Rabu, 11 Februari 2015

Gugat Trah Kusumo 4

GUGAT TRAH KUSUMA IV
bag 1

Jarak Kademangan Tulung di mana ki Mageti tinggal ternyata tidak terlalu jauh dari pedukuhan Ki Puguh Bekti yang beberapa waktu lalu menjadi ajang perang tanding sepasang Bajak Laut Karimunjawa melawan Jaka Warih.
Hanya setengah hari perjalanan berkuda melewati beberapa bulak panjang akan terlihat tugu pembatas kademangan tersebut.
Ternyata Jaka Warih tidak terlalu menemui kesulitan mencari rumah tinggal ki Mageti yang ternyata masih seorang bebahu di kademangan itu, sehingga tak seorangpun yang tka mengenal ki Mageti ketika bertanya.

Dimana setelah Jaka Warih sampai di depan regol rumah, terlihat seseorang mendatanginya sembari bertanya,

"Apakah ada yang kisanak cari?"

"Apakah benar ini kediaman ki Mageti" berkata Jaka Warih sambil menjengukkan kepalanya ke halaman rumah yang terlihat sepi tersebut.

Orang tua itupun memadang lekat-lekat ke arah Jaka Warih seperti hendak mengenali siapakah pemuda itu, kemudian kembali bertanya,

"Maaf kisanak, sebenarnyalah di sini rumah ki Mageti, tetapi ki Mageti sedang tidak ada di tempat...lalu siapakah kisanak ini?"

"Namaku Jaka Warih, ki Mageti adalah sahabat ayahku dan, kernanya aku di minta untuk menemui ki Mageti"

"O, maafkan aku angger Jaka Warih, aku tidak tau sebelumnya, aku ki Truno pembantu di rumah ini, tapi seperti yang aku katakan rumah ini kosong, ki Mageti sedang tidak ada di rumah, beliau sedang di Kademangan sejak tadi pagi, sementara nyi Mageti dan putrinya belum pulang dari pasar"

Jaka Warihpun lalu mengangguk anggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya,
 

"Apakah ki Truno tau kapan Ki Megeti kembali?"

"Aku kurang tau ngger, tapi kalau angger berkenan silahkan menunggu di pringgitan, biasanya sebelum sore ndara Mageti sudah berada di rumah"

"Trima kasih ki Truno, biarlah aku menunggu di bawah pohon mlandhing ini saja"

"Silahkan ngger, aku mohon diri, aku akan melanjutkan pekerjaanku"

Ki Truna pun lalu beranjak meneruskan pekerjaanya.
Sementara Jaka Warih duduk di atas lincak dibawah pohon mlandhing yang tidak terlalu besar itu. Semilir anginpun telah memanjakan kesejukan luar biasa, desiran daun-daun bagaikan menyenandungkan irama damainya hati, hingga tak terasa mata Jaka Warih terasa menjadi berat.
Angan-angannya melayang layang tak menentu karna sungguh dalam hatinya tidak tau apa sebenarnya tujuannya datang ke sini, bahkan apa yang akan dikatakan jika nanti Ki Mageti sudah datangpun tidak tau. 


Hanya dorongan-dorongan dalam hati yang tidak di mengertinya hingga membawanya sampai di sini.
Sebenarnyalah dia tidak bisa ingkar ketika gadis itu tiba-tiba muncul di dalam benaknya.


Dalam pada itu ketika sesaat kesadarannya hilang terbawa belaian angin, tiba-tiba nalarnya di kejutkan oleh suara yang cukup keras di telinganya,

"Ki Truno, apa saja pekerjaanmu?!"

Ki Truno kemudian tergopoh-gopoh mendatangi orang yang memanggilnya tersebut. Seorang yang masih terlihat lebih muda dari Jaka Warih.
Dengan badan yang terlihat kekar dengan pandangan mata tajam itu menyiratkan sebuah kegagahan sebagai seorang lelaki, namun gaya bicara pemuda itupun menunjukkan seorang yang tinggi hati.


"Angger mamanggil aku?" demikian ki Truno mendekati pemuda itu,

"Apa saja yang kau kerjakan!? Dan siapakah orang asing ini?!" bentak pemuda itu sambil jarinya menunju ke arah Jaka Warih.

"Dia mencari ki Mageti ngger.."

"Ada keperluan apa orang asing itu mencari paman?"

"Aku tidak tau ngger, tapi katanya ayah pemuda itu sahabat ki Mageti"
 

Ki Truno pun dengan singkat memberikan keterangan tentang Jaka Warih"


"Omong kosong..!! Aku mengenal siapa saja sahabat paman Mageti, juga keluarganya, orang asing itu pasti membohongimu"

Jaka Warih kemudian nampak termangu-mangu, karna dirinya orang tua itu menjadi di bentak-bentak tanpa subasita oleh pemuda itu.

"Pemuda itu nampaknya mempunyai sifat pemarah, dan juga tinggi hati, aku harus berhati-hati berbicara dengannya, aku tak ingin muncul persoalan yang tidak berarti sehingga menimbulkan kekerasan", desis Jaka Warih dalam hati.

Sesaat terdengar lagi orang tua itu berbicara,
 

"Tapi aku tak berani mengusirnya ngger, karna jika benar pemuda itu anak dari teman ndara Mageti, aku akanmendapat kesalahan"

"Dasar orang tua tolol..!! Bagaimana jika sebaliknya orang asing itu ternyata berbuat jahat?!"

"Maaf kisanak.." tiba-tiba Jaka Warih menyela, "semua salahku bukan orang tua itu, tapi percayalah aku tidak punya niat yang jahat"

"Siapa kau he?!, aku sedang tidak bicara padamu lebih baik kau diam..!!"

Jaka Warihpun berusaha mengendapkan perasaannya kemudian menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tenang dia pun berkata,

"Baiklah, jangan salahkan orang tua itu, biarlah aku pergi"

 "Tunggu..!! apa yang terjadi?
Suara itu datang dari pintu regol,


"Paman.." desis pemuda itu

Kemudian orang yang datang yang tidak laian adalah ki Mageti tersebut berjalan menghampiri keributan itu. kemudian memalingkan wajahnya kearah pemuda itu.

"Ada apa ini, Pideksa"

Pideksa masih berdiri termangu-mangu melihat kedatangan ki Magati tersebut, pertanyaan itu sulit di jawabnya karna memang sebenarnyalah tidak berujung pangkal dari apa yang membuatnya marah kepada ki Truno juga pemuda yang di anggap orang asing tersebut.
 

Sesaat kemudian ki Magatipun berpaling ke arah Jaka Warih, sambil menarik nafas dalam-dalam,

"Ternyata kau datang kesini juga ngger"

"Demikianlah ki, tapi maaf justru kedatanganku ke sini menjadikan ketidak tenangan suasana di rumah ini"

"Tidak, tidak, justru aku yang meminta maaf padamu atas sambutan yang tidak mengenakkan ini"

Pideksa kemudian justru mengerutkan keningnya mendengar perkataan pamannya itu, dalam hatinya menjadi beetanya-tanya apakah pemuda itu anak dari sahabat ki Magati.
Sementara Jaka Warih hanya terdiam sebelum kembali mendengarkan suara Ki Magati.


"Baiklah ngger, aku persilahkan naik ke pringgitan agar kita bisa bicara dengan tenang, namun sebelumnya perkenalkan pemuda ini adalah kemenakanku"

Jaka Warih pun kemudian mengangguk kan kepala ke arah Pideksa, namun pemuda itu seperti tak bereaksi bahkan tanpa menghiraukan apa-apa kemudian berjalan mendahului menuju pringgitan.
Dalam pada itu sebelum Jaka Warih beranjak, Nyi Mageti bersama Larasati muncul dari pintu regol.
Gadis itu serta merta menjadi termangu-mangu, dia tak mengira Jaka Warih benar-benar mengunjunginya bahkan terlalu cepat menurut prasangkanya.namun tak lama kemudian gadis itu menghilang di balik dinding gandoknya.

 Jaka Warihpun menjadi semakin berdebar-debar, lalu melangkah ke pringgitan.

"Angger, maafkan atas kesalah pahaman ini" kata ki Mageti setelah semuanya berada di pringgitan

"Tidak mengapa ki, bagiku adalah wajar jika adi Pideksa berlaku waspada, karna memang di antara kami belum saling mengenal satu sama lain" berkata Jaka Warih.

"Ya, memang kita tidak saling mengenal sebelumnya, aku pun juga bukan adikmu"
 

Entah mengapa Pideksa semakin tidak senang melihat keberadaan Jaka Warih itu, di matanya, Jaka Warih seakan-akan seperti pencuri yang akan mengambil sesuatu yang berharga darinya.

"Jangan begitu Pideksa, kita harus menghormati setiap tamu yang datang ke rumah kita, lagi pula terus terang aku berhutang budi kepada pemuda ini" berkata ki Mageti

Kemudian agar tidak menjadi salah paham itu berkelanjutan, ki Mageti pun menceritakan secara rinci perkenalannya dengan pemuda itu.
Bagaimana pemuda itu melindungi sepupunya dari ancaman penculikan kedua Bajak Laut Karimunjawa, beberapa saat yang telah lalu. Sehingga di depan orang banyak Jaka Warih terpaksa mengaku sebagai calon suami Larasati untuk menarik perhatian Bajak Laut tersebut.


Kata-kata ki Magati kemudian terhenti ketika Larasati datang membawa nampan kemudian menaruh makanan dan minuman yang di hidangkan.
Seketika itu dalam hati Pideksa menggeram ketika pandangannya mengarah kepada Jaka Warih dan Larasati berganti gantian, Pideksa melihat sebuah hasrat yang begitu dalam di antara kedua pasang mata Jaka Warih dan Larasati ketika sekejap saling memandang, walau kemudian keduanya sama-sama menundukkan wajah

Seketika Pideksa merasakan betapa hatinya menjadi panas membara,
Sejak kecil hingga dewasa sebagai seorang saudara sepupu Pideksa dan Larasati selalu bersama, bahkan amatlah dekat dalam pergaulan sehari-hari.
Hingga pada suatu ketika dalam hati pideksa muncul benih-benih perasaan yang lain dari sekedar sebagai saudara sepupu. Ketika benih-benih itu belum sempat di nyatakan, tiba-tiba harus melihat hal yang membuat hatinya terluka. Pemuda itu tiba-tiba datang dengan membawa petaka menenggelamkan angan-angannya yang selama ini begitu indah.
Sebagai seorang yang telah tumbuh dewasa, tentu Pideksa dapat merasakan apa yang ada di sepasang bola mata mereka masing-masing. Hal itu semakinmembuat Pideksa benci terhadap pemuda yang bernama Jaka Warih itu.


