GUGAT TRAH KUSUMA JILID III
Ki Jagabaya masih saja
termangu-mangu melihat dua Bajak Laut itu pergi menuju halaman banjar
pedukuhan itu. Lalu di alihkannya pendangannya ke arah Jaka Warih yang
terlihat tenang seakan tidak nampak kecemasan di hatinya.
Dalam
pandangan mata hatinya, sebagai orang yang sedikit banyak tau soal dunia
kanuragan memang menurutnya Jaka Warih itu bukanlah pemuda kebanyakan,
namun tetap saja ada kecemasan dalam hatinya, apakah Jaka Warih mampu
menghadapi kedua orang Bajak Laut itu?.
"Aku sudah pernah melihat
dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana kedua Bajak Laut itu bertarung,
ilmu mereka begitu tinggi dan aneh, aku menjadi cemas, apa yang akan
terjadi dengan anak itu"
Jaka Warihpun merasakan kecemasan di hati ki Jagabaya itu, lalu diapun menghampirinya,
"Doakan aku ki Jagabaya, mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu melindungi aku"
Sambil menarik nafas dalam-dalam kemudian ki Jagabaya lalu berkata,
"Semoga angger, hati-hatilah, sebenarnyalah ilmu kedua Bajak Laut itu sangat tinggi, juga ganas"
Demikian Jaka Warih terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya lalu
berjalan menghampiri Larasati yang masih berdiri dibelakang ayahnya,
Dengan hati berdebar-debar ia pun berkata,
"Kyai, maafkan aku yang telah berlaku deksura, bukan maksud aku
mempermalukan martabat kyai, aku akan mempertanggung jawabkan segala
perbuatanku nanti, karna sebenarnyalah aku tak punya cara lain untuk
menarik perhatian kedua Bajak Laut itu"
Kemudian Jaka Warih
memandang Larasati sebentar sebelum menundukkan wajahnya, lalu beranjak
pergi menyusul kedua Bajak Laut yang sudah menunggu di halaman banjar
pedukuhan tersebut.
Sesungguhnyalah Larasati pun hatinya menjadi
berdebar-debar, dia tau perkataan Jaka Warih itu adalah perkataan yang
keluar secara spontan saja, namun tetap saja telah menyentuh hatinya.
Dalam benaknya Jaka Warih tiba-tiba seperti memberikan kesejukan yang luar biasa di saat tubuhnya hampir terbakar api,
Maka tanpa di sadarinya telah mengembang senyum yang tersungging di bibirnya.
"Kau kenapa Larasati?" terdengar ayahnya berdesis,
Larasatipun seperti tersadar dari lamunannya, lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
***
Malam di halaman banjar pedukuhan itu nampak terang oleh sentuhan bulan
yang terlihat melingkar di langit tanpa mega-mega. Sementara tiupan
angin terasa cukup kencang bertiup mempermainkan lidah-lidah api obor
yang bertebaran di setiap sudut halaman itu.
Dua orang berpakaian
hitam pekat telah berdiri berjajar dalam satu lingkaran berhadap-hadapan
dengan seorang pemuda yang berdiri tegak dalam tatapan mata yang tajam
menembus ruang batin.
Sebenarnyalah sepasang Bajak Laut
Karimunjawa itu sudah menunggu beberapa waktu kedatangan Jaka Warih yang
kini sudah berdiri di hadapannya.
Adalah ki Sarpa Laut salah satu
dari Bajak Laut itu kemudian maju beberapa langkah, dan dalam
kepercayaan yang tinggi kemudian dia membuka suaranya,
"Pada akhirnya datang juga kau anak muda" berkata ki Sarpa Laut
"Ya, bukankah aku telah berjanji menemanimu bermain jamuran di halaman ini ki Sarpa" jawab Jaka Warih
"Kau terlalu sombong anak muda, kau tidak menyadari dengan siapa kau berhadapan"
"ki Sarpa, kalau aku boleh tau apa yang seharusnya kusadari?"
"Sadarilah bahwa kau tidak akan lagi melihat terbitnya matahari esok pagi, karna malam ini aku akan mencabut nyawamu"
"Kau jangan bergurau Sarpa Laut, karna aku paham benar kau bukanlah orang yang di tugasi mencabut nyawa seseorang"
"Anak iblis, baiklah bersiplah untuk mati"
Demikian kemudian ki Sarpa Laut tiba-tiba bergerak menyerang Jaka Warih
yang memang tidak menyangka-nyangka datangnya serangan pertama itu,
Walaupun serangan itu tidak terlalu cepat, sebenarnyalah telah membuat
Jaka Warih terkejut serta-merta menjadi sibuk menahan serangan-serangan
aneh yang di lancarkan ki Sarpa Laut.
Akibatnya terpaksa Jaka Warih
menghindar dan menghindar sehingga terlihat terdesak hebat, walau
serangan-serangan beruntun itu sama sekali belum mampu menyentuhnya.
Hal ini membuat ki Sarpa Laut terpaksa harus meningkatkan kemampuanya pada tataran lebih tinggi lagi,
Sebenarnyalah ki Sarpa Laut ingin melumpuhkan Jaka Warih yang menurut
dirinya sombong itu sesingkat mungkin, maka dalam gerakan-gerakan
berikutnya serangannya terlihat membadai.
Dengan ketajaman mata
hatinya tentu saja Jaka Warih tau bahwa lawannya tidak memulai
pertarungan itu pada tataran-tataran awal ilmunya, namun menurutnya
serangan-serangan ki Sarpa Laut itu belum mampu menyulitkan dirinya
meski secara kasat mata ia membiarkan keadaannya seperti terdesak hebat.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi berdebar-debar
melihat kenyataan Jaka Warih dalam pandangan mereka terdesak hebat,
apalagi ki Jagabaya yang pernah melihat kehebatan Bajak Laut itu.
Namun mereka juga menjadi heran melihat Jaka Warih yang terdesak hebat itu sama sekali belum tersentuh sedikitpun.
Demikian juga ki Sarpa Laut pun menjadi semakin marah, karna pada
kenyataan dirinya sudah meningkatkan ilmunya pada tahap yang hampir
mencapai puncak ilmunya, namun pada kenyataannya Jaka Warih masih mampu
mengimbanginya,
Karnanya setelah melakukan satu putaran tubuh ke udara, serta merta meloncat surut bebera langkah,
"Apakah kau hanya bisa menghindar dan menghindar he! Anak iblis,,!!"
"Apa maksud mu ki Sarpa? apakah aku harus berdiam diri pasrah kau pukuli dan tak boleh menghindar?"
Jawab Jaka Warih sembari tersenyum
"Aku tidak sedang bercanda, Setan Alas..!!"
Sebenarnyalah Jaka Warih telah terlalu muak dengan kata-kata umpatan
yang sering di ucapkan Bajak Laut itu, maka ada keinginan yang
menggelitik dalam hatinya untuk membungkam orang itu. Orang yang sangat
berbahaya dalam tatanan paugeran kehidupan, orang yang acap kali suka
melakukan penindasan pada sesama tanpa mempedulikan penderitaan orang
lain
Maka setelah menarik nafas dalam-dalam dengan pembawaan yang tenang Jaka Warih kemudian berkata,
"Ki Sarpa laut, baiklah jika kau tidak ingin melihatku hanya bertahan, bersiaplah aku akan menyerang"
Belum usai Jaka Warih menghentikan bicaranya justru kembali ki Sarpa
Laut tiba-tiba bergerak melakukan serangan, kali ini dengan kecepatan
yang tinggi ki Sarpa Laut menerjang kedepan sebelum tangan kanannya
berusaha mendaratkan pukulan ke dada Jaka Warih.
