Jumat, 16 September 2016

Gugat Trahing Kusuma 8

GTK Buku VIII

Ki Dipasanjaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar apa yang diucapkan muridnya tersebut. Lalu berkata dalam hatinya,

"Hemm..anak itu pendiam, rendah hati akan tetapi begitu kukuh mempertahankan sesuatu yang perlu dipertahankan, termasuk keinginannya yang hidup bagai bayang-bayang, bahkan dengan Widuri pun dia tak mau membuka jati dirinya" --desis Ki Dipasanjaya dalam hatinya.

Lalu kepada Raden Pamungkas orang tua itupun berkata, katanya:

"Pamungkas, menurutku jauh sebelum mengenal Arya Salaka, anak gadis adi Kebo Kanigara itu sebenarnya menyukaimu ngger.." -- kata Ki Dipasanjaya yang serta merta meneruskan ucapannya ketika Raden Pamungkas hendak menjawab, -- "tentu saja suka bukan dalam arti antara pria dan wanita, karna waktu itu anak itu masih remaja"

Raden Pamungkaspun menarik nafas dalam-dalam seraya menjawab, -- "aku hanya menganggapnya seperti seorang adik guru" --Raden Pamungkas sedikit menyunggingkan senyum --"anak itu lincah, bicaranya sangat renyah meski sedikit nakal"

"Namun aku yakin anak itu tidak akan pangling padamu ngger...meskipun kau mengatakan kau bukan dirimu" -- sahut Ki Dipasanjaya

"Mungkin guru, namun biarlah, biarlah aku menjadi orang asing dimana satupun tak ada yang mengenali aku, kecuali, guru"

Ki Dipasanjaya kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "sudahlah ngger, jalanilah hidupmu dari apa yang kau pandang baik, aku sebagai orang tua hanya bisa berdoa untukmu"

"Terimakasih guru"

"Pamungkas...meski aku tau walau kau masih terbilang muda, dari sisi kejiwaanmu telah mencapai tataran yang jauh lebih tinggi dari usiamu, apa lagi kau sering bersama eyangmu selepas kau turun gunung"

"Tentu tidak hanya kepada eyang Windujati semata, akan tetapi gurupun telah mewarnai jiwaku dari segala petunjuk yang selalu aku ingat" -- sahut Raden Pamungkas.

Ki Dipasanjaya pun kemudian tersenyum seraya berkata, -- "rasa-rasanya saat ini aku seperti melihat kakang Windujati pada dirimu...diusiamu yang masih terbilang muda kau bagaikan lumbung dari segudang ilmu yang tidak dimiliki orang-orang sebayamu" --- Ki Dipasanjaya menarik nafas panjang lalu kembali berucap, -- "berhati-hatilah membawa diri ngger...karna semakin tinggi ilmu yang kau miliki, semakin tinggi pula tanggung jawab yang harus kau pegang"

"Trimakasih guru, aku akan selalu mengingat-ingat dan menjalankan segal petunjuk guru" -- desis Raden Pamungkas seraya menundukkan wajahnya.

Sesaat kemudian Ki Dipasanjaya mendongakkan kepalanya kelangit malam seraya berkata, --
"nampaknya malam akan semakin jauh, aku akan kembali kepedhukuhan induk untuk melihat perkembangan Ki Ageng Gajah Sora, apakah kau mau ikut denganku" -- berkata Ki Dipasanjaya seraya tersenyum.

"Ampun guru, saat ini aku tidak bisa ikut, ada sesuatu yang harus aku kerjakan"

"Kau mau kemana ngger?"

"Aku mau keluar dari tanah perdikan ini guru, sebelum malapetaka itu terjadi"

Ki Dipasanjaya pun mengerutkan keningnya, -- "malapetaka? apa maksudmu ngger?"

"Sekelompok orang yang mengaku orang-orang dari Goa Susuhing Angin akan mencegat rambongan prajurit Pajang yang tempo hari berada di tanah perdikan in"

"Goa Susuhing Angin?" -- desis Ki Dipasanjaya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Demikianlah guru, Goa Susuhing Angin yang konon ketuanya yang berjuluk Kyai Pager Wesi itu sangat mendendam terhadap Kanjeng Adipati Pajang, maka segala apa yang berhubungan dengan pajang akan dibinasakannya"

"Mungkinkah ada silang sengketa diantara Ki Pager Wesi itu dengan Adipati Pajang yang duku berjuluk Jaka Tingkir itu?"

"Entahlah guru aku juga kurang paham akan hal itu, namun yang terpenting bagiku adalah menggagalkan rencana mereka yang akan membantai rombongan prajurt Pajang itu, karna jika pembantaian itu berhasil tentu akan mempengaruhi perkembangan persoalan Demak yang semakin lama semakin keruh itu"

"Bukankah menurut yang aku dengar rombongan Prajurit itu dipimpin Ki Juru Mertani?"

"Memang guru, akan tetapi kelompok Ki Pager Wesi itu tentu tidak sendirian, tentu mereka akan mencegat kelompok prajurit itu bersama beberapa orang yang berilmu sangat tinggi, mereka sudah tau kalau Ki Juru Mertani ada diantara rombongan prajurit itu" .. Jawab Raden Pamungkas.

"Baiklah ngger, berhati-hatilah, niatmu untuk menghentikan orang-orang yang menjual trah Brawijaya demi sebuah ambisi mereka untuk mencapai kejayaan itu tentu akan menghadapkanmu pada persoalan yang teramat sulit, bahkan tidak menutup kemungkinan kau akan berhadapan dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan langka didunia ini.. apalagi aku mendengar para penerus perguruan yang sebenarnya masih satu jalur dengan perguruan kitapun banyak yang tersesat, dan tergelincir pada persoalan perebutan untuk memegang kekuasaan ditanah jawa ini" -- ucap Ki Dipasanjaya.

Raden Pamungkas mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, sebelum kembali terdengar suara gurunya yang kadang suka bercanda itu,

"Pamungkas, sebelum aku pergi aku mau menanyakan sesuatu padamu" -- berkata Ki Dipasanjaya.

"Silahkan guru, mudah-mudahan aku mampu menjawabnya"

Ki Dipasanjaya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali tersenyum, -- "tentu kau mampu menjawabnya ngger.."
-- katanya kemudian, -- "aku hanya ingin bertanya berapa nama yang kau miliki sampai sekarang?" -- kata Ki Dipasanjaya.

"Ahh..." -- desis Raden Pamungkas seraya tersenyum pula, --
"aku hanya meniru guru yang juga suka berganti nama" -- jawab Raden Pamungkas.

Ki Dipasanjaya tertawa lebar lalu kembali berkata, -- "baiklah ngger, aku hanya memberimu satu masukan perihal nama-nama itu, dan menurutku paling tepat kau memakai nama seperti corak kain kesukaanmu itu....Kain Gringsing, mungkin Jaka Gringsing atau apa"

Raden Pamungkas menjadi termangu-mangu mendengar perkataan gurunya tersebut, bahkan tiba-tiba saja terbesit kesukaan dengan nama Gringsing itu muncul dari lubuk hatinya...

"Kenapa kau melamun ngger.." -- kata Ki Dipasanjaya.

"tidak guru..., aku suka dengan nama yang guru berikan itu" -- desis Raden Pamungkas.

"Baiklah ngger, aku pergi dulu, kau hati-hatilah" -- berkata kemudian Ki Dipasanjaya.

Akan tetapi suara Raden Pamungkas, menghentikan langkah orang tua itu, -- "guru, sebenarnya ada satu hal penting bagiku untuk memohon petunjuk walau hanya beberapa patah kata"

"Katakanlah ngger, mudah-mudahan aku bisa mengabulkan permintaanmu"

"Sebelum aku pergi dari lereng gunung Semeru disaat aku berkunjung menjenguk eyang Windujati, eyang telah memberikan petunjuk dasar dalam memahami sebuah ilmu yang menurut eyang bernama Aji Kidang Melar, apakah guru juga memahami ilmu itu?" -- bertanya Raden Pamungkas.

"Aji Kidang Melar?" -- Ki Dipasanjaya kemudian tersenyun dan berkata, -- "rupanya kau ingin berpacu melawan kuda ngger... tapi baiklah aku akan berusaha melengkapi keterangan dari eyangmu itu"

Semikianlah Ki Dipasanjaya menunda waktunya sebentar untuk kembali ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru, secara rinci Ki Dipasanjaya kemudian memberikan petunjuk pelengkap tentang ilmu yang kini sedang dipahami Raden Pamungkas tersebut. Satu demi satu mulai dari laku hingga pengungkapan tenaga cadangan untuk mengurai ilmu Kidang Melar itu didengarkan dengan seksama, hingga lambat-laun Raden Pamungkas memahami petunjuk-petunjuk gurunya sebagai pelengkap dasar petunjuk yang diberikan mpu Windujati beberapa bulan yang lalu.