Akan tetapi sebenarnyalah berbeda dengan Larasati,
Pideksa yang selalu ada buatnya itu tak lebih seperti kakak kandung yang menyayangi adiknya. Sehingga tak terlintas sedikitpun perasaan kepada Pideksa adalah perasaan layaknya Lelaki dan Perempuan dalam arti yang dalam.
Sehingga ketika seseorang datang menaburkan benih-benih tanaman bunga di hatinya dia pun tidak ada beban untuk merawatnya hingga bunga-bunga itu pada saatnya menjadi mekar dalam keharuman.

Setelah selesai meletakkan beberapa potong makanan dan minuman itu, Larasati kemudian masuk lagi kedalam rumah sambil sekilas memandang Jaka Warih sekejap.
Karnanya lambat laun panas di dada Pideksa itu semakin membara, sehingga dengan tergesa-gesa dia minta diri,


"Paman, rasa-rasanya aku tak bisa terlalu lama di sini, ada satu pekerjaanku yang tertunda membutuhkan penyelesaian"

Ki Mageti mengerutkan dahinya kemudian mengangguk anggukkan kepalanya lalu berkata,

"Baiklah Pideksa silahkan, dan hati-hatilah"

Di saat ki Magati dan Jaka Warih masih saling berbincang bincang, ternyata sebenarnyalah Pideksa tidak pergi melainkan memutar pagar samping rumah tersebut lalu menuju pintu butulan uantuk menemui Larasati.
Larasatipun menjadi terkejut ketika mendapati Pideksa tau-tau berada dibelakangnya,

"Ah, kakang, kau membuatku terkejut" desis Larasati

Pideksa hanya diam memandang aneh ke arah Larasati sehingga membuat gadis itu heran, sebelum kembali dia berkata,

"Kakang Pideksa, kenapa memandangku aneh sepert itu? lalu kenapa kakang berada disini, bukankah sebaiknya kakang menemani ayah berbicara dengan tamu itu?"

Pideksa pun seperti bangun dari lamunannya ketika kembali mendengar suara gadis itu, lalu sertamerta Pideksa bertanya,

"Laras, apakah kau mengenal tamu itu?"

Larasatipun menjadi termangu-mangu, pertanyaan itu kembali membuat hatinya menjadi berdebar-debar.

"Aku dan ayah mengenalnya secara tak sengaja, lalu..."

"Sudahlah, tak perlu kau teruskan", sela Pideksa, "paman sudah menceritakan semuanya"

Wajah Larasatipun kemudian bersemu merah lalu menudukkan kepalanya, sebelum termangu-mangu 
mendengar kata Pideksa kemudian,

"Laras, apakah kau menyukainya?"

Kemudian Larasati memandang Pideksa sesaat lalu menunduk kembali

"Laras, apakah kau menyukainya?"

Pideksa mengulang pertanyaan itu. Sebelum menarik nafas dalam-dalam ketika Larasati mengangguk kecil.

"Kenapa kau lakukan itu Laras?"

Larasati tiba-tiba memandang Pideksa dengan tatapan aneh

"Maksud kakang?"

"Kenapa kau lakukan itu terhadapku? setelah bertahun-tahun kita selalu bersama"

Dalam pada itu Larasati menjadi paham maksud Pideksa yang justru dalam hatinya menjadi semakin terheran-heran

"Kakang, bukankan sebagai saudara itu wajar, meski kita hanya sepupu, tapi kakang sudah aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri"

"Kenapa kau tidak bisa membaca rasa yang aku punya ini Laras? Atau kau tau namun berpura-pura tidak tau?"

"Kakang..!! maaf kan aku, tubuhku letih, aku mohon diri"
 

Demikian Larasati serta merta meninggalkan pemuda itu sendirian.

"Ini gara-gara anak setan itu..!!" geram nya dalam hati, "Laras, jika aku tak bisa mendapatkanmu aku bersumpah, orang lainpun tidak" gumam Pideksa.

Dalam peda itu Jaka Warih masih berada di pringgitan bersama ki Mageti, Pembicaraan mereka pun telah semakin jauh sehingga pada akhirnya Jaka Warih menemukan cara untuk menyampaikan maksudnya.
Sementara ki Mageti tau, kejadian di pedukuhan sebelah tempo hari tentu akan berlanjut pada sebuah pepesthen yang tidak di duga-duganya, bahkan di sisi lain nampaknya putrinya juga mempunyai perasaan yang sama dengan pemuda itu.
jaka Warih pun telah mengungkapkan apa-apa saja yang akan dilakukan ketika tiba hari yang di maksudkan, dalam kehidupan yang akan ditempuhnya bersama putri ki Magati kelak.

Namun dalam hati Jaka Warih pun tak bisa ingkar tentang apa yang secara tidak langsung telah di ucapkan kakeknya Mpu Windujati, tentang sebuah pengabdian dalam kehidupan yang lebih luas, di mana mendung yang selalu bergelanyut di langit Demak itu kian menebal, yang pada saat tak terduga pastilah hujan akan turun bagai air bah yang tercurah dari langit menggenangi sisi ketentraman seluruh kehidupan di bawahnya, hujan yang mungkin akan berubah menjadi genangan air mata.
Karna itu demi memayu hayuning bebrayan Jaka Warih terpaksa sesaat mengesampingkan kepentingan pribadinya.


"Kyai Mageti, perkenankanlah aku mohon diri sebelum pada saatnya aku akan kembali untuk melaksanakan kuwajibanku disini"

Ki Magetipun mengangguk anggukkan kepalanya, seakan ingn memahami apa yang menjadi tujuan dalam benak anak muda sebelum mereka bertemu di padukuhan itu.
Demikian setelah mohon diri, Jaka Warihpun beranjak meninggalkan rumah ki Mageti untuk melanjutkan perjalanannya, namun sejenak langkahnya terhenti ketika pandangan matanya mengarah seorang Gadis berdiri termangu-mangu di pintu regol halaman rumah tersebut.


"Laras.." desisi Jaka Warih

Gadis itu hanya memandangnya, dengan mata yang mengandung berbagai pertanyaan yang tak mampu di ucapkannya, kemudian menuduk kembali.

"Laras, aku pasti akan kembali.."

"Kakang, aku mengerti, aku telah mendengar semua perbincangan Kakang dan Ayah di pringgitan tadi"

Jaka Warih kemudian menarik nafas dalam-dalam, namun sebelum Jaka Warih bicara, Larasati telah mendahuluinya.

"Pergilah kakang.." kata Gadis itu sambil tersenyum pahit. Lalu tangannya menyodorkan sesuatu kepada Jaka Warih, "kakang, bawalah ini, meskipun benda ini tidak begitu bernilai, namun aku sangat menyukai benda ini"

"Kain Gringsing.." desis Jaka Warih

Sejenak kemudian dia pun tertegun dan berbicara dalam hatinya sendiri,
 

"Kenapa gadis ini menyukai kain Gringsing? seperti aku"

Demikian Jaka Warih kemudian menerima kain Gringsing pemberian gadis itu, lalu dia pun mengambil sebuah benda dari dalam kampilnya seraya berkata,

"Benda inipun sangat berati bagiku, mendiang ibuku memberikan ini padaku, terimalah, ini sebuah kekancingan yang aku berikan padamu, untuk aku kembali kapadamu"

Larasati pun menerima sebuah untaian kalung mutiara putih dari tangan Jaka Warih, tak terasa matanya mulai basah, menatap kepergian pemuda itu.
**



Terik matahari masih terasa menyengat di bulak panjang itu meski matahari sudah mulai terlihat bergeser ke barat.
Dengan lamban Jaka Warih berjalan seolah-olah kakinya tak merelakan beranjak dari kademangan itu. Angan-angannya masih saja membayangkan wajah Gadis yang secara tak terduga telah membuka pintu nurani yang selama ini belum pernah di rasakannya.
Namun sejenak lamunan itu terhenti manakala jauh di depan nampak seseorang berdiri di tengah jalan, seakan-akan meghalangi jalannya.


"Pideksa.."desis Jaka warih

Sebenarnyalah orang itu adalah sepupu Larasati yang di temuinya dirumah Ki Mageti beberapa saat lalu,
Dengan tajamnya mata Pideksa menyiratkan sebuah ketidak sukaannya memandang ke arah Jaka Warih.


"He, kau turun dari kudamu..!!" dengan berkacak pinggang Pideksa menghardik

Jaka Warih memandang Pideksa dengan sedikit heran, kenapa orang yang baru di jumpainya sejak berada di rumah Ki Mageti itu terlihat membencinya,

Kemudian diapun turun dari kudanya lalu berkata,

"Apakah kisanak ada keperluan dengan ku?"

"Benar.." jawab Pideksa singkat, lalu suaranyapun kembali terdengar, "aku hanya memperingatkan kepadamu, pergilah dari sini, dan jangan kembali.."

"Maksud kisanak..?" Jaka Warihpun terheran-heran melihat prilaku pemuda itu.

"Sudah jangan banyak tanya, turuti saja apa yang aku katakan atau.."

"Tunggu dulu Pideksa.." Jaka Warih kemudian memanggil namanya, "aku rasa kita tak pernah punya silang sengketa, bahkan kita pun beru ketemu dan sebelumnya kita tidak saling mengenal, jadi kenapa kau berbicara seperti itu padaku?"

"Kau tidak perlu tau kenapa, pokoknya jangan sampai aku melihatmu lagi di sini, kali ini aku cuma berbicara, dan jika lain waktu aku masih melihatmu datang ke kademangan ini, jangan salahkan aku jika aku berbuat kasar padamu"

Demikian berkata Pideksa sambil membalikkan badan meninggalkan Jaka Warih, sebelum tangannya mengembang kearah barongan pohon bambu ditepian jalan itu, satu gelombang angin telah memancar dari telapak tangan Pideksa memporak porandakan barongan pohon bambu hingga bertumbangan menghalangi jalan.