Serangan yang kali
ini begitu cepat itu membuat Jaka Warih kehilangan peluang untuk
menghindar, maka dari itu dimiringkanlah sedikit tubuhnya dengan
menyapukan tangannya kearah depan menangkis serangan ki Sarpa Laut yang
demikian cepat itu.
Lalu dengan kecepatan tinggi pula serta merta
Jaka Warih melenting sedikit ke udara lalu setelah berputar gerak
tubuhnya, telapak kakinya tau-tau sudah membentur dada ki Sarpa Laut
hingga terdorong mundur beberapa langkah kemudian tersungkur di tanah.
"Anak iblis..!!"
Muka ki Sarpa Laut menjadi semakin merah padam mengalami kenyataan itu.
Dia tidak menyangka pada gerakan-gerakan selanjutnya justru Jaka Warih
mampu mendaratkan tungkai kakinya ke dada Bajak Laut itu meski tidak
membuatnya cidera.
Sesaat kemudian sebelum usai menghirup nafasnya, cuping telinga Jaka Warih merasakan desiran halus yang mengarah padanya,
Ternyata diluar arena Ki Mina Upas tiba-tiba membokong Jaka Warih dengan menggunakan senjata rahasianya
"Si juling itu benar-benar licik"
desis Jaka Warih, yang kemudian melakukan gerakan memutar menghindari serangan gelap itu.
Namun ternyata serangan itu tidak hanya sekali, senjata rahasia semacam
logam pipih berbentuk sirip ikan bergerigi itu berhamburan ke arah Jaka
Warih.
Namun Jaka Warih tidak kehilangan akal, dengan gerakan yang susah di
mengerti kembali dia melenting dengan sangat cepat ke udara, tubuhnya
uang seakan-akan menjadi seringan kapas itu melakukan gerakan memutar
berulang-ulang secara berlawanan, yang bersamaan dengan itu tiba-tiba
terdengarlah pula bunyi ledakan memekakkan telinga berkali-kali sehingga
bebrapa senjata rahasia ki Mina Upas itu terpental di berbagai arah
kemudian luruh ke tanah, di tangan Jaka Warih telah menggenggam
senjatanya.... cambuk berjuntai panjang.
"Beginikah tingkah Sepasang Bajak Laut Karimunjawa yang jantan itu!?" berkata Jaka Warih dengan nada berat penuh kekecewaan.
Sementara Ki Sarpa Laut berusaha membenahi keadaanya, Ki Mina Upas telah berdiri di sampingnya dengan mulut menyeringai,
"Tidak ada aturan bagi kami dalam bertarung he, anak iblis..!! Kecuali
kemenangan, atau terkapar di tanah, dan kau tidak akan bertahan lama
untuk berdiri, satu goresan senjata ku yang mengoyak kulitmu akan
membuat mu mampus!!"
Sebenarnyalah Jaka Warih yang belum sempat mentrapkan Aji Tameng
Waja itu merasakan betapa satu sayatan tipis yang menggores kulit lengan
kirinya itu terasa panas, diapun sadar tentu senjata-senjata rahasia
itu mengandung racun yang tajam.
Namun tiba-tiba terasa aliran hawa
yang hangat muncul diantara jari-jari tangannya yang bersumber pada
cincin batu akik yang di pakainya, kemudian hawa hangat itu menyebar di
seluruh tubuhnya dari dalam seakan-akan mendorong gerak racun yang di
timbulkan senjata lawannya.
Jaka Warih terlihat tergetar sesaat dari
tempatnya berdiri merasakan benturan dalam tubuhnya itu, namun masih
tegak berhadap-hadapan dengan dua Bajak Laut itu.
Sungguh sebuah
pemandangan yang luar biasa bagi orang-orang yang menyaksikan
pertempuran dari pinggir halaman banjar yang cukup luas itu.
Dalam
taburan cahaya bulan yang cukup terang di halaman banjar yang luas itu
terlihat jelas Jaka Warih masih berdiri tegak dengan kaki sedikit
renggang berhadap-hadapan dengan kedua Bajak Laut itu. Tangan kanannya
memegang tangkai cambuk dengan ujung yang terjuntai sampai ke tanah.
Sementara ujung bajunya yang sudah tak beraturan itu terlihat
berkibar-kibar dalam hembusan angin yang cukup kencang.
"Anak
muda itu ternyata benar-benar luar bisa.." desis ki Jagabaya, "gerakan
menghindar dari lontaran serangan senjata rahasia tadi sulit untuk di
mengerti, namun rasa-rasanya benturan kekuatan kedua-duanya itu masih
belum mencapai puncak ilmunya"
Dalam pada itu ditangah halaman banjar itu ketiganya masih berdiri diam,
Jaka Warih masih nampak berdiri seperti mematung dengan tatapan mata
yang tajam tak berkedip memandang ke arah kedua Bajak Laut itu.
Tangannya masih menggenggam erat tangkai cambuk berjuntai panjang itu
dalam posisi yang belum berubah, sementara tiupan angin malam semakin
kencang membuat kain bajunya semakin berkibar-kibar.
Di sisi
lain, sebenarnyalah ki Sarpa Laut juga Ki Mina Upas sedang menantikan
reaksi racun yang telah bersemayam di tubuh Jaka Warih melalui senjata
rahasia andalannya tersebut.
Namun sekali lagi mereka harus
menerima kenyataan yang berbeda, jangankan melihat Jaka Warih terkapar
di tanah, bahkan goyah sedikitpun tidak.
"Setan alas..!! Apakah kau kebal racun he?!" geram ki Mina Upas,
Matanya yang juling itu nampak membara mengerikan.
Jaka Warih tidak menjawab, bahkan masih nampak terdiam mematung, namun sebemarnya Jaka Warih tidak kehilangan kewaspadaannya.
Dia menyadari sedang berhadapan dengan orang-orang yang tidak membatasi
prilakunya dengan segala paugeran yang berlaku, bahkan mereka tak segan
segan berlaku licik demi sebuah kemenangan.
Maka dari itu Jaka Warihpun semakin berhati-hati menghadapi segala kemungkinan itu.
Diam-diam Jaka warihpun telah mengtrapkan ilmu yang dapat melindungi
dirinya dari segala serangan yang tak terduga, dia tidak akan mengulangi
lagi kelengahan yang baru saja di alaminya.
Berdiri di samping ki Mina upas, ki Sarpa Laut yang sudah merasa tubuhnya mapan kembali kemudian melangkah maju kembali,
"Minggir kau adi Mina Upas, biar aku selesaikan bocah setan ini..!!"
Ki Mina Upas pun kemudian berpaling sebentar sambil menyeringai senyum
dan mengangguk tanpa berkata sepatah katapun, lalu mulai beringsut
menepi dari arena pertarungan itu,
Akan tetapi Jaka Warih yang
sedari tadi memusatkan kewaspadaannya melihat betapa tangan ki Mina Upas
bergerak dengan sangat cepat melontarkan kembali puluhan senjata
rahasia ke arahnya.
Kali ini lain..
Lontaran-lontaran itu
terlihat sangat cepat dan kuat dengan landasan tenaga cadangan yang
teramat tinggi, sehingga laju senjata-senjata rahasia itu bagaikan bunga
api yang bertaburan ke arah Jaka Warih.
Demikian Jaka Warih yang
telah berkeputusan untuk menghentikan tingkah laku ki Mina Upas yang
licik dan sangat berbahaya itu justru maju selangkah demi selangkah
dengan memutar juntai cambuknya sangat cepat sehingga seakan akan
membentuk sebuah lingkaran yang rapat tak bercelah.
