Sinar matahari seakan tak mampu menyapakan hangatnya meski sesekali menyeruak diantara sela-sela kabut yang sesekali menyisih.
"Kenapa dunia ini seakan tak mampu menghindar dari pertikaian, selalu saja memanjakan ambisi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya, menggilas kedamaian bebrayan agung demi sebuah kekuasaan? rasa-rasanya aku menjadi muak dengan apa yang selama ini terjadi"
sesaat orang tua beejanggut putih itu masih merenungi apa yang selama ini selalu mengganjal di hatinya, tatap matanya yang sayu seakan menerawang jauh menembus hamparan langit jauh.
"Pamungkas..."
"Ya eyang" jawab pemuda itu
"Sebelum waktuku tiba, rasanya aku ingin mengutarakan pesan untukmu ngger"
"Katakanlah eyang, aku akan selalu menjunjung tinggi setiap petunjuk eyang, namun mohon ampun eyang, kenapa eyang mengatakan begitu?"
Orang tua berjanggut putih mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum memandang pemuda itu.
"Pamungkas, tentu kamu sudah memahaminya ngger, tidak ada keabadian di bumi ini, begitu juga aku, kamu, dan semua titah dibumi ini satu saat menuai batasannya"
"Ampun eyang Windujati, tapi cucu berharap masih ingin lama mendengar wejangan-wejangan eyang tentang kehidupan ini"
Kembali Empu Windujati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sungging senyum yang begitu lembut namun tatapan matanya semakin sayu,
"Pamungkas, meskipun hanya sesaat-sesaat kamu menghadap eyang, namun apa yang aku berikan padamu sedah lebih dari cukup, kamu memang bukan murid perguruan windujati, tapi aku wajib membimbingmu atas pertalian darah diantara kita. Rasa-rasanya telah tuntas apa yang aku miliki kau sadap ngger, kamu telah menguasai seluruh jalur ilmu windujati, bahkan eyang melihat ilmu-ilmu itu hampir sempurna mengendap dalam dirimu, walau seperti tidak lelah aku selalu mengatakan ilmu seperti itu bukanlah segalanya, kamu harus mampu memayu hayuning bebrayan, dan selalu menjaga kedamain dalam kehidupan bebrayan itu sendiri, pahamilah arti kidung-kidung yang tertulis dalam lontar yang aku berikan padamu itu, mudah-mudahan hatimupun mengendap seiring berjalannya waktu"
"ya eyang, segala petunjuk eyang akan selalu aku ingat, mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu memberi kemudahan-kemudahan kepadaku"
"Dan selalu ingatlah ngger, pesan eyang padamu, tempuhlah kehidupan yang wajar diantara para kawula, meski bagaimanapun juga kita masih mengalir darah Majapahit. Janganlah larut dalam kepentingan perebutan tahta yang selalu menimbulkan pertikaian itu, walau sesungguhnya tidak baik juga jika berpangku tangan, ambilah sisi yang paling bijak menghadapi semua itu... Apakah kamu paham ngger?"
"Aku paham eyang" jawab raden pamungkas
Kembali orang tua itu memandang jauh seakan-akan menembus tebalnya hutan di lereng gunung semeru tersebut, sejenak ia berdesis lirih
"Pamungkas, setelah kekuasaan Majapahit runtuh, nampaknya kini Demak pun di ambang kemunduran...entahlah apa yang akan terjadi kemudian, namun firasatku mengatakan Demak pun akan segera kukut"
Sambil menarik nafas panjang mpu windujati meneruskan kata hatinya,
"Sepertinya peristiwa hilangnya dua pusaka dari gudang perbendaharaan Demak beberapa waktu lalu itu akan menjadi peristiwa-peristiwa yang berkelanjutan"
"Tapi bukankah kedua pusaka itu telah di ketemukan eyang?" sejenak Raden Pamungkas menengadah bertanya kemudian mendunduk lagi.
"Ya, kedua pusaka itu ternyata di sembunyikan di bukit karang sebelum dikembalikan kepada kanjeng Sultan Trenggono beberapa tahun lalu"
"Bukankah menurut kabar yang beredar dahulu kedua pusaka itu berada di bukit tidar, eyang? dan dikuasai gerombolan simo rodra dari bukit tidar itu? hingga memicu hasrat orang-orang sakti golongan hitam memperebutkan kedua pusaka itu?"
Sejenak mpu windujati mengangguk-anggukkan kepalanya dan sejenak terdiam seakan merenungkan kembali apa yang diketahuinya tentang peristiwa beberapa tahun lalu itu, dan setelah menarik nafas panjang kemudian kembali berkata,
"Benar ngger, memang sebelumnya kedua pusaka itu berada di bukit tidar.... cerita itu cukup panjang, tapi baiklah, dengan singkat aku ceritakan sesuai apa yang aku dengar waktu itu.... Entah bagaimana kemudian tahu-tahu kedua pusaka itu di kuasai gerombolan simo rodra dari gunung tidar itu, karna menurut kabar justru yang datang mencuri kedua pusaka dari gedung perbendaharaan demak adalah gerombolan Lawa Ijo dari alas mentaok... Seorang senopati pilihan demak bersama dengan putera sahabatku waktu itu berhasil melacak keberadaan kedua pusaka itu, bahkan mereka berdua berhasil mengambilnya kembali"
"Sahabat eyang?"
"ya sahabatku ngger, Ki Ageng Soradipayana... salah seorang yangmengambil kembali kedua pusaka dari gerombolan gunung tidar itu adalah Ki Gedhe Banyubiru yang sekarang, Ki Gajah Sora, putra sahabatku di Pengrantunan, bahkan karna niat pengabdian putra sahabatku itu sempat menjadi pesakitan, karna justru dituduh menghilangkan pesaka itu kedia kalinya, dia ditangkap prajurit demak... Dan dari sahabatku itulah sebagian peristiwa itu aku dengar, juga tentang seorang berjubah ungu bertopeng yang menurut ki ageng soradipayana sosok itulah yang mengambil kedua pusaka itu dari tanah perdikan banyubiru"
"Pasingsingan..." desis raden pamungkas
"Ya, pasingsingan, tokoh yang sebenarnyalah tidak asing bagiku, meski sesaat aku heran akan kemunculan pasingsingan beberapa tahun lalu yang selalu menebar kejahatan di mana-mana, padahal setahuku pasingsingan adalah tokoh berhaluan putih meski memakai topeng berwajah setan..."
"Eyang mengenal dekat dengan ki pasingsingan?"
sembari beringsut dari tempat duduknya raden pamungkas bertanya.