"Luar biasa.. Pemuda itu ternyata berilmu tinggi"

Dengan termangu-mangu Jaka Warihpun menatap kepergian Pideksa sesaat setelah memamerkan kedahsyatan ilmunya tersebut, sebelum beberapa saat kemudian diapun kembali menaiki kudanya berjalan menyusuri bulak panjang tersebut.
***

Kenyamanan Pedukuhan Ngancar di lereng Gunung Lawu sebelah timur itu seakan-akan sedikit terusik sejak beberapa saat yang lalu.
Lima orang bertampang sangar itu telah membuat beberapa orang yang sebelumnya berada di dalam kedai di sisi jalan pasar itu lari tunggang langgang, entah apa yang terjadi sebelumnya, meski tak terlihat tanda-tanda kekerasan dari dalam kedai tersebut kecuali suara-suara umpatan yang sekejap terdengar, sebelum seorang pelayan kedai itu membawa senampan pesanan ke meja tempat kelima orang itu duduk berkumpul.


"Jika tugasmu selesai pergilah..!! jika ada yang berani masuk aku tebas kepalamu..!!"

Demikian kata salah seorang dari lima kawanan tersebut kepada pemilik kedai tersebut, sehingga dengan serta merta pemilik kedai itu cepat-cepat meninggalkan ruang tersebut, dengan tubuh yang gemetar.
Pemilik kedai itu hanya memikirkan nyawanya dan tak peduli apa yang akan di lakukan orang-orang itu di dalam kedainya.


"Apa yang terjadi kisanak?" bertanya seorang pemuda yang baru saja memasuki jalan pasar di pedukuhan itu.

"Entahlah, tiba-tiba beberapa orang bertampang sangar itu mengusir semua orang di kedai itu" jawab orang itu dengan nafas tersengal-sengal, kemudian orang itupun pergi.

Pemuda itu mengerutkan keningnya, ada sedikit penasaran dalam hatinya apa yang baru saja terjadi.
Pemuda yang tidak lain adalah Raden Timur Pamungkas, atau Jaka Warih itu kemudian memandang ke arah kedai yang bagian atas dindingnya itu terlihat masih terbuka. Dia melihat lima orang mencurigakan itu sedang berbincang-bincang di dalam kedai tersebut.


"Sepertinya mereka orang-orang dari sebuah perguruan, lalu apa yang dilakukannya sehingga menakuti semua orang itu?"

Kecurigaan Jaka Warih bertambah tinggi ketika melihat salah satu dari kelima orang itu kemudian keluar kedai menoleh kekanan dan ke kiri bahkan berjalan mengontrol samping kanan kiri kedai tersebut seakan akan memastikan bahwa di sekitar situ tidak ada orang yang mendekat, kemudian orang itu masuk lagi bergabung dengan temannya.
Apa yang dilihat Jaka Warih membuatnya semakin berhasrat untuk mengetahui apa yang di perbincangkan kelima orang yang menurut pengelihatannya kelompok orang-orang di salah satu perguruan tersebut.

"Orang tua yang berjualan dawet itu berada di sebrang jalan tepat berhadapan dengan pintu kedai, sebaiknya aku menepi disana"

Setelah memesan satu mangkuk dawet kemudian Jaka Warih duduk dan memusatkan nalar budinya sehingga ketajaman indera pendengarannya menjadi berlipat ganda tajamnya, berhasil mendengarkan percakapan itu.

"Kakang Macan Wulung, apa rencana kita selanjutnya?" bertanya salah seorang dari mereka kepada yang lain.

"Sampar Blacan, ki lurah belum kembali dari Banyubiru, kita menunggu saja sebelum membuat rencana-rencana agar kita tidak mendapat kesalahan"

"Namun hingga pertemuan Cemoro Sewu lewat ki lurah Singo Rodra belum kembali?, apakah mungkin ki lurah mendapat kesulitan di Banyubiru?"

"Menurutku tidak, kakang Suro Agul Agul juga disana, dan aku rasa saat ini sulit bagi siapapun menahan ilmu ki lurah Singo Rodra setelah berhasil mengembangkan Aji Macan Liwung pada tataran sangat tinggi, bahkan menurutku telah melampaui mendiang pemimpin sepuh kita Kyai Simo Rodra Lodaya itu sendiri, Ki Ageng Gajah Sora tentu akan binasa jika berhadapan dengan ki Lurah"
Sampar Blacan kemudian mengangguk angguk kan kepalanya setelah mendengar ulasan saudara tuanya tersebut, sebelum kawan yang lain lagi berbicara,

"Seperti pesan ki lurah kita akan mengikuti hasil dari rencana pada pertemuan Cemoro Sewu tempo hari"

"Kau benar Suro Blandong, kita akan mengikuti rencana yang telah di buat ki Bagus Respati, seperti yang di sampaikan Kecruk Putih kepada perwakilan perguruan yang hadir, namun tetap kita akan menunggu keputusan ki lurah" jawab Macan Wulung.

"Lalu apakah kita akan menunggu ki lurah di sini? atau kembali ke Alas Lodaya?" bertanya Sampar Blacan

"Kita tunggu di sini sampai besok, jika ki lurah belum datang kita kembali ke Alas Lodaya" jawab Macan Wulung

Dalam pada itu di tempat yang tidak diperkirakan kelompok Macan Lodaya tersebut, Jaka Warih telah mendengar apa yang mereka perbincangkan, dengan seksama Jaka Warih mencoba untuk mengetahui lebih dalam, apa lagi setelah mendengar nama Ki Bagus Respati di sebut-sebut oleh mereka,

"Rupa-rupanya aku terlambat, pertemuan itu telah terlaksana, aku harus lebih banyak lagi untuk mengetahui kemana arah pembicaraan mereka selanjutnya" berkata Jaka Warih dalam hati.

Sementara kelompok Macan Lodaya itu masih berada di dalam kedai tersebut dan melanjutkan perbincangan mereka, dan Jaka Warihpun mendengar suara Macan Wulung,

"Kita tidak akan terlalu peduli dengan apa yang di katakan Ki Bagus Respati tentang sebuah perjuangan melalui perkataan Kecruk Putih itu, kita tidak peduli urusan tentang tahta Demak atau rencana mereka tentang kebangkitan Majapahit, yang paling penting bagi kita adalah menghancurkan Banyubiru, yang kebetulan menurut Ki Bagus Respati merupakan salah satu pilar Pajang"

"Benar kakang.." lanjut Sampar Blacan, "kita akan kembali menyatukan kekuatan bersama dengan beberapa perguruan yang dulu terhina oleh Banyubiru"

"Ya, setelah ki lurah Singo Rodra datang kita akan menghubungi, Kyai Naga Pertala yang sekarang berada di Nusakambangan adik seperguruan Kyai Naga Pasa, juga Ki Badak Wijil murid utama Kyai Bugel Kaliki di Gunung Cireme" kata Macan Wulung kepada saudara-saudaranya itu.

"Ya, nampaknya hanya tinggal kelompok kita bertiga yang masih bernafas, sementara yang lain telah tumpas oleh Rangga Toh Jaya manusia iblis itu!!" geram Suro Blandong,

"Kau benar", kata Macan Wulung, "namun aku yakin yang tiga ini akan mampu melumat kekuatan Banyubiru yang sombong itu, ilmu Kyai Naga Pertala, Ki Badak Wijil, juga ki lurah sekarang sangat sulit di cari tandingannya"

"Baiklah kakang Macan Wulung, kita menunggu ki lurah sebelum bertindank" desis Sampar Macan kemudian.

Jaka Warih yang sedari tadi menyimak percakapan mereka menjadi sedikit paham, lalu mengangguk anggukkan kepalanya kemudian berkata dalam hati,

"Sisi lain dari pergolakan di Demak telah muncul pula, ternyata mereka sisa-sisa dari orang-orang sakti golongan hitam yang mendendam kepada tanah perdikan Banyubiru pada saat perebutan pusaka Demak yang dahulu hilang itu"
 

Demkian setelah menarik nafas panjang Jaka Warihpun kembali berdesis
 

"Masih banyak yang harus ku ketahui, terpenting siapa orang yang bernama Ki Bagus Respati tersebut, juga orang yang katanya masih muda tapi berilmu sangat tinggi. Kecruk Putih"



Pasar kecil pedukuhan Ngancar itu semakin lama semakin sepi, ketika tinggal sisa-sisa cahaya yang mulai meredup di hamparan langit.
Kelima orang dari perguruan Macan Lodaya itu masih saja berada di dalam tersebut, nampaknya mereka tak akan beranjak dari tempat itu untuk menunggu pemimpin mereka,
Jaka Warih akhirnya beranjak dari tempat dimana dia berada, kemudian mengendap endap menuju sebuah pohon yang terletak beberapa tombak dari kedai tersebut. Sebelum akhirnya melenting seringan kapas lalu bertengger di sebuah dahan yang daun-daunnya cukup lebat.


"Dari sini nampaknya lebih leluasa aku memperhatikan orang-orang itu" desisnya dalam hati.

Sampai beberapa lama setelah hari benar-benar gelap, tiba-tiba seorang yang bertubuh agak tinggi, meski terlihat sudah berusia agak lanjut namun badan orang itu masihlah gegap, wajah yang di hiasi bulu janggut yang jarang dengan tatapan mata yang tajam menyala membuat perbawa orang itu nampak angker, orang itu datang bersama tiga orang pengikutnya.
Di atas sebuah pohon Jaka Warih jantungnya menjadi berdebar-debar, meski belum mengenal orang tua itu namun dia mampu mrasakan bahwa orang itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

"Mudah-mudahan orang itu tidak melihat keberadaanku di sini" desis nya dalam hati.

Sebenarnyalah orang itu memang tidak merasakan desiran desiran suara yang mencurigakan di sekitar kedai tersebut.
Dia termangu-mangu memandang berkeliling sebelum suara dari dalam kedai itu memanggilnya,


"Ki lurah sudah datang.?" berkata Macan wulung

Orang itu tidak menghiraukan Macan Wulung, hanya tatapan matanya yang mengerikan itulah yang seakan menjawab kehadirannya,

"Kalian masih di sini"

"Sesuai petunjuk ki Lurah Singa Rodra kami menunggu di sini, karna pertemuan rahasia itu telah selesai siang tadi"

Ki Singo Rodra terlihat mengengguk anggukkan kepalannya kemudian masuk kedai itu di ikuti tiga orang di belakangnya. Beberapa saat kemudian Macan Wulung menceritakan dengan lengkap tanpa terkecuali, tentang keputusan yang di dapat dari pertemuan di Cemoro Sewu beberapa waktu lalu'
Dan setelah mendengar keterangan dari para pengikutnya kemudian ki Singa Rodra beebicara,

"Jadi kalian tidak melihat orang yang bernama Ki Bagus Respati itu?"