Lalu entah dari mana datangnya terhimpun pusaran angin yang sangat dahsyat memutar demikian kuatnya.
Sehingga ketika senjata-senjata rahasia yang menyala itu semakin
mendekat, Jaka Warih menarik sedikit kaki kanannya kebelakang sebelum
menghentakkan dua kali juntai cambuknya secara sendal pancing,
Tak ada suara yang meledak-ledak memekakkan telinga dari hentakan cambuk
itu seperti yang pertama terjadi, namun akibatnya demikian luar biasa.
Hentakan pertama mengarah lurus ke depan, telah menimbulkan
gelombang seperti prahara memapas lajunya puluhan senjata rahasia
menyala yang di lontarkan ki Mina Upas tersebut hingga berhamburan
laksana bunga api lalu padam di gelapnya malam,
Bagaikan tanpa jeda disusul hentakan kedua mengarah ke tanah searah lurus tepat di mana ki Mina Upas berdiri.
Ternyata gelombang yang ditimbulkan justru memiliki kedahsyatan dua kali lipat dari yang pertama.
Gelombang prahara itu melaju kedepan dengan cepat seakan menggaris
permukaan tanah menghamburkan debu-debu menuju dimana ki Mina Upas
berdiri.
Serta merta kedua Bajak Laut itu terkejut dengan apa yang baru saja di lihatnya, Ki Sarpa Laut itu pun serta merta berteriak,
"Mina Upas.. awas..!!"
Di pinggir halaman, orang-orang yang menyaksikan pertarungan termasuk
para pengawal pedukuhan itu semuanya menjadi tegang, mereka tak
menyangka bahwa pemuda yang di tangkapnya bahkan sempat di aniaya tapi
tidak melawan itu ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
sehingga tanpa sadar seorang diantara merekapun berdesis,
"Untung tadi pemuda itu tidak menjadi marah..., jika tidak kita semuanya tentu menjadi lumat"
Demikian ki Mina Upas mendengar teriakan saudara tuanya itu, berusaha untuk menghindar, namun naas... dia pun terlambat.
Gelombang prahara yang melaju dengan kecepatan tinggi sehingga
menghamburkan permukaan tanah lalu menghantam tepat dimana ki Mina Upas
berdiri.
Terdengar ki Mina Upas mengaduh singkat lalu tubuhnya
terpental dan bergulung-gulung sebelum membentur sebuah pohon di tepi
halaman banjar tersebut.
Sesaat ki Mina Upas masih berusaha bangkit, dia seolah merasakan dadanya hampir meledak,
Demikian hanya sebentar mendongak lalu tersungkur kembali, walau mata
julingnya masih terbuka namun ternyata nyawanya telah lepas.
Kemudian dari pada itu ki Sarpa Laut serta merta lari ke arah ki Mina
Upas untuk melihat keadaannya, akan tetapi ternyata maut telah
merenggutnya.
Lalu Sarpa Laut memalingkan wajahnya ke arah Jaka Warih seraya menggeram,
"Setan licik..!! kau harus membayar dengan nyawamu..!!"
Sebenarnyalah dalam hati Jaka Warih menjadi berdebar-debar,
Dia
tau bahwa ki Sarpa Laut lah dari keduanya yang sesungguhnya berilmu
sangat tinggi, namun semua itu memang telah di perhitungkannya, maka
dengan lebih hati-hati diapun siap menghadapinya.
"Anak iblis..!!
kau tidak akan mampu membunuh adi Mina Upas jika tidak menggunakan
kelicikanmu, maka bersiaplah, sebut nama ayah ibumu, ilmu cambukmunitu
tak akan ada artinya melawan ilmu ku, akan ku koyak-koyak jantungmu
setan..!!"
"Apakah kau tau apa itu licik ki Sarpa?"
"Iblis..!! Kau melontarkan ilmu cambukmu ketika adi Mina Upas sedang tidak pada pengetrapan ilmunya, apakah itu bukan licik?!"
"Pahamilah dengan adil ki Sarpa, maka kau akan mendapatkan terang tentang kelicikan di halaman banjar ini...,"
"Baiklah anak sombong, aku ingin merasakan cambuk gembala mu itu sebelum aku habisi kau!!"
Kemarahan ki Sarpa laut nampaknya sudah sampai ke ubun-ubun,
sehingga menurutnya tak perlu lagi bertele-tele, tak perlu lagi
bertarung merangkak tataran demi tataran, sehingga ki Sarpa Laut ingin
segera menuntaskan perang tanding itu, lalu melihat Jaka Warih terkapar
berkalang tanah.
Ki sarpa Laut yakin bahwa ilmu cambuk anak muda itu
tak akan berarti menghadapi ilmu pamungkasnya. Karna selama ini memang
belum satupun lawannya selamat oleh hantaman ilmunya yang nggegirisi
itu.
Dalam pada itu Jaka Warih pun sedang berbincang-bincang
dalam hatinya, dia yakin bahwa ki Sarpa Laut tentu akan mengeluarkan
ilmu pamungkasnya,
Jaka Warih merasa mempunyai keuntungan sedikit
manakala teringat cerita ki Jagabaya tentang ilmu Bajak Laut itu, yang
menurut apa yang di dengarnya ilmu itu mirip dengan apa yang dulu di
katakan kakeknya. Ilmu yang bersumber pada kekuatan inti air yang
teramat tajam. Ilmu yang menurut pendengarannya berasal dari negri
sebrang lautan yang sangat luas.
Diam-diam darah Jaka Warih pun berdesir,
"entahlah, apakah ilmuku mampu menahan Bajak Laut itu.. musah-mudahan Yang Maha Agung melindungi ku"
Bulan sudah terlihat semakin bergeser ke barat, bahkan malam pun sudah mencapai lebih dari setengahnya,
Dalam keremangan cahaya bulan itu, terlihat ki Sarpa Laut telah
mempersiapkan dirinya, di pusatkannya nalar dan budinya lalu berdiri
tegak dengan kaki merapat. kemudian kedua tangannya direntangkan ke
kanan dan ke kiri sebelum kedua tangan itu di angkat tinggi-tinggi, dan
berhenti di sisi kanan kiri pinggangnya.
Setelah kaki kanan nya
surut kebelakang, dengan di sertai sebuah teriakan di julurkanlah kedua
tangannya ke depan dengan jari-jari mengembang.
Dari kedua telapak tangan ki Sarpa Laut tiba-tiba muncul hembusan angin yang dingin luar biasa dan meluncur ke arah Jaka Warih.
Jaka Warihpun pelan-pelan merasakan hawa angin yang begitu dingin
menerpanya, namun Jaka Warih telah siap lahir batin menghadapi segala
kemungkinan itu sehingga dia pun telah mempersiapkan diri dalam
pemusatan nalar dan budinya.
Maka ketika hawa dingin yang ti timbulkan oleh ilmu Ki Sarpa Laut itu kian tajam diapun sengaja surut beberapa langkah,
"Apakah aku harus menggunakan jurus Pecut Suwung Rineksan Aji untuk
mematahkan orang itu?"
desis Jaka Warih bertanya dalam hati. "tidak, aku
tak ingin Bajak Laut itu binasa sehingga tak bisa menunjukkan tempat
dimana gadis-gadis yang telah di culiknya"
Dalam pada itu di sekitar banjar itu seakan-akan berubah menjadi
beku, bahkan orang-orang yang sejak pertama menyaksikan perang tanding
itu tanpa sadar mundur menjauh dari halaman banjar.
