bag 2
Panas terik matahari itu perlahan meredup tersembunyi di balik gumpalan awan putih yang datang silih berganti,
Selepas hutan yang tidak terlalu besar terhampar jalan di bulak panjang dengan berpetak petak persawahan hijau yang seakan menyejukkan pandangan mata pada tajamnya terik matahari yang menjenguk sepenggal hari,
Sesaat di kejauhan terlihat gumpalan debu mengepul di sepanjang jalan mengikuti jejak lajunya dua ekor kuda yang sebenarnya tidak berlari terlalu kencang.
Bahkan kadang-kadang kuda-kuda itu mengurangi laju berlarinya lalu berjalan perlahan mengikuti jalan di tengah bulak panjang itu.
Dua ekor kuda yang tidak terlalu istimewa namun terlihat tegar, mengisyaratkan sebuah ketahanan dan kekuatan binatang itu untuk menempuh jarak pacu yang panjang.
Duduk di atas kuda berwarna hitam itu seorang pemuda yang sudah matang usia kedewasaannya, meskipun terlihat lusuh karna perjalanan jauh yang telah dilaluinya, namun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang bersih dengan tatapan matanya yang bening namun tajam berisi, dengan tubuh yang tidak terlalu besar namun terlihat kekar menandakan keserasian pada sosoknya.
Sementara kuda yang lain duduk seorang yang telah berusia lebih dari setengah abad, tubuhnyapun sedang-sedang saja, dengan kumis tipis menhiasi bibirnya.
"Sudah lima hari kita menempuh perjalanan paman, sementara matahari sudah sepenggalan, dan sebentar lagi hari menjadi gelap"
Demikian pemuda itu berbicara kepada penunggang kuda yang lebih tua,
"Hari masihlah lama ngger, kita masih banyak waktu untuk berhenti, biarlah kuda-kuda kita beristirahat di tepian sungai kecil itu"
Jawab penunggang kuda yang lebih tua.
Kedua penunggang kuda yan tidak lain adalah raden pamungkas dan ki gagak sipat itu kemudian menepikan kudanya di tepian sungai kecil yang airnya cukup bening itu.
"Perjalanan yang cukup lancar" desis ki gagak sipat
Sejenak raden pamungkas berpaling ke arah ki gagak sipat kemudian brtanya,
"Kita sudah melewati panaraga paman, apakah kita sudah berada di wilayah madiun?"
"Benar ngger, nampaknya kita justru sudah mendekati padukuhan yang sudah ramai"
Sejenak raden pamungkas terdiam sambil melayangkan pandangan matanya di hamparan hijaunya persawahan, yang berbatas rimbunan pepohonan di ujung yang teramat jauh, burung-burung yang sesekali hinggap dan terbang, sementara beberapa petani terlihat sibuk dengan pekerjaanya sesekali terdengar suaranya menghalau burung-burung yang beniat mengais makanan di hamparan persawahan itu,
"Betapa indah kehidupan dunia jika seperti ini, kedamaian yang tak terusik ambisi dan dendam, bahkan kekuasaan yang kadang menyeaatkan prilaku yang sewajarnya, perbedaan yang tentu akan terlihat yang nanti aku pasti menjumpainya" desisnya dalam hati,
Beberapa saat lamanya mereka menghentikan kuda-kudanya, nampaknya kedua orang itu berniat melanjutkan perjalanannya,
"Angger, apakah angger akan pula keutara melalui jalan menuju jatirogo?"
bertanya ki gagak sipat
"Tidak paman, mungkin kita akan berpisah jalan setelah sampai madiun, paman akan ke utara menuju jatirogo, sedangkan aku akan ke barat lalu ke arah cemara sewu melewati lereng gunung lawu"
"Kemana tujuan angger?"
"Pakuwon, paman..., sudah lama aku tidak menengok pedukuhan tempat mendiang ayah angkatku tinggal"
"Ayah angkat angger?"
"Ya, ayah yang mengasuhku saat aku masih anak-anak menjelang dewasa"
Sejenak raden pamungkas terdiam, seakan nalarnya menerawang jauh menelisik kembali kenangan pahit yang menimpa jalan kehidupannya, kemudian tenpa sadar raden pamungkas berdesis lirih dalam hati.
"Ah, apa yang harus kulalui memang sepantasnyalah aku lalui"
Kemudian terdengar suara ki gagak sipat
"Kakekmu tak pernah bercerita tentang itu"
"Ah, sudahlah paman, ceritanya cukup panjang, kini biarlah kita lalui apa yang seharusnya kita jalani"
jawab raden pamungkas kemudian.
Lalu dua ekor kuda itu bergerak dan berlari meski tidak telalu kencang, berjalan melewati bulak panjang itu, sesekali harus melompati jogangan kecil ditengah jalan,
Maka setelah melalui sebuah tikungan di ujung jalan itu keduanya berhenti,
"Paman, sebelum meneruskan perjalanan aku akan singgah dulu di selatan padukuhan itu, kebetulan kerabat ayah angkatku tinggal di daerah itu..., apakah tidak sebaiknya paman juga singgah semalam sekedar istirahat, sebelum besok paman melanjutkan perjalanan",
Ki Gagak Sipat seperti termangu-mangu sejenak seakan-akan menimbang-nimbang sesuatu yang ada di benaknya, kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun berkata,
"Aku rasa tidak ngger, tentu perjalananku sudah tidak terlalu jauh lagi, biarlah nanti aku beristirahat di jalan saja, aku rasa sekarang kakekmu sudah ada di sana sambil menikmati secangkir wedah jahe"
sambil tersenyum Ki Gagak Sipat memandang raden pamungkas.
Raden Pamungkas kemudian berkata sambil tersenyum pula,
"Kidang melar... Ilmu kecepatan gerak yang mengagumkan,"
"Baiklah ngger, aku mohon diri untuk meneruskan perjalan ke utara, berhati-hatilah engger, ingat selalu pesan kakekmu"
"ya paman, sampaikan baktiku pada eyang sesampainya di sana"
"Tentu"
jawab Ki Gagak Sipat sebelum memacu kembali kudanya cukup kencang.
Raden pamungkas masih berdiri termangu-mangu melihat laju kuda yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata.
"Ilmu kidang melar... Rasa-rasanya sangat menaik", kembali raden pamungkas mengulang kata itu dalam hati.
***
Sementara ketika raden pamungkas berpisah jalan dengan ki gagak sipat, jauh di sebelah utara gunung merbabu, terlihat hamparan rawa pening yang begitu luas, kawasan di mana beberapa tahun yang lalu di huni sepasang tokoh dunia kanuragan yang sangat di takuti, namun pada saat terjadi pergolakan di tanah perdikan Banyubiru beberapa tahun yang lalu keduanya tewas,
Sepasang tokoh yang dijuluki uling kuning dan uling putih itu harus meregang nyawa dalam satu pertarungan yang sangat memalukan karna harus binasa di tangan seorang yang usianya terhitung masih belia.
Panas matahari yang tidak terlampau menyengat bagaikan menyapa hijaunya daun-daun di pepohon pembatas jalan dan tepian rawa itu, seakan-akan menjadi sejuk oleh angin yang berhembus membawa kesejukan air yang tersentuh setiap hembusannya.
Jalan di rimbun pepohonan itu teramat teduh, sekali-sekali garis-garis sinar matahari menyeruak diantara sela-sela dedaunan sebelum menyentuh tanah .
Namun dari pada itu di kejauhan jalan, udara yang bersih itu bagaikan sirna berganti kepulan debu dari dua ekor kaki-kaki kuda yang berlari cukup kencang, menyusuri hamparan jalan di tepian rawa pening itu, dua ekor kuda itu mengikuti kelokan jalan yang menjauh dari tepian rawa kemudian menuju kearah sebuah padukuhan yang masih termasuk wilayah dari tanah perdikan yang dikenal dengan tanah perdikan banyu biru.
Kemudian langkah kedua ekor kuda itu perlahan menjadi pelan memasuki gerbang jalan pedukuhan sebelah utara tanah perdikan itu, kemudian terlihat dua orang penunggang kuda itu adalah seorang lelaki yang masih dapat di bilang muda, dengan tinggi tubuh yang terlihat wajar namun tubuhnya kekar dengan dadanya yang terlihat bidang di balik belahan baju sebelah atasnya,
Wajah lelaki itu cukup tampan dengan raut muka yang tersirat tegas, karna tempaan hidup yang begitu keras, dan tatapan matanya yang tajam mengisyaratkan daya berfikir yang cukup tinggi.
Sementara penunggang kuda yang lain seorang wanita yang sudah melalui masa kedewasaannya, wajahnya yang cantik terlihat memakai pakaian khusus yang tidak biasanya di gunakan wanita pada umumnya, tatapan matanya yang bersinar seakan akan menutupi kedewasaan usianya itu,
Ada yang sedikit menjadi perhatian ketika kuda-kuda itu melintasi setiap orang yang ada disepanjang jalan itu, bunyi derap kaki-kaki kuda itu dibarengi suara gemerincing lembut seperti bilah-bilah besi yang bersentuhan lebut.
Sebenarnyalah ternyata bunyi gemerincing itu adalah untaian rantai panjang yang melingkar di pinggang wanita itu
Sejenak setelah lama kuda itu berjalan pelan, terdengarlah suara wanita muda itu kepada penunggang kuda lelaki di sebelahnya...
"kakang, apakah kakang tidak merasakan keganjilan pada perjalanan kita sejak melintasi tepian rawa pening tadi?"
Demikian perempuan itu berucap, sementara lelaki itu terlihat mengangguk anggukkan kepalanya, setelah menarik nafas dalam-dalam kemudian menjawab apa yang dirasakan perempuan di sebelahnya itu,
"Ya, panggraitamu sungguh tajam widuri, sebenarnyalah akupun merasakan sejak kita memacu kuda melewati tepian rawa pening tadi"
jawab lelaki itu.
Sebenarnyalah kedua orang itu adalah sepasang suami istri muda, yang tidak lain adalah anak dan menantu Ki Gede Banyu biru yang bergelar Ki Ageng Gajah Sora, keduanya adalah Arya Salaka bersama Widuri.
"kakang, apakah kakang juga merasakan sesuatu yang bergerak-gerak lembut di balik gerumbul-gerumbul pepohonan pendek di tepian jalan di depan sana?"
Kembali terdengar suara widuri
"Nampaknya lebih dari dua orang", jawab arya salaka
kemudian dengan sangat pelan melanjutkan ucapannya
"Widuri, tetap saja kita berjalan sewajarnya, kita tunggu apa yang mereka maksudkan jika memang berniat menghadang perjalanan kita"
"Baiklah, mari kakang.." desis widuri
Sebenarnyalah ketika kuda-kuda mereka sampai di gerumbul-gerumbul tepian jalan itu tiba-tiba seorang di antara mereka muncul memotong arah kemana kuda-kuda nya berjalan.
Seseorang yang hampir berusia setengah abad, dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dengan kumis lebat dan cambang panjang sampai ke samping dagunya itu hanya berdiri diam menghalangi jalan kedua pasangan muda itu
"Kisanak, mohon kisanak minggir, kami akan lewat"
terdengar suara arya salaka kemudian.
Namun justru orang itu balik bertanya,
"Apakah aku sedang berhadapan dengan putera kepala tanah perdikan banyu biru yang bergelar ki ageng gajah sora?, murid dari perguruan pengging?"
Arya Salaka hanya termangu-mangu memandang orang yang menghadangnya tersebut, dalam benaknya jelas dia tidak pernah mengenal orang tersebut namun dengan serta merta orang tersebut seakan-akan mengenalnya dengan jelas
"Kenapa kau diam he?!, aku bertanya kepadamu apakah kau putera kepala tanah perdikan banyubiru, dari perguruan pengging?",
bentak orang itu.
Sesaat wajah arya salaka menjadi merah, gejolak darahnya yang masih bisa dibilang muda seakan-akan mulai mendidih, namun di tekankanlah perasaannya untuk menahan gejolak dalam darahnya itu. lalu dengan menarik nafas dalam dalam arya salaka mencoba menahan gejolak hatinya itu seraya berkata,
"Kisanak, siapakah kisanak ini, tidakkah kisanak bisa bicara dengan lebih baik, ada urusan apa ki sanak mencari aku?"
jawab arya salaka.
"O, jadi benar aku berhadapan dengan arya salaka?"
Kemudian orang itu tertawa sangat panjang, suara tawa itu seakan terasa menggema, hingga daun-daun kering pepohonan di sekitar itu menjadi berguguran,
"Luar biasa, orang ini telah memamerkan ilmunya yang menurutku cukup tinggi"
desis arya salaka dalam hati.
"Kisanak, sebenarnyalah aku adalah putra tunggal kepala tanah perdikan Banyubiru",
Arya Salaka menjawab pertanyaan orang itu dengan dilandasi ilmunya pula, sehingga mampu menindih suara tertawa orang tersebut.
Kemudian suara tawa itupun lenyap,
"Setan alas..!!" jangan kau sombong he, hanya dengan mampu menindih ilmu gelap ngamparku.
Arya Salaka pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan prilaku orang yang nganeh-anehi tersebut.
"Ki sanak, bukankah tadi kau bertanya siapa aku dan aku menjawab?, lalu dimana letak kesombonganku yang kau maksud kisanak?"
"Tidak usah banyak bicara, jika memang kau adalah putra kepala tenah perdikan banyu biru, arya salaka hari ini kau harus mati..!!"
Seketika orang itu bersuit panjang..., maka muculah beberapa orang di balik gerumbul pepohonan itu.
"Empat orang" desis arya salaka dalam hati.
Kemudian sebelum orang-orang itu bergerak...
"Tunggu dulu kisanak, siapakah kalian ini, kurasa kita tidak pernah punya silang sengketa, kenapa kau menebar ancaman padaku" berkata Arya Aalaka
"Baiklah, ada baiknya kau mengenal kami sebelum kau tak punya kesempatan menatap matahari besok, kau akan lumat di tangan kamu kecuali wanita cantik itu"
Terasa meremang tubuh Widuri yang sedari tadi hanya duduk terdiam di punggung kuda ketika mendengar apa yang di katakan orang itu
"Dengarkanlah he, Arya salaka, namaku adalah ki Sura Agul Agul dari perguruan Alas Lodaya, aku mengemban tugas dari guruku untuk mencabut nyawamu, kemudian membinasakan orang yang berjuluk Mahesa Jenar"
"Jangan bergurau ki Suro, tidak ada seorang manusiapun yang berhak mencabut nyawa mausia lainnya, kecuali atas kehendak yang maha agung", jwab arya salaka.
"Manusia sombong, aku tidak bergurau, kau akan binasa oleh ilmu macan Lodaya"
"Dengar kisanak", demikian arya salaka berkata,"Lebih baik tidak perlu kita terlibat dalam perkelahian yang tidak ada artinya ini, apa lagi aku merasa tidak pernah mempunyai silang sengketa dengan kalian"
"Jangan berlagak bodoh, kau dan gurumu telah berhutang nyawa pada perguruan macan Lodaya, dengan sombongnya gurumu telah membinasakan kyai Simo Rodra guru besar kami..., tentu dengan cara licik, sekarang bersiaplah untuk membayar.. hutang nyawa di bayar nyawa, sebelum gurumu juga kami binasakan"
geram Suro Agul-agul.
"Kau salah ki Suro, semua orang tau kyai Simo Rodra tewas dalam peperangan yang adil", sahut Arya Salaka,
"Jangan membual kau he, anak sombong, tak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu menahan kedahsyatan Aji Macan Liwung kyai Simo Rodra sepuh, kecuali cara licik gurumu itu"
Lama-lama arya salaka tidak telaten berdebat dengan orang yang menamakan diri ki suro agul-agul dari perguruan macan Lodaya itu,
"Rupanya tidak ada jalan lain lagi selain harus berbenturkan ilmu", desis Arya Salaka dalam hati.
"Bersiaplah he, kau anak yang malang, sebut nama ayah ibumu, karna besok kau tak akan lagi melihat munculnya mata hari"
"Baiklah ki sanak, jika itu yang kau mau, itu bukan salahku, sebenarnya aku tak ingin bertarung tanpa alasan berarti"
Kemudian arya salaka sejenak berpaling ke arah istrinya sambil berkata,
"Menepilah widuri, seperti yang kau dengar mereka menginginkan aku"
Sambil tertawa kecil widuri pun menjawab,
"Sebenarnya aku juga ingin ikut bermain lompat-lompatan ini kakang"
"sssttt, sudahlah, menepilah", sahut arya salaka kemudian sambil melihat muka istrinya cemberut manja.
"Anak iblis..!!", kau kau merendahkan kami he, kau meniadakan kami dihadapanmu, kalian memang pantas mati telah menghina kami"
bentak ki Suro.
"Jangan tersinggung ki sanak, bukan maksudku, dan aku sudah siap menghadapi kalian sejak tadi"
Pelan-pelan Arya Salaka berjalan mendekati ki Suro yang berdiri dihadapannya, sementara dua orang pengikut ki suro pun mendekat merapat sehingga arya salaka akan mehadapi tiga orang lawan sekaligus, sementara kawan yang satunya terlihat berdiri di pinggir arena namun pelan belan tubuh nya bergeser dan bergeser mendekati tempat widuri berdiri,
"nampaknya orang itu ingin bermain-main denganku" desis Widuri dalam hati sambil tersenyum matanya melirik orang itu.
Kemudian daripada itu di tengah arena kisuro dan dua orang kawannya itu telah berhadap hadapan dengan arya salaka.
"Kalian mau menghinakan aku, minggirlah,"
berkata ki suro kepada dua kawannya itu.
tanpa bicara dua kali kedua orang itupun surut lalu mundur ke belakang arena pertarungan keduanya
Sejenak ki suro telah melancarkan sebuah pukulan ke arah pelipis arya salakan namun tidak memenuhi sasarannya, dengan sedikit bergeser kebelakang arya salaka menghindar dari pukulan itu namun tidak melancarkan pukulan balasan.
Demikian pertarungan itu berjalan tataran demi tataran lama-lama semakin cepat dan sengit.
Sekian waktu ki suro tidak mampu mendaratkan pukulannya ke tubuh arya salaka meski ia merasa selalu meningkatkan kemampuan ilmunya. di sisi lain arya salaka masih menghindar dan menghindar mengimbangi setiap gerak kemampuan lawannya itu.
"Sombong kau anak iblis..!! Kau menghina aku, kau sedari tadi hanya menghindar dan menghindar, atau barang kali kau seorang pengecut?" bentak ki suro.
Arya salaka tidak menjawab, namun sebenarnyalah arya salaka tengah menjajagi tingkat kemampuan lawannya itu untuk menentukan serangan yang akan dilancarkan selanjutnya,
"Ilmu orang ini cukup tinggi" desisnya dalam hati.
Sementara itu ki suro semakin meningkatkan ilmunya yang semakin tinggi,
Arya salaka yang telah menguasai puncak dari tata gerak dari serangkaian pengungkapan aji sasrabirawa itu tidak menjadi kebingungan, meskipun ki suro yang bergerak semakin cepat melancarkan pukulannya namun dengan mudah arya salaka mampu mengimbanginya, kemudian pada serangan berikutnya dengan secepat kilat ki suro menyusupkan pukulan tangannya ke arah dada arya salaka, tak ada ruang untuk menghindar bagi arya salaka, namun dia tak mau dadanya menjadi sasaran pukulan ki suro itu, maka serta merta gerak tangan kirinya memotong dengan cepat pula menangkis serangan itu.
Terjadilah benturan tangan di antara keduanya,
Arya salaka merasakan tubuhnya bergetar namun tetap berdiri tegak pada tempatnya, sementara terlihat ki suro tubuhnya surut terdorong beberapa langkah kebelakang, hampir saja ki suro terjatuh jika tidak segera membenahi keseimbangan tubuhnya.
"Iblis..!! Dari mana kau miliki tenaga itu he?!"
Ki Suro memandang semakin tajam, namun arya salaka hanya terdiam sambil tersenyum, seakan menunggu apa yang akan di lakukan lawannya
Mata ki suro terlihat semakin tajam dan memerah, lalu dia pun menggeram,
"Bersiaplah untuk mati kau anak iblis"
Dengan tajam pula arya salaka memandang apa yang akan di lakukan oleh ki suro itu, dilihatnya ki suro mulai melakukan gerakan yang baru itu, sesaat kemudian tubuh ki suro justru surut kedikit kebelakang, lalu sedikit kepalanya merunduk kebawah, sementara jari-jari tangannya terlihat mengembang, sebelum di kembangkannya kedua tangannya kekanan dan kekiri, asap mengepul seakan keluar dari tubuh ki suro yang kemudian tubuh itu bergetar hebat dan hawa panas sedikit demi sedikit menebar di arena pertarungan itu.
"Aji Macan Liwung.."desis arya salaka
Melihat gerak yang dilakukan ki suro itu, sambil menyiapkan nalar dan budinya menghadapi segala kemungkinan.
Sementara di pinggir arena, satu dari pengikut ki suro sudah bergeser semakin dekat dengan widuri, ada yang terbesit dalam benaknya, jika ia mampu menangkap perempuan itu, maka tentu akan dapat dijadikan nilai tawar untuk menekan arya salaka yang tengah bertarung melawan ki suro tersebut.