"Tidak ki lurah, dalam kelompok itu ki Bagus Respati adalah sosok misterius dimana tidak satupun orang mengenalinya bahkan melihatnya pun belum ada yang pernah"

Kemudian Ki Singo Rodra mengangguk anggukkan kepalanya, dan menarik nafas panjang-panjang, tatapan matanya yang redup menunjukkan sebuah kekecewaan yang teramat dalam sebelum akhirnya dia pun berbicara,

"Baiklah, Besok kita akan kembali ke Alas Lodaya sebelum membuat rencana-rencana pribadi kita"
 

Kemudian Singo Rodra terdiam...
 

Para pengikutnya pun menjadi berdebar-debar melihat kegelisahan pemimpinnya itu sebelum melanjutkan bicaranya,

"Suro Agul Agul telah mati.."

"Mati?" desis Macan Wulung
"Ya, Suro Agul-Agum mati di tangan anak iblis pewaris tanah perdikan Banyubiru itu", pandangan mata ki Singo Rodra beralih di antara pekatnya malam seakan akan segelap dendam yang semakin membara kepada Arya Salaka murid Rangga toh Jaya musuh besar perguruan Macan Lodaya, lalu dia pun menggeram,
 

"Anak Setan itu harus mati!!"

"Ampun ki Lurah, apakah anak setan itu juga sudah mati di tangan ki Lurah?"

"Semula nyawa anak setan itu sudah dalam genggamanku, jika orang tua iblis itu tidak muncul, tapi ternyata nasibnya memang mujur, sehingga aku tak bisa membunuhnya"

"Siapakah orang itu ki lurah" bertanya Macan Wulung

"Semula aku mengira orang dari Klurak itu yang datang dengan tembangnya, namun dugaanku salah, ternyata bukan dia"

Jantung setiap orang yang berada di kedai itu menjadi semakin berdebar-debar sebelum ki Singo Rodra kembali berkata,
 

"Aku tidak mengenal orang yang datang itu sebelumnya,.. Dia mengaku bernama Dipasanjaya bergelar ki Mayang Jati"

"Guru.." tiba-tiba saja Jaka Warih hatinya berdesir mendengar nama gurunya tersebut. Sebelum kembali mendengar ki Simo Rodra bicara lagi,

"Baiklah, kita akan kembali ke Banyubiru satu bulan mendatang, aku akan mengutus kalian ke tempat Kyai Naga Pertala, juga ki Badak Wijil di Gunung Cireme, kita akan membuat Banyubiru menjadi karang abang"

"Ampun ki lurah, apakah waktu itu tidak terlalu lama? Mestinya setengah bulan ke depan sudah cukup waktu untuk mempersiapkan segalanya" berkata Macan Wulung,

"Macan Wulung, setelah Suro Agul Agul tewas, kini kaulah orang ke dua perguruan Macan Lodaya, tapi ketahuilah, satu bulan dari sekarang Banyubiru akan mengadakan pergantian kepala Tanah Perdikan Banyubiru yang baru, Ki Ageng Gajah Sora yang sudah bau tanah itu akan menyerahkan kuasanya kepada setan Arya Salaka yang telah membunuh Suro Agul Agul, aku ingin tepat pada saat itu kita hancurkan Banyubiru"

Macan Wulung pun kemudian mengangguk anggukkan kepalanya,
 

"Baik..!! Aku paham ki Lurah, saat itu Banyubiru harus hancur, lalu kita buru keberadaan Rangga Toh Jaya"

"Jangan membuang waktu, saat ini juga kita kembali Alas Lodaya untuk mengatur siasat, dan kau Sura Blandong, juga Sampar Blacan, ajak masing masing satu orang kawan menuju Nusakambangan juga Gunung Cireme, sampaikan maksudku dengan lengkap, apakah kalian paham?!"

"Paham ki lurah..." jawab mereka berbarengan.

Lalu rombongan itu pergi secara terpisah, Suro Blandong dan Sampar Blacan di kawani masing masing seorang menuju ke arah barat, sementara ki Singo Rodra dan para pengikut yang lainnya ke arah timur ke Alas Lodaya.

Sementara Jaka Warih masih termangu-mangu di atas dahan pohon itu, ada kebimbangan dalam hatinnya, apakah harus menghentikan utusan-utusan itu, atau mengirimkan sasmita ke Banyubiru yang sedang dalam ancaman tersebut.

"Hhhhh.. Apa yang sebaiknya aku lakukan" desisnya.



Jalan melewati lereng Gunung Lawu itu begitu curam, sementara Jaka Warih harus meninggalkan kudanya di pedukuhan Ngancar dititipkan pada salah seorang penghuni pedukuhan tersebut.
Sesekali ia harus mengerahkan kemampuan ilmunya untuk melewati jalan-jalan curam di tepian tebing hingga mencapai lereng sebelah barat gunung itu.
Ketika Matahari sudah hampir tenggelam Jaka Warih telah memasuki pedukuhan Mateseh, di banjar pedukuhan itu ia harus berhenti sebelum kembali langit menjadi terang untuk melanjutkan perjalananya.

Ternyata perjalanan itu tidak mengalami hambatan yang berarti, bahkan dengan kemampuanya yang sangat tinggi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehari kemudian Jaka Warih telah berada di sebuah tepian sungai Bengawan yang cukup besar di sebnelah barat Kademangan Maja.

"Mungkin daerah ini sudah memasuki wilayah Pajang, sementara lalu-lalang rakit-rakit penyebrangan itu cukup ramai pula, setelah melewati sungai besar ini, tidak akan terlalu lama lagi aku akan memasuki Pusat Kadipaten Pajang", berkata Jaka Warih dalam hatinya. "Bukan main, daerah ini benar-benar ramai, sungai Bengawan ini juga tertata rapi dan ada semacam bandar pelabuhan di sebelah tepian sebelah barat sungai itu",
 

Sesaat kemudian mengangguk anggukkan kepalanya,
 

"Ternyata orang yang bernama Karebet, yang kini bergelar Adipati Hadiwijaya itu cukup berhasil 
membangun wilayahnya, lajur perdagangan di sini begitu lancar, bahkan menurut tukang satang itu, tempuran sungai yang mengarah ke barat itu langsung menuju Bandar kecil sungai Banaran di Luwihan ke jantung kota Kadipaten Pajang"

Sebenarnyalah Jaka Warih memang telah memasuki wilayah Kadipaten Pajang, setelah melewati penyebrangan sungai Bengawan Nusupan dia pun meneruskan perjalanannya ke arah barat menuju tempat di mana dia melampaui masa-masa kecilnya, Pakuwon.
**



Dua remaja itu begitu tangkas menunggang kuda di jalan bulak panjang pedukuhan Sala,
Dalam usia yang belum terlalu menajak dewasa, seorang yang berkuda di depan itu berusia sekitar lima belas tahun, disusul remaja yang boleh dikatakan masih berusia anak-anak sekitar dua belas tahun namun tak kalah gesit dengan remaja yang satunya.
Keduanya berwajah sangat tampan dengan tatapan mata mereka yang senantiasa bagai bersinar, saling berkejaran dengan kuda mereka masing-masing, meeeka bagai tak menghiraukan sengatan sinar matahari yang menyapa kulit mereka yang bersih.

Dengan canda tawa riang di atas kuda, kemudian terdengar remaja yang lebih besar itu berteriak,

"Adimaaass..!! Ayo kejar aku, kita berlomba siapa yang sampai duluan menghadap ayahanda"

"Baik, aku akan mengalahkan mu Kakangmas"
 

Terdengar remaja yang kecil itu menjawab sambil menggebrak kudanya, lalu tertawa.
Jalan bulak panjang seperti bergaris dua jalur debu yang mengepul dibelakan kuda-kuda mereka.
Sementara para petani yang sedang menggarap sawahnya bagai tak menghiraukan apa yang terjadi di jalan bulak panjang itu, mereka sudah tau siapa kedua anak remaja itu, bahkan beberapa petani yang sedang beristirahat di gubuknya justru tersenyum melihat tingkah kedua anak remaja itu.


"Hmm, anak-anak perkasa" desis petani itu sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

Namun ketika lajur jalan itu telah sampai di tikungan jalan pembatas jalan di bulak panjang itu, kedua remaja itu menghentikan kuda-kuda mereka.

"Huupp, kita terpaksa berhenti adimas, tak mungkin kita berpacu di keramaian pemukiman penduduk" kata remaja yang lebih besar.

"Benar Kakangmas, kita berjalan biasa saja, kita tidak boleh membuat resah para penduduk itu" jawab yang lebih muda.

Kemudian keduanya berpacu lamban memasuki daerah yang sudah penuh pemukiman itu,
Pakaian kedua remaja itu ternyata menarik perhatian orang-orang yang di lewatinya, beberapa orang banyak yang bertanya-tanya siapa mereka, namun tidak sedikit pula yang tau siapa kedua remaja itu.


"Siapa kedua remaja itu? sepertinya bukan anak-anak kebanyakan?" bertanya orang yang duduk di pinggir jalan sambil menikmati dawet yang dibelinya kepada kawan di sebelahnya.

"He, kau tidak tau? Mereka itu para Pangeran Pajang" jawab kawannya

"Para Pangeran?"

"Ya, yang agak besar itu Raden Sutawijaya, putra angkat Kanjeng Adipati di Pajang, yang satunya lagi Pangeran Benowo putra kandung Kanjeng Adipati"

Mereka mengangguk anggukkan kepalanya dan melihat dua remaja itu menghilang di tikungan jalan.
Sebenarnyalah dua remaja itu adalah Raden Sutawijaya dan Pangeran Benowo, yang seperti biasa berjalan-jalan dengan kuda berkeliling di sudut-sudut Kadipaten Pajang,


"Adimas, setelah melewati tepian Kali Larangan itu sebentar kita memasuki wewengkon Luwihan, apakah kita akan singgah dulu ke tempat eyang Henis?"

