betapa ayahnya sedang terdesak begitu hebat oleh
serangan-serangan Kyai Darba Menak yang begitu dahsyat, sehingga hatinya
menjadi begitu cemas.
Sementara Raden Pamungkas/Tanu Metir,
hanya terdiam sambil mengamati dengan seksama pertarungan kedua orang
itu, dalam pandangan matanya dia memang melihat Ki Sadewa terdesak
hebat, akan tetapi sebagai orang yang berilmu tinggi dia tau
sebenarnyalah Ki Sadewa belumlah mengalami kesulitan yang berarti, karna
dalam pandangan Raden Pamungkas walaupun orang tua itu berhasil
mencecarnya, sampai sekian lama belum satupun mampu menyentuh sahabatnya
tersebut.
Demikian Kyai Darba Menak pun semakin lama menjadi
semakin heran, dia merasa telah meningkatkan tingkatan ilmunya semakin
tinggi, bahkan mampu mendesak lawannya dengan hebat akan tetapi lawannya
itu seberti seekor sehingga selalu berkelit menghindar dengan sangat
licinnya.
Bahkan Kyai Darba Menak kadang kadang menjadi bingung
melihat setiap gerak lawannya tersebut, sehingga ketajaman naluri
menyerangnya menjadi kacau
Di sisi lain Ki Sadewa masih berusaha
mencari celah dalam usahanya membebaskan diri dari tekanan orang tua
tersebut, tetapi serangan-serangan Kyai Darba Menak semakin lama semakin
membadai hingga terlihat tangan dan kaki lawannya itu bagaikan berubah
menjadi banyak dan demikian rapatnya.
Maka dari itu dalam benak Ki
Sadewa tidak ada jalan lain lagi keculi melakukan serangan pula dengan
mencoba membenturkan kewadahannya, sehingga pada saat kaki Kyai Darba
menak menjulur ke dadanya, sapuan siku Ki Sadewa memapasnya dengan kuat
pula sehingga terjadilah satu benturan hebat.
Ki Sadewa terlihat
terdorong beberapa langkah kebelakang, terasa sikunya terasa bergetar
yang mengakibatkan rasa nyeri yang luar biasa.
Di sisi lain Kyai
Darba Menak pun kedudukannya tak sebaik Ki Sadewa, dia terkejut jika
kali ini lawannya tidak menghindar, tetapi justru memapas serangan
kakinya, sehingga seakan-akan dia merasakan kakinya membentur sebuah
tiang baja yang begitu keras.
Kyai Darba Menak kemudian terpental
pula kebelakang, terdorong oleh kekuatannya sendiri. Diapun kemudian
mengumpat-umpat dalam hatinya, sendi-sendi kakinya bagaikan terlepas
sehingga menjadikannya sulit mempertahankan keseimbangan tubuhnya untuk
berdiri diatas kakinya kembali.
"Iblis mana yang telah memberimu tenaga sebesar itu he?!" -- geram Kyai Darba Menak
"Kenapa..? Apakah kau sudah merasa segan melanjutkan perkelahian ini?" -- demikian Ki Sadewa menjawab.
"Kau begitu sombong..!! kau kira kau sudah merasa mampu mengalahkan aku?"
"Aku tidak berkata begitu" -- jawab Ki Sadewa singkat
"Baiklah, aku sudah berkeputusan untuk membinasakan mu saat ini, maka
sebelum kau akan kehilangan hari esokmu, sebutlah orang-orang nama
orang-orang terdekatmu hingga kau tidak mati penasaran" -- geram Ki Darba Menak
Ki Sadewa terlihat mengangguk anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "Kau jangan bergurau kisanak, kalaupun aku harus mati hari ini, tentu
bukan kau yang menjadi penentunya, karna hidup mati seseorang hanya
bernaung pada Sang Pencipta"
"Tidak perlu kau sesorah..!! sekarang bersiaplah untuk mati" -- Tiba-tiba dalam genggaman tangan Kyai Darba Menak seperti berkilau
memamcarkan cahaya, kemudian setelah berdiri, tangan kanannya nampak
mengayunkan sebuah senjata dengan cepat sehingga seperti tambak gulungan
cahaya putih menyilaukan mata,
"Pedang Bulan Sabit ku ini selalu
haus darah ketika sudah keluar dari sarungnya, maka jikau kau tak ingin
cepat binasa, tariklah sejatamu..!!" -- geram Kyai Darba Menak
"Maaf, bukannya aku sombong, aku tidak punya senjata khusus sepertimu
namun dengan senang hati aku akan menghadapimu dengam senjatamu yang
aneh itu orang tua" sahut Ki Sadewa
"Kau akan menyesal karna kesombongan iblis..!!!
Satu loncatan mematikan tiba-tiba melesat ke arah ki Sadewa, dan sesaat
kembali Ki Sadewa terdesak hebat, tubuhnya seperti terkurung cahaya
putih yang menyilaukan, sehingga dia tak mau mengambil resiko yang
terlalu besar, dengan sebuah gerakan aneh Ki Sadewa kemudian memutar
tubuhnya dan melenting tinggi seringan kapas, dan menghilang di dalam
rerimbunan daun lebat pada pohon tinggi yang tak jauh dari areana
pertarungan itu.
"Mau sembunyi di mana kau iblis..!!" -- teriak Kyai
Darba Menak yang kemudian melenting pula ke atas menyusul arah Ki
Sadewa sambil menebas kan pedang lengkungnya berulang-ulang.
Akan
tetapi Ki Darba Menak terkejut, belum sepat dia sampai ke atas,
tiba-tiba serpihan-serpihah daun yang bagaikan berubah kaku seperti
lempengan baja berhamburan ke arahnya, sehingga ia pun menjadi sibuk
menghindarinya juga menangkis dengan senjatanya.
Belum selesai
merasakan ketrekejutannya, tiba-tiba Ki Sadewa telah meluncur bagaikan
elang menukik ke bawah, ditangannya telah tergenggam sebuah dahan pohon
yang masih terlihat sisa-sisa daun di atasnya. Dahan sebesar tongkat itu
seakan menjadi sebuah senjata mencecar ke arah lawannya.
Untara
hanya termangu-mangu melihat tandang ayahnya tersebut, ia tak mengira
jika kemampuan ayahnya yang sebenarnya sehebat itu. Walaupun ia tau
bahwa ayahnya adalah termasuk orang yang berilmu tinggi.
Sementara Raden Pamungkas/Tanu Metir terlihat mengangguk anggukkan kepalanya kemudian berdesis,
"Luar biasa... aku memang tau jika Kakang Sadewa itu mampu menggunakan
segala macam benda menjadi sebuah senjata yang mematikan ketika benda
itu tersalur dengan tenaga cadangannya, akan tetapi baru sekarang aku
melihatnya mempergunakan ilmunya itu pada pertarungan yang sesungguhnya" -- desis tanu metir
"Kepanjiangan iblis dari mana orang ini?" -- berkata Kyai Darba Menak dalam hatinya
Ia merasakan dahan kayu di tangan lawannya itu bagai berubah menjadi
potongan tongkat baja yang keras luar biasa, bahkan dia pun semakin
mengumpat-umpat dalam hatinya ketika beberapa kali terjadi benturan
antara pedang lengkungnya dengan dahan kayu tersebut.
Jangankan
dahan kayu itu patah terpenggal, justru tangannya menjadi bergetar hebat
sehingga hampir saja pedangnya terlepas dari tangannya. Bahkan Kyai
Darba Menak semakin lama justru menjadi semakin terdesak, beberapa kali
ujung dahan di tangan Kyai Sadewa itu telah mampu menggapai bagian
tubuhnya, sehingga beberapa bagian tubuhnya berubah menjadi memar.
Maka menghadapi kenyataan tersebut, Kyai Darba Menak telah tergelitik
untuk menggunakan Aji Pamungkas nya, sehingga diapun lalu meloncat jauh
surut ke belakang, pedangnya pun kembali di selipkan kedalam wrangkanya.
"Bagus..!! Ternyata kau adalah seorang yang unik, kau mampu meminjam
dahan itu dari pohonnya sehingga menjadi senjata yang cukup baik, akan
tetapi aku belum kalah, aku ingin kau merasakan kedahsyatan Aji Wesi
Item ku ini, bersiaplah agar kau tidak mati terlalu mengenaskan" brkata Ki Darba Menak
"Kyai, apakah perkelahian tak berarti ini harus bebrakhir dengan sebuah kebinasaan?"-- desis Ki Sadewa
Akan tetapi Kyai Darba Menak tidak menjawab, dia terlihat justru
memusatkan nalar budinya, dan perlahan-lahan kedua tangannha bersilang
satu jengkal di depan dada, kakinya merenggang dan kedua lutut nya
sedikit ditekuk kebelakang,
Tiba-tiba, perlahan namun pasti kedua tangan Kyai Darba Menak sebatas siku itu menjadi hitam pekat laksana arang.