Sementara di
tengah arena pertarungan itu semakin lama menjadi semakin tegang bahkan
pada saat kemudian Jaka Warih menjadi berdebar-debar ketika dirinya
melihat lamat-lamat dari lontaran ilmu Ki Sarpa Laut itu muncul seperti
serbuk halus keputih-putihan mengarah kepadanya, dan perlahan-lahan
serbuh halus itupun kian banyak sehingga udarapun terasa menjadi semakin
dingin luar biasa.
Kemudian Jaka Warih menghentakkan cambuknya
secara sendal pancing ke arah gumpalan serbuk halus keputuh putihan itu.
Suaranya tidak terlalu keras namun sekali lagi memunculkan gelombang
angin yang begitu dahsyat menghantam gumpalan serbuk halus
keputih-putihan tersebut sehingga menjadi pecah menyibak, namun ternyata
tidak begitu lama gumpalan serbuh halus keputih-putihan itu kembali
menyatu semakin kuat hendak menelan tubuhnya.
"Luar biasa.." Jaka Warih pun berdesis sebelum tubuh nya hilang tertelan serbuk halus yang dingin luar biasa itu.
Jauh di tepian halaman banjar orang-orang menjadi semakin surut
menjauh, namun hawa dingin itu seakan-akan telah membuat tubuh mereka
kaku itu seakan-akan tertindih oleh rasa kecemasan yang luar biasa,
bahkan Ki Jagabaya yang berada di samping ki Puguh Bekti kepala pdukuhan
itu menjadi berdebar-debar ketika melihat Jaka Warih tubuhnya hilang
tertelan gumpalan serbuk halus keputih-putihan itu.
Demikian
Larasati dan ayahnya, yang juga berada tak jauh dari ki Jagabaya
berdiripun merasakan kecemasan yang luar biasa bahkan matanya
seakan-akan mulai membasah sehingga tanpa sadar Larasatipun berdesis
singkat
"kakang warih..."
Sehingga Ayahnya, Ki Jagabaya, bahkan Ki Puguh
Bekti berbarengan menoleh kepadanya smbil mengangguk anggukkan
kepalanya, Namun sejenak kemudian pandangan mereka kembali terpusat pada
pertarungan di tengah halaman banjar tersebut.
"Ki Bekti, apakah kau melihat sesuatu yang aneh di tengah halaman banjar itu?"
"Aku hanya melihat gumpalan putih itu' ki Jagabaya"
"Ya, itulah yang aku maksud, apakah ki Bekti melihat sesuatu yang janggal?"
Kemudian ki Puguh Bektipun mengamati dengan seksama apa yang di katakan
oleh ki Jagabaya itu. Walau jarak peetarungan itu dengan dirinya cukup
jauh namun ternyata ki Puguh Bekti pun melihat keanehan di sana.
"Ki Jagabaya" berdesis ki Puguh bekti kemudian, "aku melihat dua gumpalan keputihan-putihan berbeda disana"
Ki Jagabaya kemudian mengangguk-anggukkan kepalannya kemudian bekatan,
"Ya, sesuatu yang aneh.."
Sebenarnyalah memang ada yang aneh di tengan area pertarungn itu, Jaka Warih terlihat hilang tertelan gumpalan serbuk halus
yang sangat dingin itu. Namun ternyata tidak seperti yang di
sangka-sangaka, karna justru di saat ilmu ki Sarpa Laut itu mendekat
hendak menelan Jaka Warih, perlahan-lahan telah muncul pula wujud
keputh-putihan seperti kabut yang semakin lama menjadi semakin tebal dan
pekat membatasi ruang dimana Jaka Warih berdiri sehingga gumpalan
serbuk halus yang tipis bagaikan tertahan hingga terjadi gerakan dorong
mendorong diantara dua gumpalan putih tersebut.
Di sisi lain ki Sarpa Laut menjadi bertambah heran ketika ilmunya
tidak segera menelan lawannya sehingga tubuh lawannya itu menjadi beku
seakan akan lontaran ilmunya yang nggegirisi itu seperti tertahan.
Bahkan perlahan namun pasti kedudukannya menjadi terasa goyah, pemusatan
budinya seakan terganggu ketika hidungnya mencium sesuatu yang begitu
wangi luarbiasa seperti bau bunga, namun dia tidak tau jenis bunga apa
itu.
Kemudian ketika bau wangi itu semakin menyengat, perlahan-lahan
gumpalan serbuk halus yang sangat dingin itupun menjadi semakin menipis
dan menipis kemudian hilang sama sekali, kecuali gumpalan putih yang
lain yang masih bergulung-gulung menutuipi tibuh Jaka Warih, yang
semakin lama semakin menipis pula lalu juga lenyap sama sekali.
Dan yang terlihat kemudian adalah mencengankan orang-orang yang berada di
tepian halaman banjar. Mereka melihat Jaka Warih masih berdiri tegak
memegang cambuknya, sementara Bajak Laut itu terduduk di atas lututnya
dengan kepala menunduk ke bawah seakan akan seperti kehilangan tenaga
yang begitu hebat.
Sesaat kemudian Jaka Warihpun mendekati ki Sarpa Laut dan berkata,
"Apakah kau menyerah, Sarpa Laut?
Sesaat dengan mata yang kuyu ki Sarpa Laut memandang Jaka Warih, diapun hanya mengangguk pelan tanpa bersuara.
***
Sementara itu di tanah perdikan Banyubiru, Arya Salaka masih
terlihat lemah meski tidak terlalu berat akibat benturan ilmu dengan ki
Suro Agul Agul yang kemudian tewas itu.
Setelah ki Singo Rodra
meninggalkan arena pertempuran, ki Dipasanjaya kemudian mendekati kedua
pasangan muda itu, kemudian diapun tersenyum sesaat sebelum berkata,
"Apakah angger berdua baik-baik saja?"
Arya Salaka yang memang belum mengenal ki Dipasanjaya hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Kami baik baik saja ki, terimakasih atas pertolongan kyai, jika tidak
tentu kamu sudah tidak akan lagi mampu berbicara seperti ini"
"Tentu tidak ngger, karna jodoh, rejeki dan pati itu di tangan Yang Maha
Pemurah, jika garis batas hidupmu memang belum saatnya, kalaupun bukan
aku yang kebetulan lewat, tentu saja ada yang lain"
Arya Salaka
pun hanya mengangguk anggukkan kepalannya lalu menarik nafas panjang,
seolah-olah ingin memahami kodrat seperti yang di ungkapkan ki
Dipasanjaya tersebut.
"Namun kehadiran paman tentu sebuah keberuntungan bagi kami" tiba-tiba terdengar suara Widuri,
Kemudian ki Dipasanjaya berpaling kepadanya sambil tersenyum, lalu ki
Dipasanjaya mengalihkan pandangannya ke pepohon jalan menuju pedukuhan
induk tanah perdikan Banyubiru itu.
Matahari yang semakin bergeser
ke barat makin membuat jalan yang penuh pepohonan di kanan kirinya itu
menjadi semakin redup, hanya cahaya-cahaya kecil yang berhasil menyeruak
sela-sela dedaunan sajalah yang masih mampu memberikan terangnya.
Lalu kehidupan pun akan berganti,
"Hari akan menjadi gelap, apakah angger berdua tidak sebaiknya kembali ke pedukuhan induk, sebelum malam?"
"Marilah paman, aku mempersilahkan paman untuk singgah ke rumah,
mungkin ayah akan senang sekali berkenalan dengan paman" sahut Widuri
"Berkenalan dengan ayah?"