"Tentu ngger, aku mengenal pasingsingan seperti mengenal diriku sendiri, beliau adalah orang yang teramat dekat denganku sewaktu masih berada dilingkungan kedaton majapahit pada masa-masa terakhir... hanya dengankulah pamanda Pangeran Buntara selalu terbuka tentang apapun"
"Pangeran Buntara.." desis raden pamungkas
"Benar ngger, pangeran buntara adalah adik dari ayahanda prabu brawijaya, eyang buyutmu" jawab empu windujati.
"Tapi kenapa kemunculan nya selalu membawa kejahatan?" kembali raden pamungkas nampak heran,
"Ternyata itu tidak benar ngger..."
sambil membetulkan duduknya kemudian empu windujati melanjutkan ucapannya,
"sebenarnyalah bukan hanya aku yang bertanya-tanya tentang kemunculan pasingsingan dalam sifaat pasingsingan yang aku kenal sebelumnya, belakangan aku ketahui bahwa pamanda pangeran buntara mempunyai tiga orang murid, dan sebenarnyalah salah seorang dari ketiga murid itulah yang telah melanggar wewaler parguruan, sehingga berlaku sekehendak ambisinya melanggar norma-norma tatanan bebrayan yang berlaku... sampai pada saatnya tiba murid murtad itu mati dalam sebuah perang tanding melawan saudaranya seperguruannya sendiri"
**
Sejenak Raden Pamungkas dengan seksama mendengar wejangan-wejangan mpu windujati, sebenarnyalah di kota raja Demak Bintoro telah terjadi gejolak yang nampaknya akan berkepanjangan.
Bara panas seakan melanda istana sejenak setelah wafatnya Sultan Trenggono beberapa waktu berselang, Sultan Trenggono gugur dalam peperangan saat melakukan perluasan wilayah demak di wilayah panarukan
Kekosongan pemerintahan istana demak telah memercikkan api diantara kubu-kubu keluarga istana yang terpecah pada pemahaman dalam menentukan tahta sepeninggal sultan trenggono,
Adalah Raden Bagus Mukmin sebagai putra tertua dan merasa berhak telah menggantikan tahta mendiang sultan ternggono walaupun giri kedaton belumlah merestuinya.
Ternyata sebenarnyalah para wali merasa prihatin dengan apa yang terjadi dikalagan keluarga istana tersebut. Aroma perebutan pengaruh dan kekuasaan semakin kental diwarnai dendam yang selama ini bersemayam di kalangan keluarga istana itu pula.
Demikianlah pada sebuah pertemuan para wali di istana giri kedaton, Kajeng Sunan Giri telah membuka sebuah percakapan,
"Kanjeng sunan sekalian yang selalu diridhohi oleh Gusti Alloh, seperti yang sedulur-sedulur lihat tentang perkembangan di istana demak sepeninggal kanjeng sultan, agar tidak terjadi gejolak yang lebih berat lagi, apakah tidak sebaiknya kita menetapkan dan mewisuda raden bagus mukmin untuk dinobatkan menjadi sultan yang baru?, bukankah menurut paugeran memang sudah menjadi hak angger bagus mukmin sebagai putra tertua menggantikan ayahandanya?"
Sejenak suasana pertemuan itu menjadi hening, sebelum Kanjeng Sunan Kidus sembari beringsut mengungkapkan isi hatinya,
"Nanti dulu kanjeng sunan giri.."
demikian sunan kudus sejenak menarik nafas panjang sebelum mengutarakan pendapat selanjutnya
"bukan maksud menerjang paugeran yang memang seharusnya, dan memang seharusnyalah angger bagus mukmin sebagai putra tertua kanjeng sultan yang berhak duduk di dampar keprabon, namun sebagai mana kita tau nama bagus mukmin telah tercemar..... Kanjeng Sunan sekalian... Sebagaimana yang telah dilakukannya membunuh pangeran Kinkin/pangeran seda lepen dengan cara yang tidak terpuji"
"Kanjeng Sunan Kudus"
.. Sambil mengangguk anggukkan kepalanya dengan sareh sunan Giri kemudian berkata kepada sunan Kudus,
"saya tau bahwa peristiwa itu memang menyisakan duri didalam hati bagi kita semua khususnya angger Arya Penangsang, namun apakah kita membiarkan itu sebagai ajang sebuah dendam?"
"Ini bukan perkara dendam kanjeng.." sergah sunan kudus
"Tapi tidak sepantasnyalah seorang yang mempunyai cacat dalam prilakunya duduk di atas singgasana agung seperti itu, walau kita akui memang sifat dalam diri bagus mukmin dapat berubah menjadi baik"
Suasana sejenak menjadi hening, seakan akan meredam suasana ketegangan dalam rembuk praja yang dihadiri para wali tersebut, nampak sunan giri terdiam sambil tangannya memainkan biji-biji tasbih dengan jemarinya dan bibirnya yang selalu bergerak lembut namun tak bersuara.
Demikian pula sunan kudus, sunan kalijaga, sunan gunung jati, sunan drajad, juga sunan muria, semuanya duduk tepekur dan tak satupun bersuara kecuali jari-jari mereka yang lincah memainkan manik-manik tasbih di tangan masing-masing,
Sejenak kemudian suara sunan giri dengan lembut memecah suasana dalam pertemuan itu,
"jadi bagai mana pendapat kanjeng sunan sekalian?"
"Begini..."
sejenak sambil beringsut sunan kudus mengutarakan pendapatnya,
"menurutku kita harus berfikir jauh memandang persoalan ini, menurutku tentu tak ada yang lebih pantas meneruskan pemerintahan ini kecuali jalur pangeran seda lepen"
ssjenak sunan kudus mdnarik nafas panjang sebelum msneruskan maksudnya,
"seperti kita tau pangeran seda lepen adalah salah satu keturunan langsung dari sultan Fatah, selain pangeran sabrang lor dan sultan trenggono"
"Maksud kanjeng sunan kudus, apakah anakmas Arya Penangsang kah yang pantas menggantikan kedudukan kanjeng sultan trenggono?"