Demikianlah setelah semuanya dianggap selesai, kedua guru dan murid itu berjalan berpisah untuk menyelasaika urusan masing-masing. Ki Dipasanjaya pun berjalan menuju pesukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru, Sementara Raden Pamungkas berjalan menuju ke arah timur mengikuti jejak perjalanan Ki Juru Mertani bersama rombongan prajurit Pajang yang dipimpinnya.


Suasana malam di banjar kademangan Ngampel itu tak seramai malam-malam seperti basanya. Terlebih serombongan prajurit Pajang yang singgah dan beristirahat dibanjar itu sedikit banyak telah membuat paa penghuni rumah induk kademangan menjadi sibuk. Bahkan Ki Demang pun dengan tergopoh-gopoh datang sendiri untuk memimpin acara penyambutan itu, meskipun dalam ketidaksiapan semuanya.

Ki Juru Mertani yang berkuda paling depan itu kemudian berpaling kearah perwira prajurit lalu sejenak mwnghentikan laju kudanya,

" Ki Lurah Upasanta, malam nampaknya telah semakin larut, lebih baik kita menginap dibanjar kademangan itu, sebelum besuk  mataharti muncul kita akan lanjutkan pejalanan"  -- kata Ki Juru Mertani, sebelum Ki Demang Ngampel mendatanginya.

Ki Lurah Upasanta mengangguk-anggukkan kepalanya, namun tidak sempat menjawab ketika Ki Demang telah berada didekat mereka,

"Sungguh satu kehormatan tuan-tuan sekalian telah datang di kademangan kami, mari, silahkan.." -- kata Ki Demang Ngampel

Ki Juru Mertani kemudian tersenyum lalu menjawab, -- "trimakasih kisanak, kami ingin bertemu kepala kademangan ini"

"Saya kepala kademangan Ngampel ini tuan-- jawab orang itu.

"O, trimakasih Ki Demang, maaf aku tidak tau, ternyata aku berbicara dengan Ki Demang sendiri" -- berkata Ki Juru kemudian.

Tak lama kemudian Ki Juru Mertani beserta rombongan prajurit Pajang itupun memasuki halaman banjar. Dan ternyata halaman banjar kademangan itu cukup luas bahkan ruang pendapa juga cukup lebar menampung rombongan Prajurit yang berjumlah sekitar tigapuluh orang tersebut.

"Ki Demang.." -- berkata Ki Juru kemudian, -- "kedatangan kami kemari hanya untuk meminta ijin singgah barang semalam di kademangan ini"

"Marilah, aku persilahkan kisanak sekalian.." -- jawab Ki Demang seraya tersenyum , lalu melanjutkan ucapannya, -- "cuma beginilah keadaan kami tuan.

"Ah, jangan panggil tuan Ki Demang, namaku Martani,..dan kawanku ini bernama Upasanta, Ki Lurah Upasanta" --  tukas ki Juru.

"Ki Juru Mertani.." -- desis Ki Demang seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikianlah Ki Demang pun memerintahkan para pegawai kademangannya untuk menyiapkan  tempat yang akan digunakan para prajurit Pajang tersebut untuk beristirahat. Sementara para prajurit itu  serta merta menuju tempat peristirahatan yang telah disiapkan, sehingga rasa lelah yang dirasakannya dalam perjalanan itu seakan-akan tak mampu menahan kekantukan mata mereka yang tiba-tiba saja mendera.
Akan tetapi rupanya di pringgitan bangunan induk kademangan itu Ki Juru Mertani dan Ki Lurah Upasanta masih terlihat berbincang-bincang bersama Ki Demang ditemani beberapa bekel dipedukuhan terdekat.

"Sungguh kami tak mengira ternyata kademangan ini telah kedatangan serombongan prajurit dari pajang" -- Kata Ki Demang.

"Sebenarnyalah ki Demang, sesungguhnya kami akan kembali ke kota raja, selepas menjalankan titah kanjeng Adipati untuk datang ke Tanah Perdikan Banyubiru" -- "jawab Ki Juru,  --- "dan semoga kedatangan kami tidak membuat kademangan ini menjadi terganggu" -- lanjutnya.

"tentu tidak Ki Juru, sebaliknya justru kami senang bisa membantu Pajang walau cuma sebuah pelayanan yang tak berarti ini" --desis Ki Demang.

Ki Juru Mertani mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menarik nafas panjang-panjang, lalu kembali berucap, -- "apapun yang ki demang berikan kepada kami saat ini tentulah sangat berarti bagi kami, dan atas nama prajurit pajang kami akan selalu mengingat kebaikan ki Demang sekarang ini"

Dalam pada itu malam yang semakin lama semakin larut itu seakan-akan berhembus angin sejuk diseluruh penjuru sudut bangunan induk kademangan tersebut. Hawa yang sebelumnya sedikit gerah tiba-tiba saja menjadi nyaman seakan-akan tertiup angin sejuk yang berhembus tanpa henti.
Sesaat kemudian Ki Juru Mertani mengerutkan keningnya demi melihat Ki Demang juga para bekel itu tiba-tiba saja tertidur lelap dengan punggung mereka yang bersandar didinding-dinging ruang pringgitan itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi Ki Juru merasakan ada sesuatu yang tidak semestinya tiba-tiba merubah suasana di kademangan tersebut, tiupan hawa angin yang terasa nyaman itu telah menggelitik mata batinnya sehingga serta merta diapun menggamit Ki Lurah Upasanta yang hampir saja tertidur pula,

"Ki Lurah..!! waspadalah, pusatkan nalar budimu sesaat dan rasakan apa yang telah terjadi" -- desis Ki Juru.

Ki Lurah Upasanta pun menjadi tergagap sesaat, lalu serta-merta mengikuti apa yang dikatakan Ki Juru kepadanya,  -- "sirep..ki Juru" -- desis Ki Lurah Upasanta.

Ki Juru Mertani pun mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "waspadalah ki Lurah, sepertinya akan ada yang datang malam ini"

Begitu kuat daya aji sirep yang melanda rumah Ki Demang Ngampel itu, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama suasanapun menjadi bertambah hening, tak satupun orang yang berada dirumah ki Demang itu mampu manahan berat kantuk yang melanda mata mereka, bahkan seluruh rombongan prajurit Pajangpun kecuali Ki Juru Mertani dan Ki Lurah Upasanta semuanya telah terbuai dalam mimpi yang bagai tak berujung.

"Ki Juru, apakah akan kita bangunkan para prajurit itu?" - desis Ki Lurah Upasanta seraya meminta pendapat.

"Tunggu dulu Ki Lurah, kita lihat dulu apa yang akan terjadi" -- jawab Ki Juru. Yang kemudian pandangan matanya yang tajam menangkap tiga sosok bayangan yang berdiri di halaman banjar yang tak jauh dari tempat mereka berada.

"Apakah kau melihat tiga bayangan itu Ki Lurah?" -- desis Ki Juru.

Ki Lurah pun serta merta memicingkan matanya mempertajam pandangannya ke arah halaman banjar kademangan itu,
"Aku melihatnya Ki Juru.." -- sahut Ki Lurah

"Biarkan saja, kita tunggu apa yang akan mereka lakukan" -- tukas Ki Juru.

Sementara itu ketiga bayangan manusia ditengah halaman banjar tersebut terlihat berbincang-bincang diantara mereka. Tiga orang yang tidak lain adalah Jalak Kepik dan Tapak Liman yang datang bersama guru mereka. Ki Ajar Wulungan.

"Guru, nampaknya sudah tidak ada barang satu manusiapun mampu membuka matanya" -- berkata Jalak Kepik seraya berpaling ke arah gurunya.

Ki Ajar Wulunganpun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa kecil. Orang tua itu merasa bangga oleh kekuatan aji sirepnya yang luar biasa itu,
"Jalak Kepik dan kau Tapak Liman, periksalah kedalam, jika masih ada yang terjaga bunuh saja..!!" -- jawab Ki Ajar Wulungan dengan suara berat.

"Baik guru.." -- desis Jalak Kepik yang kemudian mengangguk memberi tanda kepada Tapak Liman memasuki bangunan induk Kademangan itu. Akan tetapi sebelum kedua orang itu beringsut dari tempatnya berdiri, tiba-tiba saja bayangan dua orang berjalan mendekati mereka dari arah rumah ki Demang tersebut.


Jalak Kepik dan Tapak Liman sesaat menjadi termangu-mangu melihat kedatangan dua sosok manusia yang bukan lain adalah Ki Juru Mertani bersama Ki Lurah Upasanta tersebut, mereka tidak mengira bahwa ternyata masih ada orang yang mampu melawan aji sirep Ki Ajar Wulungan guru mereka yang dalam pandangan mereka mempunyai kekuatan luar biasa tersebut. Bahkan dibelakang Jalak Kepik dan Tapak Liman, Ki Ajar Wulungan nempak seperti gusar melihat dua orang itu tak terpengaruh sedikitpun dengan ilmu sirep yang dilontarkannya. Karnanya Ki Ajar Wulungan serta merta menggeram,

"Setan alas...siapa kau he?! kenapa kalian masih sadar.." -- geram Ki Ajar Wulungan yang serta merta mendekati kedua muridnya tersebut.