"Sebenanyalah maksudku adalah Ki Ageng Gajah Sora paman, ayahnya orang ini"
Jawab Widuri sambil tertawa kecil, kemudian terlihat bola matanya melirik ke arah Arya Salaka sambil mencibir.
Demikian ki Dipasanjaya menjadi tertawa juga, sementara Arya Salaka hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Widuri, sesungguhnyalah aku datang ke sini mencari ayahmu, adi
Kanigoro.., sudah lama aku tak bertemu dengannya, juga ada hal penting
yang perlu aku bicarakan dengannya,... Terakhir aku mendengar ayah mu
ada di Banyubiru ini, benarkah?"
"Tidak semuanya benar paman,
jika ayah berada disini itu sudah beberapa tahun lalu ketika terjadi
pergolakan di tanah perdikan Banyubiru ini, seterusnya ayah pergi entah
kemana, walau memang kadang-kadang juga datang kesini sekedar
menjengukku lalu pergi lagi"
"Kapan terakhir dia kesini?" bertanya ki Dipasanjaya
"Kira-kira setahun lalu ki.." Arya Salaka lah yang menjawab
Ki Dipa Sanjaya lalu mengangguk anggukkan kepalanya sambil bertanya dalam hatinya
"apakah mungkin dia pergi ke Pengging?"
"Paman, nampaknya ada sesuatu yang begitu penting dengan ayah, apakah
aku boleh mengetahuinya" bertanya Widuri dengan raut muka yang berubah
menjadi serius.
Ki Dipasanjaya masih saja terdiam, lalu kembali memandang ke arah
jalan pedukuhan yang semakin gelap, seakan-akan ada sesuatu yang di
timbang-timbang dalam hatinya, demikianlah kemudian berpaling ke arah
Widuri, terlihat senyum ki Dipasanjaya sembari berkata,
"Boleh
dibilang penting, bisa dibilang cuma hal biasa dari dua orang tua yang
selalu menunggu senja tenggelam sambil bermain macanan, dan yang pasti
tidak sepenting orang yang membicarakan sebuah perjodohan"
"Perjodohan?, maksud paman?"
Masih saja ki Dipasanjaya menyunggingkan senyumnya
"Ya perjodohan seorang lelaki dan perempuan"
"Perjodohan siapa?" kembali Wduri manjadi semakit heran
"Tentu perjodohan murid ku satu-satunya itu"
"Maksud paman murid paman akan mendapatkan jodoh?"
"Perjodohan yang terlambat"
"Ah, paman dari dulu nggak pernah berubah, suka mempermainkan aku
dengan berbicara berputar-putar seperti itu" Widuripun menjadi cemberut
"Bukan berputar-putar, karna memang perjodohan itu sudah terlambat
Widuri, karna wanita yang akan menjadi jodoh muridku itu kini sudah
berumah tangga"
"O, maafkan aku paman, aku kira paman sedang
menggoda ku.., kalau boleh aku tau siapakah gadis yang akan di jodohkan
dengan murid paman itu?"
Kemudian ki Dipasanjaya pun lama terdiam, seakan-akan sengaja membuat Widuri penasaran,
Ki Dipasanjaya terlihat memandang Arya Salaka sebentar lalu berpaling ke arah Widuri sambil tersenyum semakin lebar,
"Perempuan itu adalah putri sahabatku sendiri, Ki Kebo Kanigoro"
Ki Dipasanjaya pun kini kemudian tertawa terbahak-bahak, lalu manik matanya bergerak-gerak ke arah Arya Salaka.
Serta merta muka Widuripun menjadi bersemu merah, dan tanpa sadar
menghampiri ki Dipasanjaya, lalu memukuli punggungnya bertubi-tubi,
sementara ki Dipasanjaya bahkan semakin keras tertawanya hingga air
matanya terlihat keluar.
"Arya..!! Tolong aku, istrimu ngamuk" demikian ki Dipasanjaya masih saja tertawa.
Kemudian setelah diam sesaat ki Dipasanjaya kembali berbicara, namun senyumannya belumlah surut
"Sudahlah anak-anakku, jangan di anggap serius, mungkin orang tua
seperti aku ini butuh banyak bercanda, untuk menghambat keriput-keriput
di kulitku ini",
lalu ki Dipasanjaya terlihat menegadahkan wajahnya
ke langit yang sudah terlihat gelap.
"Hari sudah gelap,
anak-anakku, kalian pasangan yang serasi, aku mohon diri melanjutkan
perjalananku, mungkin aku akan ke Pengging, mudah-mudahan ayahmu berada
disana, sampaikan hormatku pada Ki Gede Banyubiru"
Sedetik kemudian ki Dipasanjaya telah lenyap tiba-tiba sehingga Arya Salaka dan Widuri tak tau kapan orang tua itu bergerak
"Benar paman tidak ingin singgah..?!" Widuripun berteriak
"Lain kali aku pasti akan mengunjungi kalian ngger.."
hanya suara ki Dipasanjaya yang terdengar bergema bagai memantul-mantul di tebing yang tinggi,
"Orang tua yang aneh, namun ilmunya luar biasa" desis Arya Salaka
Kemudian daripada itu kedua orang pasangan muda itu beranjak mendekati kudanya,
demikian sesaat telah terdengar kaki-kaki kuda mulai melangkah.
Mereka menikmati sisa waktu perjalanan pulang dengan berjalan pelan
menyusuri jalan menuju pedukuhan induk yang tidak terlalu panjang
tersebut.
"Widuri, apakah kau sudah lama mengenal orang tua itu? bertanya Arya Salaka kemudian,
"Sudah lumayan lama kakang, bahkan sebelum aku dan ayah tinggal bersama
Panembahan Ismaya, bahkan ayah pernah mengajakku mengunjungi padepokan
paman Dipasanjaya itu"
"Lalu bagaimana dengan murid yang
dikatakannya itu?, apakah kau mengenalnya?"
Sambil tersenyum Arya Salaka
mulai menggoda istrinya yang sifat remajanya kadang-kadang masih nampak
itu.
"Ah, kau ini kakang, kalaupun aku mengenalnya tentu ketika
itu aku baru saja lepas dari masa kanak-kanak, walaupun murid paman
Dipasanjaya itu sudah menuju dewasa, dulu setahu aku murid paman itu
benama Timur, Timur Pamungkas"
"Nama yang bagus" desis Arya
"Dia adalah pemuda pendiam, bahkan menurutku pemalu pada waktu itu,
sangat bertolak belakang dengan aku yang lebis suka terbuka dalam setiap
persoalan, meski aku seorang perempuan"
"O.."
"O, kenapa.." Widuri mulai cemberut,
Kemudian Arya Salaka justru menjawab dengan tertawanya.
"Jangan cemberut gitu, aku cuma bercanda.." Berkata Arya Salaka kemudian, sambil berpaling ke arah Widuri meirik ke arahnya sambil bibirnya tercibir.
Setelah mereka berjalan cukup lama, dan melewati beberapa pedukuhan dan
bulak yang tidak terlalu panjang, merekapun terlah sampai di pintu
masuk pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru.
Sesaat setelah menambatkan kudanya mereka langsung menuju pakiwan untuk membersihkan badan sebelum menghadap ayahnya.
Namun sebelum mereka sampai ke pakiwan tiba-tiba seorang bebahu tanah
Perdikan Banyubiru yang sudah melewati setengah abad usianya
mendatanginya,
"Ki Ageng memintamu untuk segera menghadap ngger,"
"Apakah ada hal penting yang segera harus di bicarakan?"
"Aku kurang tau, namun nampaknya Ki Ageng kedatangan seorang tamu"
"Tamu..?, adakah paman mengenalnya?"