Di sisi lain Ki Sadewa menjadi berdebar-debar, dia tak menyangka bahwa
pertarungan itu akan menjadi bertambah berbahaya, dia pun melihat
perubahan yang terjadi pada tangan lawannya tersebut, lalu iapun
berdesis. -- "Apa boleh buat.. Ilmu orang tua itu tentu sangat ber
bahaya, aku harus menahannya dengan Aji Teja Ndaru jika aku tidak ingin
menjadi lumat"
Ki Sadewa pun kemudian membuang batang kayu itu,
di silangkan pula kedua tangannya di depan dada, kemudian menundukkan
wajahnya untuk memusatkan nalar dan budinya pula. Sehingga sesaat
kemudian terlihat sebuah cahaya tipis berwarna ke hijauan membayang di
tubuh nya, dan kembali kepalanya sejenak nenengadah, matanya memandang
tajam kearah Kyai Darba Menak yang juga beesiap lahir dan batin.
Maka ketika terlihat Kyai Darba Menek memajukan kedua tangannya, seleret
sinar kelabu menluncur dengan cepatnya ke arah Kyai Sadewa, akan tetapi
berbarengan dengan itu, dari kedua mata Ki Sadewa pun memancarkan sinar
tajam berwarna Hijau kebiru-biruan. Lalu satu benturan kedua jenis ilmu yang berbeda itu terjadi,
Ki Sadewa terlihat terdorong dua langkah kebelakang, di merasa dadanya
bagai di tindih batu sebesar kepala kerbau sehingga menjadikannya susah
untuk bernafas, dan tubuhnya terhuyung-huyung lalu terduduk di tanah.
Sementara Kyai Darba Menak justru lebih parah, tubuhnya kembali terlihat
terpental ke belakang, isi dadanya terasa bagai hangus terbakar,
sehingga dengan satu keluhan pendek orang tua itu kemudian terkapar di
tanah, nyawanya pun telah lepas.
"Ayah.." -- Untara lari mendekati tubuh Ki Sadewa yang terduduk dengan
wajah yang memucat, yang kemudian tersenyum walau napak pernafasannya
tidak teratur.
"Aku tidak apa-apa..." -- desisnya,
Sejenak
kemudian Ki Sadewa duduk bersila, di letakkan pangkal telapak tangan di
pangkuan kedua lututnya, lalu perlahan-lahan terpejam memusatkan nalar
budinya, dan mengatur jalan pernafasannya.
Raden Pamungkas terlihat mengerutkan keningnya setelah melihat keadaan tubuh sahabatnya itu, seraya berdesis,
"Ada sesuatu yang tidak pada semestinya pada tubuh Kakang Sadewa..."
Akan tetapi dia membiarkan saja Ki Sadewa melanjutkan pemulihan
dirinya, akan tetapi Raden Pamungkas menjadi cemas ketika pada satu kali
terlihat Ki Sadewa terbatuk pelan, sehingga dengan serta merta dia
segera bertindak,
"Kakang Sadewa, berhentilah.." -- berkata Raden Pamungkas.
Perlahan-lahan Ki Sadewa membuka matanya memandang Raden Pamungkas
"Adhi Tanu...adakah kau ingin mengatakan sesuatu?"
Raden Pamungkas kemudian menarik nafas dalam-dalam , kemudian memandang
tajam ke arah Ki Sadewa seakan melihat sesuatu yang aneh di matanya..
"Apakah kau merasakan nyeri di ulu hati di antara rasa sesak di dada" -- bertanya Raden Pamungkas kemudian
Ki Sadewa menjadi termangu-mangu mendengar kata-kata sahabatnya itu,
akan tetapi di tau jika sahabatnya itu adalah seorang dukun pengobatan
yang luar biasa, tentu dia melihat sesuatu perlu cermati dalam tubuhnya.
"Kau benar, aku merasakan itu.." -- desis Ki Sadewa
Raden Pamungkas kemudian mengangguk anggukkan kepalanya sebelum melanjutkan ucapannya.-- "Kakang Sadewa, aku melihat guratan warna hitam yang halus di antara
wajah mu yang pucat itu, dengan aku melihat ciri-ciri itu, aku yakin ada
sejenis racun yang mengendap dalam darahmu, meski tidak terlalu banyak"
Lalu Raden Pamungkas mengeluarkan sesuatu dari dalam bumbung kecil yang
terselip di balik pakaiannya tersebut, kemudian berkata,
"Kakang, telanlah dua butir pil ini, mudah-mudahan mampu mendorong racun dalam darahmu itu,"
Ki Sadewa pun kemudian menelan dua butir pil warna hitam itu kemudian
memasukkan kedalam mulutnya, karna dia sangat yakin dengan pengeliatan
sahabatnya tersebut,
"Trimakasih adi Tanu.." -- berkata Ki Sadewa dengan suara gemetar
Raden Pamungkas/Tanu Metir kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, -- "Jangan sungkan, yang terpenting semoga semua akan menjadi baik,
sekarang lanjutkanlah pemulihan tenaga kakang, mudah-mudahan atas ijin
Yang Maha Agung obatku itu menjadi berguna"
Demikian setelah Ki
Sadewa melanjutkan pemusatan pemulihan jalan nafasnya, Raden Pamungkas
beringsut mendekati Kyai Darba Menak yang terkapar di atas tanah, tak
terlihat tanda-tanda kehidupan lagi dalam tubuh diam itu, kemudian dia
pun mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian berdesis dalam hatinya,
"Ilmu kakang Sadewa memang luar biasa, Aji Wesi Item orang tua ini
adalah jenis ilmu yang sudah jarang ada sekarang ini, ilmu yang menurut
pengetahuanku pernah di miliki Patih Nambi pada awal berdirinya
Majapahit itu sempat menjadi momok dunia kanuragan pada jamannya, ilmu
yang sangat berbahaya jika di miliki orang semacam Kyai Darba Menak
karna watak ilmu itu sangat keji, lontaran kekuatannya mampu menyalurkan
racun jahat ke tubuh lawannya"
Kemudian ia pun meninggalkan
jasad Kyai Darba Menak yang sudah tak mungkin lagi dapat di tolngnya
itu, dan kmbali mendekati Ki Sadewa yang masih terlihat duduk sambil
memejamkan matanya,
"Untung saja Kakang Sadewa adalah seorang
yang berilmu sangat tinggi, juda daya ketahanan tubuhnya sangat kuat,
sehingga akibat dari Aji Wesi Item itu tidak terlalu menjadikan bahaya
baginya, kekuatan sorot matanya ternyata mampu menahan, bahkan mendorong
kekuatan Aji Wesi Item yang nggegirisi itu"
Dalam pada itu tiba-tiba untara menjadi cemas ketika melihat dari sudut bibir ayahnya meleleh darah kental yang menghitam,
"Ayah..!!" -- teriak Untara
"Tenanglah, ayahmu tidak apa-apa, darah di bibirnya itu racun yang
terdorong kelar dari tubuhnya, bersyukurlah, atas kehendak Yang Maha
Agung ayahmu akan segera pulih" -- desis Raden Pamungkas,
Untara pen
mengangguk angguk kecil, lalu hatinya menjadi sedikit tenang ketika
melihat wajah ayahnya sudah tidak terlalu pucat lagi, bahkan rona nya
semakin lama terlihat semakin normal.
Di sisi lain Ki Sadewa pun
merasakan perubahan dintubuhnya tersebut, dadanya sudah tidak seberat
apa yang tadi di alaminya, juga alur pernafasannya juga semakin teratur,
rasa-rasanya tubuhnya sudah terasa kembali normal meski badannya masih
serasa lemah. Kemudian perlahan-lahan matanya terbuka,
"Trimakasih adhi Tanu, entah apa yang ku alami saat ini jika kebetulan
tidaknada kau, aku tentu juga akan binasa oleh kekuatan racun akibat
ilmu orang tua itu"
"Ah, jangan begitu, aku ini seorang dukun,
dan sudah menjadi kewajibanku menolong orang sesuai dengan kemampuan
yang aku ketahui, walaupun aku hanyalah berusaha, karna sesungguhnya
tanpa kemurahan Sang Pencipta, tentu obatku tak berarti apa-apa" -- jawab
Raden Pamungkas.
Ki Sadewa pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya, dia mengerti watak sahabatnya itu, akan tetapi walau
bagaimanapun juga berkat dialah racun dalam tubuhnya menjadi sirna.
"Apakah kakang akan tetap pergi ke Pajang?, dengan tubuh yang masih lemah itu?" -- bertanya Raden Pamungkas.
Ki Sadewa termangu-mangu sejenak mendengar apa yang di ucapkan Tanu
Metir itu, namun setelah menarik nafas dalam dalam dia pun menjawab, -- "Waktu pelaksanaan pendadaran itu masih beberapa hari dari sekarang,
aku akan beristirahat barang semalam penuh di banjar pedukuhan terdekat
di depan sana sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pajang"
"Kakang Sadewa, bawalah bumbung ini, didalamnya masih ada beberapa pil
ramuanku, mudah mudahan dapat segera memulihkan tenagamu"
"Trimakasih, apakah sekarang kau akan segera kembali ke Pakuwon?"