Kemudian daripada itu, setelah dirasa saatnya tepat, dengan cepatnya orang itu bergerak menerkam widuri dari arah samping,
namun orang itu harus menahan kecewa dalam hatinya,ternyata tangkapan orang itu gagal mengenai sasarannya, dengan sedikit menggeserkan tubuhnya widuri ternyata mampu menghindari terkaman orang itu, justru dengan tak terduga-duga, dalam kecepatan yang tinggi widuri bahkan melayangkan satu tamparan keras mendarat ke muka orang itu hingga terdorong dengan sangat keras pula,
Akibat dari dorongan kekuatan orang itu sendiri ketika gagal melakukan sebuah terkaman, ditambah kuatnya tamparan yang dilakukan widuri bahkan telah melemparkan orang itu dengan keras membentur sebuah pohon,
terdengar sebuah umpatan lemah,
"Perempuan iblis.."
Namun setelah matanya terasa berkunang-kunang orang itu kemudian ambruk ke tanah, pingsan.
Dengan tertawa kecil kemudian widuri memandang orang itu,
"Hadiah untuk orang licik"
Sebenarnyalah tak jauh dari tempat itu kedua orang pengikut ki suro agul-agul yang lainpun melihat apa yang terjadi dengan seorang temannya yang pingsan itu, namun mereka lebih tertarik memperhatikan pertarungan antara ki suro agul-agul melawan arya salaka dari pada mengurusi wanita itu.
Kemudian daripada itu di tengah arena pertarungan, arya salaka sebagai seorang yang telah mengenyam pahit getirnya kehidupan, juga keganasan dunia olah kanuragan di masa-masa remajanya, tentu sangat paham apa yang akan dihadapinya,
"Aji Macan Liwung adalah ilmu yang sangat nggegirisi, aku harus berhati-hati jika tak mau lumat karnanya",Desis arya salaka dalam hatinya,
Dengan segala tekat yang ada, sebelum segala sesuatunya terlambat, arya salakapun sesegera mungkin mengabil sikap, demikian setelah surut satu langkah, arya salaka pun kembali memusatkan nalar dan budinya, ditariknya sedikit kaki kanan kebelakang, kemudian tangan kiri terjulur lurus kedepan dengan jemari terbuka, lalu tangan kanannya pengepal tepat berada sejajar pada dada sebelah kanannya,
Di dasari nalurinya yang tajam, arya salaka sesaat merasakan sebuah hawa kematian menghampirinya melalui ilmu yang dilontarkan ki suro agul-agul yang telah memulai dengan sebuah lompatan, lalu dengan ganasnya melancarkan serangan ke arahnya, serta merta arya salaka menghentakkan pula tangan kanannya, memapas serangan itu.
Yang terjadi benar-benar mengagumkan,
Benturan dua ilmu yang tinggi itu seketika membuat tanah di sekitar menjadi bergetar, dan sekilas terlihat cahaya kemerah-merahan bercampur dengan cahaya kebiru-biruan menyala di susul suara benturan yang cukup keras menggema di sekitar arena.
Akibat dari benturan itu terlihat arya salaka surut satu langkah kebelakang lalu tubuhnya terhuyung-huyung menahan keseimbangannya yang hampir hilang, namun meski dengan susah payah, arya salaka masih mampu berdiri dengan tegak, meski merasakan di dadanya bagai terhimpit batu besar, nafasnya pun menjadi berat dan tersengal-sengal
Di sisi lain ternyata keadaan ki suro agul-agul lebih buruk lagi, setelah mengaduh menyusul tubuhnya yang terpental kebelakang dan berguling-guling ke tanah, ki suro agul-agul memang masih terlihat berusaha untuk berdiri namun dia hanya mampu menggeliatkan tubuhnya sekali sebelum terdengar sebuah umpatan, lalu tubuh itu pun kembali terkapar ke tanah, nafasnya pun berhenti,
MATI.
Hal itu membuat kedua pengikut ki suro agul-agul yang sedari tadi penyaksikan pertarungan itu mejadi cemas, serta merta merekapun berlari maju mendekati tubuh ki suro agul-agul yang telah berbaring diam itu, diperhatikannya tubuh ki suro agul-agul seperti tidak percaya pada pengeliatannya sendiri,
Ki Suro Agul-Agul yang menurut pemahaman nya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, pada kenyataannya telah tewas setelah mengadu ilmu dengan putera banyu biru itu.
Lalu dengan tatapan mata yang membara kearah arya salaka yang pada saat yang sama masih terlihat lemah, kemudian seorang dari mereka menggeram,
"Aku bunuh kau setan alas..!!"
Tentu saja Widuripun tidak membiarkan hal itu terjadi, lalu dengan serta merta dia pun meloncat berdiri tegak di depan arya salaka yang sedang berusaha mengatur jalan pernafasanya,
Namun sebelum kedua pengikut ki suro agul-agul itu mengambil tindakan, sesaat kemudian terdengar suara yang terdengar berat,
"Berhenti..!!"
Kedua orang itu termangu-mangu setelah berpaling dan melihat kearah datangnya suara itu,
"Guru..."desis keduanya berbarengan,
Lalu dari balik pepohonan seorang terlihat melangkah dengan tenang menghampiri arena pertempuran itu.
Seorang yang secara wadag sudah terlihat berusia lanjut, tubuhnya nampak tinggi besar, dengan sorot mata yang tajam mengandung kebengisan, rambutnya tampak sudah memutih terjuntai di antara ikat kepala yang hanya membalut di kening sampai belakang kepala. kumis orang tua itupun terlihat sudah memutih pula, juga rambut yang jarang tumbuh didagunya,
Perlahan lahan orang tua tersebut mendekati tubuh ki suro agul-agul yang terlihat memucat seraya meijat-mijat simpul-simpul syaraf tubuh yang terkapar itu.
"Setan alas..., kau bunuh muridku he orang muda"
Demikian wajah orang tua itu tiba-tiba memerah menatap tajam ke arah arya salaka sambil menggeram.
Kemudian sambil menggertakkan giginya orang tua itu meneruskan ucapannya,
"Sebelum besok tanah perdikan banyu biru gempar karna calon penerusnya mati, aku berkata kepadamu he, dari mana kau sadap aji rog rog asem yang begitu mapan itu, hingga muridku tidak mampu menahannya?!... Kau telah mengecoh muridku, seharusnya aji sasra birawa lah yang ku lihat, kau curi ilmu itu dari mana he?"
Arya salaka yang masih lemah itu hanya bisa berdiam saja, dan tetap mencoba memusatkan nalar budinya untuk mengurangi beban yang serasa menindih dadanya, sehingga membuat orang tua itu menjadi semakin marah,
"Apakah telingamu tuli he, orang muda, jawab pertanyaanku sebelum aku binasakan kau"kembali orang tua itu membentak.
Kemudian daripada itu, widuri yang berwatak lugas dan ceplas-ceplos itu tidak tahan mendengar ucapan orang tua itu, sambil tertawa keras widuripun serta merta memotong ucapan orang tua itu.
"He orang tua, seharusnya kau bersyukur kakang arya salaka tidak menggunakan aji sasra birawa nya yang jauh lebih mapan dari aji rog rog asem yang di lontarkannya itu, jika tidak kau tentu akan melihat keadaan tubuh murid mu itu lebih buruk lagi"
"Siapa kau perempuan iblis.."Tukas orang tua itu
Namun widuri seakan tidak mempedulikannya seraya meneruskan ucapannya,
"Juga soal ilmu kakang arya salaka kau tak usah heran kakek tua, aji rog rog asem adalah sebuah ilmu yang di ciptakan kakang karang tunggal yang kini menjadi adipati pajang, maka tak perlu lagi kau bertanya dari mana kakang arya salaka mampu menguasai ilmu itu, juga beberapa ilmu lain yang di miliki kakang karang tunggal"
"Diam..!!!, aku tidak bertanya padamu perempuan iblis"Sergah orang tua itu dengan mata yang melotot
Namun widuri justru semakin terdengar tertawa panjang yang terdengar menyakitkan telinga orang tua itu.
Ada yang terbesit sebuah keanehan di hati orang tua itu, dia bagaikan tak bisa melontarkan kemarahan nya kepada widuri meski widuri telah berbuat degsura di hadapannya, dia yang selama ini di segani di kalangan alas lodaya, juga di kancah dunia kanuragan tak kuasa berbuat apa-apa, ada sesuatu yang terpancar aneh pada raut muka perempuan itu menurut pandangan mata orang tua itu. maka sejenak orang tua itu menarik nafas dalam-dalam lalu berkata,
"Baiklah, sedianya aku di sini untuk menuntaskan peesoalan beberapa tahun lalu kepada orang yang telah membuat guru besar kami kyai Simo Rodra Lodaya gugur, namun ternyata keadaan merubah semuanya, di depan mataku kau, arya salaka yang juga murid rangga toh jaya yang aku cari itu telah berani membinasakan murid utamaku, makan bersiaplah kau menerima pembalasan setimpal berikut bungannya"
Arya salaka hanya bisa terdiam, sesaat tubuhnya meremang mendengar ancaman orang tua yang menyebut dirinya dari alas lodaya itu,Arya salaka sadar, bahwa ancaman itu bukan sekedar ancaman,
Arya salaka pun juga sadar bahwa saat ini tidak bisa berbuat apa-apa setelah menguras tenaga dalam peetarungan melawan ki suro agul-agul sebelumnya, bahkan walau tidak teralu parah arya salaka merasakan luka di dalam.
"Dan sebelum kau binasa, baiklah aku akan menyebutkan siapa diriku agar kau tidak penasaran menjenguk kematianmu orang muda...,ketahuilah aku adalah orang yang di panggil dengan julukan ki Singa Rodra, murid tertua kyai Simo Rodra sepuh, dan akulah yang kini menggantikan kedudukannya di alas lodaya...,sekarang sebut kedua nama orang tuamu karna sbentar lagi kau akan binasa"
Demikian sesaat setelah selesai bicara, ki singo rodra memandang arya salaka dengan sorot mata yang tajam, merah membara disertai hawa dendam yang demikian dalam, dan setelah melangkah sampai beberapa tombak didepan arya salaka, ki singo rodra terdengar menggeram, namun mendadak ki singo rodra terdiam ketika terdengar suara widuri mengusik telinganya
"Kau ternyata licik orang tua, kau lihat kakang arya salaka sedang tidak dalam keadaan bugar setelah pertarungan tadi, tapi kau ingin mengambil kesempatan licik untuk mencelakai nya,.. Apakan memang demikian patrap perguruan macan lodaya yang perkasa itu?"
"Diam dan jangan merajuk kau perempuan gendheng, aku tidak pernah membatasi dengan sebuah paugeran untuk melakukan sesuatu, termasuk membunuh orang ini, dan kau tidak usah cemas ndhuk, aku tidak akan membunuhmu, namun kau boleh bunuh diri jika orang yang ku dengar suami mu itu binasa"
"Aku tidak akan tinggal diam"Berkata widuri dengan serta merta maju dan berdiri di samping arya salaka yang masih berusaha memulihkan kekuatan tubuhnya.
"sudahlah widuri, menyingkirlah dari sini" desis arya salaka
Namun ki singo rodra tidak mempedulikannya,
Terdengar mulutnya menggeram menyususul suara terawanya yang semula terdengar pelan, pelan, lalu lama lama suara tawa itu menggema bagaikan suara halilintar mengungkapkan getaran yang demikian dahsyatnya.
Bahkan gelombang suara itu mampu mengungkapkan getaran seperti angin yang berputar-putar membuat apa yang ada di sekitar tempat itu manjadi berterbangan, daun daun berguguran lalu terhambur di udara,
"Luar biasa kekuatan aji gelap ngampar orang tua itu, rasa-rasanya dadaku semakin sesak seperti terhimpi batu besar",desis arya salaka dalam hati. kemudian arya salaka memalingkan wajahnya memandang ke arah widuri yang terhuyung-huyung menahan getaran ilmu ki singo rodra yang luar biasa itu.
Namun di saat yang kritis itu tiba tiba terjadi sesuatu yang aneh, dari arah belakang dimana arya salaka dan widuri berada, perlahan-lahan terasa berhembus angin yang teramat sejuk, dan seakan-akan hawa kesejukan itu memberikan kekuatan pada diri kedua pasangan muda itu hingga perlahan himpitan getar suara dari ilmu yang di lontarkan ki singo rodra itu semakin lama semakin ringan.
Bahkan semakin lama hawa udara sejuk itu semakin melapisi ketahanan arya salaka dan widuri hingga tak terpengaruh lagi dengan hentakan ilmu yang menerangnya.
Menyusul keanehan hawa sejuk itu, sayup-sayup di kejauhan seperti terdengar suara orang yang sedang mengalunkan sebuah tembang yang terdengar sangat merdu, dengan alunan suara yang mendayu-dayu, mengungkapkan kadamaian bagi setiap yang mendengarnya.
Semakin lama mengalun suara tembang itu semakin jelas pula terdengar dan seakan-akan berputar-putar di arena pertarungan tersebut,
Dan sebenarnyalah suara tembang itu bukan suara yang sewajarnya, sehingga kekuatan aji gelap ngampar yang tersalur lewat suara tertawa ki singo rodra itu perlahan-lahan tertindih kehilangan kekuatannya.
Serta merta ki singo rodra pun melepaskan pengetrapan ilmu gelap ngamparnya, karna menurut perhitungan nya hal itu tentu tak akan berarti lagi.
Sementara itu meski ki singo rodra melepaskan pengetrapan ilmunya, suara tembang itu masih saja mengalun dengan jelas, tanpa terlihat siapa sesungguhnya orang yang menembang itu,
Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu bawanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja
Sebuah tembang dhandhanggula yang memberikan wejangan tentang prilaku yang baik kepada setiap titah, hingga tidak selalu di cekam hawa nafsu, juga mendorongkan sifat untuk selalu menjaga ketentraman dunia beserta penghuninya.
Kemudian dari pada itu ki singo rodra termangu mangu, melihat kenyataan yang terjadi tersebut. seolah-olah nalarnya bekerja keras seperti mengingat-ingat sesuatu,
"He, setan tua, kenapa kau ganggu pekerjaanku, keluarlah, jangan bersembunyi seperti tikus kesakitan"
Dengan muka yang merah menahan amarah ki singo rodra pun mengumpat umpat kepada entah siapa yang bersembunyi dibalik suara tembang itu.
Tak ada jawaban,
"tidak mungkin, tidak mungkin dia, yang aku dengar setan tua dari klurak itu sudah mati dimakan usia.. Lalu siapa?"
Ki singo rodra masih bertanya dalam hati.
Disela-sela keheningan, desir langkah halus mendekati mereka yang ada di arena itu,
"Sungguh satu tindakan tidak terpuji, berusaha membunuh lawan yang tidak ada daya"
Setelah langkahnya terhenti nampaklah sosok seorang lelaki agak tinggi kekurus-kurusan, kerut-kerut diwajah orang itu menujukkan betapa usianya sudah mencapai ambang senja, walau sorot matanya masih menampakkan sebuah semangat yang teramat dalam.
"paman, apakah paman Dipa Sanjaya?"desis widuri, sambil termangu mangu memandang orang tua itu
"kau masih ingat aku ngger"demikian sambil tersenyum orang tua itu menoleh ke arah widuri sebentar, lalu pandangan matanya menuju ke arah di mana ki singo rodra berdiri lalu berkata
"ki sanak yang perkasa, tidakkah kita yang tua-tua ini adalah memberikan contoh yang baik untuk mengingkuti norma-norma yang berlaku, daripada sebuah prilaku yang tidak terpuji"
"Persetan dengan sesorahmu setan tua, katakan siapa diri mu yang telah berani mengganggu kesenanganku" kata ki singo rodra sambil menggertakkan giginya.
"kau sudah menyebutku setan tua, kenapa masih bertanya siapa aku?"
"jangan kau bergurau, aku bertanya siapa namamu, atau siapa sebutanmu?, iblis"
"ha ha ha ha ... kau ini aneh, atau barang kali sudah pikun kisanak, kau telah menyebutku setan tua, lalu iblis, tapi masih saja bertanya siapa aku"
"Diaamm..!! suara tawamu membuat kepalaku menjadi pening"
Widuri yang melihat prilaku orang yang baru datang itu menjadi geli, karna widuri tau benar watak dari orang yang di sebutnya paman itu.
"baiklah kisanak, aku akan mengatakan siapakah aku, walau aku juga bingung siapakah sebenarnya aku ini"
"kau mempermainkan aku setan alas..!"
"jangan begitu, tidak baik orang-orang yang sudah bau tanah seperti kita ini berbicara kasar" masih saja orang yang dipanggil paman oleh widuri itu mengembangkan senyumnya lalu meneruskan ucapannya
"karna sebenarnyalah aku memang bingung jika di tanya siapa aku ini, kadang orang menyebutku ajar tundhung lara, kadang orang juga memanggilku ki bagas waras, ki mayang jati, bahkan tadi kau menyebutku setan tua, maka bagiku apalah arti sebuah nama itu"
"ki Mayang Jati..??" ki simo rodra kemudian berdesis.
"o, kau mengenal salah satu nama itu kisanak?"
"lalu apa hubunganmu dengan iblis tua dari klurak itu", sergah ki Singo Rodra
"siapa yang kau maksud kisanak?"
"jangan berlagak bodoh, kau tentu tau pandan alas iblis tua dari klurak itu"
Sesaat ki mayang jati mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian berkata,
"kadang dunia ini memang aneh, aku memang mengenal mendiang ki ageng pandanalas yang kau sebutkan itu, namun bukanlah seperti iblis yang kau katakan itu, justru apa yang aku tau ki ageng pandanalas adalah orang yang gemar menumpas iblis"
"kau menyindirku setan..!!"
"bukan maksudku, tapi bukan salahku jika ada yang tersindir"
"kau terlalu sombong, setelah mewarisi ilmunya yang kau gunakan menakut-nakuti aku itu, tapi jangan harap aku akan gentar"
"mewarisi ilmu madsudmu?, ..hemm aku memang mengenal mendiang ki ageng pandanalas kisanak, tapi aku hanya mengagumi karya-karya tembangnya yang sarat dengan petunjuk luhur, tidak lebih dari itu"
Sesaat telah terjadi perubahan raut wajah ki simo rodra ketika mendengar nama ki mayang jati, lalu dengan suara bergetar dia berkata,
"baiklah, kali ini aku tidak punya waktu menghadapi mu ki mayang jati, suatu saat aku akan membuat perhitungan dengan apa yang telah terjadi di sini, aku mohon diri"
"silahkan ki sanak, maaf aku tidak menghantar, dan jangan lupa kau bawa jasad muridmu itu, kami tidak punya waktu menguburkannya di sini"
Hanya tatapan mata ki singo lodra yang nampak menyala-nyala menahan kemarahan memuncak namun segan untuk berbuat lebih jauh lagi.
***
Kemudian daripada itu jauh di timur gunung lawu, Raden Pamungkas masih berjalan pelan di atas punggung kudanya ke arah barat, setelah sebelumnya berpisah jalan dengan Ki Gagak Sipat.
Jalan yang melintas bulak panjang itu semakin lama semakin mendekati sebuah pedukuhan yang sudah nampak terlihat dari kejauhan, walau masih jarang, satu dua rumah pendudukpun telah di laluinya, dan semakin ke dalam semakin nampaklah kehidupan suatu pedukuhan yang cukup padat.
Setelah melintasi gerbang pedukuhan itu, agak menjorok di tepi sebelah kiri jalan pedukuhan itu terdapat sebuah pasar yang walau tidak terlalu besar namun terlihat banyak juga para pedagang berjualan, bahkan kedai kedai makanan pun terlihat di sisi kanan jalan.
"Masih melewati satu pedukuhan lagi untuk sampai di kediaman paman Citra Dadi, namun matahari sudah semakin merunduk, lebih baik aku beristirahat di kedai itu sebentar sekedar melepaskan lelah, barangkali banjar pedukuhan di daerah ini sudah tidak terlalu jauh lagi, mudah-mudahan aku sampai kesana sebelum hari gelap, sehingga aku tidak kesulitan memohon menumpang tidur barang semalam"
Sejenak kemudian Raden Pamungkas telah memasuki sebuah kedai dipinggiran jalan pasar pedukuhan itu, sesaat setelah memesan secangkir wedang sere dan beberapa potong jadah wajik, lalu Raden Pamungkas mengambil tempat duduk di sudut paling belakang kedai itu.
"Rasa-rasanya ada yang aneh di daerah ini, sejak aku melewati gerbang pedukuhan hingga masuk kedai ini seperti ada sesuatu yang tidak wajar, entahlah, mudah-mudahan hanya perasaanku saja"
Raden Pamungkas berdesis dalam hati.
Demikian Raden Pamungkas menjadi lama termenung mencoba memecahkan isyarat dalam hatinya sampai datang seorang pelayan mengantarkan pesanannya,
"Silahkan tuan.." sapa pelayan itu
"Trimakasih"
jawab Raden pamungkas sambil menerima hidangan yang di pesannya tadi.