"Ya, aku mengenalnya ngger, tamu itu adalah anakmas Wila dari Pajang"
"Kakang Wila..?!"
Arya Salaka menjadi terkejut, kemudian berdesis dalam hati
"Apakah mungkin kakang Wila mengemban tugas kakang Karang Tunggal yang kini menjadi Adipati di Pajang itu"
Kemudian Arya Salaka berkata kepada bebahu itu, "Baiklah paman, aku akan segera ke pringgitan, namun biarlah aku ke pakiwan sebentar sekedar membersihkan badan"
"Baiklah ngger aku aku mendahuluimu"
Kemudian bebahu itu berlalu mendahului menuju pringgitan
**
Sementara itu, kembali ke Raden Timur
Pamungkas yang menyebut dirinya Jaka Warih itu masih berdiri di depan ki
Sarpa Laut yang terduduk lemah diatas tanah di sebuah halaman banjar
pedukuhan di mana sebelumnya telah terjadi perang tanding diantara
keduanya.
Ki Sarpa Laut yang sebelumnya yakin akan ilmunya itu
harus menerima kenyataan pahit tidak mampu membunuh lawannya yang
usianya masih dapat di bilang muda. Berbagai pertanyaan yang
mengandung kekecewaan muncul di dalam hatinya. Selama ini tak satupun
lawan mampu bertahan dengan kedahsyatan ilmunya yang terbilang langka
dan aneh, yang disadapnya bertahun-tahun dari negri sebrang tersebut,
namun pada kenyataannya pemuda itu menurutnya juga mempunyai ilmu yang
lebih aneh lagi, tak sekalipun ia merasa benturan yang mengakibatkan
tubuhnya cidera, namun pada akhirnya tenaganya bagai terhisap sehingga
tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Bagaimana Sarpa Laut? apakah kau menyerah?"
Lamunannya seakan-akan terhenyak oleh suara Jaka Warih
"Bunuhlah aku anak muda... kau menang" jawab ki Sarpa singkat
Kemudian Jaka Warih menarik nafas dalam-dalam,
"Ki Sarpa, jika aku berniat membunuhmu, aku tak akan melumpuhkan mu,
aku dapat langsung membunuhmu pada saat benturan ilmu, namun bagiku
kematian bukanlah selalu menjadi akhir sebuah pertarungan"
"Jadi apa maksudmu..?! bukankah kau telah membunuh saudaraku itu? apakah kau hanya ingin menghinaku?" geram ki Sarpa Laut.
"Aku melakukan itu di luar pertimbanganku, bukankah kau tau saudaramu
melakukan serangan-serangan berbahaya dengan tidak memberikan kesempatan
kepadaku, maka adalah wajar aku melindungi diriku"
"Omong kosong..!! apapun alasanmu kau memang telah membunuhnya"
"Itu lain ki Sarpa, karna orang sepertimu memang tidak akan mengerti,
sekarang katakan padaku, kau menyerah, dan berjanji akan menjawab
beberapa pertanyaan yang akan ku ajukan, atau ingin mati?!"
"Bagi
Bajak Laut Karimunjawa, mati adalah lebih terhormat daripada menyerah,
maka sebaiknya kau bunuh aku, dan lupakan segala apa yang ingin kau
ketahui dariku" Jawab Sarpa Laut
Jaka warihpun akhirnya diam
namun pandangan matanya begitu tajam ke arah ki Sarpa, seolah-olah ada
sesuatu yang ingin di jenguknya di dalam benak ki Sarpa Laut tersembut,
lalu dengan suara yang teramat berat ia pun berkata.
"Bagus,
baiklah aku percaya Bajak Laut Karimunjawa adalah seorang yang jantan
memegang teguh sebuah harga diri, aku akan mengabulkan keinginanmu untuk
mati"
Demikian apa yang di katakan Jaka Warih sesungguhnya telah
membuat hati Bajak Laut itu berdesir, karna sebenarnyalah tak satupun
manusia mau memilih mati sementara pilihan untuk hidup masih terbuka,
meski mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan harga dirinya,
namun sebagai seorang telah malang melintang mengarungi kerasnya
kehidupan hingga sampai belahan samudra, kematian bukanlah sebuah momok
yang menakutkan.
"Baiklah ki Sarpa, aku akan membinasakan mu dengan caraku, aku tidak
akan membinasakan mu dengan mengotori tanganku ini, namun aku akan
memusnahkan seluruh ilmu kau dengan memutus simpul-simpul syarafmu
hingga kau tidak akan mampu lagi berbuat banyak dengan ilmu mu, kau akan
menjadi seperti orang kebanyakan tanpa piandel yang kau andalkan,
sebelum aku cuci tangan dan menyerahkan mu kepada orang-orang di sana
itu, orang-orang yang kemarahannya sudah memuncak manakala saudara
perempuan mereka ada yang kau ambil, Aku tak akan bertanggung jawab ladi
jika kau akan binasa seperti seorang pencuri, dipukuli ramai-ramai"
"Biadab..!!" geram Sarpa Laut
Kemudian tanpa banyak bicara lagi Jaka Warih melangkah maju mendekati ki Sarpa Laut yang menjadi tegang
"Jangan... tolong anak muda, jangan kau bunuh aku dengan cara seperti itu, bunuh aku dengan senjatamu"
Jaka Warih tidak menghiraukannya, diapun tetap melangkah dengan tatapan
yang dingin, kemudian jari-jari memijat pundak ki Sarpa Laut hingga
Bajak Laut itu pun mengerang luar biasa, ketika hampir saja jari-jari
itu bergerak ke bawah, tiba-tiba Sarpa Laut berteriak,
"Ampun anak muda..!! baik.!! baik aku menyerah aku akan melakukan apa yang kau mau"
Seketika Jaka Warih pun mengendorkan tekanan jemarinya,
"Baiklah, aku akan membawa mu ke dalam rumah kepala pedukuhan itu"
Dalam pada itu Ki Jagabaya dan Ki Puguh Bekti juga beberapa bebahu
pedukuhan itupun menghampiri mereka, lalu membawa Bajak Laut itu ke
ruang yang memang biasa di gunakan sebagai tahanan, sebelum pada saatnya
diperlukan keterangan-keterangan dari padanya.
"Apakah tidak berbahaya, jika orang ini masih di biarkan berkeliaran nantinya" desis seorang bebahu pedukuhan itu.
"Aku kira untuk sementara tidak, perlu waktu beberapa hari untuk memulihkan kebugaran tubuhnya" jawab Jaka Warih
Ki Jagabaya pun kemudian mengangguk anggukkan kepalanya mendengar apa yang di katakan Jaka Warih.
Sementara kokok Ayam jantan itu seakan telah mengisyaratkan semua orang
yang berada di rumah induk pedukuhan tersebut bahwa tak terasa malam
sebentar lagi akan beranjak menjadi pagi.
"Anakmas Warih, apakah
tidak sebaiknya pergi ke pakiwan dulu sekedar membersihkan diri sebelum
beristirahat" berkata ki Puguh Bekti kepada Jaka Warih.
Jaka
Warihpun mengangguk, lalu bergegas menuju pakiwan setelah ki Puguh Bekti
menujukkan tempatnya, sesaat kemudian terdengarlah bunyi senggot dan
gemericik air berjatuhan dari arah pakiwan tersebut.
Sementara
hari sudah semakin terang setelah semuanya dirasa cukup, Jaka Warih
berjalan melewati lokangan samping rumah untuk menuju ruang pendapa
padukuhan itu.