Sambil tersenyum Raden Pamungkas kemudian menjawab, --"Iya, aku rasa sudah tidak akan ada lagi gangguan daam perjalanan
Kakang, sehingga sudah tidak perlu lagi mendapat pengawal seorang dukun
macam aku ini"
Ki Sadewa pun menjadi tertawa, hingga tangannya harus menahan dadanya yang masih sedikit terasa nyeri.
"Baiklah adi Tanu, silahkan, nanti jika urusanku sudah selesai aku akan mengunjungimu ke Pakuwon"
"Aku menunggumu, apa lagi jika kakang juga ingin belajar menjadi
dukun"-- Raden Pamungkas tertawa, kemudian mendekati Untara sambil
menepuk pundak anak itu, -- "teruslah bersemangat Kau akan menjadi seorang
prajurit yang hebat dan di perhitungkan,
"Trimakasih Ki.." -- desis Untara.
Beberapa saat kemudian mereka berisah menuju arah tujuannya masing-masing.
***
Wajah orang yang telah mendekati usia senjanya itu seperti
menerawang jauh di antara pepohonan hijau yang berjajar rapi sepanjang
jalan itu.
Sekali-sekali sepasang matanya yang masih terlihat bening
itu menyipit, seakan-akan melihat kembali beberapa kejadian yang telah
lampau, hari-hari yang penuh catatan-catatan pedih yang dulu pernah
melanda daerah itu, akan tetapi telah memberikan sebuah ketegaran jiwani
secara keseluruhan.
Terlebih-lebih hal yang di rasanya begitu
mengerikan menurut dirinya, ketika hampir saja dia dan para laskar
Banyubiru yang dipimpinnya harus berhadap-hadapan dengan panji-panji
perang pasukan Demak di mana dia pernah menjadi bagian dari panji-panji
juga tungul-tunggul tersebut.
Sehingga nyalinya pun menjadi pupus,
bukan karna kelemahannya dalam gelar perang ataupun lemah dalam
ketangguhannya sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan, akan tetapi
kibaran panji Gula Klapa yang telah meruntuhkan semangatnya untuk
melawan, yang membuat jantungnya berdebar-debar sehingga lututnya
menjadi gemetar.
Kejadian demi kejadian itu seakan-akan baru saja
lewat di matanya, masa-masa sulit itu kadang-kadang masih meninggalkan
perasaan getir di dalam hatinya, meski segala baik buruk yang telah di
alaminya itu diterimanya dengan ikhlas.
Orang tua itu yang tidak
lain adalah Ki Ageng Gajah Sora itu kemudian menarik nafas dalam-dalam,
matanya yang tiba-tiba menjadi redup itu seperti membasah meski tidak
meneteskan air mata,
Betapa hatnya menjadi semakin getir mana kala
harus meninggalkan anak dan istrinya waktu itu, karna harus menjalani
hukuman untuk mempertangung jawabkan raibnya kedua pusaka Demak yang
baberapa tahun lalu hilang dari tangannya.
Terbayang pula
seseorang yang telah berjasa besar dalam kehidupannya, seseorang yang
seakan-akan menggantikan perannya sebagai seorang ayah bagi anaknya
ketika dirinya meringkuk sebagai seorang pesakitan.
Seseorang yang
ternyata telah mampu menjadi orang tua bagi anaknya secara luar biasa,
sehingga menjadi seorang pemuda yang tangguh dan perkasa.
Akan tetapi Orang tua yang tidak lain Ki Ageng Gajah Sora itu menjadi terkejut ketika seseorang mendatanginya,
"Kau, adi Panjawi..adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan?"
"Benar Ki Ageng.."
"Katakanlah..."
Demikianlah Ki Panjawi yang sudah nampak tua itu kemudian beringsut dari tempatnya sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, -- "Ini menyangkut situasi keamanan pedukuhan yang berbatasan dengan daerah rawa pening, ki Ageng"
Ki Ageng Gajah Sora sesaat mengerutkan keningnya, -- "apa yang terjadi?"
"Sudah beberapa kali aku mendapatkan laporang dari para pengawal
pedukuhan di situ akhir-akhir ini banyak mendapat gangguan-gangguan dari
orang yang tidak di kenal, konon orang-orang tak di kenal kadang
meminta upeti kepada penduduk setempat, bahkan tidak jarang mereka
menggunakan cara kekerasan",-- Dengan singkat Ki Panjawi menceritakan
apa yang di ketahuinya itu
"Apakah kau tau siapa mereka?" -- bertanya Ki Ageng Gajah Sora
"Belum Ki Ageng, mereka selalu memanfaatkan waktu, dan seakan akan tau
kapan saat para pengawal pedukuhan meronda di tempat itu, sehingga
sampai saat ini belum sekalipun ada yang memergoki perbuatan mereka" --- jawab Ki Panjawi
"Lalu dari mana para pengawal itu tau jika orang-orang tak di kenal telah mengganggu ketentraman pedukuhan itu?" --- Lanjut Ki Ageng
"Dari keluhan beberapa penghuni itu sendiri" --kata Ki Panjawi
Ki Ageng Gajah Sora pun kemudian mengangguk anggukkan kepalanya, -- "Baiklah Adi Panjawi, bagaimanapun juga kita harus waspada, hal ini
akan aku bicarakan pada Arya Salaka untuk menanganinya, kau siapkan saja
kesiagaan pada seluruh pengawal tanah perdikan ini, tapi janganlah
terlalu mencolok, aku tidak ingin terkesan tanah perdikan ini sedang
tidak aman, lagi pula sebentar lagi kita akan punya hajatan yang sangat
berarti bagi kelanjutan Tanah Perdikan Banyubiru ini"
"Ya, Ki Ageng, aku akan secepatnya menghubungi anak-anak pengawal di tiap-tiap pedukuhan di Tanah Perdikan ini" berkata Panjawi kemudian lalu tanpa membuang waktu lagi Ki Panjawi pun segera mempersiapkan
kewaspadaan yang lebih dalam lagi, walau seakan tidak mencolok akan
tetapi beberapa pimpinan pemuda pengawal Tanah Perdikan itu sudah
mendapat perintah untuk meningkatkan segala kewaspadaan di tiap situasi.
Sebenarnyalah dari laporan para petugas sandi telah melihat beberapa perkemahan di sisi sebelah barat Rawa Pening.
Belum di ketahui siapa mereka dan apa tujuannya, akan tetapi sesekali
satu dua orang itulah yang ternyata nyasar ke pemukiman penduduk
pedukuhan, kadang-kadang mereka meminta bahan makanan, bahkan pakaian
secara paksa.
Tampang-tampang mereka yang liar, bahkan terlihat buas
itu benar-benar telah membuat sebagian penghuni pedukuhan itu manjadi
yidak tenang. bahkan yang lebih parah dari itu menurut keterangan
penduduk pedukuhan itu mereka kadang kala melarikan para wanita yang
kemudian mereka bawa, mereka tidak pandang bulu apakan perempuan yang
masih gadis, janda, bahkan yang sudah punya suami.
Dari hari
kehari keadaan di daerah itu ternyata semakin lama semakin mencekam,
orang-orang liar itu seakan-akan tidak lagi mempedulikan apapun, jika
mereka datang, apa yang di inginkannya harus dapat di ambilnya.
Demikian pada suatu saat sebuah aksi perampokan di siang itu terjadi di
pedukuhan sebelah barat pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru, lima
orang berkuda dengan pakaian serba hitam, dengan pedang berukuran besar
tergantung di pinggang mereka, matanya yang rata-rata liar itu terlihat
mengerikan bagi siapa yang melihatnya, mereka telah memasuki pedukuhan
tersebut.
Dan tak berselang beberapa lama mereka memasuki beberapa
rumah itu, lalu keluar dengan membawa berbagai macam barang, bahkan
terlihat salah satu dari mereka menyeret seorang perempuan yang terlihat
meronta-ronta,
"Diam kau..!! Kami tidak akan menyakitimu..!!" -- bentak orang itu.
Pemimpin gerombolan itu menyeringai melihat perempuan yang tidak berdaya itu dan berkata -- "Suranyali..!! Aku menyukai perempuan itu, hati-hatilah kau membawanya,
jika tubuhnya sampai lecet sedikit saja, aku puntir lehermu.."
Orang yang di penggil Suranyali itu hanya memandang ke arah pemimpinya
itu dengan rasa ketidak puasan yang terlihat di matanya, akan tetapi
nempaknya dia tidak bereni membantah, kepada orang tersebut.
"Baiklah kakang Seco Ireng, aku akan menjaganya untukmu" -- berkara Suranyali,
"Bagus.." -- jawab Seco Ireng sambil tertawa terbahak-bahak.
Akan tetapi di saat para gerombolan itu sedang sibuk menata
barang-rampasannya, serta merta menjadi terkejut ketika tujuh orang
pengawal tanah Perdikan Banyubiru mengepungnya,
"Kembalikan apa
yang kalian ambil dari para penduduk itu..!! lalu menyerahlah..!! Kalian
dintangkap, kami akan membawa kalian menghadap Ki Ageng Gajah Sora
pengageng Tanah Perdikan Bayu biru, karna kalian telah membuat keonaran
di wilayah pedukuhan yang menjadi bagian daru Banyubiru" -- Demikian
berkata seorang pemimpin pengawal itu.