sejenak sunan kalijaga menyela sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
"Mengapa tidak.." jawab sunan kudus,
"disisi lain anakmas arya penangsang adalah seorang yang berwawasan tinggi, dan tegas dalam menentukan sstiap langkah demi kemajuan negri ini"
"Maaf kanjeng sunan kudus",
dengan sareh sunan kalijaga kemudian berkata,
"menurut hemat saya kita harus memperhatikan secara menyeluruh dalam memandang kemajuan demak kedepannya nanti, maka tentu kita tidak boleh hanya berpijak pada pandangan bahwa seorang pemimpin haruslah tegas semata, tetapi harus juga mempertimbangkan perkembangan ajaran yang selama ini menjadi tujuan kita ketika praja demak bintoro ini berdiri, dan menurut hemat saya kerajaan demak disini sudah penuh dengan segala ambisi, melakukan segala cara yang jauh dari ajaran Islam untuk meraih suatu kekuasaan,... maka untuk menyelamatkan tujuan utama kita dalam perkembangan islam, saya berpendapat biarlah pemerintahan ini dipercayakan kepada adipati adiwijaya di pajang, sekalipun kotaraja harus berpindah di pedalaman sana, karna sepertinya demak memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dijadikan pusat syiar ajaran yang kita pahami"
"Aku tidak setuju..." sergah sunan kudus,
"Jika kotaraja dipindahkan ke pedalaman sana, apakah kita tidak khawatir ajaran kita akan tercemar dengan ajaran yang sudah ada di sana? terutama hal yang menyangkut tasawuf, yang besar kemungkinan akan bercampur dengan ajaran mistik di sana... lagi pula dari garis trah anakman adiwijaya hanyalah putra menantu kanjeng sultan"
Sesaat sunan kalijaga beringsut daru duduknya untuk menanggapi apa yang dikatakan sunan kudus, namun sebelum berucap, adalah sunan giri telah mendahuluinya,
"cukup, para sedulur sekalian, aku kira kita tak boleh tergesa-gesa menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan untuk praja demak ini kemudian nantinya, untuk sementara biarlah anakman bagus mukmin mengisi kekosongan ini.. sementara kita usaikan dulu rembuk praja sampai disini dulu, marilah seterusnya kita senantiasa berzikir, mudah mudahan Gusti Alloh memberikan petunjuk apa yang terbaik untuk kerajaan demak sekarang ini"
***
Pepohonan didataran amba di perbukitan batu dilereng semeru itu terasa berguncang bagai diterjang prahara yang demikian dahsyat, dahan-dahan yang tak henti meliuk-liuk sementara daun-daunnya berguguran melayang pada hempasan angin yang seakan-akan berputar melingkupi tempat itu, sementara langit begitu cerah menghantarkan pagi semakin naik.
Sebenarnyalah kedua orang itu bagai beetempur semakin sengit, setiap gerak tubuhnya bagai mengungkap getaran angin yang begitu dahsyat, bahkan sesekali tubuh mereka melenting di ketinggian pepohonan di perbukitan itu, sebuah pertarungan yang sulit dimengerti dengan akal sehat, ketika tubuh keduanya bagai tak punya bobot saling berpijak di atas daun-daun yang terjuntai pada batang-batang pepohonan tersebut, meloncat di antara pucuk daun yang satu dengan yang lainnya.
Sejenak terlihat tubuh keduanya sama-sama membubung keatas lalu dengan putaran lembut perlahan dengan ringan tubuh keduanya turun dan kembali berpijak tangan, lalu berdiri sambil berhadap-hadapan.
Maka terlihat jelas mereka adalah seseorang yang masih terbilang muda, sedang lawan bertarungnya adalah seseorang yang sudah menginjak usia setengah abad,
Sementara tidak jauh dari arena itu, disebuah bongkah batu besar duduk seorang yang sudah berusia lanjut, dengan janggut putihnya yang bergerak tertiup angin,
"adi gagak sipat... aku ingin kau tingkatkan tataran demi tataran ilmu itu, aku ingin tau sampai dimana kemampuan cucuku itu"
"Baiklah mpu.."
jawab orang yang dipanggil gagak sipat itu pada orang tua berjanggut putih.
Maka sejenak ki gagak sipat berpaling kembali kepada orang muda dihadapanya yang tidak lain adalah Raden Timur Pamungkas,
"Marilah ngger, kita akan melanjutkan latih tanding ini pada tataran yang lebih tinggi lagi, ungkapkanlah tenaga cadanganmu dengan dilambari aji tameng waja demikian juga aku agar kita tidak menjadi cidera"
"Marilah paman, aku sudah siap" berkata Raden Pamungkas.
Sejenak kemudian kedua orang itu melakukan gerakan gerakan yang begitu mengagumkan, saling berputar, melayang seakan tubuh keduanya tidak berbobot, bahkan tubuh mereka semakin terlihat sepaert bayang-bayang yang bergerak begitu cepat, dalam gerakan-gerakan olah kanuragan yang rumit dan susah di mengerti.
Sapuan-sapuan jurus-jurusnya terasa menggetarkan hingga tanah disekitarnya terbang berhamburan,
Terlihat semburat cahaya kuning yang tipis menyelubungi tubuh pemuda yang tak lain adalah raden pamungkas itu,
"Luar biasa..anak yang usianya masih terbilang muda ini telah mampu menguasai aji tameng waja yang bisa dibilang sempurna",
desis kyai gagak sipat dalam hati,
"semburat cahaya kuning ditubuhnya itu mengisyaratkan betapa tingginya tataran aji tameng waja anak itu"
Sebenarnyalah kyai gagak sipat tidak lagi mengekang pukulan-pukulannya meskipun hanyalah pertarungan gladen, karna sekalipun terjadi benturan namun ki gagak sipat yakin raden pamungkas tidak akan mengalami cidera.
Sementara tataran demi tataran telah meningkatkan pada gerakan-gerakan ilmu kanuragan yang semakin tinggi, maka terlihat justru tubuh keduanya tidak terlihat terlalu banyak bergerak, dengan ketajaman panca indera mereka, seakan-akan tau kapan dan dari arah mana serangan serangan itu datang.
"Berhenti..."
sejenak orang tua berjanggut putih itu memerintahkan,
Orang tua berjanggut putih yang tak lain adalah empu windujati itu kemudian berdiri, berjalan mendekati raden pamungkas dan ki gagak sipat sembari mengangguk anggukkan kepalanya seraya bebrdesiss,
"Bukan main...akutak menyangka ngger jika ilmu kanuraganmu sedemikian tinggi melebihi apa yang aku duga"
"Trimakasih eyang, semua hanya karna kemurahan Yang Maha Agung dari apa yang dapat aku lakukan"
"Memang seharusnya demikian ngger, kita tidak pantas merasa besar delam setiap sisi kehidupan, karna kesempurnaan hanyalah milih yang maha pemurah" .
"Aku juga tak mengira tataran ilmu angger pamungkas sudah sampai sedemikian tingginya" kata ki gagak sipat.