"Udara malam ini memang begitu nyaman kisanak, tapi sayang aku masih ingin menikmati malam yang masih panjang ini, sehingga sayang pula jika kami harus tidur sore-sore" -- jawab Ki Juru Mertani.

"Sombong..!! katakan siapa kau..?!" -- tukas Ki Ajar Wulungan

"Apakah penting bagiku untuk mengatakan siapa namaku?" --sahut Ki Juru

"Diam..!!" -- sergah ki Tapak Liman yang kemudian melanjutkan ucapannya, -- "jangan kau bicara kurang ajar iblis..!! kau tak tau sedang berhadapan dengan siapa?!"

"Kau jangan bergurau kisanak...tentu aku tidak tau siapa kalian karna memang diantara kita belum pernah saling kenal" -- jawab Ki Juru Mertani.

"Dengarlah..!! Kau sedang berhadapan dengan guru besar padepokan Tambak Wulung dari lereng Gunung Sumbing, maka cepatlah berlutut, dan mohon ampun..!! agar hukumanmu tidak terlalu berat" -- berkata ki Tapak Liman kemudian.

Serta merta Ki Juru Mertani justru tertawa geli mendengar kata-kata ki Tapak Liman tersebut, -- "kau aneh kisanak, bertemupun baru sekali, lalu apa dasarnya aku harus berlutut minta ampun? lagi pula aku juga belum pernah mendengar nama yang kau sebutkan itu".

"Sombong kau..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan, seraya kembali bertanya, -- "aku tanya sekali lagi, siapa kau sebelum aku lumatkan karna kesombonganmu itu..!!"

Ki Juru Mertani kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu diapun berkata, -- "baiklah kisanak, kali ini aku turuti permintaanmu, namaku Ki Juru Mertani"

"Juru Mertani..!!" -- sahut Ki Ajar Wulungan, -- "o, jadi kau salah satu gedibalnya si Karebet itu?" -- lanjut Ki Ajar Wulungan.

"Guru, ijinkan aku memberi pelajaran pada manusia sombong ini, aku ingin tau apakah nama Juru Mertani itu sebesar apa yang selama ini dikatakan orang" -- sela Tapak Liman

"Tidak..!! kalian urusi saja kunyuk yang satunya itu, biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran pada orang ini, ingat setelah itu bunuh semua prajurit Pajang yang sedang bermimpi itu, biar mereka tidur sehingga tidak akan bangun-bangun lagi" -- geram Ki Ajar Wulungan.

"Baiklah guru" -- jawab Ki Tapak Liman seraya berpaling ke arah Ki Jalak Kepik yang kemudian saling menganggukkan kepalanya.

Disisi lain Ki Juru Mertani dadanya menjadi berdebar-debar, secara pasti dia tidak tau ujung pangkal persoalannya sehingga orang yang bernama Ki Ajar Wulungan itu berniat menghabisi seluruh prajurit yang sedang terlelap itu tanpa sisa.

"Kau licik kisanak, kau perdaya kami dengan aji sirep mu itu lalu kau akan membinasakan mereka dalam keadaan tidak sadar, itu pekerjaan yang biadab" -- geram Ki Juru Mertani yang sedikit marah dengan apa yang telah dilakukan Ki Ajar Wulungan beserta kedua orang muridnya itu.

Ki Ajar Wulungan pun tiba-tiba tertawa melengking dan berteriak, -- "kau tak perlu merajuk, nikmati saja nasib yang harus kalian terima, dan kau..Juru Martani hanya akan tinggal nama sampai di Pajang"

Ki Juru Mertani pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menjawab, -- "baiklah kisanak, jika itu memang sudah menjadi , apa boleh buat, namun kami para prajurit Pajang bukanlah cacing yang akan diam tanpa perlawanan"

"Bagus...besok aku akan memberi kejutan kepada Karebet dengan mengirimkan kepala-kepala kalian e istana Pajang" -- geram Ki Ajar Wulungan.

"Ki Lurah Upasanta.." -- desis Ki Juru Mertani memanggil, sebelum meneruskan ucapannya..-- "kau tahanlah dua orang itu sekuat yang kau mampu, nyawa kawan-kawan kita akan tergantung pada kita"

"Baiklah Ki Juru, aku akan berusaha semampuku menahan dua orang Murid Ki Ajar Wulungan itu, meski aku sadar bahwa mungkin ilmuku tidak sentinggi ilmu mereka, akan tetapi sebagai prajurit Pajang Aku pantang menyerah"

"bagus Ki Lurah, mari kita pertahankan kehormatan ini" -- jawab Ki Juru singkat.

Demikianlah kemudian tiba-tiba Ki Ajar Wulungan mulai membuka serangan-serangannya. Walaupun masih dalam tataran dasar dari ilmunya. Nampaknya Ki Ajar Wulungan mencoba untuk menjajagi kemampuan Ki Juru Mertani itu setahap-demi setahap.
Disisi lain Ki Juru pun paham oleh apa yang dilakukan ki Ajar Wulungan tersebut, maka Ki Jurupun tidak menjadi tergesa-gesa pula untuk meningkatkan tataran ilmunya meskipun sedikitpun tidak kehilangan kewaspadaan terhadap tadang orang tua itu.

Akan tetapi naas bagi Ki Lurah Upasanta, untuk melawan salah satu diantara ki Jalak Kepik ataupun Ki Tapak Liman saja Lurah prajurit itu harus mengeluarkan segala kemampuannya, apa lagi kini kedua murid Ki Ajar Wulungan itu maju bersama-sama. Maka tidaklah mengherankan jika pada gerakan-gerakan awal itu Ki Lurah Upasanta terdesak hebat.
Kedua murid Ki Ajar Wulungan itu bagaikan mendapat permainan yang menyenangkan, sehingga mereka tertawa-tawa melihat Ki Lurah Upasanta yang begitu kerepotan menahan serangan keduanya.

"Akan kita apakan tikus kurap ini kakang Jalak Kepik..!!" -- berkata Ki Tapak Liman sambil tertawa disela gerakan-gerakan yang mempermainkan Lurah prajurit itu.

"Kita ikuti saja apa maunya, sampai tikus ini kehabisan nafas dan mati dengan sendirinya" -- jawab Ki Jalak Kepik sambil tersenyum pula.

Disisi lain Ki Lurah Upasanta sangatlah berantakan posisinya, nafasnya yang memang semakin tersengal-sengal itu masih berusaha memberikan perlawanan kepada kedua orang murid Ki Ajar Wulungan itu.

Sementara itu di sisi pertarungan lain, Ki Ajar Wulungan sendiri masih setapak demi setapak meningkatkan kemampuannya dalam menjajagi lawannya. Akan tetapi Ki Juru Mertani yang menjadi lawannya ternyata sangat tangguh tanggon dalam setiap gerakannya. Bahkan ketika Ki Ajar Wulungan semakin lama mendekati tingkat ilmunya dalam pengungkapan tenaga cadangannya, Ki Juru pun terlihat masih saja bergerak lincah seakan tidak merasa tertekan sedikitpun.

"Ternyata bekalmu lumayan juga he...orang Pajang, akan tetapi janganlah kau menjadi girang, aku Ki Ajar Wulungan akan membinasakanmu sebelum langit menjadi terang" -- geram Ki Ajar Wulungan seraya semakin mempertajam tekanan tekanannya.

"Kau jangan bergurau orang tua, kau kira aku mau kau binasakan?" - jawab Ki Juru Mertani yang justru tersenyum.

"Setan kau..!! Kau berani bermain-main denganku, baiklah kini saatnya kau sadar dengan siapa kau berhadapan!!" -- berkata Ki Ajar Wulungan seraya mengumpat-umpat.

Lalu dalam sekejap Ki Ajar Wulungan mulai meningkatkan ilmu nya pada tingkatan yang semakin tinggi. Tubuhnya semakin bergerak dengan sangat cepat sehingga lambat laun tubuh orang tua itu hanya terlihat bagaikan bayangan-bayangan yang berkelebat. Namun Ki Ajar Wulungan pun menjadi heran, lawan yang jauh lebih muda daripadanya itu masih mampu mengimbangi permainannya, sesekali Ki Juru berkelit pula dengan kecepatan yang sulit diduga, lalu kadang menukik dengan menjulurkan kakinya yang beberapa kali hampir menggapai tubuh Ki Ajar Wulungan, sehingga orang tua itu serta merta mengumpat-umpat dalam hatinya. Demikianlah ketika pertarungan itu semakin memuncak sehingga pertarungan antara Ki Ajar Wulungan dengan Ki Juru Mertani itu semakin lama semakin sengit.


Suasana hiruk pikuk pertarungan dihalaman banjar kademangan ngampel itu sedikitpun tidak berpengaruh pada orang-orang yang terlena oleh kekuatan sirep yang sebelumnya telah dilontarkan Ki Ajar Wulungan. Bahkan para prajuritpun satupun tidak ada yang berkeming mendengar teriakan-teriakan pertarungan itu.