Kemudian setelah pelayan itu selesai menghidangkan makanannya tiba-tiba bertanya kepada Raden Pamungkas,
"Maaf tuan, kalau aku boleh bertanya, apakah tuan bukan penduduk disekitar pedukuhan ini?"
Raden Pamungkas memandang pelayan itu sambil mengerutkan keningnya lalu menjawab,
"Bukan kisanak, aku memang bukan penduduk di pedukuhan ini atau di sekitar pedukuhan ini"
"Lalu tuan dari manakah? atau jika tuan sudi menyebutkan, bolehkah aku tau siapakah nama tuan?"
Raden Pamungkas kemudian meminum satu tegukan wedang sere yang sudah tidak terlalu panas itu, lalu diletakkannya kembali cangkir itu di atas meja kemudian menjawab pertanyaan pelayan tersebut.
"Ki sanak, sebelumnya aku juga mohon maaf, jika sebelum aku menjawab pertanyaanmu justru aku bertanya terlebih dulu"
Dengan satu tarikan nafas kemudian dilanjutkan pertanyaan itu,
"Kisanak, mungkin aku sudah beratus-ratus kali keluar masuk kedai seperti ini, namun belum sekalipun aku melihat seorang pelayannya bertanya sedemikian pribadi kepada tamu-tamunya seperti disini, jadi kalau boleh aku tau ada apakan ini?"
"Maaf tuan jika pertanyaanku menyinggung hati tuan, namun aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin tau siapa tuan ini, karna sudah beberapa lama tak satupun orang esing berani memasuki pedukuhan ini meski hanya sekedar lewat"
"Baiklah kisanak, aku percaya padamu, jika kau tanya siapa aku, namaku Warih, Jaka Warih, aku orang yang kleyang kabur kanginan mengikuti kemana arah angin berhembus, demikian aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat pedukuhan ini... sebenarnyalah aku memang merasakan sebuah ketidak wajaran di padukuhan yang terlihat tenang ini, sejak aku memasuki gerbang pedukuhan di sana, jadi aku boleh tau apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Kemudian pelayan itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mendekati tempat duduk Raden Pamungkas sambil berkata pelan,
"Tuan, sebenarnyalah telah terjadi sesuatu di pedukuhan ini, bahkan mungkin di pedukuhan lain di sekitar sini"
"Apa yang terjadi?" sela Raden Pamungkas
"Tuan, sejak sekitar dua bulan yang lewat pedukuhan ini telah kedatangan....., tidak, tidak apa-apa tuan, silahkan tuan melanjutkan minumannya, aku permisih"
Tiba-tiba pelayan itu menghentikan kata-katanya, dan sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian dengan gemetar melangkah meninggalkan Raden Pamungkas yang memandangnya sambil termangu-mangu,
"Aneh, ada apa dengan pelayan itu, kenapa tiba-tiba saja menjadi gemetar seperti itu?
Bertanya Raden Pamungkas dalam hati.
Namun sesaat setelah pelayan itu pergi, di depan pintu kedai itu berdiri dua orang berwajah garang,
Satu dari kedua orang itu bertubuh tinggi besar dengan mata yang merah menyala seperti orang yang kebanyakan meminum tuak, mukanya yang terlihat sangar di hiasi dengan bopeng-bopeng di pipi kanan kirinya.
Sementara seorang yang lain bertubuh tinggi pula meski badannya sedikit kekurus-kurusan, matanya yang juling juga hidungnya yang bengkok sangat memberikan kesan keganasan orang tersebut.
Pakaian kedua orang itu sama, terlihat komprang dengan warna hitam pekat,
Sementara di dada kiri pakaian kedua orang itu terdapat sulaman gambar tengkorak dengan hiasan pedang silang di belakangnya.
Dengan ikat kepala yang tidak tertutup di atasnya itu membuat rambutnya yang panjang terjuntai tak teratur.
Kedai yang tadinya banyak orang yang datang itu kemudian nampak sepi, satu persatu mereka tanpa basa-basi tergesa-gesa pergi setelah membayar pesanannya tanpa memperhitungkan kembalian uangnya.
"O, ini rupanya yang membuat pelayan tadi menjadi ketakutan"
desis Raden Pamungkas dalam hati
"Pelayan..!!! Siapkan makanan kesukaanku, awas jika tidak pas seperti yang ku inginkan, aku ratakan kedai ini dengan tanah"
teriak orang yang bertubuh tinggi besar.
Dengan tergopoh-gopoh pelayan itu mendekat sambil gemetar,
"baik, baik tuan, aku akan menyediakan sesuai keinginan tuan"
"Cepat..!! jika kau terlalu lama hingga menyiksa perutku yang sudah lapar ini, aku penggal kau"
berkata selanjutnya orang yang kekurus-kurusan.
Sementara Raden Pamungkas masih saja duduk menikmati makanan dan minumannya, yang memang masih banyak itu, kemudian berkata dalam hati,
"Kedua orang ini tentulah dari gerombolan bajak laut, sulaman di pakaiannya itu telah menunjukkan jati diri mereka, tapi mengapa penghuni lautan itu bisa jauh memasuki pedalaman pulau ini? aku harus mencari tau, nampaknya mereka adalah orang-orang yang berbahaya"
Kemudian daripada itu kedua bajak laut itupun mengambil tempat duduk, lalu duduk dengan meletakkan telapak kaki kanan mereka di atas bangku, sementara kaki kirinya terjuntai di tanah,
Salah satu diantara mereka sekilas memandang Raden Pamungkas yang masih menikmati minumannya di sudut ruangan kedai tersebut sambil berbisik kepada temannya,
"Kau lihat kakang, orang di sudut ruangan itu"
Kata bajak laut yang bermata juling kepada si tinggi besar
"ya, kenapa?"
"Orang itu menganggap remeh kita, dia tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya untuk pergi ketika kita datang, seperti orang-orang yang lainnya"
"Sudahlah, tidak usah mengurusi hal-hal yang tidak berarti, apa lagi coro seperti itu, kita punya hal yang jauh lebih penting dan berarti bagi kita, terutama bagi kehormatan Bajak Laut Karimunjawa"
Bajak laut bermata juling itupun kemudian terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan tak lagi mempedulikan keberadaan Raden Pamungkas.
Raden pamungkas hanya menundukkan kepalanya seolah-olah tak memperhatikan apa yang terjadi di ruangan itu,
"Nampaknya kedua bajak laut itu sangat mecurigakan, nampaknya ada sesuatu yang terselimut di dalam benak mereka, baiklah.. aku akan mencoba mengetahui apa yang di perbincangkan mereka",
kata Raden Pamungkas dalam hati.
Kemudian Raden Pamungkas diam-diam berusaha memusatkan nalar dan budinya untuk menajamkan panca indera pendengarannya yang di landasi aji Sapta Pangrungu hingga apa yang diperbincangkan kedua bajak laut itu didengarnya dengan jelas meski mereka berbicara terlalu pelan.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya, kakang?"
bertanya Bajak Laut yang bermata juling,
"Adi Mina Upas, sebenarnyalah kita masih ada waktu beberapa hari sebelum pertemuan itu di gelar"
"Tapi bukankah kelompok lain sudah berada di sekitar perbukitan Cemoro Sewu, apakah kita tidak ketinggalan karnanya?"
\"Perbukitan Cemoro Sewu sudah tidak terlalu jauh lagi dari sini, dengan ilmu kita, tidak sampai sepenggal hari kita tentu sudah berada disana, kita masih punya waktu barang dua malam di pedukuhan ini"
Jawab Bajak Laut yang bertubuh tinggi besar.
Kemudian sambil tersenyum aneh dia melanjutkan ucapannya,
"Aku juga masih ingin mencari beberapa isteri muda lagi di pedukuhan yang banyak menyimpan perempuan-perempuan cantik ini, aku akan membawa lima istri agar nanti aku tidak terlalu kesepian di tengah lautan"
"Ah, kakang Sarpa Laut, kebiasaanmu itu dari dulu tak pernah berubah"
"Kenapa?"
Sambil tertawa kecil seakan-akan Bajak Laut yang di sebut ki Sarpa Laut itu seakan-akan tidak mempedulikan apa yang di katakan si mata juling.
Lalu sesaat kemudian pelan-pelan raut mukanya berubah menjadi serius,
"Adi Mina Upas, lagi pula sesungguhnya kita tidak terlalu berkepentingan secara langsung dengan pertemuan yang di gelar orang-orang gila yang menyebut diri mereka para keturunan Prabu Brawijaya itu, walau di sisi lain ada kesamaan dari ujuan kita yang utama....,kehancuran Demak"
"ya, kau benar kakang Sarpa Laut, ini adalah kesempatan untuk menghancurkan Demak dengan tidak perlu kita bersusah payah"
Kata ki Mina Upas.
Ki Sarpa Laut terlihat merenung, angan-angannya menerawang jauh, seakan-akan mengingat ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika pasukan laut Demak memporak porandakan kelompok Bajak Laut Karimunjawa yang mengakibatkan pemimpin Bajak Laut yang juga guru ki Sarpa Laut dan Mina Upas itu tewas.
"Adi Mina Upas, bertahun tahun kita besusah payah mebangkitkan kembali kejayaan kelompok Bajak Laut Karimunjawa, setelah sekian lama ke kuatan Demak itu dengan sombongnya menghancurkan segalanya, sehingga junjungan kita Ki Naga Braja Geni tewas di tangan Pangeran Sabrang Lor"
"Benar, ini adalah saat yang tepat kakang, sekarang Demak sedang di landa malapetaka, telah terjadi pergolakan dan perselisihan yang kian meruncing di antara para pangeran setelah Sultan mereka tewas dalam perang akibat kesombongannya"
Dengan hati yang berdebar-debar Raden Pamungkas mengikuti arah percakapan kedua Bajak Laut tersebut, hingga sedikit banyak menjadi tau bahwa Kesultanan Demak benar-benar di ambang bahaya, bukan saja dari kalangan istana sendiri, melainkan juga dari kelompok-kelompok luar yang mengedepankan dendam pribadi seperti kelompok Bajak Laut dari kepulauan Karimunjawa itur atau mungkin masih ada lagi kelompok lain.
Terlebih lagi ambisi kelompok-kelompok yang menyebut para keturunan Prabu Brawijaya seperti yang di katakan kedua Bajak Laut tadi.
"Menurutku, justru kelompok yang menyebut para keturunan Prabu Brawijaya itulah yang paling berbahaya, daripada kelompok-kelompok macam kedua Bajak Laut itu"
Desis Raden Pamungkas dalam hati.
"Kelompok yang tentu tidak sekedar mengandalkan kekuatan jasmaniah belaka, baik tingginya ilmu kanuragan maupun ilmu perang, melainkan ketajaman berfikir, kelicikan, dan cara-cara yang tidak di miliki oleh kelompok-kelompok semacam Bajak Laut itu"
Kemudian disaat Raden Pamungkas merenungkan dalam hati tentang apa yang baru saja di dengarkannya dari kedua Bajak Laut itu, tiba-tiba terkejut,
"Braakk..!!"
Meja tempat di mana kedua Bajak Laut itu berada menjadi pecah berantakan setelah terkena hantaman tangan Ki Sarpa Laut sang Bajak Laut bertubuh tinggi besar itu, di susul suaranya yang mengumpat begitu keras,
"Setan alas, danyang laut..!!! Pelayan..!! mana pesanan yang aku minta..??! "
Sambil menggigil seorang pelayan pun mendatangi Ki Sarpa Laut, lalu berkata sambil gemetar,
"Maaf, maaf.., maafkan kami tuan"
Kemudian sambil sesekali menelan ludah pelayan itu kembali bicara sambil terbata-bata,
"Sekali lagi maafkan kami tuan, kami kehabisan daging ayam seperti yang tuan pesan, tapi kami sudah mencarinya, barang kali sebentar lagi suruhan kami datang"
Ki Sarpa Laut menatap tajam pelayan itu sambil menggeram,
Di sisi lain tiba-tiba Ki Mina Upas meloncat lalu mencengkeram lengan baju pelayan itu sambil mengumpat-umpat
"Iblis tak tau di untung..!! Kau bilang sebentar lagi padahal kami sudah sedari tadi duduk di sini, kau mempermainkan kami he?!"
Lalu di lemparkannya pelayan itu kesamping hingga tubuhnya terjungkal menimpa beberapa meja di sana.
"Maaf tuaaann maafkan kami, kami tidak bermaksud mempermainkan tuan"
Wajah pelayan itu pun semakin memucat
Di sudut ruangan Raden Pamungkas hanya dapat menarik nafas dalam dalam kemudian berdesis dalam hati, seakan-akan ucapannya itu di tujukan kepada pelayan itu,
"Maafkan aku kisanak, bukannya aku berdiam diri, karna belum saatnya aku beetindak"
Demikianlah apa yang ada dalam benak Raden pamungkas adalah ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang tadi di perbincangkan kedua Bajak Laut tersebut, karnanya dia harus menghindari benturan-benturan yang di rasanya tidak terlalu berarti,
Sesaat kemudian terdengar suara Ki Sarpa Laut yang bergetar menahan kemarahannya.
"Pelayan dungu..!! Kau telah menghilangkan selera makan kami maka kau harus menanggung akibatnya"
Kemudian di obrak-abriknya apa-apa yang ada di dalam kedai tersebut sambil melangkah keluar, namun sebelum keluar di hampirinya pelayan itu lalu meraih lehernya sebelum dihempaskan ke lantai.
"Kau sedang bernasib baik pelayan dungu, karna aku sedang berbaik hati dan tidak sedang ingin membunuh orang" geram ki Sarpa Laut,
Lalu keduanya melangkah meninggalkan pelayan itu menuju pintu kedai,
Sambil melangkah ki Mina Upas pun sempat melototkan matanya kearah Raden Pamungkas sambil mengumpat pula,
"Setan alas..!! Apa yang kau lihat he?!"
Namun Raden Pamungkas tidak menghiraukannya'
Sejenak setelah kedua Bajak Laut itu jauh meninggalkan kedai itu, Raden Pamungkas beringsut dari tempat duduknya, kemudian berdiri dan berjalan menghampiri pelayan yang masih terduduk di tanah dengan gemetar itu.
"Kau tidak apa-apa kisanak?" bertanya Raden Pamungkas
"Seperti yang tuan liat, mungkin ini hari naas bagi kami, sementara pemilik kedai ini sedang tidak disini" desis pelayan itu memelas.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Raden Pamungkas lalu berkata,
"Besabarlah kisanak, terimalah ini, mungkin ini sedikit bisa mengurangi kerugian kalian hari ini"
Demikian Raden Pamungkas mengambil satu kampil uang dari beberapa kampil dibalik bajunya dan menyodorkan kepada pelayan kedai itu
Sehingga pelayan itu menjadi bingung,
"Jangan tuan, ini bukan salah tuan, kenapa tuan justru memberikan ganti rugi?"
"Sudahlah, terima saja, aku mohon diri, masih banyak hal yang aku kerjakan hari ini"
Dengan tidak mengulang kata-katanya kembali Raden Pamungkas pun pergi meninggalkan kedai itu. Sementara pelayan itu hanya beranjak berdiri termangu-mangu kemudian singkat berdesis,
"Orang baik"
Kemudian daripada itu Raden Pamungkas berniat mengikuti kemana kedua orang Bajak Laut itu pergi, namun setelah sampai di luar kedai, kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi.
"Aku kehilangan jejaknya.." desisnya.
***
Jalan pedukuhan menuju banjar desa itu terlihat begitu sepi, hampir tak satupun terlihat orang nampak di sepanjang jalan itu, bahkan pintu-pintu juga jendela rumah pendudukpun tertutup rapat, padahal senja belum lama berlalu.
"Aneh, malam baru saja mulai, tapi suasana pedukuhan ini begitu lengang"
Raden Pamungkas masih berjalan di atas punggung kuda menuju banjar pedukuhan untuk sekedar menumpang bermalam sebelum melanjutkan perjalanannya, namun benaknya terusik untuk lebih mengetahui tentang apa yang di dengarnya dari kedua Bajak Laut sewaktu di kadai tadi. hingga penuh pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak dalam hatinya.
"Tujuan Bajak Laut itu sedikit banyak aku sudah mengerti, lalu siapakah kelompok orang-orang yang mengaku para trah keturunan Prabu Brawijaya itu? Lalu tujuan pertemuan di perbukitan di Cemoro sewu itu?, lalu siapakah orang yang paling berperan dari kelompok itu?, rasa-rasanya semuanya masih gelap"
Demikian pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya itu tiba-tiba muncul, sehingga hasrat keingin tahuan nya menjadi begitu dalam.
"ah, mudah-mudahan aku dapat mengetahui hal ini dengan jelas, jika benar, tentu aku tidak akan membiarkannya, orang boleh-boleh saja mengaku-ngaku trah Majapahit, namun sangatlah naif jika ingin kembali mengungkit kejayaan Majapahit di jaman yang sudah berbeda ini, apapun dan siapapjun yang mengendalikan tanah ini, menurutku sah-sah saja, karna yang terpenting sesungguhnya terciptannya kedamaian, ketentraman, untuk kemakmuran semua orang, dan terciptanya tatanan hidup dalam paugeran-paugeran yang tidak melanggar kehendak Yang maha Agung"
Sesaat kemudian setelah mendekati sebuah banjar pedukuhan itu, dengan serta merta Raden Pamungkas terpaksa menghentikan langkahnya,
Lima orang pemuda yang tidak lain anggota para pengawal pedukuhan itu dengan bersenjata terhunus telah menghadang perjalanannya,
"Berhenti..!! turun dari kudamu dan katakan siapa kamu, lalu apa tujuanmu sampai kemari?!"
Berkata seseorang yang terlihat sebagai pemimpin para pemuda itu, sambil memandang penuh kecurigaan.
Raden Pamungkas kemudian berhenti lalu turun dari punggung kudanya, sesaat setelah membukukkan badan lalu berkata,
"Maaf kisanak sekalian, jika kedatanganku di sini mungkin mengganggu, sebenarnyalah aku hanya ingin menumpang lewat atau barangkali jika di perkenankan menumpang istirahat barang semalam di banjar itu sebelum besok aku melanjutkan perjalanan"
"Baiklah kisanak, kami akan membawamu ke banjar, bukan sebagai tamu, tapi sbagai tawanan"
"Tawanan?", desis Raden Pamungkas heran.
"Aku tidak mengerti, bukankah aku tidak melakukan sesuatu yang merugikan di sini?"
"Sudah jangan banyak bicara, menyerahlah jikaa kau tak ingin mendapatkan kesulitan... ikat dia..!!"
Kemudian para pemuda itu mendekati Raden Pamugkas yang memang tidak melakukan peelawanan lalu mengikat kedua tangannya di belakang, setelah itu mereka membawanya rame-rame menuju halaman banjar pedukuhan tersebut.
Hingga kedatangannya itu menarik banyak perhatian bebrapa orang yang berkumpul di situ, lalu berkerumun menghampiri Raden Pamungkas yang dalam keadaan terikat itu.
"Kita hajar saja rame-rame..!!"
"Bunuh saja!!"
"Kita ikat saja di tiang!!"
"Bunuh!!"
Demikian suara-suara bersahutan datang dari beberapa orang pemuda pengawal pedukuhan itu, bahkan salah seorang yang bertubuh gemuk sempat melayangkan sebuah pukulan ke arah Raden Pamungkas,
"Berani kau mengacau tempat kami he!!, ayo katakan di mana kau simpan para gadis yang kalian culik?!..Plakk!!" Satu lagi tamparan mendarat di wajah Raden Pamungkas.
"Gila, orang-orang di sini begitu ganas" sesis Raden Pamungkas dalam hati
"Ayo katakan dimana kau sembunyikan adikku..!!"
Satu lagi seorang pemuda bertubuh tegap dengan mengguncang-guncang tubuh Raden Pamungkas, sebelum sebuah suara terdengar dari arah pendapa pedukuhan itu.
"Berhenti..!! Apa yang kalian lakukan? Kalian tidak boleh main hakim sendiri!!"
"Ki jagabaya.." desis salah seorang dari pemuda itu.
Kemudian daripada itu Ki Jagabaya maju menyibak kerumunan para pemuda itu, sehingga mendapati Raden Pamungkas yang masih saja terdiam,
Dengan nada yang sedikit berat suaranya lalu terdengar,
"Anak muda, siapa namamu?, Lalu apa yang kau lakukan sehingga para pengawal itu menangkapmu?" bertanya ki Jagabaya,
Untuk beberapa saat Raden Pamungkas masih terdiam, sebenarnyalah sebagai seorang pemuda darahnya terasa mendidih oleh perlakuan para pengawal pedukuhan itu,
Tanpa suatu sebab yang pasti dirinya telah di ikat dan di arak layaknya pencuri yang tertangkap basah menjalankan aksinya.