"Setan alas..!! tikus-tikus tak tau diri, kalian tak tau berhadapan dengan siapa he..?!" --geram Ki Seco Ireng.
"Siapapun...yang telah berani melakukan tindak tidak terpuji di
Tanah Perdikan ini harus ditangkap, maka dari itu menyerahlah..!! Kalian
sudah terkepung" -- teriak pemimpin pengawal itu.
"Ternyata kalian
tikus-tikus sombong tidak tau diri..!! Baiklah majulah kalian secara
bersama-sama, kalian akan pulang menjadi mayat agar orang-orang
Banyubiru tau, saat kehancurannya akan sebera datang.." -- geram Seco
Ireng.
Para pengawal itu hatinya menjadi berdesir mendengar apa
yang di katakan orang-orang liar itu. Akan tetapi itu tidak menjadikan
nyali mereka menjadi menir,
Sebagai anggota Laskar Banyubiru yang
telah di tempa berbagai pengalaman tempur, tentu saja mereka tidak akan
gentar menghadapi segala macam bentuk lawan seperti apa pun, apa lagi
kelima orang yang tidak di kenal itu. Sehingga dengan aba-aba yang
mantap pemimpin pengawal itupun berteriak kepada temannya.
"Dengar semuanyaa..!! tangkap orang-orang itu!!"
Demikian para pengawal Tanah Perdikan itu serta merta menyebar untuk
mendapatkan lawannya masing-masing, empat orang melawan empat grombolan
itu, sedangkan Seco Ireng harus menghadapi dua orang diantara para
pengawal itu..
"Anak iblis..!! Katakan siapa namamu, hingga aku
tau siapa yang hari ini harus binasa di tanganku.." -- berkata Seco Ireng
kepada pemimpin pengawal tersebut..
"Baiklah kisanak...agar kau
tak penasaran, namaku Widagdo, sekarang katakanlah, kau menyerah? atau
aku harus menangkapmu dengan caraku"
"Iblis laknat..!! kau akan menyesal dngan kesombonganmu" -- geram Seco Ireng
Tanpa bicara lagi Seco Ireng brgerak maju menerjang ke arah Widagdo,
pedang di tanganya berkelibat sangat cepat mengarah ke leher widagdo
tersebut,
Akan tetapi ternyata Widagdo bukanlah pemuda lemah yang
dengan pasrah saja membiarkan lehernya di tebas lawan, dengan cepat pula
dia mencabut pedangnya memapas arah pedang Seco Ireng yang hampir saja
memenggalnya.
Pada gebrakan pertama itu telah terjadi benturan
senjata, Seco Ireng menjadi terkejut, dalam benturan senjata itu betapa
dia merasakan tenaga pemimpin pengawal itu begitu besar, sehingga
tangannya terasa bergetar..
Hampir saja Seco Ireng kehilangan pedangnya jika tidak segera mampu menguasai keadaannya.
Kemudian bagaikan seekor belalang Seco Ireng melompat, dan bergerak
bagai tanpa jeda berusaha mendesak lawannya, karna itu semakin lama
serangan Seco Ireng terlihat semakin membadai.
Di sisi lain
Widagdo paham, tentu Seco Ireng yang menjadi pemimpin gerombolan itu
adalah seorang yang berilmu tinggi, karna itu mau tidak mau dia harus
selalu berhati-hati.
Sehingga terlihat setiap gerakannya masih saja
terlihat menunggu serangan-serangan Seco Ireng, akan tetapi otaknya
yang cukup cerdas itu berusaha memahami dan mempelajari celah-selah yang
memungkinkan untuk memulai dengan serangan yang mengejudkan. Dengan
demikian pertempurang keduanya semakin lama terlihat semakin sengit.
Satu keuntungan yang di miliki Widagdo adalah dia bertempur bersama
salah seorang kawannya yang kebetulan tidak mendapatkan lawan. Karnanya
Widagdo perlahan namun pasti berbalik melancarkan serangan dang mendesak
lawannya.
Seco Ireng pun mengumpat-umpat dalam hatinya,
bagaimanapun juga lama kelamaan dia menjadi kerepotan pula ketika harus
melawan dua orang sekaligus. Apa lagi dia tidak menyangka bahwa pemuda
yang bernama Widagdo itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi.
Di
lingkaran pertarungan lain pun tak kalah sengitnya, Suranyali ternyata
telah berhasil mendesak salah seorang dari pemuda pengawal itu, bahkan
beberapa kali ia berhasil melancarkan serangan mematikan ke arah
lawannya, pedangnya bagaikan lingkaran rapat menderu ke arah lawannya.
Akan tetapi seorang dari Pengawal Perdikan itu masih berusaha sekuat
tenaga mempertahankan posisinya, semangatnya yang tinggi tidak
menjadikannya putus asa.
Suara beradunya denting pedang semakin
gemerincing susul menyusul, dari pertarungan gerombolan liar itu dengan
para Pengawal Tanah Perdikan Banyubiru.
Akan tetapi, meskipun para
pengawal itu memberikan perlawanan dengan gigihnya, dalam pengalaman
pribadi ternyata masih berada di bawah grombolan liar itu, mereka sering
bertempur tanpa memandang paugeran yang berlaku, bahkan berbagai
umpatan-umpatan keras semakin lama mengganggu telinga para pengawal itu
sehingga pemusatan nalarnya lama-kelamaan menjadi terganggu.
Akibatnya sangat bahaya, .. Pelan tapi pasti mereka terdesak hebat,
bahkan pada satu kesempatan terdengar erangan pendek salah seorang dari
para pengawal itu, dia tersurut kebelakang dengan lengannya yang terluka
tertebas ketajaman pedang lawannya.
Dalam pada itu entah dari mana datangnya satu suara berteriak lantang,
"Suranyali..bunuh anak itu..!!"
Suranyali kemudian berpaling ke arah suara itu,
"Ki Macan Wulung.." -- desis Suranyali
"Cepat bunuh anak sombong itu..!! Lalu bunuh yang lain, lemparkan mayat
mereka ke halaman banjar di pedukuhan induk Banyubiru, agar para
pemimpinnya menjadi gila karna marah" -- berkata Macan Wulung
Suranyali tidak bertanya kedua kalinya, serta merta dia menghampiri
pemuda pengawal yang sudah terkapar ditanah itu, lalu dengan mantap di
ayunkan pedang ditangannya siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu,
Akan tetapi di saat yang kritis itu, sebuah benda sebesar kepalan tangan meluncur, memapas ayunan pedang Suranyali,
Akan tetapi Serta merta Suranyali terkejut, dia tiba-tiba merasa tangannya bergetar hebat, sehingga pedangnya terlempar dari genggamannya.
Ki Macan Wulung pun mengerutkan keningnya, kemudian termangu-mangu
ketika melihat seseorang yang tiba-tiba berdiri menghalangi gerak
Suranyali.
Bahkan di pertempuran lain tiba-tiba juga datang tiga
orang lagi membatu para pengawal tanah perdikan Banyubiru itu, sehingga
keadaan serta merta menjadi berubah, gerombolan liar itu kini yang
menjadi terdesak, bahkan semakin terlihat keteteran.
Sementara di hadapan Suranyali, pemuda yang telah berusia matang itu masih berdiri dengan tenang,
"Tidak baik membunuh lawan yang sudah tidak berdaya" -- berkata pemuda itu.
Ki Macan Wulung yang berdiri di belakang Suranyali kemudian maju, lalu dengan geram diapun berkata, -- "Siapa kau he..?!" berani mencampuri urusan perguruan Macan Lodaya.."
"O, jadi kalian orang-orang macan Lodaya?" -- desis pemuda itu
"Ya, apakah kau menjadi gemetar mendengarnya? Untuk itu sebelum aku
berubah pikiran, jika kau tak ada urusan pergilah..jangan campuri
petsoalan ini"
"Kisanak, aku memang terkejut mandengar nama
Perguruan Macan Lodaya, akan tetapi bukan karna gemetar, melainkan
heran, masih saja kalian suka melakukan tindakan semena-mena, bahkan
tidak memanadang paugeran hidup sebagai manusia" -- sahut pemuda itu
"Iblis kau..!!
kau menghina Perguruan Macan Lodaya, baiklah.. sekali lagi aku bertanya
siapa kau..apakan kau juga salah satu diantara para tikus-tikus pemgawal
itu?!, cepat katakan sebelum tubuhmu aku cabik-cabik" --Geram Ki Macan
Wulung
"Apakan kau yang bernama Ki Macan Wulung?, baiklah namaku
Jaka Raras, namun aku bukan orang Tanah Perdikan Banyubiru, walau aku
tak akan membiarkan kalian mendatangkan malapetaka di sini"
"Apa
hubunganmu dengan Banyubiru, anak iblis..?! Atau kau memang sengaja
ingin membuat persoalan dengan Perguruan Macan Lodaya"
"Soal
hubunganku dengan Banyubiru itu bukan urusanmu Ki Macan Wulung, meskipun
tentu ada, bagiku yang terpenting sekarang aku tidak akan membiarkan
kalian mengganggu Tanah Perdikan ini"
"Sombong kau.." -- desis
Ki Macan Wulung, lalu sesaat kemudian dia menggeram hebat karna marah,
seluruh tubuhnya bergetar sehingga tanah-tanah disekitarnya pun terlihat
seperti berhamburan di sekitarnya.