Namun betapa terkejutnya Jaka Warih setelah melewati sebuah tikungan depan pintu menuju ke arah pakiwan tersebut,
Hatinya menjadi berdesir ketika berpapasan dengan seorang perempuan
cantik yang tak lain adalah Larasati itu, sementara Larasati hanya
menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah, lalu diapun segera
bergegas.
Sebenarnyalah Larasati hatinya berdebar-debar, meskipun
dia baru melihat pemuda itu satu kali, namun ternyata telah menimbulkan
perdebatan yang hebat di dalam hatinya, tentang sesuatu yang belum
pernah di alaminya. Apalagi Orang yang baru saja di lihatnya itu dengan
lantang menyebutnya sebegai calon istrinya di depan orang banyak
meskipun semua paham perkataan itu muncul karna dorongan pada persoalan
lain yang memaksanya.
Namun bagi Larasati perkataan Jaka Warih itu
merupakan sebuah arti tersendiri, karna pada hakekatnya pengakuan itu
sendiri merupakan upaya menghindarkan dia dari keganasan Bajak Laut yang
ingin memangsanya tersebut, namun ia pun tak mau di buat malu karnanya
ketika pada kenyataannya apa yang di ucapkan Jaka Warih itu memang
sekedar kebetulan, dengan demikian lambat laun Larasati seakan ingin
lebih jauh mengetahui yang sebenarnaya yang bergejolak di benak pemuda
itu pula.
Sementara Jaka Warih pun berjalan dengan termangu-mangu, papasan itu
seakan-akan mengingatkan dia pada suatu janji, meskipun ucapan itu
muncul demi menarik perhatian Bajak Laut itu. Walaupun begitu ucapan
tersebut terasa seperti sebuah pemberitahuan kapada orang banyak tentang
jalan hidupnya, jalan hidup sebagai mana di lalui lelaki dan perempuan
dalam kebersamaan. Sehingga tanpa sadar ia pun berdesis,
"Semoga aku dapat menjawab keresahan diri ku ini.."
---------
Matahari semakin lama semakin meninggi, namun dengan adanya persoalan
kedua Bajak Laut di pedukuhan itu, Jaka Warih pun harus menunda
perjalanannya ke barat.
Sementara para rombongan yang singgah di
banjar itu sudah berkemas-kemas untuk segera melanjutkan perjalanannya,
termasuk Larasati dan ayahnya Ki Mageti.
Bagi Larasati hal ini
merupakan seperti sebuah mimpi, waktu yang hanya semalam itu benar-benar
telah membuat perasaan hatinya menjadi letih, dan ketika dalam waktu
yang singkat itu telah mampu merekahkan bunga-bunga, namun dalam waktu
singkat apakah bunga-bunga itu akan di tinggalkan selamanya?.
Sebenarnyalah Jaka Warih bisa meraba apa yang ada di benak perempuan itu ketika dia melihat rona yang terbias di wajahnya.
Maka dengan hati berdebar-debar dia pun memberanikan diri menghampiri gadis itu,
"Laras...setelah selesai urusanku di sini jika kau ijinkan aku akan mengunjungimu di Kademangan Tulung"
Perkataan lirih Jaka Warih itu bagaikan sesuatu yang tidak di
duga-duganya sama sekali, sehingga gadis itu hanya mampu mengangguk
kecil lalu tertunduk sebelum tangan ayahnya menggamit pundaknya.
"Mari berangkat, sebelum matahari semakin tinggi"
Sesaat kemudian orang-orang itu minta diri kapada kepala Pedukuhan dan para bebahu lainnya sebelum bergegas pergi.
Sementara Jaka Warih tiba-tiba seperti sadar dari lamunannya ketika mandengar suara ki Mageti menyapanya,
"Angger, aku mohon diri, trimakasih kau telah menyelamatkan kami semua dari keganasan Bajak Laut itu"
Demikian Jaka Warih mengangguk anggukkan kepalanya, lalu menjawab
"Silahkan Kyai, sudah menjadi kuwajiban antar sesama untuk saling
menolong, akupu juga minta maaf jika ada sesuatu yang kurang berkenan di
hati ki Mageti"
Orang tua itu mengerutkan keningnya lalu mengangguk anggukkan kepalanya sebelum berlalu.
Jaka Warih sekali lagi berdesir ketika sekilas melihat pandangan
Larasati yang menurutnya penuh arti, lalu dengan tidak sadar kepalanya
mengangguk kecil.
Dari pada itu KI Sarpa Laut masih terikat dalam pengawasan KI Jagabaya dan beberapa pemuda pengawal pedukuhan tersebut,
"Kisanak, di mana gadis-gadis yang kau ambil itu kini kau sembunyikan?" bertanya ki Jagabaya kepada ki Sarpa Laut,
Seorang bajak laut yang kemudian telah menjadi tawanan para pemimpin pedukuhan itu.
Demikian di hadapan kepala pedukuhan beserta para bebahu dan tentu saja
Jaka Warih, Bajak Laut itu mendapat pertanyaan-pertanyaan yang
sekiranya perlu.
Bajak Laut yang pada saat datang itu nampak
begitu ganas itu seakan-akan menjadi jinak, beberapa keterangan telah di
utarakan termasuk dimana para gadis yang di culiknya itu di
sembunyikan.
Setelah yakin bahwa tidak ada kelicikan dibalik
pernyataan Bajak Laut itu, kemudian ki Jagabaya memerintahkan beberapa
pemuda pengawal pedukuhan itu pergi menjemput para gadis itu di sebuah
hutan kecil tak jauh dari pedukuhan itu, sesuai petunjuk yang di
utarakan Bajak Laut tersebut.
"Baiklah ki Sarpa Laut.." terdengar
Jaka Warih kemudian, "ada sesuatu yang ingin aku ketahui darimu
terlepas dari persoalan gadis-gadis yang kau culik itu"
Jaka Warih nampak terdiam sesaat memandang kearah ki Sarpa Laut
dengan tatapan mata yang begitu tajam, yang membuat Bajak Laut itu
mnjadi berdebar-debar, ketika merasakan raut muka anak muda itu menjadi
demikian serius.
"Ki Sarpa, katakan padaku yang sejujurnya,
tidaklah biasa bagi seorang Bajak Laut sepertimu berkeliaran jauh ke
pedalaman pulau seperti sekarang ini, bagi seorang Bajak Laut sepertimu
tentu Lautan merupakan surga kehidupan tersendiri, maka aku ingin tau
adakah sesuatu yang membuatmu menarik sehingga kau berada di tempat
ini?"
Ki Sarpa Laut nampaknya enggan mengatakan sesuatu yang
menyangku urusan pribadinya itu, karnanya diapun masih terdiam beberapa
saat sebelum terdengar suara Jaka Warih,
"Katakanlah..!!"
Kemudian ki Sarpa Laut menarik nafas dalam dalam sebelum berkata,
"Jaka Warih, sebenarnya apa yang kau inginkan dari pada urusan
pribadiku itu? bukankah persoalan yang menyangkut pedukuhan ini sudah
tuntas aku katakan"
"Katakan saja.." jawab Jaka Warih singkat
Seperti apa yang di katakan Sarpa Laut, sebenarnyalah orang-orang yang
berada di situ termasuk Ki Puguh Bekti dwn ki Jagabaya juga belum
memahami maksud pemuda itu, namun pertanyaan-pertanyaan dalam hati
mereka terpaksa di simpannya hingga pada saatnya akan menjadi jelas arah
tujuan dari maksud Jaka Warih tersebut.