Namun tempaan kejiwaan yang di terima nya selama ini membuat dia mampu mengendapkan segala amarah yang kadang mampu membuat orang lupa diri itu, demikian setelah diam sesaat Raden Pamungkaspun berkata,
"Mungkin Ki Jagabaya sebaiknya bertanya kepada pemimpin pengawal pedukuhan itu, seperti Ki Jagabaya aku juga ingin bertanya kenapa saya di perlakukan seperti ini, karna sebenarnyalah aku tidak tau"
Jawaban Raden Pamungkas itu seketika membuat Ki Jagabaya termangu mangu, kemudian sambil mengedarkan pandangannya berkeliling, suaranyapun terdengar memanggil nama seseorang,
"Jito..kesini kau"
Seorang pemuda bertubuh tegap maju ke depan,
"Saya ki Jagabaya"
"Apa yang di perbuat pemuda itu sehingga harus di tangkap?!"
Jito pun termangu-mangu karna tidak tau apa yang harus di katakannya
"Jito, jawab pertanyaanku kenapa pemuda itu harus kau tangkap..!!"
Tiba tiba suara ki Jagabaya meninggi,
"Maafkan saya Ki, sebenarnya pemuda itu belum berbuat apa-apa, kami menangkapnya karna kami curiga pemuda itu salah satu kawanan dari gerombolan orang yang telah menculik para gadis-gadis pedukuhan"
Jantung Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar ketika Jito menyebut hilangnya para gadis pedukuhan, benaknya langsung menghubungkan apa yang di dengarnya itu dengan apa yang terjadi tadi siang dikedai itu.
"Rupanya apa yang di katakan ki Sarpa Laut kepada saudara mudanya tadi tidak sekedar bergurau, di mana ki Sarpa Laut ingin menculik gadis sebanyak banyaknya di pedukuhan ini, atau mungkin juga di pedukuhan lain" desisnya dalam hati.
"O, jadi atas dasar curiga kau tangkap pemuda itu!?, bahkan kalian telah menjatuhkan tangan pula?"
Ki Jagabaya dengan tajamnya memandang berkeliling pada para pengawal pedukuhan itu,
Semuanya hanya diam sambil menundukkan kepalanya,
Kemudian ki Jagabaya kembali menghampiri Raden Pamungkas, lalu melepaskan ikatan di kedua tangannya,
Sebagai seorang yang telah banyak melalui persoalan-persoalan seperti itu, naluri ki Jagabaya yang tajam itu dapat merasakan tatapan mata pemuda itu bukan tatapan mata seseorang yang suka bergelut dengan dunia hitam,
"Maafkan kami anak muda, sungguh kami telah kehilangan nalar hingga melakukan sesuatu yang tidak semestinya terhadapmu" berkata kemudian ki Jagabaya,
"Tidak mengapa ki, aku paham dengan apa yang sedang menimpa padukuhan ini"
"Kau paham dengan apa yang terjadi di sini?"
demikian seakan-akan ki Jagabaya menjadi heran
Raden Pamungkas mengalihkan pandangannya ke rimbun pepohonan yang ada tepian halaman banjar itu, lalu menengadah ke langit malam yang terlihat terang oleh cahaya bulan yang bulat, setelah menarik nafas dalam-dalam kemudian berkata,
"Ki Jagabaya, bolehkah aku sekedar singgah barang satu malam di sini? Sebelum besok aku melanjutkan perjalananku"
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak mendengar apa yang dikatakan pemuda itu, sebagai orang yang punya ketajaman hati, dia tau bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan pemuda itu dalam suasana yang lebih tenang.
"O, baiklah, marilah, kebetulan di sana juga ada beberapa tamu pengembara yang singgah, bahkan kepala dukuh dan ki bekel juga ada disana"
Demikianlah keduanya lalu berjalan menuju ketempat yang di maksudkan.
Sementara para pemuda pengawal pedukuhan itu kembali pada tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan yang pada hari-hari terakhir sedang terusik.
Seperti yang di katakan ki Jagabaya, sebenarnyalah di pendapa yang memang di sediakan untuk beristirahat itu memang ada beberapa orang yang sudah duduk sambil berbincang, duduk di tikar pandan itu beberapa orang lelaki yang rata-rata sudah berusia lebih dari setengah abad, juga seorang gadis dewasa yang berwajah cantik dengan kulit langsat, pandangan mata yang bulat itu membuat gadis cantik itu terlihat anggun.
Lalu beberapa saat kemudian ki Jagabaya beserta Raden Pamungkas memasuki pendapa itu pula,
"Apa yang terjadi ki Jagabaya? dan siapakah pemuda itu?"
"Hanya sebuah kesalahpahaman ki bekel, dan mengenai pemuda ini akupun belum mendapatkan sesuatu yang terang siapakah adanya"
"Marilah anak muda" kata ki Jagabaya kemudian.
Raden Pamungkas pun mengangguk hormat pada orang orang yang ada di pendapa itu kemudian duduk sambil menyandarkan punggungnya pada tiang penyangga pendapa tersebut.
Ada desir aneh dalam hati Raden Pamungkas ketika memandang satu-satunya perempuan yang ada di situ, desiaran yang sesungguhnya pelum pernah di alaminya selama ini.
Sesaat pandangan mata mereka beradu, kemudian secara bersamaan menundukkan kepala mereka masing-masing
Ki Puguh Bekti, demikian nama kepala pedukuhan itupun berkata,
"Baiklah, sebelum aku bertanya lebih jauh, aku ingin tau siapakah kisanak muda ini, dan darimanakah hingga malam-malam seperti ini berada di pedukuhan ini?"
"Ki Puguh Bekti, demikian namaku adalah Warih, Jaka Warih"
Sesaat Jaka Warih, demikian Raden Pamungkas mengaku, membenahi letak duduknya sebelum melanjutkan ucapannya,
"Sebenarnya pula aku memang dalam perjalanan pulang ke Pakuwon, sebuah pedukuhan di sebelah selatan gunung Merapi, setelah sekian lama aku mengunjungi kerabat kami di panaraga, sesampainya di sini sebenarnyalah aku hanya mau numpang menginap di banjar ini barang semalam, sebelum terjadi kesalah pahaman tersebut"
Kemudian Jaka Warih diam sesaat untuk menghela nafas dalam-dalam lalu kembali berucap,
"Sudahlah ki, akupun sudah melupakan kesalahpahaman itu, justru aku berterima kasih jika ki sanak sekalian sudi menerima aku di sini"
Ki Puguh Bekti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mendengarkan apa yang di katakan Jaka Warih, demikian juga orang-orang yang berada di pendapa itu, hanya gadis itu yang terlalu banyak menundukkan kepalanya walau sekali-sekali memandang ke arah Jaka Warih kemudian menunduk kembali.
"Angger Jaka Warih" Demikian ki Jagabaya berkata,
"Sebenarnya perangai penghuni pedukuhan ini terutama para pemudanya tidak seburuk apa yang kita lihat saat ini, sebelum sesuatu telah menimpa pedukuhan kami"
"Apa yang terjadi ?" tanya Jaka Warih.
Sejenak kemudian ki Jagabaya memalingkan pendangannya ke arah ki Puguh Bekti, juga ki Bekel, seakan-akan meminta pendapat kedua tetua itu, dan setelah keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya, ki Jagabaya pun melanjutkan...
"Baiklah, aku akan bercerita secara singkat,.... Angger Jaka Warih, sebenarnyalah pedukuhan ini tergolong pedukuhan yang boleh dibilang aman, jauh dari segala persoalan yang membuat orang selalu dalam kecemasan dan ketakutan"
Ki Jagabaya sejenak membenahi letak duduknya sebelum melenjutkan ceritanya,
"Namun beberapa bulan lalu, entah kenapa tiba-tiba pedukuhan ini banyak di singgahi oleh kelompok-kelompok perguruan yang entah darimana datangnya secara silih berganti, mereka hanya singgah, lalu pergi ke suatu tempat yang kemudian aku tau konon mereka menuju perbukitan di sekitar Cemoro Sewu, namun aku tak tau apa tujuan pertemuan itu"
"Lalu apa hubungannya dengan pedukuhan ini ki Jagabaya?" sela Jaka Warih
"Sebenarnyalah tidak ada ngger, mereka datang bergantian hanya singgah, kamipun tidak terusik karna mereka tidak sekalipun mengganggu ketentraman kami di sini, walau kadang ada satu dua kali perselisihan diantara mereka hingga mengakibatkan perkelahian yang terjadi di sekitar wilayah ini"
Semua yang ada di pendapa itu dengan seksama mengikuti peristiwa yang di ceritakan ki Jagabaya tersebut, bahkan bergantian mereka terlihat mengangguk anggukkan kepalanya.
"Lalu kecemasan itu datang menghantui pedukuhan ini,.. sejak lima hari yang lalu datang pula dua orang berilmu sangat tinggi, mereka terang-terangan melakukan perbuatan yang membuat kami selalu dicekam dalam kecemasan, satu hal yang paling membuat kami di cekam rasa ketakutan dalam kecemasan adalah kegemarannya menculik gadis-gadis yang menurut orang itu akan di jadikannya selir"
Meremang bulu kuduk satu-satunya perempuan yang ada dalam pendapa itu, sebelum beringsut dari duduknya lalu bersembunyi di balik punggung orang tua yang duduk di sebelahnya.
"Ki Jagabaya, apakah selama ini tidak ada satupun orang yang mencoba menghentikannya?" bertanya Jaka Warh kemudian.
"Pernah ngger, tapi kedua orang itu ilmunya sangat tinggi, bahkan orang yang berusaha melawan mereka itu di binasakan"
Jaka warih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keganasan dua orang yang tak lain dua bajak laut yang dintemuinya di kedai siang tadi,
"Siapakah orang yang dibinasakannya itu?" kembali Jaka Warih bertanya
"Sama seperti yang lainnya dia akan menuju Cemoro Sewu, aku tidak begitu mengenal orang itu, namun aku akui orang itu sebenarnyalah juga berilmu sangat tinggi, aku sendiri menyaksikan pertarungan itu, namun kedua orang ganas itu mengeluarkan ilmu yang sangat aneh"
"Aneh?" desis Jaka Warih
"Ya, bahkan sangat aneh menurut pengenalanku,.. Pada babak akhir dari pengetrapan puncak ilmnya, mereka mampu mengungkapkan hawa dingin yang luar bisa, kemudian entah dari mana datangnya muncul butiran-butiran putih yang sangat lembut menyelimuti tubuh lawannya hingga membeku sebelum satu pukulan mematikan menghancurkan tubuh lawannya itu"
Jaka Warih nampak berkerut lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sambl bicara pelan kepada dirinya sendiri,
"ilmu Inti Es?? ya menurut yang aku dengar dari Eyang Windujati ilmu itu berasal dari negeri sebrang, tapi dari mana Bajak Laut itu mendapatkan ilmu itu?"
Namun daripada itu, belum usai Jaka Warih mengingat-ingat apa yang pernah di katakan kakeknya tentang ilmu yang mirip ilmu yang di keluarkan kedua Bajak Laut itu, tiba-tiba telah terjadi keributan di halaman banjar,
Sekali-sekali terdengar suara tertawa, suara mengumpat, juga sekali-sekali terdengar suara teriakan kesakitan dari para pengawal padukuhan itu.
"Apa yang terjadi di luar itu?" desis ki Puguh Bekti
Ki Jagabaya segera berdiri dari duduknya di susul semua orang yang ada di pendapa tersebut.
Namun sebelum ki Jagabaya beringsut, tiba-tiba menyelonong masuk seorang perempuan muda, yang serta merta bersimpuh dan memeluk kedua kaki ki Jagabaya,
Tubuh perempuan muda itu gemetar hebat dan terlihat ketakutan dengan wajah yang sangat pucat,
Dengat mata membasah deras kebudian perempuan itu berkata dengan terbata-bata,
"Tolong aku ki, tolong... aku takut aku tak mau di bawa Bajak Laut itu,."
sesaat terdiam, perempuan muda itu pingsan.
"Bajak Laut? dia pulakah yang saat ini membuat onar di luar itu?"
Desis ki Jagabaya.
Kemudian daripada itu suasana di dalam pendapa pedukuhan induk itupun menjadi semakin resah, lalu beberapa orang serta merta membawa perempuan muda yang pingsan itu masuk ke dalam gandok belakang atas perintah Ki Puguh Bekti kepala pedukuhan itu.
Seorang tamu banjar yang telah berusia agak lanjut seketika berjalan mendekati ki Puguh Bekti kemudian berkata lirih,
"Ki Puguh, bolehkah aku mohon ijin agar anak perempuanku itu memasuki gandok?"
Sesaat ki Puguh Bekti memandang ke arah tamunya itu, dia mengerti memang seharusnya gadis itu lebih baik bersembuyi juga di dalam gandok demi keselamatannya, kemudian setelah menarik nafas panjang ki Puguhpun menganggukkan kepalanya,
"Baiklah ki, silahkan, memang lebih baik anak gadismu itu berada di dalam gandok"
"Terima kasih ki" jawab tamu itu seraya berpaling ke arah anak gadisnya,
"Laras, masuklah ke gandok itu.."
"Tapi ayah,.."
"Sudahlah, jangan banyak tanya, cepatlah masuk ke sana" potong ayahnya.
Sementara gadis justru termangu-mangu, kemudian sekilas memandang kearah Jaka Warih yang kebetulan juga memandangnya, dengan muka bersemu merah diapun kembali menundukkan wajah seraya beranjak menuju gandok yang di maksudkan.
Namun belum sempat gadis itu beranjak, dua orang bertampang sangar tau-tau sudah berdiri berkacak pinggang di muka pendapa yang memang tidak berpintu itu,
Dua orang yang berpakaian serba hitam itu menatap tajam kepada semua orang yang berada di dalam, kemudian dengan suara berat salah satu di antaranya berkata,
"Aku bertanya kepada kalian semua di sini..!! Siapa di antara yang paling berwenang di sini.. Jawab..!!"
Semua orang yang ada didalam pendapa itu semakin berdebar-debar, hingga belum satupun di antara mereka yang menjawab pertanyaan itu, sehingga kedua orang yang datang itu menjadi semakin marah.
"Braakkk..!! Aku ulangi sekali lagi, siapa Kepala Pedukuhan di sini..?!"
Berkata orang itu sambil tangannya memukul satu tiang penyangga bangunan pendapa itu hingga patah berantakan sehingga ujung atap bagian bawah pendapa itu terlihat menurun.
"Luar biasa tenaga Bajak Laut itu, tiang jati sebesar itu sekali pukul patah berantakan", desis Jaka Warih dalam hati.
Kemudian dengan hati berdebar-debar Ki Puguh Bekti sebagai orang yang paling bertanggung jawab di pedukuhan itupun serta merta maju menemui kedua Bajak Laut tersebut,
"namaku Puguh Bekti, akulah kepala pedukuhan ini ki sanak"
"Bagus..." potong Bajak Laut itu, "aku tidak akan bertele-tele, cepat serahkan calon permaisuriku, perempuan yang tadi masuk ke pandapa ini, sebelum aku tumbangkan seluruh bangunan di banjar ini..!!"
"Tapi bukankah gadis itu salah seorang penduduk pedukuhan ini?" kata ki Puguh Bekti
"Peduli setan..!! Siapapun perempuan itu, mau dia penduduk pedukuhan ini, mau dia gadis, janda, sekalipun sudah bersuami jika aku berkehendak mereka harus patuh"
Kemudian Bajak Laut itu melayangkan pandangan matanya ke seluruh pendapa itu hingga terhenti pada sosok perempuan muda yang berdiri di belakang punggung orang yang sudah berusia agak lanjut, gadis itu tidak lain adalah Larasati, satu-satunya tamu wanita yang berada di pendapa tersebut.
Sorot mata Bajak Laut itu begitu mengerikan dalam pendangan Larasati, yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat, sehingga tubuhnya semakin menggigil di balik punggung ayahnya.
"Cepat serahkan perempuan yang aku cari itu..!! berikut gadis yang berada di punggung kambing tua itu"
bentak Bajak Laut yang bertubuh kekar yang tidak lain adalah ki Sarpa Laut itu.
"Jangan begitu kisanak, tidak baik memaksakan kehendak seperti itu"
Terdengar suara ki Jagabaya
"Siapa kau iblis..!! Berani sesorah dihadapanku"
"Aku Jagabaya disini kisanak, bukan iblis seperti yang kau kira"
Sebenarnyalah ki Jagabaya sedikit tersinggung mendengar ucapan Bajak Laut itu, meskipun ia tau tidak mungkin baginya untuk melawan.
"Setan kau berani berani bergurau di depanku.. baiklah jika kau Jagabaya di sini kau mau apa jika aku ingin membawa gadis itu suka ataupun tidak suka..!!"
Dalam pada itu Jaka Warih yang sedari tadi hanya diam, semakin lama menjadi semakin mual mendengar tingkah laku kedua Bajak Laut itu,
Karnanya diapun serta merta berbicara.
"Ki Sarpa Laut yang perkasa, memang ki Jagabaya adalah orang yang bertanggung jawab tentang keamanan di pedukuhan ini, tapi tentang gadis yang berdiri di belakang orang tua itu, bukanlah sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya"
"Apa maksudmu anak iblis..!! he, "
Kemudian Bajak Laut bermata juling itu serta merta maju sambil memiring-miringkan kepalanya seakan berusaha mengenali pemuda yang berbicara di hadapan ki Sarpa Laut.
"Kakang, bukankah anak iblis ini yang kita jumpai di kedai siang tadi?"
Ki Sarpa Laut tidak mempedulikan pertanyaan saudara mudanya itu, namun diapun ingat pamuda itulah yang berada di kedai tadi siang.
"He anak iblis, kau kah yang berada di kedai itu..?!"
"Ya, ternyata ingatanmu masih tajam ki Bajak Laut, ternyata di sana sini tabiatmu sama, kalian adalah perusak tatanan kehidupan"
"Kau terlalu sombong he, anak iblis..!! menyingkirlah sebelum ku lumatkan tubuhmu"
Jaka Warih yang sudah kehilangan kesabarannya melihat tingkah laku dan bicara Bajak Laut itu, menjadi semakin tidak telaten mengendapkan gejolah dalam darahnya.
Apa lagi ketika melihat Ki Sarpa Laut dengan tidak menghiraukan siapapun yang ada di pendapa, melangkah masuk dan berjalan ke arah Larasati yang semakin menggigil ketakutan.
Jaka Warihpun beringsut menghadang arah langkah Ki Sarpa Laut,
"Berhenti..!!"berkata Jaka Warih
"Kau mau apa anak iblis?!"
"Ki Sarpa Laut, jika kau menginginkan gadis itu, lewati aku dulu"
"Apa maksudmu anak iblis..?!"
"Gadis itu calon istriku..!!"
Dengan serta merta ki Sarpa Laut surut selangkah sambil menatap tajam ke arah Jaka Warih,
Tidak hanya itu, semua orang yang mendengar pengakuan Jaka Warih itu menjadi termangu-mangu seraya memandang ke arah Jaka Warih dan gadis itu secara nerganti-ganti.
Larasati yang mendengar kata-kata Jaka Warih itu mukanya menjadi seperti warna udang,
ada berbagai perasaan yang berjubel-jubel memenuhi rongga dadanya yang tak mampu dirasakanya dengan jelas.
Bahkan dalam hatinya Jaka Warih sendiripun menjadi bingung mengapa mulutnya berucap seperti itu padahal dia belum mengenal gadis itu, kecuali bertemu di pendapa ini, namun muncul perasaan aneh dalam hatinya yang tak dapat dihindarinya, ketika seseorang ingin mengambil gadis itu.
Kemudian terdengar kembali suara Ki Sarpa Laut,
"Jadi gadis itu calon istrimu?"
"Ya, dan sebagai seorang laki-laki kau tentu paham jika kau memang berambisi membawa pergi calon istri orang"
Jawab Jaka Warih singkat.
Kemudian ki Sarpa Laut itu tiba-tiba tertawa panjang, lalu pelan-pelan melangkah keluar pendapa tempat pertama kali dia datang.
"Jadi kau menantangku perang tanding he, anak sombong?!"
"Terserah menurut penilaian mu ki Sarpa, kita bermain jamuran pun boleh, lihatlah halaman banjar itu cukup terang oleh sinar bulan, mudah-mudahan aku dapat menemanimu bermain-main dengan baik"
"Baiklah aku tunggu kau di halaman banjar anak iblis..!! dan jangan kau sesali jika besok di matamu matahari tak terlihat terbit.."
Dengan muka merah padam menahan amarah, ki Sarpa Laut memutar tubuhnya sambil berlalu menuju halaman banjar pedukuhan itu di ikuti ki Mina Upas di belakannya.
bersambung
Panas terik matahari itu perlahan meredup tersembunyi di balik gumpalan awan putih yang datang silih berganti,
Selepas hutan yang tidak terlalu besar terhampar jalan di bulak panjang dengan berpetak petak persawahan hijau yang seakan menyejukkan pandangan mata pada tajamnya terik matahari yang menjenguk sepenggal hari,
Sesaat di kejauhan terlihat gumpalan debu mengepul di sepanjang jalan mengikuti jejak lajunya dua ekor kuda yang sebenarnya tidak berlari terlalu kencang.