Sebenarnyalah semua itu telah diperhitungkang Ki Ajar Wulungan beserta kedua muridnya itu. Karna walau bagaimanapun tinggi ilmu mereka tentu dengan hanya berkekuatan tiga orang itu tentu tidak akan mampu melawan rombongan prajurit pilihan dari Pajang yang berjumlah puluhan orang tersebut. Sehingga untuk melancarkan niatnya Ki Ajar Wulungan pun harus membuat pasukan itu tidak berdaya sebelum bertarung. Maka ketika rombongan Prajurit itu singgah di Kademangan Ngampel, kesempatan itu tidaklah disia-siakan oleh Ki Ajar Wulungan.

Demikian ketika pertarungan itu semakin lama menjadi semakin sengit, tak satu orangpun diantara penghuni rumah Ki Demang Ngampel yang tertidur itu menjadi bangun.

Sementara Ki Juru Mertani masih tangguh tanggon melayani setiap serangan Ki Ajar Wulungan yang kini sudah mulai mendaki pada tataran ilmu puncaknya. Sehingga orang tua itu pun tak henti mengumpat-umpat dalam hatinya.

Tidak demikian halnya dengan Ki Lurah Upasanta. Ternyata memang Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman benar-benar ingin mempermainkan Lurah Prajurit itu. Mereka tidak melancarkan pukulan-pukulan mematikan akan tetapi hanya berusaha mendesak dan mendesak Ki Lurah Upasanta sehingga keadaan tubuh lurah itu semakin lama semakin payah. Namun Lurah Prajurit itu tidak menjadi surut, sehingga dengan sisa-sisa tenadanya Ki Lurah Upasanta tetap berusaha untuk berdiri di kedua kakinya menahan serangan-serangan kedua murid Ki Ajar Wulungan tersebut.

Sementara itu, dengan tidak diketahui seorangpun dari mereka yang sedang bertarung dihalaman banjar Kademangan Ngampel tersebut. Dalam kegelapan malam yang berjarak sekitar duapuluh tombak diluar pagar halaman banjar itu, seseorang dengan memakai cadar telah mengendap-endap memperhatikan dengan seksama jalan nya pertarungan tersebut. Sesekali orang tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya lalu sesekali pula bergumam dalam hatinya.

"Nampaknya orang yang bernama Ki Ajar Wulungan itu tidak akan dengan mudah menundukkan Ki Juru Mertani" -- desis orang itu dalam hatinya.

Akan tetapi orang itu serta merta menarik nafas panjang-panjang ketika melihat pertarungan tidak seimbang antara Ki Lurah Upasanta melawan Ki Jalak Kepik bersama-sama dengan Ki Tapak Liman tersebut. Namun orang yang menyaksikan pertarungan dibalik kegelapan yang bukan lain adalah Raden Pamungkas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula demi melihat Ki Lurah Upasanta yang tak pantang menyerah ditengah tekanan hebat kedua murid Ki Ajar Wulungan tersebut.

"Luar biasa..!! Lurah prajurit itu benar-benar mempunyai ketahan tubuh yang sangat mengagumkan" -- desis Raden Pamungkas

Dan sebenarnyalah memang Lurah prajurit itu masih kokoh memberikan perlawanan dari dua orang berilmu tinggi tersebut. Mungki jika Ki Jalak Kepik juga Ki Tapak Liman berkehendak membinasakannya, sudah barang tentu sejak awal pertarungan Ki Lurah Upasanta tidak akan mampu bertahan lama. Akan tetapi kedua murid Ki Ajar Wulungan itu memang sengaja ingin menguras habis tenaga Lurah Prajurit itu sehingga akan terkapar dengan sendirinya karna kehabisan tenaga.
Dalam hal ini ternyata niat dari kedua murid ki Ajar Wulungan itu tecium oleh Raden Pamungkas yang sejak awal pertarungan sudah berada ditempat persembunyiannya.

"Kedua orang itu benar-benar keji.." -- berkata Raden Pamungkas dalam hatinya, -- "sungguh aku tak mungkin masuk dalam arena pertarungan ini, aku tidak ingin besinggungan secara langsung dengan urusan mereka, meskipun perbuatan kelompok seperti Ki Ajar Wulungan yang katanya orang-orang dari Goa Susuhing Angin melakukan kekacauan yang tidak jelas itu tidak boleh dibiarkan saja, terlebih kelompok yang menurut Bango Lamatan adalah trah Majapahit yang ingin menghidupkan kembali kejayaan Majapahit tersebut" -- berkata Raden Pamungkas sambil berfikir untuk menyelamatkan rombongan Prajurit Pajang itu tanpa dirinya terlibat secara langsung.

Sementara itu pertarungan antara Ki Ajar Wulungan dan Ki Juru Mertani berlangsung semakin sengit, mereka berdua telah melancarkan kemampuan dengan tingkatan yang semakin tinggi. Bahkan sesekali tubuh Ki Ajar Wulungan itu wujudnya bagaikan timbul tenggelam yang secara tak terduga-duga melancarkan serangan kearah Ki Juru Mertani, akan tetapi meskipun demikian satupun pukulan orang tua itu belumlah mampu menyentuh tubuh Ki Juru apalagi menciderainya. Bahkan Ki Ajar Wulungan sempat termangu-mangu yang pada suatu ketika dia melihat tidak hanya satu Ki Juru Mertani dihadapannya, akan tetapi tiga dalam wujud yang sama.

Demikianlah pertarungan Ki Ajar Wulungan melawan Ki Juru Mertani dihalaman banjar Kademangan Ngampel itu semakin lama semakin menegangkan, tataran demi tataran telah dilewati kedua tokoh berilmu sangat tinggi tersebut, akan tetapi belum satupun diantara mereka yang terlihat siapa yang lebih unggul dalam perbendaharaan ilmu mereka, sehingga Ki Ajar Wulungan dalam hatinya memutuskan untuk mengakhiri perlawanan Ki Juru Mertani dengan puncak ilmunya.

Berbeda dengan medan pertarungan antara Ki Lurah Upasanta melawan Jalak Kepik dan Tapak Liman, dimana terlihat jelas pada dasarnya kedua orang murid Ki Ajar Wulungan itu hanya mempermainkan Lurah prajurit yang semakin lama semakin sempoyongan tersebut.
Akan tetapi disaat pertarungan diantara mereka itu hampir mencapai babak akhir, tiba-tiba orang-orang yang sedang bertarung dihalaman banjar itu seketika terhenti sesaat dan sekejap menjadi termangu-mangu ketika satu ledakan keras diudara terhampar bagai memekakkan telinga.
Bahkan sejurus kemudian ledakan yang ditimbulkan oleh lecutan cambuk itu semakin kerap terdengar bersahut-sahutan seakan muncul dari berbagai arah.

"Anak iblis..!! siapa yang lancang mengganggu pekerjaanku, cepat keluar..!!" -- teriak Ki Ajar Wulungan yang merasa tidak senang dengan suara cambuk itu.

Sementara Ki Juru Mertani masih termangu-mangu mendengar suara cambuk yang beberapa waktu lalu juga dilihatnya pada saat pertempuran antara Laskar Banyubiru melawan kelompok Ki Singo Rodra ditepian Rawa Pening.

"Hemm...orang bercambuk itu..?" -- desis Ki Juru Mertani, -- "sepertinya orang yang sama ketika muncul ditepian rawa pening lalu"

Tidak ada jawaban dari apa yang telah diteriakkan Ki Ajar Wulungan tadi. Namun justru suara cambuk itu kembali terdengar lebih dahsyat dari yang pertama. Suasana rumah induk Kademangan itu terdengar semakin bergemuruh bagaikan suara halilintar yang menggelegar berulang-ulang kali.
Maka terjadilah sesuatu yang sangat tidak dikehendaki Ki Ajar Wulungan bersama dua orang muridnya tersebut. Ternyata suara ledakan cambuk itu telah menggelitik telinga orang-orang yang beberapa saat lalu tertidur oleh kekuatan aji sirep yang dilontarkan Ki Ajar Wulungan, termasuk para prajurit yang tertidur itu menjadi terkejut mendengar suara ledakan dahsyat tersebut, sehingga secara naluri keprajuritan mereka serta merta bangun dan berdiri masing-masing dengan senjata terhunus.
Apalagi begitu mata mereka melihat Ki Lurah Upasanta yang tertatih-tatih oleh serangan dua orang yang tidak mereka kenal.
Sehingga salah satu pimpinan kelompok prajurit itu pun dengan tegas memberikan aba-aba kepada kawannya untuk mengepung seraya tanpa diperintah menyerang Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman. Bahkan kelompok yang lain telah mengepung Ki Ajar Wulungan yang sedang beehadapan dengan Ki Juru Mertani. Namun suara ledakan cambuk itu sudah tidak terdengar lagi.

Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman menjadi berdebar-debar ketika puluhan prajurit itu serta merta menyerangnya dengan hebat. Dan meskipun kedua orang itu berilmu tinggi, tentu saja tidak akan mampu melawan puluhan prajurit Pajang tersebut.

Jangankan menyerang, untuk mencari waktu sekedar memusatkan nalar budinyapun kedua murid Ki Ajar Wulungan itu tidak berkesempatan, sehingga yang dapat dilakukannya hanyalah bertahan dan menghindar.

Disisi lain Ki Ajar Wulungan semakin gusar sehingga berteriak-teriak dengan berbagai umpatan yang keluar dari mulutnya.

"Anak iblis...ternyata orang-orang pajang bangsa licik yang tak tau diri..!! ayo majulah kalian semua...majulah jika ingin binasa..!!" -- teriak Ki Ajar Wulungan.

"Apakah kau panik orang tua, kau panik oleh para prajurit yang dengan cara licik telah kau tidurkan itu?" -- jawab Ki Juru Mertani seraya tersenyum.

"Kau kira aku takut dengan tikus-tikus ini..!! setan..!! ayo majulah semua..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan.

"Kau menutupi kekalutanmu dengan bahasamu yang tak terpuji itu Ki Ajar.." -- tukas Ki Juru Mertani, -- "baiklah Ki Ajar aku akan mengabulkan permintaanmu...Prajurit, tangkap pengacau itu..!!" -- teriak Ki Juru yang memberi aba-aba prajuritnya.

Bagaikan gelombang dahsyat para prajurit itu serta merta menyerbu seakan tidak memberi ruang gerak kepada Ki Ajar Wulungan yang semakin lama semakin kerepotan menghadapi prajurit yang berjumlah cukup banyak tersebut, sehingga sedikitpun tak ada waktu untuk memusatkan nalar budinya pula sebagai pengungkapan puncak ilmunya. Bahkan sesaat kemudian Ki Ajar Wulungan menjadi berdebar-debar ketika telinganya mendengar suara bunyi ketongan bersahut-sahutan diseluruh Kademangan tersebut. Maka seketika Ki Ajar Wulungan bersuit panjang sebeluh bayangan tubuhnya hilang dari halaman banjar tersebut diikuti kedua orang muridnya.


"Luar biasa..! Cara melarikan diri yang mengagumkan" -- desis Ki Juru Mertani seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ki Juru, apa yang terjadi? sungguh saya menyesal sebagai tuan rumah justru tidur saat para pengacau itu datang" -- kata Ki Demang Ngampel yang serta merta menghampiri Ki Juru Mertani yang masih termangu-mangu memandang ke arah dimana Ki Ajar Wulungan pergi.

"Bukan salah ki demang, orang-orang itu memang sebelumnya menebarkan sejenis ilmu sirep sehingga semua orang seakan-akan dicekam rasa kantuk yang luar biasa" -- sahut Ki Juru Mertani.

Ki demang pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, - "apakah Ki Juru sebelumnya mengenal mereka?"

"Tidak Ki Demang.." -- jawab Ki Juru Mertani seraya menarik nafas dalam-dalam, -- mudah-mudahan akan segera terungkap siapa dan kenapa akhir-akhir ini banyak kelompok-kelompok tak jelas yang selalu menyatroni kami"

Ki Demang Ngampel kemudian mempersilahkan Ki Juru Mertani untuk masuk kembali ke ruang Pringgitan bersama beberapa tetua juga bebehu kademangan tersebut. Akan tetapi Ki Juru Mertani justru berjalan melihat keadaan Ki Lurah Upasanta yang terihat menderita kelelahan yang begitu hebat.

"Bagaiman keadaanmu Ki Lurah?" -- tanya Ki Juru Mertani

Dengan nafas yang masih terlihat belum teratur Ki Lurah Upasanta pun menjawab, -- "aku tidak apa-apa Ki Juru, kedua orang itu begitu luar biasa.."

"Beristirahatlah, mudah-mudahan kau akan segera pulih, tenagamu banyak terkuras menghadapi kedua orang itu sekaligus, biarla para prajurit akan berjaga bergiliran sampai hari terang besok" -- desis Ki Juru Mertani.

Dalam pada itu ditengah jalan pelariannya ketiga orang itu terutama Ki Ajar Wulungan tak henti-hentinya mengumpat-umpat dalam hati, semua rencananya untuk membuat orang-orang Pajang itu binasa menjadi berantakan oleh suara ledakan dari orang yang tidak diketahuinya.

"Berhenti..!!" -- berkata Ki Ajar Wulungan kepada kedua orang muridnya, "nampaknya kita sudah jauh meninggalkan pedhukuhan induk kademangan itu"

"Guru, apakah guru tau siapa manusia licik yang meledakkan suara cambuk itu?" -- bertanya Ki Jalak Kepik.

"Entahlah, sering kali kemunculan orang bercambuk itu mengganggu pekerjaan kita orang-orang gua susuhing angin" -- desis Ki Ajar Wulungan.

"Apakah orang yang hampir membinasakan Kyai Tumbak Jalu beberapa waktu lalu juga orang yang sama?" -- ucap Tapak Liman seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Ki Ajar Wulungan pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap kegelapan malam seakan-akan pikirannya melayang jauh untuk mencari jawaban misteri orang bercambuk yang senantiasa selalu mencampuri pekerjaannya tersebut.

"Orang bercambuk itu dulu memang sebuah nama yang menakutkan dikalangan lawan-lawannya, akan tetapi semestinya tidak mungkin berkeliaran lagi pada saat ini, semestinya orang itu sudah tua bangka" - - berkata Ki Ajar Wulungan dalam hatinya.

Dalam suasana  ketidakpastian tentang kemunculan orang bercambuk itu, tiba-tiba Ki Ajar Wulungan mengerutkan keningnya ketika padangan matanya menatap sesosok tubuh yang berdiri dikegelapan yang berjarak beberapa tombak dihadapannya. Sesosok tubuh manusia itu berdiri membalakangi ketiga orang guru dan murid tersebut, ujung bawah kain gringsing yang menyerupai jubah itu terlihat terjuntai tertiup angin yang kebetulan berhembus cukup kencang melambai-lambai dikegelapan malam.

Tak sedetikpun bayangan itu berkeming dari tempatnya berdiri apa lagi bersuara atau berpaling ke arah Ki Ajar Wulungan pun tidak, sehingga sebagai orang yang merasa berilmu tinggi Ki Ajar Wulungan hatinya menjadi tersinggung dengan apa yang dilakukan orang tersebut.

"Siapa kau he..!!" -- sergah Ki Ajar Wulungan.

Orang itu masih saja diam membelakangi Ki Ajar Wulungan dan dua orang muridnya itu, sehingga membuat ki Ajar Wulungan semakin gusar.
"Sekali lagi aku tanya, siapa kau..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan. Akan tetapi orang itu tidak juga berkeming.

Ki Tapak liman yang tidak telaten melihat tingkah orang itu tiba-tiba saja beringsut kedepan dari tempatnya berdiri seraya berteriak, -- "He manusia sombong..!! Ku tidak tau sedang berhadapan dengan siapa he?!"

Sekali ini sosok manusia itu belum juga berpaling, bahkan bersuarapun tidak, sehingga Tapak Liman menjadi semakin marah, maka dengan disertai satu umpatan kotor Tapak Liman pun bergerak cepat menerjang ke arah sosok manusia itu,

"Iblis laknat..!! Kau mencari mampus..!!" -- geram Tapak Liman sesaat tubuhnya meluncur kearah orang itu.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat Ki Ajar Wulungan dan Jalak Kepik yang masih berdiri ditempatnya itu menjadi terkesiap, ketika mereka melihat sosok manusia itu membalikkan tubuhnya seraya tangan kanannya menyibakkan kainnya yang menyerupai jubah itu kearah laju tubuh Tapak Liman. Tiba-tiba saja entah darimana datangnya, satu gelombang udara sangat dahsyat bergelung memapas kearah salah satu murid Ki Ajar Wulungan tersebut.

Disisi lain Tapak Liman pun menjadi terkejut oleh munculnya gelombang udara yang teramat dahsyat itu, karna sama sekali Tapak Liman tidak menduga akan hal itu, sehingga dengan kalang kabut dia berusaha menghindar dari kekuatan gelombang udara tersebut. Akan tetapi naas bagi Tapak Liman yang tak sepenuhnya mampu menghindar dari kekuatan gelombang udara yang terlontar hingga tubuhnya terpelanting kebelakang lalu berguling-guling diatas tanah. Matanya yang berkunang-kunang membuat Tapak Liman tidak lagi mampu berdiri diatas kedua kakinya lalu roboh terkapar diatas tanah. Pingsan.

"Luar biasa..!!" -- desis Ki Ajar Wulungan lalu berjalan beberapa langkah kearah orang itu.

Sementara Jalak Kepik serta-merta menghampiri saudara seperguruannya itu lalu memeriksa keadaan tubuhnya, -- "Tapak Liman..!!" -- berkata Jalak Kepik seraya menggoyang-nggoyangkan tubuh Tapak Liman yang tergolek tanpa daya tersebut.