Jaka Raras pun kemudian hatinya menjadi berdebar-debar melihat ancang-ancang yang di lakukan Ki Macan Wulung,
"Aji Macan Liwung... tapi nampaknya belum terlalu mapan, akan tetapi aku harus tetap berhati-hati" -- desi Joko Raras dalam hati.
Melihat tandang Ki Macan Wulung
yang menyerangnya dengan tata gerak bagian dari Aji Macan Liwung itu,
Jaka Raras masih terlihat tenang, kemudian teriak lantang,
"He..!!! orang-orang Macan Lodaya, kalian seperti Harimau, apakah kalian berani melawan Harimau..?!"
Maka tiba-tiba saja gerombolan Macan Lodaya itu terkejut bukan
kepalang, tidak tau entah darimana datangnya, tiba-tiba saja mereka
melihat beberapa ekor Harimau sebesar anak kerbau muncul dan bersiap
menyerang mereka.
Serta merta mereka semua meloncat mundur, mundur dan
mundur menjauhi medan pertarungan itu, bahkan tiga orang dari mereka
lari tunggang langgang meninggalkan arena tersebut.
Hanya Seco Ireng
dan Suranyali yang masih terlihat dan berusaha menghindari
Harimau-Harimau yang menurut pengelihatannya mengendap-endap hendak
menerkamnya.
Sementara Ki Macan Wulung menghentikan pengetrapan ilmunya sambil mengumpat-umpat...
"Iblis licik kau..!! kau kira aku silau dengan mainan anak-anak itu he..!!" -- geram KiMacan Wulung
Kemudian dia berpaling ke arah para pengikutnya untuk memberi tahukan
tentang hal semu yang mengganggu pandangan mata tersebut, akan tetapi Ki
Macan Wulung hanya melihat Seco Ireng dan Suranyali, tiga orang lagi
sudah lari tunggang langgang hilang dari pandangan mata
"Seco Ireng, Suranyali, jangan terkecoh, itu cuma permainan licik murahan" -- berkata Ki Macan Wulung
Di sisi lain Jaka Raras terlihat tertawa terbahak-bahak menyaksikan pengikut Macan Lodaya itu menjadi tercerai berai,
"Diam kau setan licik..!! Apakah kau tidak mampu berbuat hanya sekedar menakut nakuti anak-anak itu" geram Ki Macan Wulung.
"Bukan hanya menakut nakuti anak-anak, ternyata kelompok yang selalu
memakai nama Harimau pun justru menjadi ketakutan oleh Harimau
piaraanku" --jawab Jaka Rara sambil masih menahan tertawanya.
"Baiklah..puaskanlah tertawamu, karna besok kau tak akan bisa tertawa lagi"
Demikian setelah selesai bicara, Ki Macan Wulung langsung menerkam Jaka Raras dengan serangan yang nggegirisi,
Telapak tangannya yang mencengkeram itu berputar-putar sebat, menimbulkan hembusan angin yang begitu kencang,
Jaka Raras pun tidak kehilangan kewaspadaanya, dia juga merasakan
getaran hawa yang begitu kuat semakin lama semakin menekan dirinya, akan
tetap dengan tak kalah gesitnya dia menghindar bahkan sesekali harus
menangkis serangan Ki Macan Wulung yang semakin membadai itu, sehingga
setelah pertarungan itu beberapa saat keduanya masih terlihat seimbang.
Di sisi lain pertarungan juga belum di mulai, karna mereka semua justru
termangu-mangu menyaksikan pertarungan Jaka Raras melawan Ki Macan
Wulung, sebelum semuanya tersadar oleh teriakan Jaka Raras,
"He,
kawan-kawan, kenapa kalian bengong, cepat tangkap kedua orang itu,
kalian boleh maju bersama-sama, karna ini bukan perang tanding"
"Licik kau anak iblis..!!" -- ki Macan Wulung terdengar mengumpat-umpat, lalu dengan tak terduga dia
pun bersuit panjang, lalu dengan cepat telah pergi meninggalkan
pertempuran tersebut, di susul Seco Ireng juga Suranyali, mereka pun
ternyata melarikan diri.
Ternyata Ki Macan Wulung menyadari
keadaannya, meskipun dia merasa mampu melawan orang yang bernama Jaka
Raras itu, akan tetapi dia sadar tentu Seco Ireng juga Suranyali tak
akan mampu bertahan melawan enam orang sekaligus, maka dari itu dengan suitan panjang sebagai tanda, dia memerintahkan para pengikutnya itu mundur.
"Trimakasih kisanak.." -- kata Widagdo yang kemudian sudah mnghampiri Jaka Raras yang berdiri termangu-mangu,
"Sama-sama, tapi sayang mereka melarikan diri" -- Jawab pemuda itu. -- "Kita
kehilangan sumber keterangan dari mereka, tentang apa yang di lakukan
disini, mungkin saja ada rencana-rencana mereka yang lebih jauh lagi"
Widagdo itu kemudian mengangguk anggukkan kepalanya, -- "Nampaknya demikian, karna menurut keterangan dari kawan-kawan kami
yang bertugas mengintai, melihat mereka membuat tenda-tenda di hutan
kecil sebelah barat Rawa Pening, yang setiap saat berdatangan
orang-orang tak di kenal dari berbagai perguruan berkumpul disitu, aku
khawatir disaat Banyubiru akan melaksanakan jumenengan Kapala Tanah
Perdikan baru mereka datang mengacau"
Juga Raras pun mengangguk anggukkan kepalanya sebelum berkata- "Kau benar kisanak, akupun juga sudah berusaha mengitai di sana,
walaupun aku belum jelas betul apa tujuan mereka, aku juga melihat
beberapa simbul perguruan terpasang di sana, diantaranya dari Macan
Lodaya itu, Bajak Laut Nusakambangan yang aku kenali"
"Mudah-mudahan tidak terjadi suatu kejadian yang tidak kita inginkan" --
desis Widagdo yang kemudian lupa belum memperkenalkan dirinya, -- "kisanak, aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini, namaku
Widagdo, aku mewakili kawan-kawan secara khusus mengucapkan terima
kasih, dan apakah aku boleh tau siapakan kisanak ini?"
Jaka Raras
kemudian tersenyum, lalu dia berpaling kepada seorang diantara tiga
kawan nya yang berusaha mengobati luka lengan salah seorang pengawal
tanah perdikan itu, kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, -- "Semoga lukanya itu tidak terlalu parah, Adi Widagdo, namaku Jaka
Raras, aku dan tiga kawanku itu hanyalah orang-orang desa dari berbagai
pedukuhan, anak-anak desa yang kebetulan menjadi penghuni Padepokan
Gajah Seta di Pengrantunan"
"O, jadi.." --Wdagdo menjadi terkejut.
"Ya, Pedepokan yang di dirikan mediang Ki Ageng Soradipayana, setelah mundur dari hiruk pikuknya bebrayan ini" --kata Jaka Raras
Widagdo kemudian mengangguk anggukkan kepalanya sebelum melanjutkan bicaranya, -- "Setelah Ki Ageng Soradipayana tiada, padepokan itu di lanjutkan oleh
Ki Ageng Gajah Sora yang harus hilir mudik dari Banyubiru ke
Pengrantunan, tapi agaknya nanti setelah kakang Arya Salaka menjabat
sebagai Ki Gede Banyubiru yang baru, Ki Ageng Gajah Sora waktunya akan
lebih banyak berada di padepokan itu"
"Ya, salah satu tujuan kami
datang kesini juga akan menyertai Ki Ageng bila saatnya nanti kembali
ke padepokan Gajah Seta, setelah urusan jumenengan Ki Gede Banyubiru
yang baru selesai di laksanakan, akan tetapi ketika aku melewati daerah
ini, di sini aku melihat kalian bertarung melawan gerombolan itu"
"Ya, satu kebetulan.." -- desis Widagdo sebelum melanjutkan ucapannya,
"marilah, sebelum matahari menjadi gelap kita ke Pedukuhan induk,
mungkin kakang perlu bertemu dengan Ki Ageng, aku juga akan melaporkan
peristiwa yang baru saja terjadi di tempat ini, akan tetapi sayang saat
ini kakang Arya Salaka dan istrinya tidak ada di tempat"
"Kemanakah?" --Bertanya Jaka Raras
"Mengunjungi seseorang yang sangat berarti bagi kehidupan nya,
seseorang yang dulu mengasuh kakang Arya Salaka pada saat dulu Banyubiru
mengalami berbagai macam persoalan, seorang yang menurut Kakang Arya
Salaka tak ada bedanya seorang ayah sekaligus gurunya, betapapun dia
harus meminta doa restu pada orang tua itu sebelum memimpin Tanah
Perdikan Banyubiru ini"
Dengan serius Jaka Raras mendengar apa yang di utarakan Widagdo tersebut lalu dia pun mengangguk anggukkan kepalanya,
"Apakah dia seorang bekas prajurit Wira Manggala dari Demak seperti
yang pernah aku dengar, yang konon ilmunya sangat luar biasa itu?"