"Bahkan tentu mpu pasti melihat cemburat cahaya kuning nampak menyelubung di tubuh angger pamungkas"
"Yah...itu isyarat dari ilmu tameng waja pada tataran tertinggi, sehingga nantinya sulit ilmu kebal itu ditembus oleh jenis senjata pusaka sekalipun" jawab mpu windujati.
kemudian sesaat ketiga orang itu menepi lalu perlahan mereka duduk melingkar diatas batu besar dibawah pohon yang begitu teduh,
"Bersyukurlah kau telah di anugrahi berbagai ilmu yang mungkin akan sangat berguna bagi dirimu ngger, tentu harapku juga akan berguna menjadi tatanan hidup yanhg kini terasa semakin memprihatinkan ini., bahkan ilmu-limu itu memgemdap begitu kuat dalam tubuhmu,, sebenarnya lah aku tak tau bagaimana kau dapat menyadap ilmu-ilmu itu dengan begitu sempurna sudut pandang kita, di usiamu yang masih terbilang muda ilmu kau sudah hampir menyundul langit"
"Benar mpu.." sambil mengangguk-anggukkan kpalanya ki gagak sipat berkata
"Akupun menyadari setelah latih tanding tadi, rasa-rasanya ilmu angger pamungkat telah jauh melampauiku, melampaui seorang yang sebentar lagi juga akan menuju senja"
"Ahh, eyang, juga paman gagak sipat terlalu memuji, sebenarnyalah tidak ada yang istimewa dari aku ini, bagaimanapun aku hanyalah titah yang lemah karna bagiku hanyalah Yang Maha Agung lah yang segala-galanya"
jawab raden pamungkas dengan kepala yang semakin menunduk,
"Sudahlah ngger, sudah barang tentu aku sangat mengenal watakmu, dan watk itulah yang menarik hatiku untuk menitipkan apa yang kumiliki kepadamu, walau aku tau sebenarnyalah kamu bukan salah satu murid padepokan windujati, padepokan windujati yang kini tinggal nama, seiring tenggelamnya majapahit beberapa tahun lalu, akupun tak tau dimana kini keberadaan muridku yang hanya dua orang itu, hanya seperti kau tau ngger, hanya pamanmu gagak sipat yang dulu menjadi kepala rumah tangga di padepokan yang kini masih mengikuti aku sampai di sini"
Terlihat ki gagak sipat hanya menarik nafas dalam-dalam kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Rajah yang tergambar di pergelangan tanganmu itu menegaskan kamu adalah keluarga perguruan windujati ngger, meskipun secara garis perguruan kau bukanlah murid padepokan windujati"
berkata mpu windujati kemudian, sementara raden pamungkas dengan seksama mendengar dan menyimpan dalam hati apa-apa yang di katakan mpu windujati.
Sejenak empu windujati menarik nafas dalam-dalam, sejenak terdiam sebelum meneruskan ucapannya,
"pamungkas,.. Simbol cakra bergerigi sembilan dan cambuk yang terajah pada pergelangan tangan itu adalah ciri dari keluarga perguruan windujati, adapun kau harus tau ngger, bahwa itu bukanlah sekedar gambar yang tek punya maksud, maka kau harus memahami itu, karna rajah yang ada pada pergelangan tanganmu itu merupakan sebuah tanggung jawab yang harus kau junjung tinggi ngger" dengan tatapan mata yang tajam namun mengandung kelembutan mpu windujati sebentar memandang wajah raden pamungkas, seakan ingin menelisik sesuatu yang tersembunyi di dalam kepala cucunya itu, kemudian sebelum meneruskan ucapannya mpu windujati berdesis dalam hati, "anak ini mempunyai aura kelembutan yang dalam, juga kepedulian yang tinggi, dan ada sikap kehati-hatian yang tinggi pula yang cenderung seperti sifat sedikit keragu raguan, namun jiwa welas asihnya sangat kentara,... semoga pandangan mata batinku tidak keliru"
"Pamungkas.." kembali mpu windujati meneruskan ucapannya,
"Yang pertama simbol cambuk itu seperti yang kau tau itu adalah ciri sebuah senjata perguruan windujati, ya....cambuk merupakan senjata untuk memberikan peringatan pada sebuah prilaku yang menyimpang, tidak seperti halnya senjata-senjata dalam wujud pedang, tombak, atau senjata tajam lainnya yang bersifat membunuh, karna perguruan windujati tidak mengutamakan penyelesaian dengan cara membunuh, melainkan penyadaran diri, kecuali jika lawan tidak mau menyerah dengan alasan apapun, maka cambuk itu bisa juga digunakan sebagai alat pembunuh melebihi tajamnya pedang,,,, untuk itu ngger pada wujud cambuk itu ada simbol sebuah cakra bergerigi sembilan yang mengejawantahkan sembilan wewaler yang harus ditaati oleh setiap anak murid perguruan windujati"
"Apakah arti sembilan wewaler dalam sembilan gerigi simbol cakra itu eyang?, bolehlah cucu mendengarnya sebagai pegangan nantinya" dengan lirih raden pamungkas bertanya.
"Sudah tentu ngger.. Adalah wajib bagi keluarga perguruan windujati untuk tidak hanya mengetahui, namun wajib mengikuti aturan itu, karna pada dasarnya ilmu kanuragan hanyalah sebuah biang bencana tanpa dibayangi tingginya ilmu kajiwan yang bermuara pada ajaran Yang Maha Agung" demikian mpu windujati melanjutkan wejangan-wejangan kepada raden pemungkas.
"Jebeng,... Sesungguhnyalah sembilan wewaler pada lambang cakra bergerigi sembilan itu telah tertulis pada salah satu bagian di lontar yang telah aku pegang itu, namun baiklah ngger, aku akan sedikit memaparkan sehingga dapat kau jadikan pembuka dalam memahami maknanya"
"Jebeng,...ada tertulis wewaler yang pertama ELING MARANG NGELMU SARAK DALIL SINUNG KAMURAHANING PANGERAN, maka haruslah kamu selalu ingat akan norma-norma yang berlaku, agar senantiasa mendapat berkah yang datang dari Yang Maha Murah"
"Adapun wewaler yang ke dua adalah MERSUDI AMRIH RAHAYUNING SASAMINIRA SINUNG AYATING PENGERAN, maka berusahalah dengan sungguh-sungguh melakukan hal yang senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama, seperti apa yang dititahkan Sang Pencipta"
"Wewaler ketiga adalah ANGRAWUHANA NGELMU GAIB, NANGING AJA TINGAL NGELMU SARAK, IKU PERABOTING LAKU KANG UTAMA, pahamilah ilmu yang tak kasat mata, hingga kamu tidak selalu berpegang dengan apa yang kamu lihat agar kamu selalu bijak memahami kehidupan ini"
"Yang ke empat AJA KURANG PAMARIKSANIRA LAN DEN AGUNG PANGAPURANIRA, tidak boleh bertindak gegabah dalam memutuskan suatu perkara, apakah itu salah dan benar selalulah mengutamakan pintu maaf yang sebesar-besarnya"
"Yang kelima AGAWE KEBECIKAN MARANG SASAMANIRA TUMITAH, AGAWEYA SUKANING MANAH SASMINING JALMA, harus selalu berbuat kebaikan kepada sesama kita diciptakan, berbuat sesuatu agar setiap orang merasa tentram"
Sejenak mpu windujati terdiam sesaat, seakan memberikan kesempatan kepada raden pemungkas untuk memahami makna yang di utarakannya sebelum melanjutkannya.