Bahkan kadang-kadang kuda-kuda itu mengurangi laju berlarinya lalu berjalan perlahan mengikuti jalan di tengah bulak panjang itu.
Dua ekor kuda yang tidak terlalu istimewa namun terlihat tegar, mengisyaratkan sebuah ketahanan dan kekuatan binatang itu untuk menempuh jarak pacu yang panjang.
Duduk di atas kuda berwarna hitam itu seorang pemuda yang sudah matang usia kedewasaannya, meskipun terlihat lusuh karna perjalanan jauh yang telah dilaluinya, namun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang bersih dengan tatapan matanya yang bening namun tajam berisi, dengan tubuh yang tidak terlalu besar namun terlihat kekar menandakan keserasian pada sosoknya.
Sementara kuda yang lain duduk seorang yang telah berusia lebih dari setengah abad, tubuhnyapun sedang-sedang saja, dengan kumis tipis menhiasi bibirnya.
"Sudah lima hari kita menempuh perjalanan paman, sementara matahari sudah sepenggalan, dan sebentar lagi hari menjadi gelap"
Demikian pemuda itu berbicara kepada penunggang kuda yang lebih tua,
"Hari masihlah lama ngger, kita masih banyak waktu untuk berhenti, biarlah kuda-kuda kita beristirahat di tepian sungai kecil itu"
Jawab penunggang kuda yang lebih tua.
Kedua penunggang kuda yan tidak lain adalah raden pamungkas dan ki gagak sipat itu kemudian menepikan kudanya di tepian sungai kecil yang airnya cukup bening itu.
"Perjalanan yang cukup lancar" desis ki gagak sipat
Sejenak raden pamungkas berpaling ke arah ki gagak sipat kemudian brtanya,
"Kita sudah melewati panaraga paman, apakah kita sudah berada di wilayah madiun?"
"Benar ngger, nampaknya kita justru sudah mendekati padukuhan yang sudah ramai"
Sejenak raden pamungkas terdiam sambil melayangkan pandangan matanya di hamparan hijaunya persawahan, yang berbatas rimbunan pepohonan di ujung yang teramat jauh, burung-burung yang sesekali hinggap dan terbang, sementara beberapa petani terlihat sibuk dengan pekerjaanya sesekali terdengar suaranya menghalau burung-burung yang beniat mengais makanan di hamparan persawahan itu,
"Betapa indah kehidupan dunia jika seperti ini, kedamaian yang tak terusik ambisi dan dendam, bahkan kekuasaan yang kadang menyeaatkan prilaku yang sewajarnya, perbedaan yang tentu akan terlihat yang nanti aku pasti menjumpainya" desisnya dalam hati,
Beberapa saat lamanya mereka menghentikan kuda-kudanya, nampaknya kedua orang itu berniat melanjutkan perjalanannya,
"Angger, apakah angger akan pula keutara melalui jalan menuju jatirogo?"
bertanya ki gagak sipat
"Tidak paman, mungkin kita akan berpisah jalan setelah sampai madiun, paman akan ke utara menuju jatirogo, sedangkan aku akan ke barat lalu ke arah cemara sewu melewati lereng gunung lawu"
"Kemana tujuan angger?"
"Pakuwon, paman..., sudah lama aku tidak menengok pedukuhan tempat mendiang ayah angkatku tinggal"
"Ayah angkat angger?"
"Ya, ayah yang mengasuhku saat aku masih anak-anak menjelang dewasa"
Sejenak raden pamungkas terdiam, seakan nalarnya menerawang jauh menelisik kembali kenangan pahit yang menimpa jalan kehidupannya, kemudian tenpa sadar raden pamungkas berdesis lirih dalam hati.
"Ah, apa yang harus kulalui memang sepantasnyalah aku lalui"
Kemudian terdengar suara ki gagak sipat
"Kakekmu tak pernah bercerita tentang itu"
"Ah, sudahlah paman, ceritanya cukup panjang, kini biarlah kita lalui apa yang seharusnya kita jalani"
jawab raden pamungkas kemudian.
Lalu dua ekor kuda itu bergerak dan berlari meski tidak telalu kencang, berjalan melewati bulak panjang itu, sesekali harus melompati jogangan kecil ditengah jalan,
Maka setelah melalui sebuah tikungan di ujung jalan itu keduanya berhenti,
"Paman, sebelum meneruskan perjalanan aku akan singgah dulu di selatan padukuhan itu, kebetulan kerabat ayah angkatku tinggal di daerah itu..., apakah tidak sebaiknya paman juga singgah semalam sekedar istirahat, sebelum besok paman melanjutkan perjalanan",
Ki Gagak Sipat seperti termangu-mangu sejenak seakan-akan menimbang-nimbang sesuatu yang ada di benaknya, kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun berkata,
"Aku rasa tidak ngger, tentu perjalananku sudah tidak terlalu jauh lagi, biarlah nanti aku beristirahat di jalan saja, aku rasa sekarang kakekmu sudah ada di sana sambil menikmati secangkir wedah jahe"
sambil tersenyum Ki Gagak Sipat memandang raden pamungkas.
Raden Pamungkas kemudian berkata sambil tersenyum pula,
"Kidang melar... Ilmu kecepatan gerak yang mengagumkan,"
"Baiklah ngger, aku mohon diri untuk meneruskan perjalan ke utara, berhati-hatilah engger, ingat selalu pesan kakekmu"
"ya paman, sampaikan baktiku pada eyang sesampainya di sana"
"Tentu"
jawab Ki Gagak Sipat sebelum memacu kembali kudanya cukup kencang.
Raden pamungkas masih berdiri termangu-mangu melihat laju kuda yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata.
"Ilmu kidang melar... Rasa-rasanya sangat menaik", kembali raden pamungkas mengulang kata itu dalam hati.
***
Sementara ketika raden pamungkas berpisah jalan dengan ki gagak sipat, jauh di sebelah utara gunung merbabu, terlihat hamparan rawa pening yang begitu luas, kawasan di mana beberapa tahun yang lalu di huni sepasang tokoh dunia kanuragan yang sangat di takuti, namun pada saat terjadi pergolakan di tanah perdikan Banyubiru beberapa tahun yang lalu keduanya tewas,
Sepasang tokoh yang dijuluki uling kuning dan uling putih itu harus meregang nyawa dalam satu pertarungan yang sangat memalukan karna harus binasa di tangan seorang yang usianya terhitung masih belia.
Panas matahari yang tidak terlampau menyengat bagaikan menyapa hijaunya daun-daun di pepohon pembatas jalan dan tepian rawa itu, seakan-akan menjadi sejuk oleh angin yang berhembus membawa kesejukan air yang tersentuh setiap hembusannya.
Jalan di rimbun pepohonan itu teramat teduh, sekali-sekali garis-garis sinar matahari menyeruak diantara sela-sela dedaunan sebelum menyentuh tanah .
Namun dari pada itu di kejauhan jalan, udara yang bersih itu bagaikan sirna berganti kepulan debu dari dua ekor kaki-kaki kuda yang berlari cukup kencang, menyusuri hamparan jalan di tepian rawa pening itu, dua ekor kuda itu mengikuti kelokan jalan yang menjauh dari tepian rawa kemudian menuju kearah sebuah padukuhan yang masih termasuk wilayah dari tanah perdikan yang dikenal dengan tanah perdikan banyu biru.
Kemudian langkah kedua ekor kuda itu perlahan menjadi pelan memasuki gerbang jalan pedukuhan sebelah utara tanah perdikan itu, kemudian terlihat dua orang penunggang kuda itu adalah seorang lelaki yang masih dapat di bilang muda, dengan tinggi tubuh yang terlihat wajar namun tubuhnya kekar dengan dadanya yang terlihat bidang di balik belahan baju sebelah atasnya,
Wajah lelaki itu cukup tampan dengan raut muka yang tersirat tegas, karna tempaan hidup yang begitu keras, dan tatapan matanya yang tajam mengisyaratkan daya berfikir yang cukup tinggi.
Sementara penunggang kuda yang lain seorang wanita yang sudah melalui masa kedewasaannya, wajahnya yang cantik terlihat memakai pakaian khusus yang tidak biasanya di gunakan wanita pada umumnya, tatapan matanya yang bersinar seakan akan menutupi kedewasaan usianya itu,
Ada yang sedikit menjadi perhatian ketika kuda-kuda itu melintasi setiap orang yang ada disepanjang jalan itu, bunyi derap kaki-kaki kuda itu dibarengi suara gemerincing lembut seperti bilah-bilah besi yang bersentuhan lebut.
Sebenarnyalah ternyata bunyi gemerincing itu adalah untaian rantai panjang yang melingkar di pinggang wanita itu
Sejenak setelah lama kuda itu berjalan pelan, terdengarlah suara wanita muda itu kepada penunggang kuda lelaki di sebelahnya...
"kakang, apakah kakang tidak merasakan keganjilan pada perjalanan kita sejak melintasi tepian rawa pening tadi?"
Demikian perempuan itu berucap, sementara lelaki itu terlihat mengangguk anggukkan kepalanya, setelah menarik nafas dalam-dalam kemudian menjawab apa yang dirasakan perempuan di sebelahnya itu,
"Ya, panggraitamu sungguh tajam widuri, sebenarnyalah akupun merasakan sejak kita memacu kuda melewati tepian rawa pening tadi"
jawab lelaki itu.
Sebenarnyalah kedua orang itu adalah sepasang suami istri muda, yang tidak lain adalah anak dan menantu Ki Gede Banyu biru yang bergelar Ki Ageng Gajah Sora, keduanya adalah Arya Salaka bersama Widuri.
"kakang, apakah kakang juga merasakan sesuatu yang bergerak-gerak lembut di balik gerumbul-gerumbul pepohonan pendek di tepian jalan di depan sana?"
Kembali terdengar suara widuri
"Nampaknya lebih dari dua orang", jawab arya salaka
kemudian dengan sangat pelan melanjutkan ucapannya
"Widuri, tetap saja kita berjalan sewajarnya, kita tunggu apa yang mereka maksudkan jika memang berniat menghadang perjalanan kita"
"Baiklah, mari kakang.." desis widuri
Sebenarnyalah ketika kuda-kuda mereka sampai di gerumbul-gerumbul tepian jalan itu tiba-tiba seorang di antara mereka muncul memotong arah kemana kuda-kuda nya berjalan.
Seseorang yang hampir berusia setengah abad, dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dengan kumis lebat dan cambang panjang sampai ke samping dagunya itu hanya berdiri diam menghalangi jalan kedua pasangan muda itu
"Kisanak, mohon kisanak minggir, kami akan lewat"
terdengar suara arya salaka kemudian.
Namun justru orang itu balik bertanya,
"Apakah aku sedang berhadapan dengan putera kepala tanah perdikan banyu biru yang bergelar ki ageng gajah sora?, murid dari perguruan pengging?"
Arya Salaka hanya termangu-mangu memandang orang yang menghadangnya tersebut, dalam benaknya jelas dia tidak pernah mengenal orang tersebut namun dengan serta merta orang tersebut seakan-akan mengenalnya dengan jelas
"Kenapa kau diam he?!, aku bertanya kepadamu apakah kau putera kepala tanah perdikan banyubiru, dari perguruan pengging?",
bentak orang itu.
Sesaat wajah arya salaka menjadi merah, gejolak darahnya yang masih bisa dibilang muda seakan-akan mulai mendidih, namun di tekankanlah perasaannya untuk menahan gejolak dalam darahnya itu. lalu dengan menarik nafas dalam dalam arya salaka mencoba menahan gejolak hatinya itu seraya berkata,
"Kisanak, siapakah kisanak ini, tidakkah kisanak bisa bicara dengan lebih baik, ada urusan apa ki sanak mencari aku?"
jawab arya salaka.
"O, jadi benar aku berhadapan dengan arya salaka?"
Kemudian orang itu tertawa sangat panjang, suara tawa itu seakan terasa menggema, hingga daun-daun kering pepohonan di sekitar itu menjadi berguguran,
"Luar biasa, orang ini telah memamerkan ilmunya yang menurutku cukup tinggi"
desis arya salaka dalam hati.
"Kisanak, sebenarnyalah aku adalah putra tunggal kepala tanah perdikan Banyubiru",
Arya Salaka menjawab pertanyaan orang itu dengan dilandasi ilmunya pula, sehingga mampu menindih suara tertawa orang tersebut.
Kemudian suara tawa itupun lenyap,
"Setan alas..!!" jangan kau sombong he, hanya dengan mampu menindih ilmu gelap ngamparku.
Arya Salaka pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan prilaku orang yang nganeh-anehi tersebut.
"Ki sanak, bukankah tadi kau bertanya siapa aku dan aku menjawab?, lalu dimana letak kesombonganku yang kau maksud kisanak?"
"Tidak usah banyak bicara, jika memang kau adalah putra kepala tenah perdikan banyu biru, arya salaka hari ini kau harus mati..!!"
Seketika orang itu bersuit panjang..., maka muculah beberapa orang di balik gerumbul pepohonan itu.
"Empat orang" desis arya salaka dalam hati.
Kemudian sebelum orang-orang itu bergerak...
"Tunggu dulu kisanak, siapakah kalian ini, kurasa kita tidak pernah punya silang sengketa, kenapa kau menebar ancaman padaku" berkata Arya Aalaka
"Baiklah, ada baiknya kau mengenal kami sebelum kau tak punya kesempatan menatap matahari besok, kau akan lumat di tangan kamu kecuali wanita cantik itu"
Terasa meremang tubuh Widuri yang sedari tadi hanya duduk terdiam di punggung kuda ketika mendengar apa yang di katakan orang itu
"Dengarkanlah he, Arya salaka, namaku adalah ki Sura Agul Agul dari perguruan Alas Lodaya, aku mengemban tugas dari guruku untuk mencabut nyawamu, kemudian membinasakan orang yang berjuluk Mahesa Jenar"
"Jangan bergurau ki Suro, tidak ada seorang manusiapun yang berhak mencabut nyawa mausia lainnya, kecuali atas kehendak yang maha agung", jwab arya salaka.
"Manusia sombong, aku tidak bergurau, kau akan binasa oleh ilmu macan Lodaya"
"Dengar kisanak", demikian arya salaka berkata,"Lebih baik tidak perlu kita terlibat dalam perkelahian yang tidak ada artinya ini, apa lagi aku merasa tidak pernah mempunyai silang sengketa dengan kalian"
"Jangan berlagak bodoh, kau dan gurumu telah berhutang nyawa pada perguruan macan Lodaya, dengan sombongnya gurumu telah membinasakan kyai Simo Rodra guru besar kami..., tentu dengan cara licik, sekarang bersiaplah untuk membayar.. hutang nyawa di bayar nyawa, sebelum gurumu juga kami binasakan"
geram Suro Agul-agul.
"Kau salah ki Suro, semua orang tau kyai Simo Rodra tewas dalam peperangan yang adil", sahut Arya Salaka,
"Jangan membual kau he, anak sombong, tak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu menahan kedahsyatan Aji Macan Liwung kyai Simo Rodra sepuh, kecuali cara licik gurumu itu"
Lama-lama arya salaka tidak telaten berdebat dengan orang yang menamakan diri ki suro agul-agul dari perguruan macan Lodaya itu,
"Rupanya tidak ada jalan lain lagi selain harus berbenturkan ilmu", desis Arya Salaka dalam hati.
"Bersiaplah he, kau anak yang malang, sebut nama ayah ibumu, karna besok kau tak akan lagi melihat munculnya mata hari"
"Baiklah ki sanak, jika itu yang kau mau, itu bukan salahku, sebenarnya aku tak ingin bertarung tanpa alasan berarti"
Kemudian arya salaka sejenak berpaling ke arah istrinya sambil berkata,
"Menepilah widuri, seperti yang kau dengar mereka menginginkan aku"
Sambil tertawa kecil widuri pun menjawab,
"Sebenarnya aku juga ingin ikut bermain lompat-lompatan ini kakang"
"sssttt, sudahlah, menepilah", sahut arya salaka kemudian sambil melihat muka istrinya cemberut manja.
"Anak iblis..!!", kau kau merendahkan kami he, kau meniadakan kami dihadapanmu, kalian memang pantas mati telah menghina kami"
bentak ki Suro.
"Jangan tersinggung ki sanak, bukan maksudku, dan aku sudah siap menghadapi kalian sejak tadi"
Pelan-pelan Arya Salaka berjalan mendekati ki Suro yang berdiri dihadapannya, sementara dua orang pengikut ki suro pun mendekat merapat sehingga arya salaka akan mehadapi tiga orang lawan sekaligus, sementara kawan yang satunya terlihat berdiri di pinggir arena namun pelan belan tubuh nya bergeser dan bergeser mendekati tempat widuri berdiri,
"nampaknya orang itu ingin bermain-main denganku" desis Widuri dalam hati sambil tersenyum matanya melirik orang itu.
Kemudian daripada itu di tengah arena kisuro dan dua orang kawannya itu telah berhadap hadapan dengan arya salaka.
"Kalian mau menghinakan aku, minggirlah,"
berkata ki suro kepada dua kawannya itu.
tanpa bicara dua kali kedua orang itupun surut lalu mundur ke belakang arena pertarungan keduanya
Sejenak ki suro telah melancarkan sebuah pukulan ke arah pelipis arya salakan namun tidak memenuhi sasarannya, dengan sedikit bergeser kebelakang arya salaka menghindar dari pukulan itu namun tidak melancarkan pukulan balasan.
Demikian pertarungan itu berjalan tataran demi tataran lama-lama semakin cepat dan sengit.
Sekian waktu ki suro tidak mampu mendaratkan pukulannya ke tubuh arya salaka meski ia merasa selalu meningkatkan kemampuan ilmunya. di sisi lain arya salaka masih menghindar dan menghindar mengimbangi setiap gerak kemampuan lawannya itu.
"Sombong kau anak iblis..!! Kau menghina aku, kau sedari tadi hanya menghindar dan menghindar, atau barang kali kau seorang pengecut?" bentak ki suro.
Arya salaka tidak menjawab, namun sebenarnyalah arya salaka tengah menjajagi tingkat kemampuan lawannya itu untuk menentukan serangan yang akan dilancarkan selanjutnya,
"Ilmu orang ini cukup tinggi" desisnya dalam hati.
Sementara itu ki suro semakin meningkatkan ilmunya yang semakin tinggi,
Arya salaka yang telah menguasai puncak dari tata gerak dari serangkaian pengungkapan aji sasrabirawa itu tidak menjadi kebingungan, meskipun ki suro yang bergerak semakin cepat melancarkan pukulannya namun dengan mudah arya salaka mampu mengimbanginya, kemudian pada serangan berikutnya dengan secepat kilat ki suro menyusupkan pukulan tangannya ke arah dada arya salaka, tak ada ruang untuk menghindar bagi arya salaka, namun dia tak mau dadanya menjadi sasaran pukulan ki suro itu, maka serta merta gerak tangan kirinya memotong dengan cepat pula menangkis serangan itu.
Terjadilah benturan tangan di antara keduanya,
Arya salaka merasakan tubuhnya bergetar namun tetap berdiri tegak pada tempatnya, sementara terlihat ki suro tubuhnya surut terdorong beberapa langkah kebelakang, hampir saja ki suro terjatuh jika tidak segera membenahi keseimbangan tubuhnya.
"Iblis..!! Dari mana kau miliki tenaga itu he?!"
Ki Suro memandang semakin tajam, namun arya salaka hanya terdiam sambil tersenyum, seakan menunggu apa yang akan di lakukan lawannya
Mata ki suro terlihat semakin tajam dan memerah, lalu dia pun menggeram,
"Bersiaplah untuk mati kau anak iblis"
Dengan tajam pula arya salaka memandang apa yang akan di lakukan oleh ki suro itu, dilihatnya ki suro mulai melakukan gerakan yang baru itu, sesaat kemudian tubuh ki suro justru surut kedikit kebelakang, lalu sedikit kepalanya merunduk kebawah, sementara jari-jari tangannya terlihat mengembang, sebelum di kembangkannya kedua tangannya kekanan dan kekiri, asap mengepul seakan keluar dari tubuh ki suro yang kemudian tubuh itu bergetar hebat dan hawa panas sedikit demi sedikit menebar di arena pertarungan itu.
"Aji Macan Liwung.."desis arya salaka
Melihat gerak yang dilakukan ki suro itu, sambil menyiapkan nalar dan budinya menghadapi segala kemungkinan.
Sementara di pinggir arena, satu dari pengikut ki suro sudah bergeser semakin dekat dengan widuri, ada yang terbesit dalam benaknya, jika ia mampu menangkap perempuan itu, maka tentu akan dapat dijadikan nilai tawar untuk menekan arya salaka yang tengah bertarung melawan ki suro tersebut.