"Ya, Mahesa Jenar, yang bergelar Ki Rangga Tohjaya" --desis Widagdo
"Sebenarnya aku juga ingin sekali bertemu dengan putra Ki Ageng Gajah
Sora itu, karna semenjak aku menjadi penghuni di padepokan Gajah Seta
aku belum pernah mengenalnya secara langsung, tapi sayang dia tidak ada"
"Sudahlah, mari kita ke pedukuhan induk, nanti pada saatnya kakang Arya Salaka juga akan kembali" --kata Widagdo
Tak lama kemudian serombongan orang berkuda itu berjalan pelan menyusuri arah menuju pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru.
****
Sementara perjalanan Raden Pamungkas telah sampai di Pedukuhan
Pakuwon dimana selama ini dia tinggal, di daerah yang meskipun dia masih
bisa di bilang muda akan tetapi di mata penduduk sekitar dia di anggap
seseorang yang layaknya seorang dukun pengobatan yang sangat luar biasa,
sehingga seakan-akan tak seorangpun di padukuhan tersebut ada orang
yang tidak mengenal Tanu Metir.
Kehidupan sederhana yang selama
ini di alaminya di rumah mendiang orang tua angkatnya itu tidak
menjadikan dia merasa perasaannya tertekan, walaupun sebenarnyalah
menurut kodrat sebagai seorang trah Majapahit pantas mendapat kemewahan
layaknya seorang pangeran.
Akan tetapi itu tidak menjadikan silau,
karna justru dalam kesederhanaan yang di alaminya dia telah mendapatkan
berbagai pengalaman kehidupan yang semakin luas, sehingga seiring
perjalanan waktu mampu menjadikannya mengendap, sehingga mampu pula
merasakan hal-hal yang menyatu dalam satu wadag manusia di antara baik
dan buruknya.
Cahaya matahari yang kian redup seolah-olah
mempertebal bayangan pohon yang semakin lama menjadi semakin pekat dalam
kegelapan, akan tetapi cahaya emas di langit timur seolah menunggu
giliran menjenguk kehidupan menuju keheningan. Demikian raden Pamungkas
seakan terjaga dari bayang-bayang warna kehidupan yang selama ini di
laluinya.
Namun sebelum dia beringsud dari duduknya, satu
bayangan seseorang terlihat termangu-mangu di depan regol pintu
rumahnya, seseorang yang berdiri dengan membopong sesosok tubuh yang
terkulai tak berdaya, wajahnya terlihat samar dibalik keremangan yang
semakin mendekati malam, sehingga Raden Pamungkas serta merta berjalan
menghampiri orang itu, namun dia menjadi berhenti dan termangu mangu
mendengar suara orang itu justru menyapa lebih dahulu, -- "Apakah ini rumah Ki Tanu Metir?"
"Benar kisanak", -- jawab Raden Pamungkas seraya memperhatikan orang tersebut
"Apakah aku bisa bertemu Ki Tanu Metir?" -- sekali lagi orang itu bertanya,
Raden Pamungkas pun kembali termangu-mangu dan nampak menjadi heran, sebelum kemudian berkata, -- "Saya Tanu Metir, akan tetapi siapakah Kisanak ini?"
"O, maaf tuan, aku mendengar nama Ki Tanu Metir dari orang di pedukuhan
Macanan, aku kira Ki Tanu Metir adalah seorang yang sudah berusia
lanjut, tolong lah tuan" -- berkata orang itu.
Raden Pamungkas
kemudian mendekati orang itu, dipandanginya tubuh yang terkulai dalam
dukungan orang tersebut, tubuh seorang wanita yang terlihat diam dengan
muka yang teramat pucat dengan bibir yang terlihat membiru,
Raden
Pamungkas pun kemudian mengerutkan keningnya melihat keadaan wanita
tersebut dan seperti tersirat kekhawatiran dalam hatinya dengan apa yang
dilihatnnya.
"Tuan, perempuan ini istriku, tolonglah.." --terdengar suara orang itu
"Oh, marilah, bawalah masuk ke pondokku, marilah.." -- kata Raden Pamungkas dengan serta merta.
Orang itu kemudian membawa tubuh tak sadarkan diri itu menuju sebuah
ruang khusus yang memang biasa di gunakan Raden Pamungkas untuk
melakukan pengobatan, lalu tanpa bicara lagi Raden Pamungkas serta merta
memeriksa tubuh perempuan yang pingsan itu,
"Kenapa bisa
begini..? siapa yang melakukannya?!" -- bertanya Raden Pamungkas kepada
orang itu, --"dan Kisanak..nampaknya kisanak juga dalam keadaan yang
lemah?"
"Aku hanya sedikit kelelahan Tuan, tapi istriku ini nampaknya terkena pukulan beracun.." --desis orang itu
Raden Pamungkas kemudian mengangguk anggukkan kepalanya, seraya
memeriksa pergelangan tangan perempuan itu, lalu menarik nafas
dalam-dalam,
"Mudah-mudahan tidak terlambat, racun dalam tubuh
perempuan ini cukup kuat, aku akan berusaha semampuku, mudah-mudahan
Yang Maha Agung memberikan kemudahan itu" -- berkata Raden Pamungkas dalam
hatinya, kemudian mengeluarkan sebuah bumbung kecil dari balik
pakaiannya, lalu berpaling kepada orang itu,
"Minumkanlah obat ini
untuk menahan gerak racun dalam tubuhnya, aku akan membuatkan ramuan
untuknya, istrimu terkena racun semacam bisa ular yang cukup kuat"
"Trimakasih tuan.." -- jawab orang itu,
"Jangan panggil aku tuan, namaku Tanu Metir"
"Baiklah Ki Tanu, trimakasih"
Beberapa saat kemudian Raden Pamungkas setelah keluar kemudian datang
lagi dengan membawa semangkuk ramuan semacam obat pemunah racun, lalu
pelan-pelan di masukkannya ramuan itu kedalam mulut perempuan itu,
"Kisanak, bubuhkanlah serpihan daun yang telah aku lumatkan ini di atas
punggung istrimu, lalu biarkan dia istirahat, kita tunggu reaksi obat
yang aku berikan, aku keluar gandok sebentar"
Sejenak kemudian
orang itu melakukan petunjuk-petunjuk seperti yang di katakan Raden
Pamungkas, dengan hati-hati bubuk obat itu di balurkan pada bagian
punggungnya yang nampak beberapa bagian menghitam di antara luka sayatan
di tubuhnya, lalu dengan hati-hati di baringkanlah kembali di atas
dipan itu, sebelum kemudian keluar ruangan tersebut.
"Silahkan Kisanak" --Raden Pamungkas mempersilahkan orang itu duduk di pringgitan rumah nya,
Orang itu mengangguk kecil, lalu duduk di hadapannya sebelum ke duanya nampak saling berbincang.
"Aku belum tau siapakah kisanak ini, lalu siapa yang menciderai kalian?" -- bertanya Raden Pamungkas,
"Namaku Arya, aku dari Tanah Perdikan Banyubiru"
Jawaban orang itu
seketika membuat Raden Pamungkas menjadi termangu-mangu, sesuatu yang
tak di duga-duga itu membuatnya terkejut.
"Arya..? Banyubiru, kisanak Putra Ki Gede Banyubiru?" -- bertanya Raden Pamungkas
Orang yang menyebut dirinya Arya itu kemudian mengangguk kecil,
"Lalu bagaimana tuan bisa sampai di daerah ini? bukankah tempat ini
cukup jauh dari Banyubiru?" -- Raden Pamungkas pun bemudian bertanya lagi.
"Ceritanya cukup panjang Ki Tanu, akan tetapi baiklah secara singkat
aku katakan"-- Arya Salaka kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum
melanjutkan bicaranya,
"Sebenarnyalah kami dalam perjalanan
kembali ke Banyubiru setelah sebelumnya bermaksud mengunjungi kerabat
kami yang tinggal di Gunung Kidul sebelah selatan Alas Mentaok yang
ternyata kerabatku itu sudah tidak berada disana lagi, aku mendapat
petunjuk katanya sekarang tinggal di sekitar Pajang, akan tetapi
tepatnya di mana mereka juga tidak tau"
Raden Pamungkas
mengangguk anggukkan kepalanya, lalu kembali menyimak apa yang di
utarakan orang yang tidak lain adala Putera Tanah Perdikan Banyubiru
itu.