"Aku rasa tidak kakangmas, karna aku harus ketemu bunda di istana, akan tetapi jika kakangmas mau singgah silahkan, sampaikan salam baktiku pada eyang Henis"

Raden Sutawijaya kemudian mengangguk anggukkan kepalanya kemudian berkata,
 

"Baiklah adimas, sujudku pula untuk kanjeng ibu"
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai wewengkon Luwihan, Raden Sutawijaya pun kemudian berhenti, dari pada itu Pangeran Benawa melanjutkan perjalanan ke arah barat dimana jarak istanasudah tidak begitu jauh lagi. Raden Sutawijaya masih melihat Pangeran Benawa berjalan dengan kudanya hingga menghilang di tikungan jalan.

"He, jebeng.. darimana kamu?" satu suara yang tak asing lagi terdengar di belakang Raden Sutawijaya, hingga membuatnya sedikit terkejut,

"Ayahanda... Uwa Juru" desis Raden Sutawijaya

 "Darimana saja kau jebeng? bukankah ayah sudah berpesan padamu untuk tidak bermain-main terlalu jauh, bukankah kau juga sudah mendengar bahwa keadaan di Pajang bisa saja menjadi tidak aman, apakah aku harus selalu mengingatkan kau?"

"Ampun ayahanda, aku cuma berkuda bersama adimas Pangeran Benawa berkeliling sampai pedukuhan Sala"

Ki Gede Pemanahan kemudian menarik nafas dalam-dalam, sementara dengan tersenyum Ki Juru Mertani pun berkata,

"Sudahlah, mari kita pulang, nampaknya kau terlihat lelah jebeng, mari.."

Raden Sutawijaya mengangguk kecil lalu segera beranjak menuju pulang, di ikuti ayahanda, dan uwa nya dari belakang.
Sesaat setelah mereka telah sampai di pringgitan rumah Ki Gede Pemanahan, merekapun duduk dan berbincang-bincang.

"Kakang Juru, apa kira-kira rencana pajang selanjutnya menurut kakang"

"Aku juga belum tau adhi, namun nampaknya yang aku dengar udara di wewengkon Demak semakin memanas"

Ki Gede lalu mengangguk anggukkan kepalanya,
"Ya, menurut kabar dari para telik sandi memang demikian, nampaknya Kanjeng Adipati Jipang tidak rela jika Kanjeng Sunan Prawata yang konon terlibat pembunuhan ayahandanya dahulu mejadi pewaris tahta Sultan Trenggono"


"Benar, keadaan nampaknya akan menjadi semakin rumit, di sisi lain memang Sunan Prawata sudah sepantasnya menduduki tahta tersebut, namun cacat sejarah yang di milikinya membuat beberapa pihak menyampaikan ketidakpuasanya terutama Kanjeng Sunan Kudus"

"Kakang Juru, apakah kakang juga mendengar kabar terakhir, bahwa sudah terjadi berbagai ancaman pembunuhan kepada Keluarga istana Demak saat ini?"

"Ya, aku mendengar adhi, namun belum jelas ancaman itu datangnya dari mana, cuma konon itu dilakukan para Sorengpati dari Jipang"

"Sorengpati?" desis Ki Ageng Pemanahan

"Ya, Sorengpati akan tetapi berita itu masih simpang siur"

"Mudah-mudahan kemelut itu tidak sampai berpengaruh ke Pajang" gumam Ki Gede

"Kita berdoa saja adhi, semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua dari segala macam kesulitan, akan tetapi menurutku jika persoalan di Demak itu berkembang dengan buruk, firasatku mengatakan Pajang tentu juga akan terpengaruh"

"Ya kakang Juru, tapi nampaknya Kanjeng Adipati Hadiwijaya juga belum menentukan sebuah sikap, terhadap perkembangan di Demak"

"Menurutku sudah adhi, mungkin Kanjeng Adipati Hadiwijaya menunggu saat yang tepat untuk mangatakannya, dan pada saat itu aku yakin kita akan dipanggil" Berkata Ki Juru Mertani.



Dalam pada itu Raden Pamungkas alias Jaka Warih telah sampai Kademangan Ngasem sebelah barat Kadipaten Pajang, dengan berbelok ke arah selatan melewati beberapa kademangan dia pun akan sampai Pakuwon,
 

Ada sesuatu yang menarik perhatian Raden Pamungkas sebelum melewati jalan simpang tersebut, sehingga dia pun berniat berhenti sejenak untuk melihat apa yang terjadi.

"Dari ciri pakaian orang-orang itu nampaknya serombongan prajurit Pajang..tapi kenapa mereka mengepung kedai itu?"

Kemudian Raden Pamungkas berhenti di bawah sebatang pohon yang cukup rindang di sebrang jalan kedai itu sambil bertanya kepada salah seorang yang juga berteduh di sana.

"Kisanak, apa yang terjadi, kenapa kedai itu di kepung prajurit?" bertanya Raden Pamungkas

"He, siapa kau orang muda? apakah kau bukan penduduk kademangan ini?"
 

Sambil termangu-mangu orang itu justru balik bertanya,
"O, bukan kisanak, aku bukan orang pedukuhan ini, aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat"

Orang itu mengangguk anggukkan kepalanya kemudian berkata,
 

"Kisanak, serombongan prajurit itu dari Kadipaten Pajang yang kebetulan lewat juga"

"Lalu kenapa mereka mengepung kedai itu?"

"Ada dua orang berilmu tinggi membuat onar di kadai itu" lanjut orangitu.

Raden Pamungkas pun semakin tertarik dengan apa yang telah terjadi di kedai itu, maka perlahan-lahan dia bergeser mendekati kedai tersebut meski jaraknya masih cukup jauh., dengan menajamkan indera pendengarannya dia pun mencoba memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi.


Terlihat olehnya dua orang bertampang garang keluar dari dalam kedai itu sambil berkacak pinggang, kemudian tertawa lantang,

"Siapa mereka itu?" desis Raden Pamungkas, "bukan main, Aji Gelap Ngampar itu tatarannya cukup tinggi"

Sebenarnyalah, ketika dua orang itu tertawa, membuat beberapa prajurit itu tersurut mundur beberapa langkah, juga kuda-kuda mereka terlihat panik meringkit tak terkendali, sehingga para prajurit itu semuanya terjatuh ke tanah.

"Hentikan tertawamu yang hanya mampu membuat pening itu..!!"

Suara itu seakan-akan menindih Aji Gelap Ngampar kedua orang itu.

"Sebelum kau mampus katakan siapa namamu prajurit sombong?!"
 

Berkata salah satu dari orang itu.

"Namaku Witasoma, aku Lurah prajurit Pajang pemimpin rombongan ini, kalian sendiri siapa kisanak, mengapa membuat onar di Wewengkon Pajang ini?"

"O, Ki Lurah Witasoma dari pajang.. apakah ini wilayah Pajang?" jawab orang itu

"Kau jangan bergurau kisanak, kalian berada di kademangan Ngasem dalam kesatuan Kadipaten Pajang"

Kemudian justru kedua orang itu tertawa terbahak-bahak meski hanya tertawa secara wajar, namun tiba-tiba salah satu dari orang itu mengangkat tangannya hingga sesaat entah dari mana datangnya ketika tangan itu berputar satu gelombang angin yang cukup dahsyat muncul lalu terlontar ke arah atap kedai tersebut hingga parah berhamburan.

"Bukan main.. ilmu Prahara orang itu cukup tinggi" desis Raden Pamungkas yang masih memperhatikan dari jarak yang cukup jauh

Kemudian ki Lurah Witasoma kembali berbicara,
"Kau memang berilmu tinggi kisanak, tapi aku rasa tidak sepantasnya kau pamerkan di hadapan prajurit Pajang, menyerahlah kalian aku tangkap..!!"

"Sombong kau Ki Lurah..!!, jangankan kau, Karebet pun tidak akan mampu menangkapku, tapi baiklah, jangan kau menjadi pingsan setelah mendengar namaku, pasang telingamu lebar-lebar, namaku Samber Nyawa, dan kawanku ini adalah Carang Waja"

"Ki Samber Nyawa, sayang sekali aku belum sekalipun mendengar julukanmu sebelumnya, maka maaf jika aku tidak menjadi pingsan"

"Setan kau Ki Lurah, jangan kau, hayo kau panggil Karebet ke sini aku sendiri yang akan memenggal kepalanya" berkata Ki Carang Waja.

Kata-kata Ki Carang Waja yang seakan-akan menghina kanjeng Adipati itu menjadikan Ki Lurah Witasoma berang, sehingga harus mengambil keputusan tangkap kedua orang itu, hidup atau mati

"Prajurit..!! siapkan barisan, tangkap kedua orang itu, hidup atau mati..!!"

Terjadilah dua lingkaran pertempuran, Ki Lurah Witasoma bersama dua orang prajurit menghadapi Ki Samber Nyawa, sementara Ki Carang Waja harus berhadapan dengan lima orang prajurit sekaligus.
Ternyata kedua orang itu cukup tanggon, gerakannya begitu cepat menyambar-nyabar bagai burung elang, sesekali melompat, lalu menghindar, dan melenting laksana terbang sebelum melancarkan pukulan-pukulan yang membingungkan, akan tetapi setelah babarapa tataran kedua orang itu belumlah mampu mendesak ketangkasan para prajurit pajang yang memang sangat piawai bertempur secara berkelompok itu.

Justru setelah kedua orang itu semakin meningkatkan kemampuannya hingga sampai ke puncak merekapun mengumpat habis-habisan,
Sekalipun mereka tidak diberi kesempatan sekalipun oleh para prajurit pajang untuk mendapat kesempatan memusatkan lontaran ilmu-ilmu yang mereka miliki,
Dengan aba-aba ki Lurah Witasoma, para prajurit itu serta merta mencecar dengan serangan-serangan bergantian ketika melihat kedua orang itu sengaja surut untuk memusatkan nalar budinya.


"Setan alas..!! Licik kau Ki Lurah" ki Carang Waja menggeram

"Kalian berhadapan dengan kelompok prajurit Pajang, bukan sedang perang tanding, maka aku katakan sekali lagi, menyerahlah, kami akan memperlakukan kalian sewajarnya"

"Jangan harap..!!"
 

Teriak ki Sambernyawa yang kemudian bergerak meningkatkan ilmu kanuragan mereka sampai ke puncak, namun justru semakin lama kedua orang itu menjadi semakin tercesak.