Sesaat mpu windujati menarik nafas dalam lalu melanjutkan,
"Lalu wewaler yang ke enam AJA RUMANGSA TANSAH BENER LAN BECIK, RUMANGSAA ALA LAN LUPUT, DEN AGUNG PANALANGSANIRA MARANG PENGERAN, adapun janganlah kamu selalu merasa diri kamu benar ngger, sadarilah bahwa kita titah yang tak pernah lepas dari kekeliruan, maka mintalah selalu petunjuk dari yang maha Agung"
"yang ketujuh adalah ANGENAKNA SARIRA HANARIMA SANGKAN PARANING DUMADI, AJA NGGRANGSANG SAMUBARANG KANG SINEDYA, maka cukupkanlah apa yang kamu miliki, dan janganlah tamak pada apapun yang ada.
"yang ke delapan TANSAH ELINGA KANG MURBENG JAGAT, AJA PEGAT RINA LAN WENGI, maka haruslah kamu selalu ingat kepada sang pencipta, jangan sekalipun putus baik siang maupun malam"
"Adapun yang kesembilan adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari, MA LIMA, tentu kamu tau apa maksudnya ngger"
Sejenak raden pamungkas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis lirih,
"Aku mengerti eyang, semoga aku dapat menjunjung tinggi tanggung jawab ini"
"Baiklah ngger, aku percaya kau setidaknya akn selalu berusaha memperhatikan dan melakukan petunjuk-petunjuk itu semampu yang kau bisa"
Lalu terlihat mpu windujati menengadahkan wajahnya sambil meneruskan perkataannya,
"Agaknya matahari belumlah terlalu surut kebarat, masih ada waktu untuk melakukan latihan-latihanmu,.... Sebenarnyalah tiba saatnya bagiku untuk melihat tataran ilmu cambuk sebagai cirikas ilmu yang ku berikan padamu, namun.."
"Sebelum kau tunjukkan jurus-jurus cambuk itu, aku ingin bertanya padamu ngger, katakanlah apa yang kau pahami tentang ilmu cambuk itu, setelah sekian lama kau mempelajarinya, aku memang tidak selalu bisa membimbingmu namun aku yakin kamu seorang yang cerdas dalam memahami ilmu itu"
Sementara raden pamungkas masih terdiam...
kemudian sekilas dilayangkanlah tatapan matanya kepada ki gagak sipat yang sedari awal mendengarkan percakapan kakek dan cucu tersebut
"Jangan kau sungkan dengan pamanmu ki gagak sipat itu ngger, dia bukan orang lain dalam hubungannya dengan kita" demikian mpu windujati terlihat tersenyum seakan tau apa yang dipikirkan raden pamungkas tersebut,
Sementara ki gagak sipatpun ikut tetsenyum dan mengangguk anggukkan kepalanya,
"Mungkin angger pamungkas khawatir ilmu cambuknya aku tiru.. ha ha ha ha" demikian ki gagak sipat sejenak bergurau,
"Ah, tentu tidak paman, paman sebagai pengikut setia eyang widujati tentu lebih memahami perihal ilmu cambuk itu daripada aku" jawab raden pamungkas yang kemudian juga tersenyum.
"Tidak angger, justru apa yang ku ketahui hanyalah sekedar lecutan permainan cambuk seorang penggembala", ki gagak sipat meneruskan gurauannya.
"Sudahlah, sebelum matahari bergeser semakin kebarat, mulailah apa yang telah kau pahami tentang ilmu cambuk itu ngger" sahut mpu windujati.
"Baiklah eyang, namun sebelumnya mohon petujuk jika aku keliru dalam pemahan ilmu yang aku telah pelajari itu,.."
Kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam raden pamungkas berkata,
"Seperti yang aku pahami pertama-tama adalah watak dari senjata cambuk itu sendiri dalam pemahaman perguruan windu jati, yang dapat dijadikan satu wewaler yang terpisah melengkapi sembilan wewaler pada simbol cakra yang terkait ujung juntai cambuk itu sendiri, bahwa cambuk adalah isyarat untuk menyadarkan sebuah kekeliruan orang dalam prilaku yang menyimpang, meskipun cambuk juga merupakan isyarat untuk memberi semangat pada sebuah harapan yang di inginkan, secara kewadagan cambuk tidak setajam pedang atau tombak yang cenderung mengungkapkan watak membunuh, kecuali melumpuhkan lawan supaya menyadari kekeliruannya, maka dari itu membunuh bukanlah tujuan utama dalam penguasaan ilmu cambuk, kecuali memang benar-benar terpaksa"
Nampak terlihat mpu windujati mengangguk anggukkuan kepalanya sambil mendengarkan dengan seksama apa yang di utarakan cucunya tersebut.
Kemudian raden pamungkas melanjutkan bicaranya,
"Sebenarnyalah apa yang aku ketahui ilmu cambuk itu mempunyai beberapa tataran, sehingga menjadi empat tingkatan. Tingkat permulaan hanyalah bersifat kewadagan saja, tataran diatasnya adalah pengungkapan gerak yang dilandasi kekuatan tenaga cadangan, tataran ketiga sebenarnya merupakan tataran puncak dari ilmu cambuk itu sendiri, hingga tataran ke empat merupakan tataran tertinggi yang dalam lontar itu di sebut, PECUT SUWUNG RINEKSAN AJI, artinya bahwa pada puncak tertinggi ilmu cambuk itu akan bisa di gunakan untuk mengtrapkan ilmu yang di miliki oleh orang yang menggunakan cambuk tersebut, hingga lontaran ilmu yang tersalur pada lontaran cambuk itu dapat mengungkapkan kekuatan yang berlipat ganda"
Demikianlah secara singkat raden pamungkas memaparkan apa yang telah disadapnya secara lesan tentang watak dan kekuatan dari ilmu cambuk tersebut.
Kemudian ketiga orang itu kembali menuju ara-ara amba, dimana beberapa saat lalu dijadikan tempat uji tanding antara raden pamungkas dan ki gagak sipat.
Lalu terdengar mpu windujati berkata,
"Pamungkas...mulailah kau tunjukkan pada eyang sampai dimanakah tataran ilmu cambuk yang telah kau kuasai, gunakalah batu-batu di sana itu sebagai lawan tanding, karna akan sanyat berbahaya jika pamanmu yang menjadi teman latih tandingmu seperti tadi"
"Baiklah eyang, aku mohon petunjuk..."