"Dalam perjalanan pulang, sesampainya di Kademangan Jatianom
aku bertemu dengan tiga orang yang menyebut diri dari gerombolan Bajak
Laut Nusa Kambangan yang memang mempunyai bibit dendam kepada kami
orang-orang Banyubiru, sehingga pertarungan tak bisa kami hindari,
mereka rata-rata berilmu tinggi apalagi orang yang mengaku penerus Kyai
Nagapasa itu" -- Kembali Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya,--
"Pertarungan sengitpun terjadi, hingga pada detik-detik menegangkan itu
aku terpaksa menghindar setelah aku melihat istriku terkapar dengan
luka di punggungnya, seperti yang Ki Tanu lihat, sesungguhnya luka itu
tidak terlalu dalam, akan tetapi senjata lawannya itu ternyata
mengandung racun yang cukup tajam, aku terpaksa berbuat kabur layaknya
seorang pengecut"
"Ah, kadang manusia harus mengutamakan hal yang
lebih penting dari sekedar cap pengecut, aku rasa Ki Arya sudah berbuat
sesuatu yang tepat" -- jawab Raden Pamungkas.
Arya Salaka lalu mengangguk anggukkan kepalanya dan kembali bercerita, --"Sekuat tenaga aku berusaha lari dari kejaran orang yang menyebut
dirinya Kyai Naga Pertala itu sambil mendukung tubuh istriku yang sudah
tak sadarkan diri..., beruntung aku dapat lepas dari orang yang berilmu
sangat tinggi itu"
"Satu dua kali aku pernah mendengar nama itu,
memang kabarnya orang tua itu berilmu sangat tinggi, bahkan melampaui
Kyai Nagapasa sebagai saudara tuanya, akan tetapi orang yang mampu lari
dari buruan orang tua itu tentu ilmunya tidak sembarangan dan sangat
tinggi pula" ---jawab Raden Pamungkas
"Ah, tidak, kenyataannya aku memang kabur darinya" --sahut Arya Salaka
"Lalu darimana Ki Arya tau disini ada dukun desa yang sebenarnya hanyalah dukun kecil di Pakuwon"
"Ki Tanu orang yang suka merendah, nama Ki Tanu menjulang sebagai
seorang dukun luar biasa hingga sampai ke pedukuhan Macanan sana,
sehingga aku tidak mengalami kesulitan mencari tempat ini"
"Tidak
ada yang luar biasa, manusia hanya wajib berusaha seperti halnya aku,
dan hanya sang Penciptalah yang menentukan segalanya" -- jawab Raden
Pamungkas
Arya Salaka pun mengangguk anggukkan kepalanya, hingga
tiba-tiba dadanya berdebar-debar mendengar suara erangan istrinya dari
dalam ruang pengobatan itu, dengan serta-merta diapun lari menuju arah
suara tersebut..
"Widuri..?" -- desis Arya Salaka
Di dalam gandok itu Arya Salaka melihat betapa tubuh Widuri bergetar
hebat, peluh yang begitu deras seperti mengalir tanpa henti, sehingga
melihat putera Banyubiru itu menjadi semakin cemas,
"Ki Tanu...apa yang terjadi..?!" -- dengan gagap Arya Salaka kemudian berteriak
"Tenanglah, aku rasa obatku telah bereaksi dalam tubuhnya,
mudah-mudahan sebentar lagi panas tubuhnya akan mereda dan
perlahan-lahan menjadi tenang, kita berdoa saja mudah-mudahan segala
sesuatunya akan berjalan dengan baik" -- jawab Raden Pamungkas alias Tanu
Metir tersebut.
Ternyata apa yang di katakan Raden Pamungkas
benar, Arya Salaka perlahan-lahan melihat istrinya berangsur-angsur
menjadi tenang, panas tubuhnya menurun dan alur pernafasannya terlihat
teratur, meskipun belum terlihat tanda-tanda bahwa istrinya itu siuman,
akan tetapi keadaan itu sedikit membuat hatinya menjadi tenang,
Raden Pamungkas kemudian kembali bersuara, --"Ki Arya, aku mohon diri kembali kepringgitan, ada baiknya nanti Ki
Arya memeriksa bekas lukannya, jika disisi luka itu muncul bintik-bintik
air laksana mengembun di sekitarnya itu pertanda racun yang bersemayam
dalam tubuh Nyai Arya sudah mulai tawar' dengan demikian sudah tidak
akan berbahaya lagi meskipun Nyi Arya masih merasakan tubuhnya lemah"
Raden Pamungkas kemudian beringsut dan keluar dari ruangan itu,
sementara Arya Salaka hatinya menjadi semakin tenang pula melihat
keadaan yang berangsur membaik tersebut,
Lalu di balikkanlah tubuh
istrinya itu kemudian dia melihat luka dipunggung perempuan itu memang
terlihat seperti bintik-bintik embun membasahi disekitar lukanya,
"Benar-benar ahli pengobatan yang luar biasa, usianya tentu tak terpaut
banyak dariku, akan tetapi orang itu memiliki ilmu pengobatan demikian
tinggi, aku sebenarnya hampir berputus asa, karna aku tau racun Nagapasa
itu sulit sekali untuk ditawarkan selain menggunakan obat penawarnya,
akan tetapi orang yang menyebut dirinya Tanu Metir itu mampu
menawarkannya" -- Arya Salaka berkata dalam hatinya seraya mengangguk
anggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian Arya Salaka pun telah keluar dan kembali menuju pringgitan bersama Raden Pamungkas.
"Ki Arya, apakah aku boleh bertanya sesuatu?" --berkata Raden Pamungkas
"Tentu saja boleh, apakah yang ingin Ki Tanu tanyakan?
"Apakah benar, dalam waktu kurang dari satu bulan ini akan terjadi pergantian pemimpin di Tanah Perdikan Banyubiru?"
Arya Salaka sebentar termangu-mangu, dia seperti bertanya dalam hatinya
bagaimana orang ini tau apa yang akan terjadi tentang Banyubiru, akan
tetapi diapun kemudian menjawab pertanyaan itu
"Sebenarnyalah
demikian, akan tetapi darimana Ki Tanu mendengarnya, demikian pentingkah
pergantian Kepala Perdikan Banyubiru sehingga anginpun membawanya
sampai ke sini?" jawab Arya Salaka
Raden Pamungkas tersenyum, lalu mengangguk anggukkan kepalanya kemudian berkata, -- "Mungkin memang penting bagi mereka yang berkepentingan"
"Maksud Ki Tanu?"
"Sepertinya aku harus menyampaikan hal yang tidak dengan sengaja aku mendengarnya, ketika beberapa hari yang lalu"-- Raden Pamungkas kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum melajutkan ceritanya,
"Aku hanya mengingatkan bahwa pada saat hajatan pergantian Kepala Perdikan itu Banyubiru harus waspada"
Raden Pamungkas sekilas melihat Arya Salaka mengerutkan keningnya, kemudian kembali bicara,
"Aku hanya mau mengatakan beberapa hari yang lalu di sebuah kadai yang
aku singgahi dalam perjalananku secara tidak sengaja mendengar bahwa ada
beberapa perguruan yang akan datang mengacau Banyubiru pada saat
perhelatan itu, di antaranya mereka menyebut dari perguruan Macan
Lodaya, Gunung Cireme, juga Nusa Kambangan"
Serta merta Arya
Salaka menjadi berdebar-debar, dalam angan-angannya dia lalu
menghubungkan dengan kejadian yang di alaminya beberapa saat yang lalu,
"Tentu orang-orang Nusa Kambangan yang aku temui itu memang akan menuju
Banyubiru.." --berkata Arya Salaka dalam hatinya lalu terlihat mengangguk
anggukkan kepalanya
Seketika muncul pula pertanyaan dalam hatinya bahwa orang yang menyebut dirinya Tanu Metir ini bukanlah sekedar dukun pedesaan.
Bahkan sebagai seorang yang telah tertempa secara lahir batin, sehingga
menjadi orang yang berilmu sangat tinggi dalam olah kanuragan, Arya
Salaka merasakan bahwa menurut panggraitanya, bahwa dari tatapan mata Ki
Tanu Metir ini menunjuk kan sebagai orang yang mempunyai ilmu kanuragan
tinggi pula. Akan tetapi Arya Salaka tidak bertanya lebih jauh, karna
dia paham tentu orang seperti Ki Tanu Metir pasti tidak akan berterus
terang.
"Masih ada waktu untuk beristirahat, sebaiknya Ki Arya
pergunakan sebaik-baiknya, anggap saja di rumah sendiri" --berkata raden
Pamungkas kemudian.
"Trima kasih, aku tak tau harus berkata apa,
semua bekalku lenyap bersama kuda yang aku tinggalkan, budi Ki Tanu
padaku kemudian hari aku akan membayarnya" -- desis Arya Salaka
Raden Pamungkas terlihat tersenyum lalu menarik nafas dalam-dalam, --"Sudahlah, jangan sungkan, sudah menjadi kuwajibanku sebagai seorang dukun memberikan pertolongon pada siapapun"
Demikian Raden Pamungkas lalu menghilang di balik biliknya.