Kemudian daripada itu, setelah dirasa saatnya tepat, dengan cepatnya orang itu bergerak menerkam widuri dari arah samping,
namun orang itu harus menahan kecewa dalam hatinya,ternyata tangkapan orang itu gagal mengenai sasarannya, dengan sedikit menggeserkan tubuhnya widuri ternyata mampu menghindari terkaman orang itu, justru dengan tak terduga-duga, dalam kecepatan yang tinggi widuri bahkan melayangkan satu tamparan keras mendarat ke muka orang itu hingga terdorong dengan sangat keras pula,
Akibat dari dorongan kekuatan orang itu sendiri ketika gagal melakukan sebuah terkaman, ditambah kuatnya tamparan yang dilakukan widuri bahkan telah melemparkan orang itu dengan keras membentur sebuah pohon,
terdengar sebuah umpatan lemah,
"Perempuan iblis.."
Namun setelah matanya terasa berkunang-kunang orang itu kemudian ambruk ke tanah, pingsan.
Dengan tertawa kecil kemudian widuri memandang orang itu,
"Hadiah untuk orang licik"
Sebenarnyalah tak jauh dari tempat itu kedua orang pengikut ki suro agul-agul yang lainpun melihat apa yang terjadi dengan seorang temannya yang pingsan itu, namun mereka lebih tertarik memperhatikan pertarungan antara ki suro agul-agul melawan arya salaka dari pada mengurusi wanita itu.
Kemudian daripada itu di tengah arena pertarungan, arya salaka sebagai seorang yang telah mengenyam pahit getirnya kehidupan, juga keganasan dunia olah kanuragan di masa-masa remajanya, tentu sangat paham apa yang akan dihadapinya,
"Aji Macan Liwung adalah ilmu yang sangat nggegirisi, aku harus berhati-hati jika tak mau lumat karnanya",Desis arya salaka dalam hatinya,
Dengan segala tekat yang ada, sebelum segala sesuatunya terlambat, arya salakapun sesegera mungkin mengabil sikap, demikian setelah surut satu langkah, arya salaka pun kembali memusatkan nalar dan budinya, ditariknya sedikit kaki kanan kebelakang, kemudian tangan kiri terjulur lurus kedepan dengan jemari terbuka, lalu tangan kanannya pengepal tepat berada sejajar pada dada sebelah kanannya,
Di dasari nalurinya yang tajam, arya salaka sesaat merasakan sebuah hawa kematian menghampirinya melalui ilmu yang dilontarkan ki suro agul-agul yang telah memulai dengan sebuah lompatan, lalu dengan ganasnya melancarkan serangan ke arahnya, serta merta arya salaka menghentakkan pula tangan kanannya, memapas serangan itu.
Yang terjadi benar-benar mengagumkan,
Benturan dua ilmu yang tinggi itu seketika membuat tanah di sekitar menjadi bergetar, dan sekilas terlihat cahaya kemerah-merahan bercampur dengan cahaya kebiru-biruan menyala di susul suara benturan yang cukup keras menggema di sekitar arena.
Akibat dari benturan itu terlihat arya salaka surut satu langkah kebelakang lalu tubuhnya terhuyung-huyung menahan keseimbangannya yang hampir hilang, namun meski dengan susah payah, arya salaka masih mampu berdiri dengan tegak, meski merasakan di dadanya bagai terhimpit batu besar, nafasnya pun menjadi berat dan tersengal-sengal
Di sisi lain ternyata keadaan ki suro agul-agul lebih buruk lagi, setelah mengaduh menyusul tubuhnya yang terpental kebelakang dan berguling-guling ke tanah, ki suro agul-agul memang masih terlihat berusaha untuk berdiri namun dia hanya mampu menggeliatkan tubuhnya sekali sebelum terdengar sebuah umpatan, lalu tubuh itu pun kembali terkapar ke tanah, nafasnya pun berhenti,
MATI.
Hal itu membuat kedua pengikut ki suro agul-agul yang sedari tadi penyaksikan pertarungan itu mejadi cemas, serta merta merekapun berlari maju mendekati tubuh ki suro agul-agul yang telah berbaring diam itu, diperhatikannya tubuh ki suro agul-agul seperti tidak percaya pada pengeliatannya sendiri,
Ki Suro Agul-Agul yang menurut pemahaman nya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, pada kenyataannya telah tewas setelah mengadu ilmu dengan putera banyu biru itu.
Lalu dengan tatapan mata yang membara kearah arya salaka yang pada saat yang sama masih terlihat lemah, kemudian seorang dari mereka menggeram,
"Aku bunuh kau setan alas..!!"
Tentu saja Widuripun tidak membiarkan hal itu terjadi, lalu dengan serta merta dia pun meloncat berdiri tegak di depan arya salaka yang sedang berusaha mengatur jalan pernafasanya,
Namun sebelum kedua pengikut ki suro agul-agul itu mengambil tindakan, sesaat kemudian terdengar suara yang terdengar berat,
"Berhenti..!!"
Kedua orang itu termangu-mangu setelah berpaling dan melihat kearah datangnya suara itu,
"Guru..."desis keduanya berbarengan,
Lalu dari balik pepohonan seorang terlihat melangkah dengan tenang menghampiri arena pertempuran itu.
Seorang yang secara wadag sudah terlihat berusia lanjut, tubuhnya nampak tinggi besar, dengan sorot mata yang tajam mengandung kebengisan, rambutnya tampak sudah memutih terjuntai di antara ikat kepala yang hanya membalut di kening sampai belakang kepala. kumis orang tua itupun terlihat sudah memutih pula, juga rambut yang jarang tumbuh didagunya,
Perlahan lahan orang tua tersebut mendekati tubuh ki suro agul-agul yang terlihat memucat seraya meijat-mijat simpul-simpul syaraf tubuh yang terkapar itu.
"Setan alas..., kau bunuh muridku he orang muda"
Demikian wajah orang tua itu tiba-tiba memerah menatap tajam ke arah arya salaka sambil menggeram.
Kemudian sambil menggertakkan giginya orang tua itu meneruskan ucapannya,
"Sebelum besok tanah perdikan banyu biru gempar karna calon penerusnya mati, aku berkata kepadamu he, dari mana kau sadap aji rog rog asem yang begitu mapan itu, hingga muridku tidak mampu menahannya?!... Kau telah mengecoh muridku, seharusnya aji sasra birawa lah yang ku lihat, kau curi ilmu itu dari mana he?"
Arya salaka yang masih lemah itu hanya bisa berdiam saja, dan tetap mencoba memusatkan nalar budinya untuk mengurangi beban yang serasa menindih dadanya, sehingga membuat orang tua itu menjadi semakin marah,
"Apakah telingamu tuli he, orang muda, jawab pertanyaanku sebelum aku binasakan kau"kembali orang tua itu membentak.
Kemudian daripada itu, widuri yang berwatak lugas dan ceplas-ceplos itu tidak tahan mendengar ucapan orang tua itu, sambil tertawa keras widuripun serta merta memotong ucapan orang tua itu.
"He orang tua, seharusnya kau bersyukur kakang arya salaka tidak menggunakan aji sasra birawa nya yang jauh lebih mapan dari aji rog rog asem yang di lontarkannya itu, jika tidak kau tentu akan melihat keadaan tubuh murid mu itu lebih buruk lagi"
"Siapa kau perempuan iblis.."Tukas orang tua itu
Namun widuri seakan tidak mempedulikannya seraya meneruskan ucapannya,
"Juga soal ilmu kakang arya salaka kau tak usah heran kakek tua, aji rog rog asem adalah sebuah ilmu yang di ciptakan kakang karang tunggal yang kini menjadi adipati pajang, maka tak perlu lagi kau bertanya dari mana kakang arya salaka mampu menguasai ilmu itu, juga beberapa ilmu lain yang di miliki kakang karang tunggal"
"Diam..!!!, aku tidak bertanya padamu perempuan iblis"Sergah orang tua itu dengan mata yang melotot
Namun widuri justru semakin terdengar tertawa panjang yang terdengar menyakitkan telinga orang tua itu.
Ada yang terbesit sebuah keanehan di hati orang tua itu, dia bagaikan tak bisa melontarkan kemarahan nya kepada widuri meski widuri telah berbuat degsura di hadapannya, dia yang selama ini di segani di kalangan alas lodaya, juga di kancah dunia kanuragan tak kuasa berbuat apa-apa, ada sesuatu yang terpancar aneh pada raut muka perempuan itu menurut pandangan mata orang tua itu. maka sejenak orang tua itu menarik nafas dalam-dalam lalu berkata,
"Baiklah, sedianya aku di sini untuk menuntaskan peesoalan beberapa tahun lalu kepada orang yang telah membuat guru besar kami kyai Simo Rodra Lodaya gugur, namun ternyata keadaan merubah semuanya, di depan mataku kau, arya salaka yang juga murid rangga toh jaya yang aku cari itu telah berani membinasakan murid utamaku, makan bersiaplah kau menerima pembalasan setimpal berikut bungannya"
Arya salaka hanya bisa terdiam, sesaat tubuhnya meremang mendengar ancaman orang tua yang menyebut dirinya dari alas lodaya itu,Arya salaka sadar, bahwa ancaman itu bukan sekedar ancaman,
Arya salaka pun juga sadar bahwa saat ini tidak bisa berbuat apa-apa setelah menguras tenaga dalam peetarungan melawan ki suro agul-agul sebelumnya, bahkan walau tidak teralu parah arya salaka merasakan luka di dalam.
"Dan sebelum kau binasa, baiklah aku akan menyebutkan siapa diriku agar kau tidak penasaran menjenguk kematianmu orang muda...,ketahuilah aku adalah orang yang di panggil dengan julukan ki Singa Rodra, murid tertua kyai Simo Rodra sepuh, dan akulah yang kini menggantikan kedudukannya di alas lodaya...,sekarang sebut kedua nama orang tuamu karna sbentar lagi kau akan binasa"
Demikian sesaat setelah selesai bicara, ki singo rodra memandang arya salaka dengan sorot mata yang tajam, merah membara disertai hawa dendam yang demikian dalam, dan setelah melangkah sampai beberapa tombak didepan arya salaka, ki singo rodra terdengar menggeram, namun mendadak ki singo rodra terdiam ketika terdengar suara widuri mengusik telinganya
"Kau ternyata licik orang tua, kau lihat kakang arya salaka sedang tidak dalam keadaan bugar setelah pertarungan tadi, tapi kau ingin mengambil kesempatan licik untuk mencelakai nya,.. Apakan memang demikian patrap perguruan macan lodaya yang perkasa itu?"
"Diam dan jangan merajuk kau perempuan gendheng, aku tidak pernah membatasi dengan sebuah paugeran untuk melakukan sesuatu, termasuk membunuh orang ini, dan kau tidak usah cemas ndhuk, aku tidak akan membunuhmu, namun kau boleh bunuh diri jika orang yang ku dengar suami mu itu binasa"
"Aku tidak akan tinggal diam"Berkata widuri dengan serta merta maju dan berdiri di samping arya salaka yang masih berusaha memulihkan kekuatan tubuhnya.
"sudahlah widuri, menyingkirlah dari sini" desis arya salaka
Namun ki singo rodra tidak mempedulikannya,
Terdengar mulutnya menggeram menyususul suara terawanya yang semula terdengar pelan, pelan, lalu lama lama suara tawa itu menggema bagaikan suara halilintar mengungkapkan getaran yang demikian dahsyatnya.
Bahkan gelombang suara itu mampu mengungkapkan getaran seperti angin yang berputar-putar membuat apa yang ada di sekitar tempat itu manjadi berterbangan, daun daun berguguran lalu terhambur di udara,
"Luar biasa kekuatan aji gelap ngampar orang tua itu, rasa-rasanya dadaku semakin sesak seperti terhimpi batu besar",desis arya salaka dalam hati. kemudian arya salaka memalingkan wajahnya memandang ke arah widuri yang terhuyung-huyung menahan getaran ilmu ki singo rodra yang luar biasa itu.
Namun di saat yang kritis itu tiba tiba terjadi sesuatu yang aneh, dari arah belakang dimana arya salaka dan widuri berada, perlahan-lahan terasa berhembus angin yang teramat sejuk, dan seakan-akan hawa kesejukan itu memberikan kekuatan pada diri kedua pasangan muda itu hingga perlahan himpitan getar suara dari ilmu yang di lontarkan ki singo rodra itu semakin lama semakin ringan.
Bahkan semakin lama hawa udara sejuk itu semakin melapisi ketahanan arya salaka dan widuri hingga tak terpengaruh lagi dengan hentakan ilmu yang menerangnya.
Menyusul keanehan hawa sejuk itu, sayup-sayup di kejauhan seperti terdengar suara orang yang sedang mengalunkan sebuah tembang yang terdengar sangat merdu, dengan alunan suara yang mendayu-dayu, mengungkapkan kadamaian bagi setiap yang mendengarnya.
Semakin lama mengalun suara tembang itu semakin jelas pula terdengar dan seakan-akan berputar-putar di arena pertarungan tersebut,
Dan sebenarnyalah suara tembang itu bukan suara yang sewajarnya, sehingga kekuatan aji gelap ngampar yang tersalur lewat suara tertawa ki singo rodra itu perlahan-lahan tertindih kehilangan kekuatannya.
Serta merta ki singo rodra pun melepaskan pengetrapan ilmu gelap ngamparnya, karna menurut perhitungan nya hal itu tentu tak akan berarti lagi.
Sementara itu meski ki singo rodra melepaskan pengetrapan ilmunya, suara tembang itu masih saja mengalun dengan jelas, tanpa terlihat siapa sesungguhnya orang yang menembang itu,
Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu bawanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja
Sebuah tembang dhandhanggula yang memberikan wejangan tentang prilaku yang baik kepada setiap titah, hingga tidak selalu di cekam hawa nafsu, juga mendorongkan sifat untuk selalu menjaga ketentraman dunia beserta penghuninya.
Kemudian dari pada itu ki singo rodra termangu mangu, melihat kenyataan yang terjadi tersebut. seolah-olah nalarnya bekerja keras seperti mengingat-ingat sesuatu,
"He, setan tua, kenapa kau ganggu pekerjaanku, keluarlah, jangan bersembunyi seperti tikus kesakitan"
Dengan muka yang merah menahan amarah ki singo rodra pun mengumpat umpat kepada entah siapa yang bersembunyi dibalik suara tembang itu.
Tak ada jawaban,
"tidak mungkin, tidak mungkin dia, yang aku dengar setan tua dari klurak itu sudah mati dimakan usia.. Lalu siapa?"
Ki singo rodra masih bertanya dalam hati.
Disela-sela keheningan, desir langkah halus mendekati mereka yang ada di arena itu,
"Sungguh satu tindakan tidak terpuji, berusaha membunuh lawan yang tidak ada daya"
Setelah langkahnya terhenti nampaklah sosok seorang lelaki agak tinggi kekurus-kurusan, kerut-kerut diwajah orang itu menujukkan betapa usianya sudah mencapai ambang senja, walau sorot matanya masih menampakkan sebuah semangat yang teramat dalam.
"paman, apakah paman Dipa Sanjaya?"desis widuri, sambil termangu mangu memandang orang tua itu
"kau masih ingat aku ngger"demikian sambil tersenyum orang tua itu menoleh ke arah widuri sebentar, lalu pandangan matanya menuju ke arah di mana ki singo rodra berdiri lalu berkata
"ki sanak yang perkasa, tidakkah kita yang tua-tua ini adalah memberikan contoh yang baik untuk mengingkuti norma-norma yang berlaku, daripada sebuah prilaku yang tidak terpuji"
"Persetan dengan sesorahmu setan tua, katakan siapa diri mu yang telah berani mengganggu kesenanganku" kata ki singo rodra sambil menggertakkan giginya.
"kau sudah menyebutku setan tua, kenapa masih bertanya siapa aku?"
"jangan kau bergurau, aku bertanya siapa namamu, atau siapa sebutanmu?, iblis"
"ha ha ha ha ... kau ini aneh, atau barang kali sudah pikun kisanak, kau telah menyebutku setan tua, lalu iblis, tapi masih saja bertanya siapa aku"
"Diaamm..!! suara tawamu membuat kepalaku menjadi pening"
Widuri yang melihat prilaku orang yang baru datang itu menjadi geli, karna widuri tau benar watak dari orang yang di sebutnya paman itu.
"baiklah kisanak, aku akan mengatakan siapakah aku, walau aku juga bingung siapakah sebenarnya aku ini"
"kau mempermainkan aku setan alas..!"
"jangan begitu, tidak baik orang-orang yang sudah bau tanah seperti kita ini berbicara kasar" masih saja orang yang dipanggil paman oleh widuri itu mengembangkan senyumnya lalu meneruskan ucapannya
"karna sebenarnyalah aku memang bingung jika di tanya siapa aku ini, kadang orang menyebutku ajar tundhung lara, kadang orang juga memanggilku ki bagas waras, ki mayang jati, bahkan tadi kau menyebutku setan tua, maka bagiku apalah arti sebuah nama itu"
"ki Mayang Jati..??" ki simo rodra kemudian berdesis.
"o, kau mengenal salah satu nama itu kisanak?"
"lalu apa hubunganmu dengan iblis tua dari klurak itu", sergah ki Singo Rodra
"siapa yang kau maksud kisanak?"
"jangan berlagak bodoh, kau tentu tau pandan alas iblis tua dari klurak itu"
Sesaat ki mayang jati mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian berkata,
"kadang dunia ini memang aneh, aku memang mengenal mendiang ki ageng pandanalas yang kau sebutkan itu, namun bukanlah seperti iblis yang kau katakan itu, justru apa yang aku tau ki ageng pandanalas adalah orang yang gemar menumpas iblis"
"kau menyindirku setan..!!"
"bukan maksudku, tapi bukan salahku jika ada yang tersindir"
"kau terlalu sombong, setelah mewarisi ilmunya yang kau gunakan menakut-nakuti aku itu, tapi jangan harap aku akan gentar"
"mewarisi ilmu madsudmu?, ..hemm aku memang mengenal mendiang ki ageng pandanalas kisanak, tapi aku hanya mengagumi karya-karya tembangnya yang sarat dengan petunjuk luhur, tidak lebih dari itu"
Sesaat telah terjadi perubahan raut wajah ki simo rodra ketika mendengar nama ki mayang jati, lalu dengan suara bergetar dia berkata,
"baiklah, kali ini aku tidak punya waktu menghadapi mu ki mayang jati, suatu saat aku akan membuat perhitungan dengan apa yang telah terjadi di sini, aku mohon diri"
"silahkan ki sanak, maaf aku tidak menghantar, dan jangan lupa kau bawa jasad muridmu itu, kami tidak punya waktu menguburkannya di sini"
Hanya tatapan mata ki singo lodra yang nampak menyala-nyala menahan kemarahan memuncak namun segan untuk berbuat lebih jauh lagi.
***
Kemudian daripada itu jauh di timur gunung lawu, Raden Pamungkas masih berjalan pelan di atas punggung kudanya ke arah barat, setelah sebelumnya berpisah jalan dengan Ki Gagak Sipat.
Jalan yang melintas bulak panjang itu semakin lama semakin mendekati sebuah pedukuhan yang sudah nampak terlihat dari kejauhan, walau masih jarang, satu dua rumah pendudukpun telah di laluinya, dan semakin ke dalam semakin nampaklah kehidupan suatu pedukuhan yang cukup padat.
Setelah melintasi gerbang pedukuhan itu, agak menjorok di tepi sebelah kiri jalan pedukuhan itu terdapat sebuah pasar yang walau tidak terlalu besar namun terlihat banyak juga para pedagang berjualan, bahkan kedai kedai makanan pun terlihat di sisi kanan jalan.
"Masih melewati satu pedukuhan lagi untuk sampai di kediaman paman Citra Dadi, namun matahari sudah semakin merunduk, lebih baik aku beristirahat di kedai itu sebentar sekedar melepaskan lelah, barangkali banjar pedukuhan di daerah ini sudah tidak terlalu jauh lagi, mudah-mudahan aku sampai kesana sebelum hari gelap, sehingga aku tidak kesulitan memohon menumpang tidur barang semalam"
Sejenak kemudian Raden Pamungkas telah memasuki sebuah kedai dipinggiran jalan pasar pedukuhan itu, sesaat setelah memesan secangkir wedang sere dan beberapa potong jadah wajik, lalu Raden Pamungkas mengambil tempat duduk di sudut paling belakang kedai itu.
"Rasa-rasanya ada yang aneh di daerah ini, sejak aku melewati gerbang pedukuhan hingga masuk kedai ini seperti ada sesuatu yang tidak wajar, entahlah, mudah-mudahan hanya perasaanku saja"
Raden Pamungkas berdesis dalam hati.
Demikian Raden Pamungkas menjadi lama termenung mencoba memecahkan isyarat dalam hatinya sampai datang seorang pelayan mengantarkan pesanannya,
"Silahkan tuan.." sapa pelayan itu
"Trimakasih"
jawab Raden pamungkas sambil menerima hidangan yang di pesannya tadi.
Kemudian setelah pelayan itu selesai menghidangkan makanannya tiba-tiba bertanya kepada Raden Pamungkas,
"Maaf tuan, kalau aku boleh bertanya, apakah tuan bukan penduduk disekitar pedukuhan ini?"
Raden Pamungkas memandang pelayan itu sambil mengerutkan keningnya lalu menjawab,
"Bukan kisanak, aku memang bukan penduduk di pedukuhan ini atau di sekitar pedukuhan ini"
"Lalu tuan dari manakah? atau jika tuan sudi menyebutkan, bolehkah aku tau siapakah nama tuan?"