"Lurah prajurit itu cerdas juga.." desis Raden Pamungkas sambil tersenyum

Sementara pertarungan itu menjadi semakin sengit, lamban namun pasti ternyata pedang para prajurit itupun mampu sedikit menggapai tubuh dua orang itu
Goresan demi goresan telah menyentuh tubuh mereka hingga semakin mengumpat-umpat kasar,
Namun betapapun ketahanan tubuh keduanya tinggi namun kewadagan merekapun tidak mampu memungkiri bahwa semakin lama semakin lemah, tidak ada ruang bagi mereka untuk melarikan diri.
Sedetik kemudian lengking panjang keluar daru mulut ki Carang Waja ketika dada sebelah kirinya menganga setelah ujung pedang salah seorang prajurit itu dengan telak menggapainya, Ki Carang Waja pun kemudian tersungkur tak sadarkan diri, sementara Ki Sambernyawa menjadi semakin berdebar-debar, sesaat mundur dan berdiri termangu-mangu melihat keadaan kawannya tersebut.


"Luar biasa..!! Prajurit pajang memang tanggon"

Satu suara berat terdengar menggema begitu dahsyat, hingga memaksa pertarungan itu terhenti,
Lalu lamat lamat di kejauhan berjalan pelan seorang yang sudah berusia lanjut dengan kumis putih terjuntai di samping kanan-kiri ujung mulutnya.


"Kyai Tumbak Jalu.." desis ki Sambernyawa

Dengan tenangnya orang yang memakai jubah putih itu mendekati pertarungan yang baru saja terhenti tersebut.
Ki Lurah Witasoma pun termangu mangu melihat kedatangan orang tua tersebut, sebelum mendengar orang tua ituberkata,


"Siapa pemimpin prajurit ini?!" dengan nada berat Kyai Tumbak Jalu kemudian bertanya

"Kyai, akulah pemimpin prajurit itu" Ki Lurah Witasoma menyahutinya

"Bagus, aku sedang malas menghadapi kroco-kroco macam kalian, aku ijinkan kalian pergi, kembalilah ke Pajang, sampaikan pesanku pada Anak Tingkir itu, katakan Kyai Tumbak Jalu dari Goa susuhing angin, atas nama Kyai Pager Wesi akan datang memenggal kepalanya"

Jauh di tempatnya bersembunyi Raden Pamungkas pun menjadi semakin berdebar-debar mendengar pengakuan orang yang menyebut dirirnya Kyai Tumbak Jalu tersebut.

"Goa susuhing angin? kyai Pager Wesi? sepertinya aku pernah mendengarnya,.." demikian Raden Pamungkas mengerutkan keningnya seakan-akan mengingat sesuatu, "ya, aku mendengar nama itu dari eyang Windujati.

Kyai Tumbak Jalu kemudian melangkah mendekati tubuh Ki Carang Waja yang tergolek diam ditanah, setelah memeriksa keadaan tubuhnya, Kyai Tumbak Jalu mengangguk anggukkan kepalanya, di ambilnya bumbung kecil di balik pakaiannya, kemudian menaburkan serbuk dalam bumbung itu di atas luka Ki Carang Waja.
Ki Carang Waja pun terlihat mengerang sebentar kemudian kembali terkulai, nampaknya luka di dada orang itu cukup dalam.


"Sambernyawa.. Kau bawalah Carang Waja pergi" kemudian Ki Tumbak Jalu berkata

"Baiklah Kyai.." desis Sambernyawa

Ki Sambernyawa pun akhirnya memanggul tubuh Ki Carang Waja yang masih pingsan itu, namun ketika ia hendak beringsut, tiga orang Prajurit Pajang itu menghadangnya,

"Mau kemana kau kisanak, kau telah membuat keonaran di wilayah keamanan Prajurit Pajang, maka kau dan kawanmu itu harus ikut kami ke istana Pajang"

Namun sebelum tiga Prajurit Pajang tersebut mendekati Ki Sambernyawa, satu gelombang angin yang cukup deras menerjang ketiganya, dua dari prajurit itu cukup waspada dengan sertamerta menghidar meski masih sempat tersurut lalu jatuh ke tanah sebentar sebelum mereka tegak berdiri kembali'
Namun Naas satu prajurit itu terlanda dengan telah sehingga terguling lalu tersungkur ketanah, dan nafasnya pun terhenti.


"Hayo, siapa lagi Prajurit sombong yang berani berlagak di hadapan Kyai Tumbak Jalu?! Majulah" orang tua itu berteriak.

Melihat satu Prajuritnya gugur, Ki Lurah Witasoma kemudian menggertakkan giginya menahan kemarahan, dia sadar bahwa sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai ilmu sangat tinggi, jangankan tujuh prajurit, dua puluh lima prajurit pun belum tentu mampu merobohkan seorang seperti Kyai Tumbak Jalu tersebut.
Namun baginya seorang Prajurit pantang untuk lari, apalagi orang tua itu dengan sombongnya telah berani membunuh seorang Prajurit yang sedang bertugas, maka satu keputusan telah di tetapkannya, menangkap Kyai Tumbak Jalu dengan cara apapun, sekalipun harus taruhan nyawa.


"Kyai, tidak sadarkah kau dengan apa yang kau lakukan?, kau telah membunuh seorang Prajurit Pajang yang sedang bertugas, maka menyerahlah, kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu"

"Anak iblis..!! He Prajurit gila, aku telah memberimu kesempatan untuk pergi, untuk melapor kepada anak Tingkir itu, tentang kami, akan tetapi kau justru membuatku menjadi marah dan mengubah rencanaku semula, sekarang biarlah mayat-mayat kalian yang aku jadikan pesang bagi orang-orang pajang, majulah kalian semua..!!!"

Ki Lurah Witasoma pun akhirnya berteriak,

"Prajurit..!! tangkap Orang tua sombong itu..!!"

Namun sebelum para Prajurit itu menyerang mereka seketika tercekat, dan tersurut mundur sambil memegangi dada mereka, sebelum terhuyung-huyung mempertahankan agar tubuhnya tetap tegak,
Orang tua itu tertawa dengan sangat keras, suaranya bagai menghentak-hentak dada setiap prajuri Pajang tersebut, demikian kekuatan suara itu hingga mampu mengungkapkan hembusan angin yang sangat kencang, debu-debu tanah berhamburan, sementara pohon-pohon di sekitar merekapu meliuk-liuk hingga daun-daunnya rontok berguguran.


Kedudukan para Prajurit itupun menjadi porak poranda, satu persatu di antara mereka jatuh terduduk diatas lututnya sebelum akhirnya terkapar,
Akan tetapi di saat keadaan yang terhitung kritis itu, mereka telah di kejutkan oleh suara ledakan yang membelah langit berulang-ulang.
Kadang-kadang suara itu meledak dengan sangat keras memekakkan telinga, namun kadang kadang menjadi pelan seiring munculnya gelombang tenaga tak kasat mata yang entah dari mana datangnya, meninduk suara tertawa yang dilontarkan Kyai Tumbak Jalu tadi.


"Setan alas..!! suara itu... seperti suara ledakan ujung cambuk" 

kata Kyai Tumbak Jalu dalam hati.
Demikian suara ledakan cambuk itu terus terdengar bertubi-tubi, akan tetapi suara cambuk itu seperti berpindah-pindah tempat secara bersahut-sahutan, sehingga terasa seperti ada beberapa orang memainkan cambuk mengepung tempat itu.
Kyai Tumbak Jalu akhirnya menghentikan tekanan ilmunya sehingga suara tertawanya pun menjadi lenyap. demikian suara cambuk itupun menjadi lenyap pula.

Ki Lurah Witasoma pun termangu-mangu, dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa yang telah menolongnya dari cengkraman ilmu Kyai Tumbak Jalu tersebut, sementara tak ada seorangpun yang dilihatnya datang.
Di sisi lain Kyai Tumbak Jalu mengumpat.umpat dalam hatinya, sekilas dia mengenal apa yang baru saja di dengar dan di lihatnya, akan tetapi dia seperti tidak percaya, karna bunyi-bunyian cambuk seperti itu sudah berpuluh tahun takmpernah terdengar lagi, diapun masih termangu-mangu dan bertanya dalam hati,

"Apakah mungkin.. Namun jika dia Orang Bercambuk itu dia, orang yang puluhan tahun lalu menggemparkan tanah jawa ini, tentu saat ini dia sudah terlalu tua untuk berpetualang"

Maka kemudian Kyai Tumbak Jalu menyapa dengan suara berat yang juga di landasi Aji Gelap Ngampar agar suaranya mampu dindengar oleh npendatang gelap tersebut.

"Ki Sanak, mohon tunjukkan wujudmu, jika kau ingin bermain-main dengan Kyai Tumbak Jalu"
 

Suara itu bagaikan menggema ke seluruh penjuru dan memantul mantul bagai di antara tebing.
Namun belum satupun suara menjawabnya.
Sehingga Kyai Tumbak Jalu mengulanginya lagi,


"Ki sanak, apakah aku berhadapan dengan seorang pengecut yang hanya melempar batu sambil bersembunyi.."

Agak lama kemudian terdengar desir suara tawa lirih, namun bergema pula ke segala arah akan tetapi suaranya terdengar jelas setiap telinga di sana,

"Kyai Tumbak Jalu, tidak baik pamer keanehan kepada mereka yang tak mengerti, lain jika itu adalah sikap menyombongkan diri"

Kyai Tumbak Jalu menggeram dan masih menjawab dengan cara semula,
 

"Siapa kau he, iblis..!! Apakah kau gerombolan Orang Bercambuk itu?"

"Kyai Tumbak Jalu, untuk apa kau tau namaku? bukankah setiap orang bisa memakai nama sekehendak hatinya, anggap saja namaku iblis seperti yang kau bilang itu"

"Jangan bergurau.. Katakan siapa kau, dan datanglah di hadapan Kyai Tumbak Jalu sebelum kau ku lumatkan"

"Jangan begitu Tumbak Jalu, bukankah setiap orang ingin hidup lebih lama dalam kedamaian hatinya? seperti aku, karna itu aku menolak jika kau lumatkan" kembali suara itu memperlihatkan suara tawa lirihnya.