Disisi lain Ki Ajar Wulungan sedah berada semakin dekat dengan sesosok tubuh itu lalu diapun berkata, -- "kau luar biasa kisanak, akan tetapi tanpa guna memamerkan kehebatanmu sidepan Ki Ajar Wulungan..!!" -- ucak Ki Ajar Wulungan yang bicaranya tidak sekasar tadi.

Jelas sudah apa yang dilihat Ki Ajar Wulungan setelah menjadi semakin dekat dimana sosok manusia itu berdiri. Dan sosok tubuh manusia yang ternyata wajahnya tertutup kain cadar itupun kemudian berbicara,

"Maaf kisanak, aku tidak sengaja membuat kawanmu itu pingsan.." -- kata orang itu seraya memalingkan wajahnya ke arah Tapak Liman yang terkapar tak berdaya.

"Katakan siapa kau..!! untuk apa pula kau mendatangi kami disini?" - berkata Ki Ajar Wulungan kemudian.

"Bukankah kau mencari siapa orang yang bermain-main dengan cambuk dihalaman banjar kademangan beberapa saat lalu?" - jawab orang yang tidak lain adalah Raden Pamungkas itu.

"Apa maksud mu..?!" -- tukas Ki Ajar Wulungan.

"Maksudku bahwa aku yang bermain-main cambuk gembala itu" -- sergah Raden Pamungkas.

"Setan alas..!! ternyata kau yang menganggu pekerjaanku" -- geram Ki Ajar Wulungan.

"Bukan maksudku kisanak!!" - tukas Raden Pamungkas.

"Baiklah, sekarang kaulah yang harus menanggung dari akibatnya dan nyawamu sebagai penggantinya" -- kata Ki Ajar Wulungan.

"Jangan begitu kisanak..karna aku datang kali ini bukan untuk mengajakmu bertarung, kecuali menyampaikan pesan untuk kau sampaikan kepada pimpinan kalian yang berjuluk Kyai Pager Wesi itu"

Demikianlah tiba-tiba tangan kanan Raden Pamungkas melontarkan sesuatu tepat menancap ketanah tepat dimana Ki Ajar Wulungan berdiri. dan ketika Ki Ajar Wulungan mengambil dan melihat benda itu matanya menjadi terbelalak. Ternyata benda itu adalah bendera segitiga putih yang tertaut pada batang penjalin sepanjang satu jengkal dengan gambar cakra bergerigi tertaut di ujung juntai cambuk.

"Perguruan Windujati..!!" -- desis Ki Ajar Wulungan demi melihat bendera segitiga itu bergambar cakra terkait ujung juntai sebuah cambuk. -- "tidak mungkin..!! perguruan itu telah lenyap dari jagad kanuragan"

Namun ketika Ki Ajar Wulungan kembali berpaling kearah sosok manusia yang bukan lain adalah Raden Pamungkas itu, sosoknya sudah tidak ada lagi. Akan tetapi tiba-tiba suaranya terdengar bagai menggema pada didinding-dinging tebing seperti memantul kian kemari.

"Ki Sanak..aku hanya titip pesan sampaikanlah benda itu pada pimpinan kalian orang-orang gua susuhing angin yang kalian sebut Kyai Pager Wesi itu, mudah-mudahan pimpinan kalian senang" -- suara Raden Pamungkas yang serta merta bagai lenyap tak berbekas dari awal tempatnya berdiri.
**


Kesejukan pagi itu perlahan-lahan sedikit sirna, dimana matahari semakin lama semakin naik, seakan-akan ingin meluahkan cahayanya tanpa batas di segala penjuru alam. Bahkan sisa-sisa embun dipucuk-pucuk daunpun seakan tak berbekas lagi diseperempat hari itu.
Dalam pada itu di pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru Ki Ageng Gajah Sora masih terlihat terbaing di bilik pribadinya, meskipun kini alur pernafasan orang tua itu lebih teratur, dan kulit wajahnya telah terlihat merona dibalik kerut-kerut ketuaanya. Sesekali jari-jemari orang tua itu bergerak sebentar, kemudian setelah seakan menggerakkan kepalanya, Ki Ageng Gajah Sora kemudian teebatuk beberapa kali sebelum perlahan-lahan matanya terbuka,

"Ayah..!!" -- desis Arya Salaka yang sejak Ki Ageng Gajah Sora terbaring sedikitpun belum beranjak dan menemani ayahnya hingga terlihat siuman.

Ki Ageng Gajah Sora hanya mengangguk kecil sambil memandang putra satu-satunya itu,
-- "apa yang terjadi..?" -- desis Ki Ageng Gajah Sora lirih.

"Ayah sudah siuman? Ayah terbaring pingsan lebih dari sehari semalam" -- jawab Arya Salaka.

"Pingsan..?" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora seraya hendak bangun namun terbaring kembali

"Ayah jangan banyak bergerak...biarkan tenaga ayah pulih dulu" -- sergah Arya Salak yang buru-buru menangkap tubuh ayahnya sehingga tidak terhempas diatas dipan pembaringannya.

"Tapi...grombolan orang-orang gila itu?!" -- lanjut Ki Ageng.

"Mereka semua sudah terpukul mundur, bahkan beberapa ketuanya telah binasa, Kyai Naga Pertalapun sudah mati oleh paman Mahesa Jenar"  -- jawab Arya Salaka

"Mahesa Jenar..?!" -- sahut Ki Ageng Gajah Sora lalu kembali berucap, -- "ya, bagaimana keadaan pamanmu itu Arya?"

"Paman baik-baik saja ayah, sekarang sedang diruang pendapa bersama para para sanak kadangnyang lain"

"Panggilah pamanmu kemari Arya..!" kata Ki Ageng.

Sekejab Arya Salaka pun pergi meninggalkan gandhok menuju ruang pendapa untuk menemui Mahesa Jenar. yang beberapa saat kemudian keduanya terlihat memasuki bilik utama Ki Ageng Gajah Sora.

"Sukurlah..kau sudah sadar kakang" -- kata Mahesa Jenar.

"Aku tidak merasakan sakit adhi...kecuali tubuhku ini serasa tak lagi berdaya" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora.

"Sabarlah kakang, kau telah terkena pukulan beracun yang teramat jahat dari Kyai Nagapertala. perlahan-lahan kakang akan segera pulih"

"Saudara muda Kyai Nagapasa itu memang benar-benar luar biasa" -- desis Ki Ageng.

"Ya, tapi jika orang tua itu tidak secara bersama dengan ketua kelompok Macan Lodaya, tentu tidak akan segampang itu menundukkan mu kakang" -- jawab Mahesa Jenar seraya tersenyum.

"Ah, tidak adhi, aku sudah tidak seperti Gajah Sora yang dulu, tubuhku yang semakin lama semakin rapuh ini telah membuatku tak berdaya" -- desis Ki Ageng.

"Kakang jangan melemah...kau tetap Gajah Banyubiru yang perkasa" -- tukas Mahesa Jenar.

Sementara Ki Ageng Gajah Sora teelihat mengangguk-anggukkan kepalanya dipembaringan, lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum berkata,
"Trima kasih adhi, akan tetapi apapun daya kita tidak akan mampu melawan kodrat Yang Maha Agung"

"Kakang jangan bicara tentang hal yang melemahkan jiwa kakang sendiri"

"Bukan itu maksudku adhi Mahesa Jenar, akan tetapi aku tidak akan mampu memotong waktu untuk pemulihan wadhagku ini, karna memang aku sudah semakin renta"

"Usia kita tidak terpaut jauh kakang..!!" -- tukas Mahesa Jenar. Sementara Ki Ageng Gajah Sora terlihat tersenyum memandang sahabat karibnya itu.

"Kau benar adhi, tapi sesungguhnya keadaanlah yang kadang menentukan kehidupan kita" - sahut Ki Ageng Gajah Sora.

Suasana gandhok itupun seakan-akan menjadi hening sekejab sebelum kembali suara Ki Ageng Gajah Sora terdengar.

"Adhi Mahesa Jenar...maukah kau mengabulkan satu permintaanku? bertanya Ki Ageng.

"Katakanlah kakang, jika aku mampu dan bisa, tentu dengan senang hati aku akan melakukannya" -- jawab Mahesa Jenar.

"Mudah-mudahan kau bisa.." -- sahut Ki Ageng yang kemudian melanjutkan ucapannya, -- "Adhi Mahesa Jenar, seperti kau tau, sebentar lagi aku harus lengser dari segala urusan menyangkut Banyubiru ini, biarlah putraku itu yang memang sudah pada waktunya tampil menggantikan aku"

"Lalu..?" -- sela Mahesa Jenar.

Sesaat Ki Ageng Gajah Sora kembali menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya.. -- "aku akan pergi ke pengrantuan untuk menghabiskan masa tuaku disana, menempati bekas rumah ayah Dipayana"

Mahesa Jenar pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya dan masih mendengar setiap ucapan Ki Ageng Gajah Sora dengan seksama.