Raden Pamungkas kemudian meminum satu tegukan wedang sere yang sudah tidak terlalu panas itu, lalu diletakkannya kembali cangkir itu di atas meja kemudian menjawab pertanyaan pelayan tersebut.
"Ki sanak, sebelumnya aku juga mohon maaf, jika sebelum aku menjawab pertanyaanmu justru aku bertanya terlebih dulu"
Dengan satu tarikan nafas kemudian dilanjutkan pertanyaan itu,
"Kisanak, mungkin aku sudah beratus-ratus kali keluar masuk kedai seperti ini, namun belum sekalipun aku melihat seorang pelayannya bertanya sedemikian pribadi kepada tamu-tamunya seperti disini, jadi kalau boleh aku tau ada apakan ini?"
"Maaf tuan jika pertanyaanku menyinggung hati tuan, namun aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin tau siapa tuan ini, karna sudah beberapa lama tak satupun orang esing berani memasuki pedukuhan ini meski hanya sekedar lewat"
"Baiklah kisanak, aku percaya padamu, jika kau tanya siapa aku, namaku Warih, Jaka Warih, aku orang yang kleyang kabur kanginan mengikuti kemana arah angin berhembus, demikian aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat pedukuhan ini... sebenarnyalah aku memang merasakan sebuah ketidak wajaran di padukuhan yang terlihat tenang ini, sejak aku memasuki gerbang pedukuhan di sana, jadi aku boleh tau apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Kemudian pelayan itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mendekati tempat duduk Raden Pamungkas sambil berkata pelan,
"Tuan, sebenarnyalah telah terjadi sesuatu di pedukuhan ini, bahkan mungkin di pedukuhan lain di sekitar sini"
"Apa yang terjadi?" sela Raden Pamungkas
"Tuan, sejak sekitar dua bulan yang lewat pedukuhan ini telah kedatangan....., tidak, tidak apa-apa tuan, silahkan tuan melanjutkan minumannya, aku permisih"
Tiba-tiba pelayan itu menghentikan kata-katanya, dan sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian dengan gemetar melangkah meninggalkan Raden Pamungkas yang memandangnya sambil termangu-mangu,
"Aneh, ada apa dengan pelayan itu, kenapa tiba-tiba saja menjadi gemetar seperti itu?
Bertanya Raden Pamungkas dalam hati.
Namun sesaat setelah pelayan itu pergi, di depan pintu kedai itu berdiri dua orang berwajah garang,
Satu dari kedua orang itu bertubuh tinggi besar dengan mata yang merah menyala seperti orang yang kebanyakan meminum tuak, mukanya yang terlihat sangar di hiasi dengan bopeng-bopeng di pipi kanan kirinya.
Sementara seorang yang lain bertubuh tinggi pula meski badannya sedikit kekurus-kurusan, matanya yang juling juga hidungnya yang bengkok sangat memberikan kesan keganasan orang tersebut.
Pakaian kedua orang itu sama, terlihat komprang dengan warna hitam pekat,
Sementara di dada kiri pakaian kedua orang itu terdapat sulaman gambar tengkorak dengan hiasan pedang silang di belakangnya.
Dengan ikat kepala yang tidak tertutup di atasnya itu membuat rambutnya yang panjang terjuntai tak teratur.
Kedai yang tadinya banyak orang yang datang itu kemudian nampak sepi, satu persatu mereka tanpa basa-basi tergesa-gesa pergi setelah membayar pesanannya tanpa memperhitungkan kembalian uangnya.
"O, ini rupanya yang membuat pelayan tadi menjadi ketakutan"
desis Raden Pamungkas dalam hati
"Pelayan..!!! Siapkan makanan kesukaanku, awas jika tidak pas seperti yang ku inginkan, aku ratakan kedai ini dengan tanah"
teriak orang yang bertubuh tinggi besar.
Dengan tergopoh-gopoh pelayan itu mendekat sambil gemetar,
"baik, baik tuan, aku akan menyediakan sesuai keinginan tuan"
"Cepat..!! jika kau terlalu lama hingga menyiksa perutku yang sudah lapar ini, aku penggal kau"
berkata selanjutnya orang yang kekurus-kurusan.
Sementara Raden Pamungkas masih saja duduk menikmati makanan dan minumannya, yang memang masih banyak itu, kemudian berkata dalam hati,
"Kedua orang ini tentulah dari gerombolan bajak laut, sulaman di pakaiannya itu telah menunjukkan jati diri mereka, tapi mengapa penghuni lautan itu bisa jauh memasuki pedalaman pulau ini? aku harus mencari tau, nampaknya mereka adalah orang-orang yang berbahaya"
Kemudian daripada itu kedua bajak laut itupun mengambil tempat duduk, lalu duduk dengan meletakkan telapak kaki kanan mereka di atas bangku, sementara kaki kirinya terjuntai di tanah,
Salah satu diantara mereka sekilas memandang Raden Pamungkas yang masih menikmati minumannya di sudut ruangan kedai tersebut sambil berbisik kepada temannya,
"Kau lihat kakang, orang di sudut ruangan itu"
Kata bajak laut yang bermata juling kepada si tinggi besar
"ya, kenapa?"
"Orang itu menganggap remeh kita, dia tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya untuk pergi ketika kita datang, seperti orang-orang yang lainnya"
"Sudahlah, tidak usah mengurusi hal-hal yang tidak berarti, apa lagi coro seperti itu, kita punya hal yang jauh lebih penting dan berarti bagi kita, terutama bagi kehormatan Bajak Laut Karimunjawa"
Bajak laut bermata juling itupun kemudian terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan tak lagi mempedulikan keberadaan Raden Pamungkas.
Raden pamungkas hanya menundukkan kepalanya seolah-olah tak memperhatikan apa yang terjadi di ruangan itu,
"Nampaknya kedua bajak laut itu sangat mecurigakan, nampaknya ada sesuatu yang terselimut di dalam benak mereka, baiklah.. aku akan mencoba mengetahui apa yang di perbincangkan mereka",
kata Raden Pamungkas dalam hati.
Kemudian Raden Pamungkas diam-diam berusaha memusatkan nalar dan budinya untuk menajamkan panca indera pendengarannya yang di landasi aji Sapta Pangrungu hingga apa yang diperbincangkan kedua bajak laut itu didengarnya dengan jelas meski mereka berbicara terlalu pelan.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya, kakang?"
bertanya Bajak Laut yang bermata juling,
"Adi Mina Upas, sebenarnyalah kita masih ada waktu beberapa hari sebelum pertemuan itu di gelar"
"Tapi bukankah kelompok lain sudah berada di sekitar perbukitan Cemoro Sewu, apakah kita tidak ketinggalan karnanya?"
\"Perbukitan Cemoro Sewu sudah tidak terlalu jauh lagi dari sini, dengan ilmu kita, tidak sampai sepenggal hari kita tentu sudah berada disana, kita masih punya waktu barang dua malam di pedukuhan ini"
Jawab Bajak Laut yang bertubuh tinggi besar.
Kemudian sambil tersenyum aneh dia melanjutkan ucapannya,
"Aku juga masih ingin mencari beberapa isteri muda lagi di pedukuhan yang banyak menyimpan perempuan-perempuan cantik ini, aku akan membawa lima istri agar nanti aku tidak terlalu kesepian di tengah lautan"
"Ah, kakang Sarpa Laut, kebiasaanmu itu dari dulu tak pernah berubah"
"Kenapa?"
Sambil tertawa kecil seakan-akan Bajak Laut yang di sebut ki Sarpa Laut itu seakan-akan tidak mempedulikan apa yang di katakan si mata juling.
Lalu sesaat kemudian pelan-pelan raut mukanya berubah menjadi serius,
"Adi Mina Upas, lagi pula sesungguhnya kita tidak terlalu berkepentingan secara langsung dengan pertemuan yang di gelar orang-orang gila yang menyebut diri mereka para keturunan Prabu Brawijaya itu, walau di sisi lain ada kesamaan dari ujuan kita yang utama....,kehancuran Demak"
"ya, kau benar kakang Sarpa Laut, ini adalah kesempatan untuk menghancurkan Demak dengan tidak perlu kita bersusah payah"
Kata ki Mina Upas.
Ki Sarpa Laut terlihat merenung, angan-angannya menerawang jauh, seakan-akan mengingat ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika pasukan laut Demak memporak porandakan kelompok Bajak Laut Karimunjawa yang mengakibatkan pemimpin Bajak Laut yang juga guru ki Sarpa Laut dan Mina Upas itu tewas.
"Adi Mina Upas, bertahun tahun kita besusah payah mebangkitkan kembali kejayaan kelompok Bajak Laut Karimunjawa, setelah sekian lama ke kuatan Demak itu dengan sombongnya menghancurkan segalanya, sehingga junjungan kita Ki Naga Braja Geni tewas di tangan Pangeran Sabrang Lor"
"Benar, ini adalah saat yang tepat kakang, sekarang Demak sedang di landa malapetaka, telah terjadi pergolakan dan perselisihan yang kian meruncing di antara para pangeran setelah Sultan mereka tewas dalam perang akibat kesombongannya"
Dengan hati yang berdebar-debar Raden Pamungkas mengikuti arah percakapan kedua Bajak Laut tersebut, hingga sedikit banyak menjadi tau bahwa Kesultanan Demak benar-benar di ambang bahaya, bukan saja dari kalangan istana sendiri, melainkan juga dari kelompok-kelompok luar yang mengedepankan dendam pribadi seperti kelompok Bajak Laut dari kepulauan Karimunjawa itur atau mungkin masih ada lagi kelompok lain.
Terlebih lagi ambisi kelompok-kelompok yang menyebut para keturunan Prabu Brawijaya seperti yang di katakan kedua Bajak Laut tadi.
"Menurutku, justru kelompok yang menyebut para keturunan Prabu Brawijaya itulah yang paling berbahaya, daripada kelompok-kelompok macam kedua Bajak Laut itu"
Desis Raden Pamungkas dalam hati.
"Kelompok yang tentu tidak sekedar mengandalkan kekuatan jasmaniah belaka, baik tingginya ilmu kanuragan maupun ilmu perang, melainkan ketajaman berfikir, kelicikan, dan cara-cara yang tidak di miliki oleh kelompok-kelompok semacam Bajak Laut itu"
Kemudian disaat Raden Pamungkas merenungkan dalam hati tentang apa yang baru saja di dengarkannya dari kedua Bajak Laut itu, tiba-tiba terkejut,
"Braakk..!!"
Meja tempat di mana kedua Bajak Laut itu berada menjadi pecah berantakan setelah terkena hantaman tangan Ki Sarpa Laut sang Bajak Laut bertubuh tinggi besar itu, di susul suaranya yang mengumpat begitu keras,
"Setan alas, danyang laut..!!! Pelayan..!! mana pesanan yang aku minta..??! "
Sambil menggigil seorang pelayan pun mendatangi Ki Sarpa Laut, lalu berkata sambil gemetar,
"Maaf, maaf.., maafkan kami tuan"
Kemudian sambil sesekali menelan ludah pelayan itu kembali bicara sambil terbata-bata,
"Sekali lagi maafkan kami tuan, kami kehabisan daging ayam seperti yang tuan pesan, tapi kami sudah mencarinya, barang kali sebentar lagi suruhan kami datang"
Ki Sarpa Laut menatap tajam pelayan itu sambil menggeram,
Di sisi lain tiba-tiba Ki Mina Upas meloncat lalu mencengkeram lengan baju pelayan itu sambil mengumpat-umpat
"Iblis tak tau di untung..!! Kau bilang sebentar lagi padahal kami sudah sedari tadi duduk di sini, kau mempermainkan kami he?!"
Lalu di lemparkannya pelayan itu kesamping hingga tubuhnya terjungkal menimpa beberapa meja di sana.
"Maaf tuaaann maafkan kami, kami tidak bermaksud mempermainkan tuan"
Wajah pelayan itu pun semakin memucat
Di sudut ruangan Raden Pamungkas hanya dapat menarik nafas dalam dalam kemudian berdesis dalam hati, seakan-akan ucapannya itu di tujukan kepada pelayan itu,
"Maafkan aku kisanak, bukannya aku berdiam diri, karna belum saatnya aku beetindak"
Demikianlah apa yang ada dalam benak Raden pamungkas adalah ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang tadi di perbincangkan kedua Bajak Laut tersebut, karnanya dia harus menghindari benturan-benturan yang di rasanya tidak terlalu berarti,
Sesaat kemudian terdengar suara Ki Sarpa Laut yang bergetar menahan kemarahannya.
"Pelayan dungu..!! Kau telah menghilangkan selera makan kami maka kau harus menanggung akibatnya"
Kemudian di obrak-abriknya apa-apa yang ada di dalam kedai tersebut sambil melangkah keluar, namun sebelum keluar di hampirinya pelayan itu lalu meraih lehernya sebelum dihempaskan ke lantai.
"Kau sedang bernasib baik pelayan dungu, karna aku sedang berbaik hati dan tidak sedang ingin membunuh orang" geram ki Sarpa Laut,
Lalu keduanya melangkah meninggalkan pelayan itu menuju pintu kedai,
Sambil melangkah ki Mina Upas pun sempat melototkan matanya kearah Raden Pamungkas sambil mengumpat pula,
"Setan alas..!! Apa yang kau lihat he?!"
Namun Raden Pamungkas tidak menghiraukannya'
Sejenak setelah kedua Bajak Laut itu jauh meninggalkan kedai itu, Raden Pamungkas beringsut dari tempat duduknya, kemudian berdiri dan berjalan menghampiri pelayan yang masih terduduk di tanah dengan gemetar itu.
"Kau tidak apa-apa kisanak?" bertanya Raden Pamungkas
"Seperti yang tuan liat, mungkin ini hari naas bagi kami, sementara pemilik kedai ini sedang tidak disini" desis pelayan itu memelas.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Raden Pamungkas lalu berkata,
"Besabarlah kisanak, terimalah ini, mungkin ini sedikit bisa mengurangi kerugian kalian hari ini"
Demikian Raden Pamungkas mengambil satu kampil uang dari beberapa kampil dibalik bajunya dan menyodorkan kepada pelayan kedai itu
Sehingga pelayan itu menjadi bingung,
"Jangan tuan, ini bukan salah tuan, kenapa tuan justru memberikan ganti rugi?"
"Sudahlah, terima saja, aku mohon diri, masih banyak hal yang aku kerjakan hari ini"
Dengan tidak mengulang kata-katanya kembali Raden Pamungkas pun pergi meninggalkan kedai itu. Sementara pelayan itu hanya beranjak berdiri termangu-mangu kemudian singkat berdesis,
"Orang baik"
Kemudian daripada itu Raden Pamungkas berniat mengikuti kemana kedua orang Bajak Laut itu pergi, namun setelah sampai di luar kedai, kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi.
"Aku kehilangan jejaknya.." desisnya.
***
Jalan pedukuhan menuju banjar desa itu terlihat begitu sepi, hampir tak satupun terlihat orang nampak di sepanjang jalan itu, bahkan pintu-pintu juga jendela rumah pendudukpun tertutup rapat, padahal senja belum lama berlalu.
"Aneh, malam baru saja mulai, tapi suasana pedukuhan ini begitu lengang"
Raden Pamungkas masih berjalan di atas punggung kuda menuju banjar pedukuhan untuk sekedar menumpang bermalam sebelum melanjutkan perjalanannya, namun benaknya terusik untuk lebih mengetahui tentang apa yang di dengarnya dari kedua Bajak Laut sewaktu di kadai tadi. hingga penuh pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak dalam hatinya.
"Tujuan Bajak Laut itu sedikit banyak aku sudah mengerti, lalu siapakah kelompok orang-orang yang mengaku para trah keturunan Prabu Brawijaya itu? Lalu tujuan pertemuan di perbukitan di Cemoro sewu itu?, lalu siapakah orang yang paling berperan dari kelompok itu?, rasa-rasanya semuanya masih gelap"
Demikian pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya itu tiba-tiba muncul, sehingga hasrat keingin tahuan nya menjadi begitu dalam.
"ah, mudah-mudahan aku dapat mengetahui hal ini dengan jelas, jika benar, tentu aku tidak akan membiarkannya, orang boleh-boleh saja mengaku-ngaku trah Majapahit, namun sangatlah naif jika ingin kembali mengungkit kejayaan Majapahit di jaman yang sudah berbeda ini, apapun dan siapapjun yang mengendalikan tanah ini, menurutku sah-sah saja, karna yang terpenting sesungguhnya terciptannya kedamaian, ketentraman, untuk kemakmuran semua orang, dan terciptanya tatanan hidup dalam paugeran-paugeran yang tidak melanggar kehendak Yang maha Agung"
Sesaat kemudian setelah mendekati sebuah banjar pedukuhan itu, dengan serta merta Raden Pamungkas terpaksa menghentikan langkahnya,
Lima orang pemuda yang tidak lain anggota para pengawal pedukuhan itu dengan bersenjata terhunus telah menghadang perjalanannya,
"Berhenti..!! turun dari kudamu dan katakan siapa kamu, lalu apa tujuanmu sampai kemari?!"
Berkata seseorang yang terlihat sebagai pemimpin para pemuda itu, sambil memandang penuh kecurigaan.
Raden Pamungkas kemudian berhenti lalu turun dari punggung kudanya, sesaat setelah membukukkan badan lalu berkata,
"Maaf kisanak sekalian, jika kedatanganku di sini mungkin mengganggu, sebenarnyalah aku hanya ingin menumpang lewat atau barangkali jika di perkenankan menumpang istirahat barang semalam di banjar itu sebelum besok aku melanjutkan perjalanan"
"Baiklah kisanak, kami akan membawamu ke banjar, bukan sebagai tamu, tapi sbagai tawanan"
"Tawanan?", desis Raden Pamungkas heran.
"Aku tidak mengerti, bukankah aku tidak melakukan sesuatu yang merugikan di sini?"
"Sudah jangan banyak bicara, menyerahlah jikaa kau tak ingin mendapatkan kesulitan... ikat dia..!!"
Kemudian para pemuda itu mendekati Raden Pamugkas yang memang tidak melakukan peelawanan lalu mengikat kedua tangannya di belakang, setelah itu mereka membawanya rame-rame menuju halaman banjar pedukuhan tersebut.
Hingga kedatangannya itu menarik banyak perhatian bebrapa orang yang berkumpul di situ, lalu berkerumun menghampiri Raden Pamungkas yang dalam keadaan terikat itu.
"Kita hajar saja rame-rame..!!"
"Bunuh saja!!"
"Kita ikat saja di tiang!!"
"Bunuh!!"
Demikian suara-suara bersahutan datang dari beberapa orang pemuda pengawal pedukuhan itu, bahkan salah seorang yang bertubuh gemuk sempat melayangkan sebuah pukulan ke arah Raden Pamungkas,
"Berani kau mengacau tempat kami he!!, ayo katakan di mana kau simpan para gadis yang kalian culik?!..Plakk!!" Satu lagi tamparan mendarat di wajah Raden Pamungkas.
"Gila, orang-orang di sini begitu ganas" sesis Raden Pamungkas dalam hati
"Ayo katakan dimana kau sembunyikan adikku..!!"
Satu lagi seorang pemuda bertubuh tegap dengan mengguncang-guncang tubuh Raden Pamungkas, sebelum sebuah suara terdengar dari arah pendapa pedukuhan itu.
"Berhenti..!! Apa yang kalian lakukan? Kalian tidak boleh main hakim sendiri!!"
"Ki jagabaya.." desis salah seorang dari pemuda itu.
Kemudian daripada itu Ki Jagabaya maju menyibak kerumunan para pemuda itu, sehingga mendapati Raden Pamungkas yang masih saja terdiam,
Dengan nada yang sedikit berat suaranya lalu terdengar,
"Anak muda, siapa namamu?, Lalu apa yang kau lakukan sehingga para pengawal itu menangkapmu?" bertanya ki Jagabaya,
Untuk beberapa saat Raden Pamungkas masih terdiam, sebenarnyalah sebagai seorang pemuda darahnya terasa mendidih oleh perlakuan para pengawal pedukuhan itu,
Tanpa suatu sebab yang pasti dirinya telah di ikat dan di arak layaknya pencuri yang tertangkap basah menjalankan aksinya.
Namun tempaan kejiwaan yang di terima nya selama ini membuat dia mampu mengendapkan segala amarah yang kadang mampu membuat orang lupa diri itu, demikian setelah diam sesaat Raden Pamungkaspun berkata,
"Mungkin Ki Jagabaya sebaiknya bertanya kepada pemimpin pengawal pedukuhan itu, seperti Ki Jagabaya aku juga ingin bertanya kenapa saya di perlakukan seperti ini, karna sebenarnyalah aku tidak tau"
Jawaban Raden Pamungkas itu seketika membuat Ki Jagabaya termangu mangu, kemudian sambil mengedarkan pandangannya berkeliling, suaranyapun terdengar memanggil nama seseorang,
"Jito..kesini kau"
Seorang pemuda bertubuh tegap maju ke depan,
"Saya ki Jagabaya"
"Apa yang di perbuat pemuda itu sehingga harus di tangkap?!"