Jawab raden pamungkas yang kemudian berjalan pelan menuju tempat yang dimaksudkan.
Terlihat raden pamungkas telah mengurai cambuk yang selalu melilit dibalik bajunya, cambuk bertangai pendek dengan juntai panjang yang sudah lama menjadi senjata andalannya, cambuk yang seakan-akan sudah akrab dengan dirinya baik tentang watak atau kedahsyatannya.
Sesaat raden pamungkas tegak berdiri untuk memusatkan nalar dan budinya, kemudian melakukan gerakan-gerakan permulaan dari jurus-jurus senjata cambuk tersebut,
Dengan di awali lecutan pertama yang menggelegar memekakkan telinga raden pamungkas bergera perlahan dalam tumpuan kedua kaki yang terlihat kokoh.
Perlahan-lahan gerakannya menjadi cepat, meloncat maju, meloncat menyamping dengan kombinasi sapuan gerakan kaki memutar kekanan, lalu meloncat keatas disusul hentakan cambuk di udara.
Kembali terdengar ledakan yang sangat keras seakan suara itu memenuhi arena tersebut, lalu menggema di antara tebing-tebing jauh.
Demikian sekian lama ledakan-ledakan suara cambuk itu teedengar berulang-ulang kemudian diakhiri dengan gerak berputar dan berdiri dengat tangan kiri menyilang didada sementara tangan kanan memegang tangkai cambuk yang ujungnya terjuntai di tanah.
Sejenak kembali raden pamungkas memusatkan nalar dan budinya untuk mencoba tataran yang ke dua,
Maka perlahan-lahan tangan kanan yang memegang cambuk itu terangkat sampai di depan dada bersilang dengan tangan kirinya,
Lalu terlihat kaki kanan surut selangkah sebelum meloncat maju dengan sedikit memutar tubuhnya dihentakkanlah cambuk tersebut.
Tidak terdengar ledakan sekeras tadi, namum getaran yang ditimbulkannya begitu tajam, gelombang getaran itu tidak terlihat namun terasa sangat menghentak dada.
Tak jauh dari arena itu mpu windujati juga ki gagak sipat kadang mengangguk-anggukkan kepalanya, juga kadang menggeleng-gelengkan kepalanya seraya bergumam,
"anak itu luar biasa..."
Masih dalam tataran kedua, kemudian raden pamungkas menggerakkan cambuknya sendal pancing, berulang ulang, sehingga rerumputan di arena itupun berpatahan lalu terhambur di udara,
Sekali lagi gerakan sendal pancing itu terlihat, lalu diawali satu teriakan raden pamungkas meloncat lalu melecutkan sekali lagi juntai cambuknya ke arah batu besar didekatnya,
Tidak terlalu keras suara ledakan cambuk itu, namun batu sebesar kepala kerbau itu hancur berkeping keping.
Sesaat raden pamungkas berdiri termangu-mangu memandang batu yang hancur itu, lalu sebentar menarik nafas dalam-dalam berulang dengan mata terpejam, tangan kiri bersilang di depan dada.
Memasuki tataran ketiga kembali raden pamungkas memusatkan akal budinya, kemudian dilecutkanlah juntai cambuk secara sendal pancing menyusur ke tanah,
Dan yang terjadi adalah demikian dahsyatnya,
Walau tidak terdengar keras suara ledakan cambuk itu sendiri namun seakan-akan terungkap gelombang tak kasat mata medorong tanah melaju cepat kedepan hingga tanah berhamburan, meninggalkan segaris rengkahan tanah yang memanjang.
Lalu dengan loncatan ke atas dihentakkannya kembali cambuk itu sendal pancing di udara, maka terungkaplah cahaya-cahaya keputih-putihan bagai kilat mengiringi setiap lecutan-lecutan cambuknya,
Ketika ujung cambuk dilecutkan kedepan kearah gundukan batu-batu besar itu maka seleret cahaya pitih perak meluncur secepat kilat telah menghantam bebatuan itu.
Hentakan cambuk itu memang masih tetap tidak bersuara terlalu keras, namun telah terjadi ledakan yang amat dahsyat pada bebatuan tersebut hingga bebatuan itu hancur menjadi sepihan debu yang berhamburan di udara,
Terlihat raden pamungkas berdiri tegak mematung, seraya berdesis dalam hati,
"Apakah suatu saat aku dengan ilmu ini akan melumatkan tubuh manusia?, tidak, aku tak mungkin membenturkan kekuatan puncak ilmu cambuk ini ke tubuh manusia, kacuali memang sangat-sangat terpaksa... sungguh aku tak bisa membayangkan apa jadinya jika bebatuan itu tubuh manusia".
Demikian sesaat telah terjadi perdebatan dalam hati raden pamungkas, hingga membuat raden pamungkas termangu-mangu begitu lama, hingga tak terasa kepulan debu bekas bebatuan itu perlahan-lahan luruh.
Tak terlihat lagi tumpukan bebatuan besar di ujung tebing itu kecuali onggokan butiran lembut debu berserak ditempat dimana bebatuan itu sebelumnya terletak.
Seperti tersadar raden pamungkas sejenak menggerakkan tangan kanannya, lalu menarik juntai cambuk panjang itu, kemudian tangan kirinya meraih ujungnya.
Sesaat diperhatikannya ujung cambuk itu seraya berkata dalam hati.
"Masih ada satu tataran lagi yang harus aku lakukan, hhhhm, semoga aku dapat menuai apa yang selama ini pelajari, aku harus memusatkan lagi nalar dan budi dengan lebih sempurna supaya aku mampu mengungkapkan ilmu ini...semoga"
Sementara di pinggir ara-ara amba mpu widujati bersama dengan ki gagak sipat semakin seksama memperhatikan setiap gerak raden pamungkas, berulang kali mpu windujati mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berdesis,
"adi gagak sipat... apakah yang kau lihat dengan anak itu"
Demikian mpu windujati betanya lirih,
Sesaat ki gagak sipatpun menjawab,
"sebenarnyalah aku tidak memuji anak itu mpu, namun menurut pengeliatanku anak itu sidah benar-benar bisa dikatakan sempurna menurut tataran pada umumnya dalam mengungkapkan ilmunya, walau memang kesempurnaan itu ada pada Yang Maha Agung"
"Kamu benar adi, memang tidak ada manusia yang sempurna, namun menurut pengamatanku, sebenarnyalah anak itu telah mencapai tataran yang sangat tinggi, kita masih akan melihat tataran yang paling tinggi yang akan diperlihatkan cucuku itu adi" jawab mpu windujati.
Kemudian di tengah ara-ara amba itu terlihat raden pamungkas berdiri tegak memandang tumpukan bebatuan lain yang terlihat lebih besar dengan bebatuan yang telah dihancurkannya.