"Adhi Mahesa Jenar...apakah kau bersedia, jika aku memintamu untuk tinggal di Banyubiru ini, setidaknya sampai Arya Salaka matang menjadi seorang kepala tanah perdikan ini....atau jika kau mau tinggalah kau disini selamanya"

Mahesa Jenar pun menjadi termangu-mangu bahkan hatinya menjadi berdebar-debar mendengar apa yang dikatakan sahabat karibnya tersebut.
Kini Mahesa Jenar bukanlah seperti puluhan tahun yang lalu sebagai seorang pengembara. Mahesa Jenar sekarang adalah seseorang yang terikat dan tidak boleh begitu saja memutuskan hal-hal yang bersifat penting dalam hidupnya. Mahesa Jenar kini adalah suami Rara Wilis, juga seorang ayah dari anak yang saat itu tidak dibawanya serta. Seorang anak laki-laki buah cintanya bersama Rara Wilis yang kini berada bersama pamannya di Gunung Kidul.

Maka tentu saja tawaran Ki Ageng Gajah Sora itu tidak bisa begitu saja dijawabnya, Mahesa Jenar harus membicarakan itu kepada keluarganya.

"Kenapa kau diam adhi?" -- bertanya Ki Ageng Gajah Sora, hingga Mahesa Jenar menjadi terkejut.

"O, tidak apa-apa kakang, hanya saja soal permintaan itu aku harus bicarakan ini kepada Rara Wilis terlebih dahulu" --tukas Mahesa Jenar

"Kau benar adhi, aku mengerti itu, maka secara pribadi nanti aku juga akan meminta kesediaan istrimu Rara Wilis tentang hal ini" -- jawab Ki Ageng Gajah Sora.

Mahesa Jenar pun kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menarik nafas dalam-dalam.


Waktu yang berjalan bagaikan tak terasa, sehingga lambat namun pasti keadaan Ki Ageng Gajah Sora juga semakin membaik, seiring ramuan obat yang diberikan oleh guru Raden Pamungkas. Ki Dipasanjaya.
Meskipun belum pulih total, Ki Ageng Gajah Sora pun telah mampu melakukan kegiatan dihari-harinya.
Tujuh hari waktu telah berlalu semenjak terjadi pertempuran ditepian Rawa Pening lalu sedikit dami sedikit Banyubiru sudah mampu melupakan kejadian itu, bahkan kehidupan masyarakatnya seakan telah berjalan normal seperti biasanya.
Kini upacara pergantian Kepala Tanah Perdikan yang lama juga jumenengan tanah Perdikan Banyubiru yang baru telah mulai disusun kembali oleh para pemimpin tanah perdikan tersebut. Seiring dengan semakin pulihnya kondisi Ki Ageng Gajah Sora maka telah ditetapkan bahwa upacara peralihan kepemimpinan perdikan Banyubiru itu akan dilaksanakan empat hari kedepan.

Akan tetapi meskipun keadaan di Tanah Perdikan Banyubiru itu sudah dapat dikatakan aman, namun kewaspadaan tetap selalu dikedepankan demi menjaga hal-hal yang mungkin saja masih datang tanpa diduga. Karna itu tidak jarang para pasukan pengawal tanah perdikan itu merapatkan jeda waktu untuk meronda hingga sampai perbatasan dipedukuhan paling jauh.
Widagdo, sebagai pemimpin utama para pemuda pengawal tanah perdikan Banyubiru itu telah menyusun jadwal-jadwal parondan diantara para kelompok pasukan pengawal tersebut. Bahkan tidak ketinggalan para cantrik dari Pengrantunan yang ternyata masih berada di Banyubiru juga tidak ketinggalan membantu memperkuat kelompok-kelompok parondan itu.

"Widagdo...bagaimana keadaan pedukuhan sebelah timur? -- bertanya Jaka Raras yang merupakan salah satu cantrik Ki Ageng Gajah Sora dari Pangrantunan itu.

"Atas kehendak Yang Maha Agung tidak ada hal yang mengkhawatirkan" -- jawab Widagdo

Jaka Raras pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, -- "o, syukurlah, dipedukuhan paling barat dan utara juga dalam keadaan yang aman"

Widagdopun mengangguk-anggukkan kepalanya juga seraya berkata, -- "mudah-mudahan tidak ada lagi hal mencekam seperti beberapa hari lalu" -- desis Widagdo lalu menarik nafas panjang-panjang, .. "Baiklah Raras, aku akan melanjutkan tugasku"

"Silahkan, aku akan ke pedukuhan induk" -- jawab Jaka Raras.

Kemudian dua kelompok parondan yang berpapasan itu menyebar melakukan tugas mereka masing-masing.

Dalam pada itu keadaan pendapa bangunan induk perdikan Banyubiru itu menjadi agak ramai. Ki Ageng Gajah Sora bersama beberapa bebahu, juga para tamunya, seperti Ki Dipasanjaya, Ki Kanigara, Mahesa Jenar, bahkan Rara Wilis juga Widuripun nampak berada diantara orang-orang tersebut setelah sesaat menyuguhkan baberapa makanan juga minuman untuk mereka.

"Ki Ageng.." -- terdengar Ki Dipasanjaya berucap, -- "mungkin kewajibanku di tanah perdikan Banyubiru ini telah usai, dan aku sungguh senang ternyata ramuan obatku yang sederhana itu berjodoh dengan Ki Ageng, sehingga dengan berat hati besok wayah lingsir wengi sebelum matahari muncul aku akan mohon diri melanjutkan perjalananku"

Ki Ageng Gajah Sora pun sesaat termangu-mangu mendengar Ki Dipasanjaya secara tidak terduga tiba-tiba saja hendak berpamitan meninggalakan tanah perdikan itu. Sebenarnyalah Ki Ageng Gajah Sora sangat mengharap seluruh tamunya sudi menjadi saksi di upacara sulih pemimpin tersebut.

"Ki Dipasanjaya" -- jawab Ki Ageng Gajah Sora, -- "apakah tidak sebaiknya Ki Dipa menunggu usainya hajat tanah peedikan ini?"

"Sebenarnyalah Ki Ageng... aku sangat ingin menyaksikan hajatan itu, akan tetapi perjalanan ku sudah tertunda beberapa lama" -- jawab Ki Dipasanjaya.

Ki Ageng Gajah Sora kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berkata,
"Ki Dipa, aku secara pribadi juga mewakili seluruh rakyat Banyubiru mengucapkan terima kasih atas segala sumbangsih, yang Ki Dipa berikan kepada kami" --

Ki Ageng Gajah Sora kembali menarik nafas panjang-panjang lalu meneruskan ucapannya,
_ "jika saja tidak ada kehadiran Ki Dipa disini, mungkin hari ini aku tidak lagi terlihat disini"

"Ah, aku hanya berusaha Ki Ageng, semua terjadi karna kehendak Yang Maha Agung" -- sahut Ki Dipasanjaya.

"Akan tetapi jika tidak ada Ki Dipa tentuk cerita tentang aku sudah berbeda dengan saat ini, tentu saja racun Kyai Nagapertala itu sudah meremas jantungku" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora.

"Namun aku justru mohon maaf jika terpaksa tidak bisa menyaksikan hajatan yang sangat penting ditanah perdikan ini, sungguh sebenarnya aku dan adhi Kanigara sedang dalam pekerjaan yang sangat penting bagi kami"

"Ayah..?!" -- sahut Widuri demi mendengar Ki Dipasanjaya menyebut nama Ki Kebo Kanigara.

Ki Kebo Kanigara pun serta merta berpaling kepada putri satu-satunya tersebut, lalu mengangguk kecil

"Apakah kakang Kanigara juga akan minta diri?" -- ucap Mahesa Jenar seakan melanjutkan maksud Widuri.

"Benar Mahesa Jenar, benar pula apa yang dikatakan kakang Dipasanjaya, bahwa ada pekerjaan yang harus kami selesaikan oleh orang-orang tua macam kami ini" -- jawab Ki Kebo Kanigara.

Sementara usai terdengar suara Ki Kanigara itu, tiba-tiba saja Widuri beringsut dari duduknya lalu pergi meninggalkan pertemuan itu dengan wajah yang sedikit lesu dan memerah.
"Widuri..!!" -- tukas Arya Salaka memanggil istrinya.


"Kau kenapa Widuri?" -- bertanya Arya Salaka seraya mengikuti langkah kecil istrinya.
Nampaknya ada sesuatu yang bergelora dalam hati Widuri yang membuatnya bagai tidak mendengar sapaan suaminya itu, bahkan langkah perempuan itu menjadi semakin cepat menuju halaman belakang bangunan induk rumah itu.