Jito pun termangu-mangu karna tidak tau apa yang harus di katakannya
"Jito, jawab pertanyaanku kenapa pemuda itu harus kau tangkap..!!"
Tiba tiba suara ki Jagabaya meninggi,
"Maafkan saya Ki, sebenarnya pemuda itu belum berbuat apa-apa, kami menangkapnya karna kami curiga pemuda itu salah satu kawanan dari gerombolan orang yang telah menculik para gadis-gadis pedukuhan"
Jantung Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar ketika Jito menyebut hilangnya para gadis pedukuhan, benaknya langsung menghubungkan apa yang di dengarnya itu dengan apa yang terjadi tadi siang dikedai itu.
"Rupanya apa yang di katakan ki Sarpa Laut kepada saudara mudanya tadi tidak sekedar bergurau, di mana ki Sarpa Laut ingin menculik gadis sebanyak banyaknya di pedukuhan ini, atau mungkin juga di pedukuhan lain" desisnya dalam hati.
"O, jadi atas dasar curiga kau tangkap pemuda itu!?, bahkan kalian telah menjatuhkan tangan pula?"
Ki Jagabaya dengan tajamnya memandang berkeliling pada para pengawal pedukuhan itu,
Semuanya hanya diam sambil menundukkan kepalanya,
Kemudian ki Jagabaya kembali menghampiri Raden Pamungkas, lalu melepaskan ikatan di kedua tangannya,
Sebagai seorang yang telah banyak melalui persoalan-persoalan seperti itu, naluri ki Jagabaya yang tajam itu dapat merasakan tatapan mata pemuda itu bukan tatapan mata seseorang yang suka bergelut dengan dunia hitam,
"Maafkan kami anak muda, sungguh kami telah kehilangan nalar hingga melakukan sesuatu yang tidak semestinya terhadapmu" berkata kemudian ki Jagabaya,
"Tidak mengapa ki, aku paham dengan apa yang sedang menimpa padukuhan ini"
"Kau paham dengan apa yang terjadi di sini?"
demikian seakan-akan ki Jagabaya menjadi heran
Raden Pamungkas mengalihkan pandangannya ke rimbun pepohonan yang ada tepian halaman banjar itu, lalu menengadah ke langit malam yang terlihat terang oleh cahaya bulan yang bulat, setelah menarik nafas dalam-dalam kemudian berkata,
"Ki Jagabaya, bolehkah aku sekedar singgah barang satu malam di sini? Sebelum besok aku melanjutkan perjalananku"
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak mendengar apa yang dikatakan pemuda itu, sebagai orang yang punya ketajaman hati, dia tau bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan pemuda itu dalam suasana yang lebih tenang.
"O, baiklah, marilah, kebetulan di sana juga ada beberapa tamu pengembara yang singgah, bahkan kepala dukuh dan ki bekel juga ada disana"
Demikianlah keduanya lalu berjalan menuju ketempat yang di maksudkan.
Sementara para pemuda pengawal pedukuhan itu kembali pada tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan yang pada hari-hari terakhir sedang terusik.
Seperti yang di katakan ki Jagabaya, sebenarnyalah di pendapa yang memang di sediakan untuk beristirahat itu memang ada beberapa orang yang sudah duduk sambil berbincang, duduk di tikar pandan itu beberapa orang lelaki yang rata-rata sudah berusia lebih dari setengah abad, juga seorang gadis dewasa yang berwajah cantik dengan kulit langsat, pandangan mata yang bulat itu membuat gadis cantik itu terlihat anggun.
Lalu beberapa saat kemudian ki Jagabaya beserta Raden Pamungkas memasuki pendapa itu pula,
"Apa yang terjadi ki Jagabaya? dan siapakah pemuda itu?"
"Hanya sebuah kesalahpahaman ki bekel, dan mengenai pemuda ini akupun belum mendapatkan sesuatu yang terang siapakah adanya"
"Marilah anak muda" kata ki Jagabaya kemudian.
Raden Pamungkas pun mengangguk hormat pada orang orang yang ada di pendapa itu kemudian duduk sambil menyandarkan punggungnya pada tiang penyangga pendapa tersebut.
Ada desir aneh dalam hati Raden Pamungkas ketika memandang satu-satunya perempuan yang ada di situ, desiaran yang sesungguhnya pelum pernah di alaminya selama ini.
Sesaat pandangan mata mereka beradu, kemudian secara bersamaan menundukkan kepala mereka masing-masing
Ki Puguh Bekti, demikian nama kepala pedukuhan itupun berkata,
"Baiklah, sebelum aku bertanya lebih jauh, aku ingin tau siapakah kisanak muda ini, dan darimanakah hingga malam-malam seperti ini berada di pedukuhan ini?"
"Ki Puguh Bekti, demikian namaku adalah Warih, Jaka Warih"
Sesaat Jaka Warih, demikian Raden Pamungkas mengaku, membenahi letak duduknya sebelum melanjutkan ucapannya,
"Sebenarnya pula aku memang dalam perjalanan pulang ke Pakuwon, sebuah pedukuhan di sebelah selatan gunung Merapi, setelah sekian lama aku mengunjungi kerabat kami di panaraga, sesampainya di sini sebenarnyalah aku hanya mau numpang menginap di banjar ini barang semalam, sebelum terjadi kesalah pahaman tersebut"
Kemudian Jaka Warih diam sesaat untuk menghela nafas dalam-dalam lalu kembali berucap,
"Sudahlah ki, akupun sudah melupakan kesalahpahaman itu, justru aku berterima kasih jika ki sanak sekalian sudi menerima aku di sini"
Ki Puguh Bekti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mendengarkan apa yang di katakan Jaka Warih, demikian juga orang-orang yang berada di pendapa itu, hanya gadis itu yang terlalu banyak menundukkan kepalanya walau sekali-sekali memandang ke arah Jaka Warih kemudian menunduk kembali.
"Angger Jaka Warih" Demikian ki Jagabaya berkata,
"Sebenarnya perangai penghuni pedukuhan ini terutama para pemudanya tidak seburuk apa yang kita lihat saat ini, sebelum sesuatu telah menimpa pedukuhan kami"
"Apa yang terjadi ?" tanya Jaka Warih.
Sejenak kemudian ki Jagabaya memalingkan pendangannya ke arah ki Puguh Bekti, juga ki Bekel, seakan-akan meminta pendapat kedua tetua itu, dan setelah keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya, ki Jagabaya pun melanjutkan...
"Baiklah, aku akan bercerita secara singkat,.... Angger Jaka Warih, sebenarnyalah pedukuhan ini tergolong pedukuhan yang boleh dibilang aman, jauh dari segala persoalan yang membuat orang selalu dalam kecemasan dan ketakutan"
Ki Jagabaya sejenak membenahi letak duduknya sebelum melenjutkan ceritanya,
"Namun beberapa bulan lalu, entah kenapa tiba-tiba pedukuhan ini banyak di singgahi oleh kelompok-kelompok perguruan yang entah darimana datangnya secara silih berganti, mereka hanya singgah, lalu pergi ke suatu tempat yang kemudian aku tau konon mereka menuju perbukitan di sekitar Cemoro Sewu, namun aku tak tau apa tujuan pertemuan itu"
"Lalu apa hubungannya dengan pedukuhan ini ki Jagabaya?" sela Jaka Warih
"Sebenarnyalah tidak ada ngger, mereka datang bergantian hanya singgah, kamipun tidak terusik karna mereka tidak sekalipun mengganggu ketentraman kami di sini, walau kadang ada satu dua kali perselisihan diantara mereka hingga mengakibatkan perkelahian yang terjadi di sekitar wilayah ini"
Semua yang ada di pendapa itu dengan seksama mengikuti peristiwa yang di ceritakan ki Jagabaya tersebut, bahkan bergantian mereka terlihat mengangguk anggukkan kepalanya.
"Lalu kecemasan itu datang menghantui pedukuhan ini,.. sejak lima hari yang lalu datang pula dua orang berilmu sangat tinggi, mereka terang-terangan melakukan perbuatan yang membuat kami selalu dicekam dalam kecemasan, satu hal yang paling membuat kami di cekam rasa ketakutan dalam kecemasan adalah kegemarannya menculik gadis-gadis yang menurut orang itu akan di jadikannya selir"
Meremang bulu kuduk satu-satunya perempuan yang ada dalam pendapa itu, sebelum beringsut dari duduknya lalu bersembunyi di balik punggung orang tua yang duduk di sebelahnya.
"Ki Jagabaya, apakah selama ini tidak ada satupun orang yang mencoba menghentikannya?" bertanya Jaka Warh kemudian.
"Pernah ngger, tapi kedua orang itu ilmunya sangat tinggi, bahkan orang yang berusaha melawan mereka itu di binasakan"
Jaka warih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keganasan dua orang yang tak lain dua bajak laut yang dintemuinya di kedai siang tadi,
"Siapakah orang yang dibinasakannya itu?" kembali Jaka Warih bertanya
"Sama seperti yang lainnya dia akan menuju Cemoro Sewu, aku tidak begitu mengenal orang itu, namun aku akui orang itu sebenarnyalah juga berilmu sangat tinggi, aku sendiri menyaksikan pertarungan itu, namun kedua orang ganas itu mengeluarkan ilmu yang sangat aneh"
"Aneh?" desis Jaka Warih
"Ya, bahkan sangat aneh menurut pengenalanku,.. Pada babak akhir dari pengetrapan puncak ilmnya, mereka mampu mengungkapkan hawa dingin yang luar bisa, kemudian entah dari mana datangnya muncul butiran-butiran putih yang sangat lembut menyelimuti tubuh lawannya hingga membeku sebelum satu pukulan mematikan menghancurkan tubuh lawannya itu"
Jaka Warih nampak berkerut lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sambl bicara pelan kepada dirinya sendiri,
"ilmu Inti Es?? ya menurut yang aku dengar dari Eyang Windujati ilmu itu berasal dari negeri sebrang, tapi dari mana Bajak Laut itu mendapatkan ilmu itu?"
Namun daripada itu, belum usai Jaka Warih mengingat-ingat apa yang pernah di katakan kakeknya tentang ilmu yang mirip ilmu yang di keluarkan kedua Bajak Laut itu, tiba-tiba telah terjadi keributan di halaman banjar,
Sekali-sekali terdengar suara tertawa, suara mengumpat, juga sekali-sekali terdengar suara teriakan kesakitan dari para pengawal padukuhan itu.
"Apa yang terjadi di luar itu?" desis ki Puguh Bekti
Ki Jagabaya segera berdiri dari duduknya di susul semua orang yang ada di pendapa tersebut.
Namun sebelum ki Jagabaya beringsut, tiba-tiba menyelonong masuk seorang perempuan muda, yang serta merta bersimpuh dan memeluk kedua kaki ki Jagabaya,
Tubuh perempuan muda itu gemetar hebat dan terlihat ketakutan dengan wajah yang sangat pucat,
Dengat mata membasah deras kebudian perempuan itu berkata dengan terbata-bata,
"Tolong aku ki, tolong... aku takut aku tak mau di bawa Bajak Laut itu,."
sesaat terdiam, perempuan muda itu pingsan.
"Bajak Laut? dia pulakah yang saat ini membuat onar di luar itu?"
Desis ki Jagabaya.
Kemudian daripada itu suasana di dalam pendapa pedukuhan induk itupun menjadi semakin resah, lalu beberapa orang serta merta membawa perempuan muda yang pingsan itu masuk ke dalam gandok belakang atas perintah Ki Puguh Bekti kepala pedukuhan itu.
Seorang tamu banjar yang telah berusia agak lanjut seketika berjalan mendekati ki Puguh Bekti kemudian berkata lirih,
"Ki Puguh, bolehkah aku mohon ijin agar anak perempuanku itu memasuki gandok?"
Sesaat ki Puguh Bekti memandang ke arah tamunya itu, dia mengerti memang seharusnya gadis itu lebih baik bersembuyi juga di dalam gandok demi keselamatannya, kemudian setelah menarik nafas panjang ki Puguhpun menganggukkan kepalanya,
"Baiklah ki, silahkan, memang lebih baik anak gadismu itu berada di dalam gandok"
"Terima kasih ki" jawab tamu itu seraya berpaling ke arah anak gadisnya,
"Laras, masuklah ke gandok itu.."
"Tapi ayah,.."
"Sudahlah, jangan banyak tanya, cepatlah masuk ke sana" potong ayahnya.
Sementara gadis justru termangu-mangu, kemudian sekilas memandang kearah Jaka Warih yang kebetulan juga memandangnya, dengan muka bersemu merah diapun kembali menundukkan wajah seraya beranjak menuju gandok yang di maksudkan.
Namun belum sempat gadis itu beranjak, dua orang bertampang sangar tau-tau sudah berdiri berkacak pinggang di muka pendapa yang memang tidak berpintu itu,
Dua orang yang berpakaian serba hitam itu menatap tajam kepada semua orang yang berada di dalam, kemudian dengan suara berat salah satu di antaranya berkata,
"Aku bertanya kepada kalian semua di sini..!! Siapa di antara yang paling berwenang di sini.. Jawab..!!"
Semua orang yang ada didalam pendapa itu semakin berdebar-debar, hingga belum satupun di antara mereka yang menjawab pertanyaan itu, sehingga kedua orang yang datang itu menjadi semakin marah.
"Braakkk..!! Aku ulangi sekali lagi, siapa Kepala Pedukuhan di sini..?!"
Berkata orang itu sambil tangannya memukul satu tiang penyangga bangunan pendapa itu hingga patah berantakan sehingga ujung atap bagian bawah pendapa itu terlihat menurun.
"Luar biasa tenaga Bajak Laut itu, tiang jati sebesar itu sekali pukul patah berantakan", desis Jaka Warih dalam hati.
Kemudian dengan hati berdebar-debar Ki Puguh Bekti sebagai orang yang paling bertanggung jawab di pedukuhan itupun serta merta maju menemui kedua Bajak Laut tersebut,
"namaku Puguh Bekti, akulah kepala pedukuhan ini ki sanak"
"Bagus..." potong Bajak Laut itu, "aku tidak akan bertele-tele, cepat serahkan calon permaisuriku, perempuan yang tadi masuk ke pandapa ini, sebelum aku tumbangkan seluruh bangunan di banjar ini..!!"
"Tapi bukankah gadis itu salah seorang penduduk pedukuhan ini?" kata ki Puguh Bekti
"Peduli setan..!! Siapapun perempuan itu, mau dia penduduk pedukuhan ini, mau dia gadis, janda, sekalipun sudah bersuami jika aku berkehendak mereka harus patuh"
Kemudian Bajak Laut itu melayangkan pandangan matanya ke seluruh pendapa itu hingga terhenti pada sosok perempuan muda yang berdiri di belakang punggung orang yang sudah berusia agak lanjut, gadis itu tidak lain adalah Larasati, satu-satunya tamu wanita yang berada di pendapa tersebut.
Sorot mata Bajak Laut itu begitu mengerikan dalam pendangan Larasati, yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat, sehingga tubuhnya semakin menggigil di balik punggung ayahnya.
"Cepat serahkan perempuan yang aku cari itu..!! berikut gadis yang berada di punggung kambing tua itu"
bentak Bajak Laut yang bertubuh kekar yang tidak lain adalah ki Sarpa Laut itu.
"Jangan begitu kisanak, tidak baik memaksakan kehendak seperti itu"
Terdengar suara ki Jagabaya
"Siapa kau iblis..!! Berani sesorah dihadapanku"
"Aku Jagabaya disini kisanak, bukan iblis seperti yang kau kira"
Sebenarnyalah ki Jagabaya sedikit tersinggung mendengar ucapan Bajak Laut itu, meskipun ia tau tidak mungkin baginya untuk melawan.
"Setan kau berani berani bergurau di depanku.. baiklah jika kau Jagabaya di sini kau mau apa jika aku ingin membawa gadis itu suka ataupun tidak suka..!!"
Dalam pada itu Jaka Warih yang sedari tadi hanya diam, semakin lama menjadi semakin mual mendengar tingkah laku kedua Bajak Laut itu,
Karnanya diapun serta merta berbicara.
"Ki Sarpa Laut yang perkasa, memang ki Jagabaya adalah orang yang bertanggung jawab tentang keamanan di pedukuhan ini, tapi tentang gadis yang berdiri di belakang orang tua itu, bukanlah sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya"
"Apa maksudmu anak iblis..!! he, "
Kemudian Bajak Laut bermata juling itu serta merta maju sambil memiring-miringkan kepalanya seakan berusaha mengenali pemuda yang berbicara di hadapan ki Sarpa Laut.
"Kakang, bukankah anak iblis ini yang kita jumpai di kedai siang tadi?"
Ki Sarpa Laut tidak mempedulikan pertanyaan saudara mudanya itu, namun diapun ingat pamuda itulah yang berada di kedai tadi siang.
"He anak iblis, kau kah yang berada di kedai itu..?!"
"Ya, ternyata ingatanmu masih tajam ki Bajak Laut, ternyata di sana sini tabiatmu sama, kalian adalah perusak tatanan kehidupan"
"Kau terlalu sombong he, anak iblis..!! menyingkirlah sebelum ku lumatkan tubuhmu"
Jaka Warih yang sudah kehilangan kesabarannya melihat tingkah laku dan bicara Bajak Laut itu, menjadi semakin tidak telaten mengendapkan gejolah dalam darahnya.
Apa lagi ketika melihat Ki Sarpa Laut dengan tidak menghiraukan siapapun yang ada di pendapa, melangkah masuk dan berjalan ke arah Larasati yang semakin menggigil ketakutan.
Jaka Warihpun beringsut menghadang arah langkah Ki Sarpa Laut,
"Berhenti..!!"berkata Jaka Warih
"Kau mau apa anak iblis?!"
"Ki Sarpa Laut, jika kau menginginkan gadis itu, lewati aku dulu"
"Apa maksudmu anak iblis..?!"
"Gadis itu calon istriku..!!"
Dengan serta merta ki Sarpa Laut surut selangkah sambil menatap tajam ke arah Jaka Warih,
Tidak hanya itu, semua orang yang mendengar pengakuan Jaka Warih itu menjadi termangu-mangu seraya memandang ke arah Jaka Warih dan gadis itu secara nerganti-ganti.
Larasati yang mendengar kata-kata Jaka Warih itu mukanya menjadi seperti warna udang,
ada berbagai perasaan yang berjubel-jubel memenuhi rongga dadanya yang tak mampu dirasakanya dengan jelas.
Bahkan dalam hatinya Jaka Warih sendiripun menjadi bingung mengapa mulutnya berucap seperti itu padahal dia belum mengenal gadis itu, kecuali bertemu di pendapa ini, namun muncul perasaan aneh dalam hatinya yang tak dapat dihindarinya, ketika seseorang ingin mengambil gadis itu.
Kemudian terdengar kembali suara Ki Sarpa Laut,
"Jadi gadis itu calon istrimu?"
"Ya, dan sebagai seorang laki-laki kau tentu paham jika kau memang berambisi membawa pergi calon istri orang"
Jawab Jaka Warih singkat.
Kemudian ki Sarpa Laut itu tiba-tiba tertawa panjang, lalu pelan-pelan melangkah keluar pendapa tempat pertama kali dia datang.
"Jadi kau menantangku perang tanding he, anak sombong?!"
"Terserah menurut penilaian mu ki Sarpa, kita bermain jamuran pun boleh, lihatlah halaman banjar itu cukup terang oleh sinar bulan, mudah-mudahan aku dapat menemanimu bermain-main dengan baik"
"Baiklah aku tunggu kau di halaman banjar anak iblis..!! dan jangan kau sesali jika besok di matamu matahari tak terlihat terbit.."
Dengan muka merah padam menahan amarah, ki Sarpa Laut memutar tubuhnya sambil berlalu menuju halaman banjar pedukuhan itu di ikuti ki Mina Upas di belakannya.
bersambung
Lama saya berharap cerita mudanya Kiai Gringsing. Dan gaya serta alur cerita sungguh mengagumkan
BalasHapusSaya kebetulan mendapat link Gugat trahing Kesumo ini. Menarik sekali bisa tahu mudanya kiayi Grinsing, ada Kebo Kanigoro juga, trimakasih
BalasHapusSayang sekali...
BalasHapusBagian awal jilid 2 ini tidak terbaca..
Terimakasih sudah sudah mengenal masa muda Kiai Gringsing..
Bagaimana bisa mendapatkan halaman awal sampai pertengahan buku jilid 2 ini.
BalasHapusMaturnuwun..
Teks diblok saja seperti kalau mau dicopy
BalasHapusTerimakasih sobat...panduannya.
BalasHapusJadi tahu sekarang..
BalasHapusKiai Gringsing (Jaka Warih, Timur Pamungkas) sepantaran dengan Sultan Hadiwijaya (mas Karebet) juga sama2 trah Brawijaya.
Yg seusia juga dg Ki Gede Pemanahan, Ki
Jurumartani, Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Ki Gede Menoreh.