Tangan kanannya masih memegang ujung tangkai cambuknya sementara tangan kiri memegan ujung juntai cambuk itu.
Perlahan-lahan raden pamungkas berjalan mendekat pada tumpukan bebatuan besar di tepian tebing itu, kemudian berdiri tegak beberapa tombak di depan bebatuan itu,
Sejenak ditundukkanlah kepalanya sekejap kemudian sambil memusatkan nalar dan budi disilangkannya tangan kiri di depan dada, lalu cambuk di tangan kanannya di angkat tinggi-tinggi, perlahan satu kaki kananpun terangkat sementara lutut sedikit ditekuk dengan satu kaki menopang tubuhnya,
Sesaat terlihat cambuk ditangan kanan raden pamungkas bergetar kemudian terlihat pangkal cambuk itu ditariknya kebelakang diikuti ujung juntainya tertarik kebelakang juga.
Maka didahului dengan loncatan setenga memutar, dihentakkanlah ujung juntai cambuk itu ka arah bebatuan besar itu.
Seleret sinar hijau tajam telah terpanjar dari ujung juntai cambuk itu, dan secepat kilat menghantam bebatuan besar di kaki tebing itu.
Tak terdengar suara yang terjadi pada benturan itu, hanya cahaya raksasa berkilat sesaat di tubuh bebatuan itu.
"Mpu..!! apakah aku tak salah lihat" bertanya ki gagak sipat kepada mpu windujati.
"Sasrabirawa..."
Mpu windujati pun berdedesis, lalu bertanya dalam hatinya,
"Apakah adi Dipa Sanjaya menguasai ilmu itu, sehingga anak itu mampu menyadapnya?"
Kemudian mpu windujati bersama ki gagak sipat mendekati raden pamungkas yang terlihat berdiri termangu-mangu memandang bebatuan yang masih terlihat utuh itu.
"Nampaknya kau sudah berhasil ngger"
Berkata mpu windujati, yang kemudian raden pamungkas menoleh lalu mengangguk hormat pada kakeknya tersebut,
"pengestu eyang, mudah-mudahan aku dapat menjaga tanggung jawab dari apa yang telah di anugrahkan yang Maha Agung ini eyang" jawab raden pamungkas
Sesaat mpu windujati mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berjalan mendekati bebatuan besar dimana setelah terjadi benturan dengan ilmu yang dilontarkan raden pamungkas tadi
Perlahan ujung jari mpu windujati menyentuh sisi bebatuan itu dan apa yang terjadi demikian mengagumkan.
Batu itu luruh menjadi serpihan lembut seperti bubuk lalu teronggok ke tanah.
"Sebuah sentuhan ilmu yang luar biasa, aku jadi teringat kepada seseorang "
Sesaat mpu windujati berdesis dalam hati kemudian menangguk anggukkan kepalanya.
Sesaat mpu windujati berdesis dalam hati kemudian menangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian perlahan-lahan mpu windujati berjalan mendekati raden pamungkas yang masih nerdiri diam, sementata tangan kanannya masih memegang cambuk yang ujungnya terjuntai di tanah.
"Simpanlah cambuk itu ngger"
Seperti tersadar dari lamunannya raden pamungkas segera melingkarkan cambuk itu di balik bajunya.
Lalu terdengar mpu widujati kembali berkata,
"Bersyukurlah ngger, kau telah menerima anugerah semua ini, aku rasa di usiamu yang sekarang ini bekalmu sudah melimpah, untukmu mengarungi kerasnya jaman ini, namun mengertilah ngger, sebenarnyalah musuh terberat yang akan kau hadapi nantinya tidak lain adalah dirimu sendiri, itulah sesungguhnya tanggung jawab itu"
Lalu raden pamungkas pun menjawab,
"Trimakasih eyang, sesungguhnya yang dapat aku lakukan hanyalah atas ijin Yang Maha Agung, dan restu eyang semoga aku mampu melakukan apa yang menjadi kuwajibanku dengan baik "
"Trimakasih eyang, sesungguhnya yang dapat aku lakukan hanyalah atas ijin Yang Maha Agung, dan restu eyang semoga aku mampu melakukan apa yang menjadi kuwajibanku dengan baik "
Kemudian terlihat mpu windujati diam sesaat, sementara matahari telah semakin bergeser menuju peraduannya,
Raden pamungkas melihat mata yang masih telihat bening diantara kerut-kerut wajah yang semakin menua itu seakan memandang jauh pada batas yang didak dipahaminya,
Raden pamungkas melihat mata yang masih telihat bening diantara kerut-kerut wajah yang semakin menua itu seakan memandang jauh pada batas yang didak dipahaminya,
"Eyang, apakah tidak sebaiknya kita kembali ke pondok pesanggrahan saja, nampaknya hari akan menjadi gelap, aku tak ingin eyang terlalu lelah berdiri disini" berkata raden pamungkas.
"oh, ,, ya marilah.."
Sejenak mpu windujati tersadar dari lamunan nya, lalu sambil tersenyum kemudian berkata,
Sejenak mpu windujati tersadar dari lamunan nya, lalu sambil tersenyum kemudian berkata,
"jarak ara-ara amba dengan pesanggrahan eyang tidak terlalu jauh ngger, tidak sampai ribuan tonggak, meski harus berjalan naik turun, tapi jangan cemaskan aku, meskipun ragaku ini sudah rapuh termakan umur, aku masih mampu sedikit berjalan-jalan mengintari ara-ara amba ini"
Demikian sambil tertawa lirih empu wndujati meneruskan bicaranya,
"Baiklah marilah kita pulang, sebenarnya masih banyak hal-hal yang ingn aku katakan kepadamu ngger, namun lebih baik kita bicara di rumah saja sebelum lepas malam"
"Baiklah marilah kita pulang, sebenarnya masih banyak hal-hal yang ingn aku katakan kepadamu ngger, namun lebih baik kita bicara di rumah saja sebelum lepas malam"
Kemudian mpu windujati sejenak melangkah di ikuti raden pamungkas juga ki gagak sipat. Namun raden pamungkas seketika tertegun melihat sesuatu yang aneh, hingga tak terasa justru langkahnya terhenti, kemudian bertanya lirih kepada ki gagak sipat,
"Paman, apakah paman melihat sesuatu yang aneh?"
"Maksud angger?"