"Setan alass, kau hanya bisa membual dan membuatku marah"

"Jangan lekas marah Ki Tumbak Jalu, agar kau yang sudah tua itu tidak menjadi semakin tua, tapi baiklah...namaku adalah Kyai Dandang Wesi"

"Dandang Wesi.." desis Kyai Tumbak Waja sebelum melanjutkan ucapanya, "Anak iblis, kau telah menghinya guru besar Goa Susuhing angin Kyai Pager Wesi dengan menyebut Dandang Wesi"

"Bukan maksudku, namaku memang Kyai Dandang Wesi" jawab suara itu

"Baiklah, jika kau memang bernama Kyai Dandang Wesi, apa hubunganmu dengan Kyai Kendil Wesi?, gedibalnya Karebet yang menjadi pengasuh anak angkatnya itu"

Sebenarnyalah orang yang tersembunyi itu adalah Raden Pamungkas, dia menjadi termangu-mangu ketika permainannya ternyata menjadi rumit. dia asal saja memakai nama Kyai Dandang Wesi, maka menjadi terkejut jika Kyai Tumbak Jalu berbicara tenyang Kyai Kendil Wesi yang tidak di kenalnya yang menurut Kyai Tumbak Jalu adalah orang dekat kanjeng Adipati Pajang itu.
Maka dengan asal pula Raden Pamungkas menjawab,


"O, Kyai Kendil Wesi? apakah kau mengenalnya Kyai Tumbak Jalu?, jika kau bertanya tentang dia, tentu erat hubungannya sama aku" jawab Raden Pamungkas.

"Dengan demikian kau pun gedibalnya si Karebet itu" sergah Kyai Tumbak Jalu

"Kau salah, aku memang berhubungan erat dengan Kyai Kendil Wesi, namun tidak ada hubungannya dengan Kanjeng Adipati Pajang, hubunganku dengan Kyai Kendil Wesi hanyalah kesamaan tugas, sama-sama suka menolong orang kelaparan, namaku Dandang Wesi, dia Kendil Wesi semua bisa untuk menanak nasi"
Jawab Raden Pamungkas Sambil bergurau


"Setan, iblis, markhayangan, kau mampermainkan aku..!!"

Sambil menggeram kemudian Kyai Tumbak Jalu menyerang sebuah rimbun pepohonan dengan ilmunya yang mampu menyeran tanpa sentuhan wadag.
Satu gelombang angin panas melesat menghantam pepohonan yang di duga persembunyian orang yang di anggap telah mempermainkannha itu.
Seketika pohon itu gundul, daun-daunnya rontok bersisa dahan yang mencuat ke atas, namun tak di temuinya seseorang dibalik sana.


"Orang tua ini nampaknya menjadi gila.." desis Raden Pamungkas di balik persembunyiannya.


"Baik lah kisanak, jika kau tidak juga keluar, jangan salahkan aku jika Prajurit-prajurit tak berguna ini aku lemparkan ke udara" demikian Kyai Tumbak Jalu masih melontarkan suaranya yang bergema menggetarkan.

Sementara Ki Lurah Witasoma menjadi berdebar-debar, jika orang itu tidak muncul, tentu dia dan seluruh prajuritnya akan binasa, dia menyadari sedang berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi, namun sebagai seorang prajurit, memang harus siap menghadapi segala bentuk kemungkian, sekalipun maut mengancamnya.
 

Akan tetapi kecemasannya itu tiba-tiba berubah menjadi sirna, ketika pandangan matanya melihat sebuah pusaran angin yang demikian dahsyat mendekat diantara mereka.
Bahkan semua orang yang berada di tempat itu menjadi ternganga, Kyai Tumbak Jalu, juga Ki Sambernyawa pun kemudian menjadi berdebar-debar.
Dalam pandangan mereka pusaran angin itu begitu dahsyat mengungkapkan kekuatan yang tiada taranya, akan tetapi pengaruh pusaran angin itu seperti tidak melebar kemana-mana, hanya bergerak tidak lebih dari tiga tombak dari pusatnya, sehingga seperti punya mata dan tidak memporak porandakan keadaan di sekitar itu.

Pusaran angin itu semakin lama semakin mendekat lalu perlahan lahan terlihat mereda lalu menghilang sehingga kini telah nampak berdiri seseorang di hadapan mereka,
Tidak seorang pun dapat mengenali wjah yang tertutup selembar kain itu kecuai kedua matanya yang terpancar menyiratkan keteduhan.
Sesaat kemudian orang itu pun berkata,


"Maaf Kyai, sebenarnya aku tak ingin bermain-main dengan sesuatu yang aneh-aneh, jika tidak ada yang meminta"

"Kau terlalu sombong kisanak, kau tidak sadar berhadapan dengan siapa, sehingga berbangga dengan permainan anak-anak seperti itu, baiklah sebelum aku lumatkan tubuhmu, perkenalkanlah siapa drimu, dan bukalah wajahmu agar kau tidak menjdi seorang pengcut" berkata Kyai Tumbak Jalu

"Sudahlah, kita sudah bicara panjang lebar tadi, dan aku sdah katakan aku adalah Kyi Dandang Wesi, sekarang yang menjadi penting menyerahlah, kau juga pengikutmu itu sudah melanggar paugeran yang berlaku, bahkan membunuh prajurit yang sedang bertugas, adalah sepantasnya kau harus bertanggung jawab"

Wajah Kyai Tumbak Jalu kemudian menjadi memerah, baru kali ini ada seorang yang belagak di depannya, sehingga sebagai seorang yang mempunyai ilmu tinggi dia merasa tersinggung.
"Setan alas, siapapun kau, bersiaplah untuk mati" geram Kyai Tumbak Jalu.

Satu gerakan yang sangat cepat telah meluncur kearah orang yang bercadar tersebut, namun orang itu masih nampak tenang, dan hampir tidak dapat di lihat mata menggeserkan sedikit tubuhnya ke samping sehingga serangan kilat dari Kyai Tumbqk Jalu hanya mengenai sasaran kosong.

"Iblis, kau mampu menghindar dari seranganku..!!" Geram Kyai Tumbak Jalu,

Kemudian orang tua itu membuka serangan kembali, dan terpaksa meningkatkan kemampuannya semakin tinggi, orang tua itu bermaksud sesegera mungkin untuk segera menundukkan orang bercadar yang sebenarnya adalah Raden Pamungkas tersebut.
Akan tetapi betapa orang tua itu harus merasa kecewa beberapa kali, hingga peningkatan ilmu tata gerak yang hampir mencapai puncak, lawannya sedikitpun tidak terdesak, bahkan serangan balik yang dilancarkan orang bercadar itu beberapa kali hampir menggapai tubuhnya.

Baru kali ini rasanya Kyai Tumbak jalu menjumpai lawan yang tangguh tanggon, dengan begitu dia harus memeras tenaganya bergerak mendekati ilmu puncaknya dengan memulai dengan kekuatan tenaga cadangannya, sehingga nampak pertarungan itu menjadi semakin sengit,
Kyai Tumbak Jalupun bergerak semakin cepat, laksana angin tubuhnya menyambar nyambar dari berbagai arah sehingga hanya nampak seperti bayang-bayang mengelilingi orang bercadar tersebut.

Namun orang bercadar itu seperti tidak kehilangan akal, dengan ilmu peningkatan panca indranya yang sudah mencapai tataran tertinggi, dia tau, mendengar dan mampu merasakan datangnya arah serangan dari arah manapun walau setinggi apapun kecepatan itu datang, sehingga walau memang nampak gerakannya lebih lamban dibanding pergerakan Kyai Tapak jalu yang lama-kelamaan menjadi heran bahwa sekalipun lawannya belum terdesak, bahkan dia sendiri justru merasa kewalahan.

Ki Lurah Witasoma terlihat termangu-mangu menyaksikan pertarungan itu, baru kali ini dia melihat pertarungan yang sulit untuk di mengertinya.
Tata gerak dengan kemapuan gerak yang sangat cepat dari Kyai Tumbak Jalu yang mencecar hebat ke arah orang yang baru datang yang bergerak lebih lamban tapi mantap, akan tetapi orang yang baru datang itu sama sekali tdak terdesak apalagi mengalami kesulitan.


"Luar biasa orang itu, gerakan yang seperti biasa-biasa saja itu tidak bisa di tembus oleh kecepatan serangan orang tua itu, bahkan aku melihat orang yang baru datang itu masih dalam tahap bertahan dan belum mengawali sebuah serangan" desis Lurah Prajurit itu.

Kyai Tumbakk Jalu belumlah putus asa, dia merasa masih mempunyai jurus-jurus pamungkas untuk menjatuhkan lawannya, namun untuk kesekian kalinya dia harus menahan kecewa, hingga sampai saat dia melepaskan puncak ilmu kanuragannya orang masih mampu mengimbanginya.
Disisi lain orang bercadar yang tidak lain adalah Raden pamungkas itu sudah merasa jemu untuk selalu bertahan, maka ketika Kyai Tapak Jalu melancarkan serangan kakinya ke arah dada, Raden Pamungkas tidak menghindar lagi, akan tetapi dengan melakukan gerakan aneh tubuhnya melenting keudara secara memutar kemudian dengan satu gerakan tak terduga kaki kanannya memampas membentur serangan kaki Kyai Tumbak Jalu,
 

Kyai Tumbak Jalu terkejut, dia tak menyangka ternyata kekuatan lawannya demikian besar sehingga tubuhnya terdorong surut kebelakang, akan tetapi belum sempat lama memikirkan ketrkejutannnya itu, satu gerak susulan tak terduga dilakukan Raden Pamungkas mengarah tepat kedada Kyai Tumbak Jalu sehingga tubuhnya semakin terdorong ke belakang.
Kyai tumbak jalu berusaha mempartahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi terasa berat sehingga terjatuh ditanah dengan bertumpu pada kedua lututnya, dadanya sedikit sesak oleh hantaman kaki yang baru saja menyentuhnya.


Raden Pamungkas pun sepertinya memberi kesempatan orang tua itu untuk memperbaki kedudukannya, dia hanya berdiri tegak memandang Kyai Tumbak Jalu yang masih berdiri di atas kedua lututnya tersebut.

"Bagaimana orang tua? apakah kau hendak menyerah?" berkata Raden Pamungkas

"Iblis kau..!! Jangan berbangga dengan kemenangan kecilmu ini" geram Kyai Tumbak Jalu, yang kemudian berdiri,
Tangan kanan Kyai Tumbak Jalu telah menggenggam sebuah keris ber luk tigabelas dengan pamor yang gemerlapan seakan akan memancarkan hawa dingin luar biasa.