Kemudian ki Sarpa Laut pun berkata,
"Baiklah anak muda, aku
sudah menyatakan menyerah padamu, aku tak akan ingkar dan aku akan
menjawab semua yang ingin kau tau dariku"
"Kau tidak punya pilihan lain ki Sarpa.." tukas Jaka Warih
"Baiklah, namun sebelum itu baik aku katakan dulu, jauh sebelum aku
menempuh jalan hidupku ini, sebenarnyalah aku tinggal di daerah pesisir
utara pulau ini, beban hidup yang aku jalani memaksa aku untuk menempuh
kerasnya dunia di tengah lautan, sampai saatnya aku mendapat kamukten
secara duniawi di sana, singkat kata seluruh kamukten itu menjadi hancur
lebur mana kala pasukan laut Demak menghancurkan segalanya, aku juga
adi Mina Upas harus menyingkir dari salah satu pulau di Karimunjawa
dengan sebuah rakit kecil sampai jauh ketengah samudra yang sudah tidak
aku kenali lagi di laut mana aku berada"
Semua orang yang
mendengarkan cerita itu nampak mengangguk angguk kan kepalanya sebelum
terdengar ki Sarpa Laut kembali berbicara,
"Sampai pada akhirnya
kami terkatung-katung entah beberapa lama di tengah lautan itu tanpa
makan dan minum, aku mengira aku sudah mati ketika aku sudah tak ingat
apa-apa lagi sampai pada saatnya aku sadar sudah berada di sebuah pulau
bersama seorang tua yang tidak aku kenal, kemudian orang tua bermata
sipit itu menjadikan kami murid-muridnya"
"Sungguh luar bisa perjalanan hidupmu ki Sarpa", kata Jaka Warih kemudian, "Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Sebenarnya aku hanya ingin sesaat menengok kampung halamanku sebentar
di pesisir utara, akan tetapi berita tentang kematian Sultan Trenggono
disusul desas-desus pertikaian diantara keluarga Demak memaksaku untuk
bertahan, aku ingin menyaksikan Demak hancur seperti kehancuran yang aku
alami"
"Tapi kenapa justru kau malah tersesat sampai jauh ke selatan ini? bukankah Madiun jaraknya sangatlah daripada Demak Bintoro?"
Ki $arpa Laut kemudian terdiam, kemudian pandangan matanya berkeliling
memandang orang-orang yang ada di bilik tahanan tersebut.
Hati
orang-orang di ruangan itu sesaat terasa berdesir melihat sorot mata ki
Sarpa Laut yang merah membara dan tajam dan danas tersebut.
Dan beberapa saat kemudian Bajak Laut itupun mulai bicara,
"Pada awalnya aku memang cuma ingin menunggu hingga dapat menyaksikan
kehancuran Demak, namun setelah aku mendengar ada sekelompok orang yang
menyatakan Trah Keturunan prabu Brawijara V berusaha mendorong
percepatan hancurnya Demak demi membangun kembali kejayaan Majapahit,
aku tergelitik untuk lebih masuk lebih dalam lagi demi dendam yang lama
tertanam di benakku ini, entah bagaimana ternyata banyak perguruan
perguruan yang mulai bergabung dengan kelompok tersebut"
"Lalu bagaimana dengan recana pertemuan di Cemoro Sewu itu?", brtanya Jaka Warih
"Kau tau itu?" desis ki Sarpa Laut sambil termangu-mangu,
Sebenarnyalah Jaka Warih mengetahui rencana pertemuan kelompok itu
justru dari mencuri dengar percakapan ki Sarpa Laut dengan Ki Mina Upas
disebuah kedai tempo hari. Dengan menajamkan indera pendengarannya Jaka
Warih mampu mengetahui apa yang di bicarakan keduanya, namun Jaka Warih
seakan-akan tidak menghiraukan keheranan Sarpa Laut tersebut.
"Kau tidak perlu tau dari mana aku mendengar itu, untuk itu jangan
mencoba membohongi aku dengan keterangan-keteranganmu itu" lanjut Jaka
Warih.
"Aku mengatakan sebatas yang ku ketahui, dan setahuku ada dua lapis dalam kelompok itu"
"Dua lapis?" Bertanya Jaka Warih, kemudian mengangguk anggukkan kepalanya
"Ya, dua lapis, kelompok tua dan kelompok muda, karna menurut yang aku
dengar kelompok ini membentuk generasi sampai tujuannya tercapai"
"Ki Sarpa Laut, kau pun bisa mengatakan trah Majapahit, termasuk Ki
Jagabaya, kiPuguh Bekti, bahkan setiap orang bisa mengaku trah
Majapahit, akan tetapi sesuatu yang naif jika ingin membangun kejayaan
Majapahit, kecuali mereka yang sebenarnya ingin memuaskan ambisinya
secara pribadi"
Wajah Jaka Warih terlihat memerah seakan-akan menahan sebuah gejolak
dalam hatinya, namun sesaat kemudian ia mampu mengendapkan perasaannya
sehingga kembali wajahnya terlihat tenang.
Semua orang yang ada
di ruang itu serta merta termangu-mangu mendengar apa yang di ucapkan
Jaka Warih tersebut, bahkan ki Jagabaya sekilas melihat perubahan raut
mukanya walau sesaat, hingga timbul pertanyaan dalam hatinya, siapa
sesungguhnya pemuda bernama Jaka Warih ini.
"Aku tidak paham maksud ucapanmu itu anak muda" berkata Ki Sarpa Laut seraya memandang ke arah pemuda itu.
"Ki Sarpa, aku lebih percaya kau seorang Bajak Laut, daripada mereka
yang mengaku trah Majapahit yang sekedar menjunjung tinggi sebuah
kejayaan dengan cara apapun bahkan peperangan sekalipun tanpa memandang
penderitaan kaum bawah sebagai akibatnya"
ki Sarpa Laut pun
kemudian mengangguk anggukkan kepalanya, sedikit banyak dia menjadi
mengerti maksud anak muda itu kemudian diapun melanjutkan bicaranya,
"Terlepas apakah mereka benar-benar trah Majapahit atau bukan, namun
aku cuma ingin mengatakan memang ada dua lapis yang menurut mereka
adalah perjuangan itu, di lapis pertama dari golongan tua aku mendengar
nama Ki Bagus Respati yang sering disebut-sebut, dan di lapis kedua dari
golongan muda aku mendengar beberapa nama di antaranya Kecruk Putih dan
Bango Lamatan"
"Kecruk Putih? Bango Lamatan?" desis Jaka Warih
"Kau mengenal mereka?" Bertanya ki Sarpa Laut
Kemudian sambil mengangguk anggukkan kepalanya Jaka Warih punnmenjawab,
"Aku belum pernah bertemu mereka namun sekali dua kali nama itu pernah ku denga namanya"
"Seperti yang akan mereka lakukan di perbukitan Cemoro Sewu lusa
mendatang adalah upaya mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi dari
berbagai perguruan yang sejalan dengan perjuangan mereka meski hanya
sekedar pelampiasan dendam tanpa memandang alasan perjuangan mereka,
seperti aku ini"
Jaka Warih kembali mengangguk angguk kan
kepalanya, apa yang di dengar dari keterangan Bajak Laut itu sedikit
banyak memberikan pintu terang untuk melihat apa yang sebenarnya
terjadi.
bersambung....
Alhamdulillah
BalasHapusJalan cerita bagus, hanya sedikit kurang teliti dan pemakaian kata2 yg kurang tepat shg artinya menjadi rancu.
BalasHapusLuarbiasa, cersil ini benar² nyambung dengan karya sh mintarja yg sangat ku kagumi. Gaya bahasa nya mirip meskipun tidak plek! Sangat ymemuaskan! Saluuut katur ki Rangga Sedayu!
BalasHapus