Desir angin malam sekencang desiran yang terasa dalam dada Raden
Pamungkas, sejak kedatangan kedua orang tamu tersebut, ada sesuatu yang
seakan-akan berputar-putar dalam benaknya.. -- "Aku seperti pernah melihat perempuan yang menjadi istri putra Banyubiru itu, tapi dimana?"
Pertanyaan itu selalu mendesak-desak dalam kepalanya yang sebenarnya
sejak tadi selalu mengganggunya, lalu dilayangkanlah segala ingatannya
pada waktu-waktu yang di laluinya, hingga terdampar pada sebuah
pedepokan di mana dulu dia pernah tinggal bersama gurunya, tempat yang
memberinya dasat-dasar ilmunya sehingga menjadi seperti sekarang ini,
lalu dengan serta merta diapun teringat sesuatu,
"Apakah dia..?
Gadis kecil lincah dan sedikit nakal itu?" --Raden Pamungkas kemudian
tersenyum teringat tingkah seorang gadis kecil yang dulu pernah di
lihatnya beberapa tahun lalu.
Akan tetapi Raden Pamungkas sudah
berkeputusan tidak akan menampakkan jati diri nya pada siapapun juga, ia
lebih bebas menjadi seseorang yang tidak terikat apapun, apa lagi
tentang hal yang bisa mengarah pada persoalan menyangkut asal-usul nya.
"Jika benar dia, mudah-mudahan perempuan itu sudah tidak lagi
mengenaliku, waktu itu dia boleh di bilang masih anak-anak, dan aku
hanya bertemu dengannya sekali" -- gumamnya.
Seperti biasanya menjelang subuh Raden Pamungkas telah berada di
pategalan yang tak jauh dari kediamannya tersebut, memeriksa
tanaman-tanaman jenis empon-empon yang di semainya, akan tetapi tak
seperti biasannya nampaknya pagi itu dia harus mempercepat pekerjaannya.
Dia harus memeriksa perkembangan pengobatan terhadap tamunya yang
beberapa saat lalu datang ke rumahnya.
Sementara pagi itu Arya
Salaka dan Widuri telah duduk bercengkrama di pringgitan rumah Raden
Pamungkas, nampak wajah Widuri masih sedikit memucat akibat sisa-sisa
pengaruh racun yang yang beberapa saat lalu mengeram dalam tubuhnya,
"Kau masih terlihat pucat, Widuri" --desis Arya Salaka
"Aku sudah tidak apa-apa kakang, walau tubuhku terasa masih leman, besok aku rasa sudah semakin membaik"
"Dukun muda itu benar-benar luar biasa, racun dari senjata orang-orang
Nusakambangan sebenarnya sangat ganas, aku hampir saja berputus asa,
sebelum sampai di tempat ini sesungguhnyalah aku telah membawamu kepada
beberapa dukun di pedukuhan-pedukuhan yang kita lewati, akan tetapi
mereka mengatakan tidak ada yang sanggup menawarkan racun di tubuhmu
itu" -- berkata Arya Salaka
"Apakah kakang sebelumnya mengenal dukun muda yang mengobati aku itu?" -- bertanya Widuri
"Namanya Tanu Metir, aku tidak mengenal dia sebelumnya, dan Aku
membawamu kesini atas petunjuk seseorang ketika kita berpapasan
dengannya di jalan" ---jawab Arya Salaka.
Hingga sebelum langit telah benar-benar terang Raden Pamungkas ternyata telah terlihat memasuki regol rumahnya tersebut.
Serta merta Arya Salaka bangkit dari duduknya lalu mengangguk kecil ke arah Raden Pamungkas.
--- "Ki Tanu sudah kembali?"
"Demikianlah.." -- jawab Raden Pamungkas sembari tersenyum, sebelum
melanjutkan kata-katanya, --
"o, syukurlah, Nyi Arya nampaknya sudah
siuman"
Widuri terlihat tidak menjawab sapaan Raden Pamungkas
tersebut, akan tetapi matanya bagai tak berkedip memandang tajam ke arah
dukun muda itu, dan sesekali dahinya berkerut seakan memikirkan
sesuatu, hingga tanpa sadar mulutnya bergumam pelan, --- "Kakang Pam.."
"Perkenalkan namaku Tanu...Tanu Metir, nampaknya Nyi Arya sudah
berangsur menjadi baik.." -- sambil tersenyum Raden Pamungkas memotong
ucapan Widuri.
Arya Salaka berpaling ke arah istrinya sesaat lalu mengerutkan keningnya kemudian berkata kepada Raden Pamungkas,
"Ki Tanu, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, sebenarnya ingin
sekali untuk lebih lama di sini, akan tetapi seperti kabar yang aku
dengar dari ki Tanu sendiri, maka nanti setelah sepenggal hari aku mau
mohon hari, aku harus segera berada di Banyubiru" -- berkata Arya Salaka.
"aku cuma
berusaha, segalanya tentu atas kehendak yang Maha Agung, tanpa cempur
tanganNYA aku bukanlah apa-apa, akan tetapi kenapa ki Arya harus
terbesa-gesa untuk pergi? Bukankah Nyi Arya belum pulih benar?"
Kemudian Raden Pamungkas mengangguk anggukkan kepalanya, dalam benaknya juga
berpendapat memang seharusnya putra Banyubiru itu harus segera berada di
rumahnya, akan tetapi tentu harus berperhitungan, bagaimanapun juga
mereka sedang tidak dalam kondisi yang bugar untuk menempuh perjalanan,
"Masih sekitar dua pekan dari sekarang menurut rencana mereka,
menurutku Ki Arya tidak perlu tergesa-gesa, paling tidak gunakan waktu
sebaik-baiknya untuk memulihkan tenaga sampai besok menjelang subuh" --kata Raden Pamungkas.
Widuri masih saja termangu-mangu memandang Raden Pamungkas dengan mata
tak berkedip, dalam benaknya sangat yakin dia sedang berhadapan dengan
orang yang beberapa tahun lalu pernah di temuinya. Daya ingatnya yang
tajam tidak akan membohonginya, akan tetapi sepertinya orang yang
menyebut dirinya Tanu Metir itu tak mengenalinya.
Pertanyaan-pertanyaan itu serta merta berputar-putar di dalam kepalanya,
"Kenapa dia seperti tak mengenalku, meskipun hanya sekali aku bertemu,
dan sudah bertahun-tahun lalu, adalah mustahil dia tidak lagi
mengenaliku, karna di padepokan itu hanya dia temanku satu satunya yang
selalu menemaniku ketika ayah pergi bersama paman Dipasanjaya" -- desis
Widuri dalam hati, sebelum sesaat mendengar Tanu Metir menyapanya,
"Apa yang Nyi Arya rasakan saat ini?" --bertanya Raden Pamungkas dengan berusaha untuk tetap bersikap wajar.
"Trimakasih tuan Tanu, rasanya badanku sudah menjadi baik, cuma masih
terasa lemah, dan tiba tiba menjadi bingung.." --jawab Widuri seadanya
Raden Pamungkas mengerutkan keningnya. Demikianlah juga Arya Salaka mendengar apa yang di katakan Widuri.
"Bingung?" desis Raden Pamungkas sambil menarik nafas dalam-dalam Kemudian berpaling ke arah Arya Salaka.
"Iya, tadi aku bingung kehilangan benda ini, aku kira benda ini hilang saat aku tak sadarkan diri"
Widuripun kemudian menunjukkan sebuah sisir rambut berbahan gading yang
tangkainya bergambar semacam batik layaknya model gambar pada kain
Gringsing.
Serta merta Raden Pamungkas hatinya menjadi
berdebar-debar, dia ingat betul bahwa sisir itu dulu miliknya yang di
berikan kepada sahabat gadis kecilnya yang lincah dan nakal pada waktu
itu.
Akan tetapi Raden Pamungkas berusaha bersikap wajar dengan menyembunyikan perubahan raut mukannya yang sesaat terlihat memerah.
"Sisir berbahan gading... Tidak sembarang orang yang mempunyai sisir
seperti itu, maka sudah sewajarnya jika Nyi Arya menjadi bingung jika
benda itu sampai hilang"
"Ki Tanu benar, benda inipun hanya
pemberian dari sahabatku semasa aku masih kecil, bahkan boleh di bilang
kakak ku, tapi entahlah sekian lama aku sudah tak pernah bertemu
dengannya lagi"-- lanjut Widuri
Berdesir hati Raden Pamungkas mendengar apa yang
di katakan Widuri tersebut, rasa-rasanya dia ingin berterus terang
tentang dirinya, akan tetapi dia tidak mampu melawan kekukuhan hatinya
untuk menyembunyikan jati dirinya, kecuali terhadap Guru dan Kakeknya.
gugat trah kusuma 6 dimana om
BalasHapusni baru akan di up load lurr
HapusKi Rangga Sedayu .... maaf boleh tanya ... ! adakah kelanjutan Gugat trahing Kusuma selanjutny ... !!!
BalasHapusSemakin seru
BalasHapusLuar biasa...ki rangga ini! Betul betul nyambung tokoh tokoh nagasasra sabukinten disini!
BalasHapusMaturnuwun sanget ki,