"Sebut nama ayah ibumu he, iblis..!! tidak satupun manusia lolos dari pusakaku ini, sebentar lagi tubuhmu akan mati membeku" berkata orang tua itu.

Raden Pamungkas pun hatinya berdebar-debar, dia sadar betul melihat wujud keris itu tentu merupakan senjata yang sangat nggegirisi.
Maka dengan tidak mau mengambil resiko, di urainya sebuah cambuk berjuntai panjang yang melingkar di pinggangnya.


Disisi lain Kyai Tumbak Jalu hatinya juga berdesir, dalam berbagai pertanyaan ketika melihat Cambuk berjuntai panjang itu terurai, sehingga dengan berdebar-debar pula bertanya dalam hati,

"Siapa sesungguhnya orang ini?"


Raden Pamungkas masih diam berdiri sambil memegang cambuknya yang telah terurai dan memperhatikan setiap gerak Kyai Tumbak Jalu dengan penuh waspada.
Dia melihat orang tua itu kemudian mengangkat kerisnya hingga wilahan pusaka itu hampir menyentuh dahinya, lalu terlihat bibirnya bergerak-gerak seperti orang yang merapalkan mantra sebelum maju dengan kecepatan tinggi menerjang ke arah Raden Pamungkas, seperti tatit kemudian tubuh orang tua itu melesat melancarkan serangan.
 

Namun orang tua itu terkejut dan terpaksa harus menahan serangannya ketika sebuah ledakan cambuk itu menggelegar bagai memekakkan telinga, sehingga celah-celah pertahanan Raden Pamungkas menjadi begitu rapat oleh gerakan juntai cambuk yang meledak bertubi-tubi, hal ini membuat gerak Kyai Tumbak Jalu pun menjadi selalu tertahan, bahkan beberapa kali justru juntai cambuk itu hampir menyentuh tubuhnya, sehingga sambil mengumpat-umpat orang tua itu terpaksa harus surut beberapa langkah,

"Iblis..!! boleh juga permainan cambukmu, namun dugaanku ternyata salah, kau bukan orang yang aku kenali selama ini, baiklah.. aku akan menemanimu bermain-main bersama cambuk kambingmu itu" geram Kyai Tambak Jalu.

"Trimakasih Kyai.." jawab Raden Pamungkas singkat.

Kemudian dilihatnya orang tua itu memutar senjatanya di atas kepala semakin lama semakin cepat lalu ditebaskannya ujung senjata itu kedepan...
Apa yang terjadi begitu dahsyat,
Raden Pamungkas melihat sebuah gelombang angin yang begitu besar tiba-tiba mencul entah dari mana datangnya, hingga tanah didepan orang tua itu tergulung dan bergerak cepat ke arah nya, debu-debu telah berhamburan bagai di terjang gemuruhnya prahara yang siap menghantam Raden Pamungkas.

Raden Pamungkas pun menjadi berdebar-debar, Sebagai seorang yang sudah cukup pengalaman dia tentu tau apa yang akan dihadapinya.

Sementara Ki Lurah Witasoma dan para prajuritnya serta merta menjauhi tempat itu, dalam hatinya merasa cemas, dia tidak tau nasib apa yang akan di alami orang yang telah menolongnya itu.
Sampai pada suatu saat Lurah prajurit itu manjadi semakin heran ketika pada detik-detik berbahaya dia melihat orang yang menolongnya itu memutar juntai cambukya dengan sangat cepat hingga terlihat seperti bayang-bayang lingkaran yng melindungi tubuhnya. Bahkan kemudian muncul pula gelombang angin yang tidak kalah dahsyatnya bagai putaran puting beliung,
Sesaat tempat di mana kedua orang itu bertarung bagaikan dilanda topan prahara yang bergerak tak beraturan,

Kemudian dengan satu gerakan mundur satu langkah, Raden Pamungkas melecutkan cambuknya secara sendal pancing sebanyak dua kali.
Suara cambuk itu hanya seperti letupan kembang api beberapa kali namun yang terjadi sungguh membuat semua orang di situ menjadi ternganga,
Satu getaran yang sangat kuat telah mendorong pusaran angin yang tadi terungkap lewat putaran cambuk Raden Pamungkas, kemudian melesat maju dengan kecepatan tinggi mamapas angin serangan Kyai Tumbak Jalu.


Kyai Tumbak Jalu menjadi terkesiap, sama sekali dia tak menduga Aji Cleret Taun nya tiba-tiba berbalik arah menyerang dirinya sendiri.
Dengan serata merta diapun mencoba menghindar, akan tetapi terlambat, kekuatan gelombang prahara itu telah menghantam tubuhnya walau tidak telak, diapun terjungkal beberapa tombak kebelakang dan berguling guling di tanah.

Sejenak kemudian Orang tua itu terlihat merangkak-rangkak di tanah berusaha skuat tenaga untuk bangkit, jubah putihnya terlihat menjadi compang camping, sementara wajahnya yang memucat dihiasi lelehan darah segar disela bibirnya, dia merasakan dadanya begitu sesak akibat luka dalam yang di alaminya itu.
Ki Sambernyawa dengan serta merta mendekati Kyai Tumbak Jalu yang terlihat begitu lemah itu.

"Kyai..." desis Ki Sambernyawa

Akan tetapi orang tua itu hanya memberikan isyarat lewat tangannya, kemudian duduk bersila, memusatkan nalar budinya dan mengatur pernafasannya untuk mengurangi rasa sesak yang menindih dadanya.
Dengan tenang Raden Pamungkas menghampiri kedua orang itu, akan tetapi Ki Sambernyawa tiba-tiba menghadangnya,

"Apa yang akan kau lakukan kisanak?" bertanya Raden Pamungkas yang masih memakai penutup wajah itu.

"Aku tau kau berilmu sangat tinggi kisanak, akan tetapi jika kau menyerang Kyai Tumbak Jalu yang sedang tidak berdaya itu, aku akan mengadu nyawa denganmu" geram Ki Sambernyawa

"Jangan bergurau, lihatlah kedudukanmu, apakah kau lebih tanggon dari orang tua itu" desis Raden Pamungkas.

Ki Sambernyawa hanya terdiam, sesungguhnyalah hatinya menjadi menir, seorang Kyai Tumbak Jalu, orang nomor dua di padepokan Goa Susuhing Angin menurut sepengetahuannya mempunyai ilmu yang sangat tinggi itu tak berdaya menghadapi manusia bercadar itu, apa lagi dirinya...

"Ki Sambernyawa, jika aku berniat membinasakan Kyai Tumbak Jalu tentu dia sudah tidak akan mampu duduk seperti itu, akan tetapi aku tidak akan melepaskan kalian, kalian harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan kalian kepada Prajurit Pajang itu"

Namun sebelum Raden Pamungkas selesai berbicara, satu ledakan keras terdengar sebelum asap hitam pekat menyelimuti tempat itu, sehingga pandangan mereka serta merta terhalang oleh asap itu, demikian setelah asap hitam itu sedikit demi sedikit sirna, Kyai Tumbak Jalu dan Ki Sambernyawa sudah tidak ada ditempatnya, yang tertinggal hanya ki Carang Waja yang masih erkapar di tanah.
Didalam cadarnya Raden Pamungkas hanya bisa menarik nafas dalam-dalam melihat kenyataan yang di hadapinya.

"Luar biasa, aku tak menduga dalam keadaan terluka dalam seperti itu, orang tua tu masih mampu melarikan dirinya" desis Raden Pamungkas sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

Namun tiba-tiba dia seperti ter bangun dari lamunannya ketika satu suara terdengar dari belakangnya,

"Atas nama prajurit Pajang saya mengucapkan trimakasih atas pertolongan kisanak" Berkata Ki Lurah Witasoma

Kemudian Raden Pamungkaspun berpaling,

"Sama-sama Ki Lurah, sudah menjadi wajiban bagi kita saling tolong menolong, apalagi aku meihat sebuah sikap kebatilan terjadi di sini" jawab Raden Pamungkas.

Ki Lurah Witasoma hanya menganguk anggukan kepalanya sebelum seorang prajurit datang memberikan laporan.
 

"Ki Lurah, orang yang bernama Ki Carang Waja itu mati.."

"Apa..?" desis Ki Lurah

Kemudian mereka mendatangi tempat dimana Ki Carang Waja terkapar
Mereka menjadi termangu-mangu ketika melihat ki Carang Waja yang memang sudah tidak benafas lagi itu, ada bekas melepuh tergambar di lehernya membentuk jari-jari manusia.


"Benar-benar keji, mereka membunuh kawannya sendiri sebelum pergi, pasti mereka sengaja membungkamnya agar tidak berkicau" desis Ki Lurah.



Dalam pada itu di kejauan terlihat serombongan prajurit Pajang mendekati tempat itu,
Nampaknya kejadian di tempat itu telah sampai ke Pajang, sehingga telah di kirim bantuan ke tempat itu, akan tetapi mereka tentu tidak akan menemukan para pengacau yang telah melarikan diri tersebut.


Ki Lurah Witasoma menjadi berdebar-debar trnyata para Prajurit yang datang itu dipimpin langsung oleh ki Gede Pemanahan,
demikian Ki Lurah buru-buru menyambut kedatangan rombongan itu.
Kepada Ki Gede Pemanahan, Ki Lurah Witasoma menjelaskan apa yang telah terjadi secara lengkap tanpa satupun yang terlewatkan,
Ki Gede kemudian mengangguk anggukkan kepalanya, lalu berbicara,


"Lalu dimana orang yang telah menolong kalian?" bertanya Ki Gede Pemanahan

Ki Lurah Witasoma seakan memandang berkeliling mencari orang yang telah menolongnya tadi, akan tetapi orang yang tidak lain Raden Pamungkas itu telah lenyap, Pergi.
***

3 komentar:

  1. Sikap tanpa pamrih dan tidak ingin dikenal seorang Raden Pamungkas ..nuwun Ki RAS

    BalasHapus
  2. Inilah sepak terjang kiai gringsing dimasa muda yg ternyata raden pamungkas timur
    D3mi cintanya dengan larasati dia slalu pakai kain gringsing
    Sungguh runtut karya ki rangga sedayu ini

    BalasHapus
  3. Kain grinsing pemberian Larasati yg selalu dipakai Kyai Grinsing. Menarik sekali kisah selanjutnya...top

    BalasHapus