Sementara semua orang yang berada didalam pendapa itu menjadi termangu-mangu melihat Widuri yang tiba-tiba seperti merasakan kekecewaan yang membuat istri Arya Salaka itu begitu saja pergi meninggalkan pendapa tanpa sepatah katapun.
Hanya Ki Kebo Kanigara yang nampak sedikit menyunggingkan senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu bagi Widuri, tentu saja Ki Kebo Kanigara sangat megenal perangai putri satu-satunya itu.

"Widuri..." -- desis Arya Salaka yang telah berada didekat istrinya.

"Kakang..."

"Kau marah..?" -- lanjut Arya Salaka.

"Tidak kakang, aku hanya sedikit kecewa" -- jawab Widuri.

"Soal ayah Kanigara?"

Widuri tidak menjawab namun terlihat mengangguk pelan. Dan Arya Salaka kemudian menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap,

"Nampaknya kita tak akan mampu menahan ayah Kanigara untuk tinggal dan menetap bersama kita disini, jiwa petualangannya itu telah mendarah daging, dan mestinya kau tau itu Nyai.."

"Tapi ayah adalah keluargaku satu-satunya kakang, dan ayah kini sudah semakin tua, aku tak ingin sisa hidupnya terlunta-lunta tak jelas!" -- tukas Widuri

"Ya, aku mengerti, dan aku sangat mendukung keinginanmu itu, akan tetapi kita juga tidak bisa memaksa apa yang menjadi kehendak ayah" -- sahut Arya Salaka seraya menarik nafas dalam-dalam.

Widuripun kemudian berkata pula, --
"Aku sudah beeulang kali membujuknya agar ayah bersedia tinggal di Banyubiru, atau mungkin ke Pajang sehingga kita selalu tau keadaannya, dan aku yakin kakang Karebet pasti akan menerimanya dengan baik" -- desis Widuri

"Kalian benar..!! tentu anak itu akan menerimaku dengan baik" -- tiba-tiba saja terdengar suara Ki Kebo Kanigara yang sudah berada diantara mereka.

"Ayah.." -- desis Arya Salaka dan Widuri bersamaan. Namun Widuri serta merta nampak mencibirkan mulutnya kemudian berbalik membelakangi ayahnya.

"Kau sudah bukan anak-anak lagi Widuri" -- berkata Ki Kebo Kanigara sambil tersenyum, -- "tidaklah mungkin selamanya kau harus bersama ayah, kau sudah punya pengganti ayah untuk mengawanimu selamanya, apa lagi sebentar lagi kau akan menjadi Nyi Gede Banyubiru"

"Aku minta ayah tinggal disini bukan karna itu" -- tukas Widuri

"Lalu" -- sahut Ki Kanigara.

"sebaliknya gantian aku yang merawat ayah" -- jawab Widuri singkat.

"Seharusnya kau sudah paham siapa ayah ini, ayah tidak pernah betah tinggal menetap" -- berkata Ki Kanigara yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali berucap.

"Widuri...satu yang menjadi kebahagiaanku sekarang ini aku tidak lagi memikirkan masa depan putriku, keberadaanmu di Banyubiru ini telah mambuat hati ayah bahagia ngger.. ditambah lagi kakangmu Karebet yang kini telah menjadi seorang Adipati di Pajang, semua itu adalah hikmah dari keluarga Pengging yang dulu porak poranda, dan ternyata apa yang dulu pernah diucapkan seorang Wali Waskitha kepadaku nampaknya lambat laun akan menjadi kenyataan"


"Anak-anaku.." -- sesaat Ki Kanigara melajutkan ucapannya setelah menarik nafas panjang-pajang, -- "pandanglah masa depan kaliyan, selaksa tugas akan segera kalian jalankan beberapa waktu dekat ini, kaliyan sebagai pemimpin tanah perdikan ini harus bisa membawa Banyubiru lebih baik lagi dari sebelumnya, bawalah perdikan ini dalam kemakmuran yang nyata, artinya kemakmuran yang benar-benar dirasakan segenap lapisan masyarakatnya"

"Tapi ayah sendiri?!" -- sela Widuri yang kemudian diam ketika Ki Kanigara mengangkat tangan kanannya,

"Ayah mengerti apa yang ada dibenakmu Widuri, bukan maksud ayah menolak baktimu kepada ayah, akan tetapi ketahuilah, keberadaanmu disini bersama suamimu adalah harapan ayah yang terwujud" -- kembali Ki Kanigara menarik nafas panjang-panjang, lalu dilayangkannya mata yang sudah tampak menua itu menembus rimbun papohonan dihalaman rumah itu, sesekali dialihkanya jauh menatap langit seakan menembus sulur-sulur awan yang berarak dihari yang telah lepas sepenggalan, setelah beberapa saat kembali terdengar suara Ki Kanigara,

"Anak-anakku, bagi ayah yang sudah semakin tua ini, rasanya tidak ada bedanya dimana kaki berpijak, karna tanah dimana kaki ini bepijak adalah Bumining Hyang Widhi, dimana kita dapat mencari ketenangan dimanapun berada dalam mendekatkan diri pada Hyang Maha Agung, maka janganlah terlalu memikirkan ayah, karna ayah akan selalu baik-baik saja, dan jika kaliyan bisa menjadi orang yang berguna bagi kehidupan disekitarmu, demikianlah kau telah menunjukkan bakti kepada ayah, karna memang itulah yang selalu aku harapkan pada kaliyan"

"Ayah..."

Widuripun kemudian berlari memeluk tubuh ayahnya, tidak ada ucapan yang ,keluar dari mulutnya kecuali kedua mata perempuan itu yang membasah.
Dengan lembut Ki Kanigara mengelus rambut putri satu-satunya itu lalu berkata,

"Widuri...kanapa kau menangis ngger? ayah tidak pernah mengajarimu menangis meskipun kau seorang perempuan, Trah Pengging tidak boleh meneteskan air mata ngger...apa lagi hal sepele seperti ini" -- desis Ki Kanigara yang kemudian beringsut melepaskan diri dari pelukan putrinya tersebut, -- "sudahlah...ayah ingin sekarang kau berdiri disamping suamimu Ki Gedhe Banyubiru Arya Salaka, aku ingin melihat kalian tegar bersanding sebagai pemimpin yang perkasa, sebelum ayah pergi"

Seperti apa yang dikatakan Ki Kebo Kanigara, maka Widuripun beringsut mendekati suaminya dan berdiri disampingnya. Nampak wajah tua Ki Kanigara sesaat menjadi berbinar-binar dengan senyum yang tersungging dibibirnya, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Anakku Arya Salaka....kemarilah" -- terdengar kemudian Ki Kanigara berkata,

"Saya ayah..." --jawab Arya Salaka serta merta menghampiri Ki Kanigara

Dalam pada itu Ki Kanigara kemudian terlihat mengambil sesuatu dibalik bajunya, lalu sesaat memandang benda yang digenggamnya itu seraya berkata, -- "anakku, sebagai orang tua aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali rontal-rontal didalam kain ini, didalam rontal-rontal ini aku tuliskan hal-hal dalam perjalanan hidupku sampai saat ini, terimalah..!! mudah-mudahan berguna untukmu"

Demikian Ki Kanigara menyodorkan benda itu kepada Arya Salaka,

"Trimakasih ayah, aku akan selalu ingat pesan-pesan yang ayah Kanigara berikan padaku, aku akan meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan didalam rontal ini" -- jawab Arya Salaka.

Demikian Ki Kanigara kemudian menarik nafas dalam-dalam seraya menepuk-nepuk bahu calon kepala tanah perdikan Banyubiru tersebut,

"Baiklah....sudah saatnya ayah berpamitan pada kalian, nanti sebelum wayah surup ayah, juga pamanmu Ki Dipasanjaya akan berangkat...." -- desis Ki Kanigara.

"Bolehkah kami tau kemana tujuan ayah? hingga kami menjadi lega mengetahui keberadaan ayah" -- bertanya Arya Salaka.

Ki Kanigara kemudian tersenyum dan menjawab, -- "ayah hanya mengikuti kemana kaki ini melangkah, bagaimana mungkin ayah memberitahu kepada kalian?"

Arya Salaka pun kemudian terdiam lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berpaling kearah Widuri yang terlihat menundukkan wajahnya...

ke Buku I

5 komentar:

  1. Menunggu kisah lanjutan perjalanan RAS ke Mataram.

    BalasHapus
  2. Senang sekali dg adanya lanjutan serial ini, dlm rentang waktu yg sngt lama menunggu.. pelajaran Urip yg mengutamakan dan menjunjung bebrayan agung.. serasa dibawah grojogan Sewu..terasa menyejukkan... lanjutkan doa kita untuk semua nya yg telah menghadirkan ini...

    BalasHapus
  3. Luar biasa ki rangga! Anda benar² menjadi penyambung ce4ita dari nagasasra sabukinten dengan buku api dibukit menoreh dwngan mengulas pangeran buntara.alias.ki pasingsingan sepuh, kebo kanigara, dll.
    Apakah sosok.arya salaka.ini yg akhirnya berjuluk ki buyut banyu biru?!

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah bisa menjumpai rontal ini

    Terimakasih bKi

    BalasHapus