Ki gagak sipat balik bertanya, kemudian raden pamungkas mengutaraka ke anehan yang dilihatnya,
Ki gagak sipat balik bertanya, kemudian raden pamungkas mengutaraka ke anehan yang dilihatnya,
"Paman, apakah aku tidak salah lihat, atau mungkin mataku yang menjadi kabur meskipun aku belumlah tua..., tidakkah paman melihat keanehan itu?", sambil menggeleng-gelengkan kepala raden pamungkas kemudian melanjutkan'
"Paman, aku tidak melihat kakek berlari, kakek berjalan wajar seperti kita, tapi setiap kali melangkah kenapa tiba-tiba kakek berada jauh puluhan tombak di depan kita,"
"Paman, aku tidak melihat kakek berlari, kakek berjalan wajar seperti kita, tapi setiap kali melangkah kenapa tiba-tiba kakek berada jauh puluhan tombak di depan kita,"
Sebenarnyalah memang mpu windujati terlihat berada jauh di depan mendahului jalan raden pamungkas juga ki gagak sipat,
Lalu dengan tersenyum ki gagak sipat kemudian menjawab,
Lalu dengan tersenyum ki gagak sipat kemudian menjawab,
"Ah, angger jangan heran, bukankah eyang angger itu bukan orang tua kebanyakan, dalam tubuhnya beesemayam ilmu-ilmu langka yang barangkali saat ini jarang ada orang yang mengenalinya"
"Paman, sebagai orang yang gemar mengikuti arah angin, aku banyak menjumpai ilmu-ilmu sejenis itu, baik ilmu meringankan tubuh atau ilmu lari cepat, namun bukankah eyang tidak berlari?"
"Angger, sebenarnyalah apa yang kau lihat itu adalah pengungkapan AJI KIDANG MELAR,"
"Aji Kidang melar..?" desis raden pamungkas,
"ya, jenis ilmu memindahkan tubuh yang sangat langka, maka jangan heran jika kakek angger itu dalam waktu singkat mampu pulang balik dari pesanggrahan di lereng gunung semeru ke padepokan dipedukuhan jatirogo itu dengan berjalan kaki," kata ki gagak sipat.
"Padepokan eyang windujati dipedukuhan terpencil di jatirogo?, di sanalah aku menghadap eyang pertama kalinya, tapi bukankah itu letaknya masih wilayah kadipaten Lasem?"
"Demikianlah ngger, jarak bukanlah hal yang terlampau penting bagi mpu, dalam menempuh perjalanan,... Konon ilmu kidang melar itu dulu dimiliki para ksatria majapahit, bahkan maha patih gajah madapun konon menguasai ilmu itu,... Sudahlah ngger marilah kita berjalan, mungkin mpu sekarang sudah sampai di pringgitan menunggu kita"
Sambil tersenyum ki gagak sipat sejenak melangah, sementara raden pamungkas mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berdesis,
"marilah paman.."
Demikian sesaat setelah raden pamungkas dan ki gagak sipat sampai di pintu regol pondok di lereng semeru itu, mereka telah melihat mpu windujati telah duduk di pringgitan, sesekali telapak tangannya membelai janggut putih nya,
Dan ketika melihat kedatangan raden pamungkas juga ki gagak sipat, seraya berkata sambil menyunggingkan senyum nya,
Dan ketika melihat kedatangan raden pamungkas juga ki gagak sipat, seraya berkata sambil menyunggingkan senyum nya,
"Marilah ngger, sudah sejak tadi aku menunggu mu"
"Trima kasih eyang",
sesaat raden pamungkas naik ke pringgitan sambil memandang kakeknya lalu berkata,
"Satu pertunjukan yang menggumkan"
sesaat raden pamungkas naik ke pringgitan sambil memandang kakeknya lalu berkata,
"Satu pertunjukan yang menggumkan"
"Ah, cuma permainan usang ngger, permainan yang cocok buat tubuh renta separti aku ini, rasanya akau sudah tidak mampu lagi naik kuda kemana-mana, aku hanya bisa berjalan-jalan", kembali terlihat senyum mpu windujati kepada cucunya, "tapi sudahlah, pergilah kau ke pakiwan bersama pamanmu gagak sipat, sebelum lepas malam kita bisa melanjutkan pembicaraan, karna sesungguhnyalah aku masih ada sedikit hal yang perlu kau ketahui"
Setelah sekian waktu kedua orang itu membersihkan diri dipakiwan, demikian setelah semuanya selesai merekapun bergegas menuju pringgitan,
"Marilah ngger, marilah adi gagak sipat"
Mpu windujati lalu mempersilahkan keduanya.
Mpu windujati lalu mempersilahkan keduanya.
Sejenak kemudian mereka mulai duduk melingkar dipringgitan itu, sesekali diteguknya minuman hangat yang terasa mampu menawarkan hawa yang semakin dingin,
"Wedang sere bikinan adi gagak sipat memang rasanya tak ada duanya, itulah maka aku suka adi mengikutiku kemana aku tinggal" kata mpu windu jati sedikit bercanda sambil tersenyum,
Sementara ki gagak sipat hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil teesenyum pula.
Sementara ki gagak sipat hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil teesenyum pula.
Setelah selesai mereka menikmati minuman dan ubi ganyong itu, maka terdengan mpu widujati mulai bicara,
"Pamungkas, sudah lama aku tidak bertemu gurumu, apakah kabarnya baik-baik saja"
Kemudian dengan lirih raden pamungkas menjawab,
"Pengestu eyang, sebenarnyalah guru dalam keadaan tak kurang suatu apapun, namun rupanya guru juga sudah tak ingin lagi melihat hiruk pikuknya bebrayan agung ini eyang", setelah diam sesaat sambil menatik nafas dalam-dalam raden pamungkas meneruskan ucapannya. "Guru pergi menepi di suatu tempat terpencil disebuah pedukuhan di timur gunung merbabu"
"Pengestu eyang, sebenarnyalah guru dalam keadaan tak kurang suatu apapun, namun rupanya guru juga sudah tak ingin lagi melihat hiruk pikuknya bebrayan agung ini eyang", setelah diam sesaat sambil menatik nafas dalam-dalam raden pamungkas meneruskan ucapannya. "Guru pergi menepi di suatu tempat terpencil disebuah pedukuhan di timur gunung merbabu"
"Adi Dipa sanjaya.. " kemudian empu widujati berdesis, lalu pandangan matanya seakan terpaku pada gelapnya malam, membuka kembali saat-saat lampau tentang adik seperguruannya yang juga guru dari cucunya itu, Lalu kembali berkata.
"Sudah lama aku tidak bertemu gurumu itu, terakhir dia menemui aku beberapa tahun yang lalu di jatirogo... dia datang bersama sahabatnya yang tidak lain putra mendiang kakang mas pangeran handayaningrat"
"Ki Kebo Kanigoro, maksud eyang?"
"kau mengenalnya ngger?"
"ya eyang, beberapa saat lamanya ki kebo kanigoro sering berkunjung di padepokan, lalu juga pergi bersama guru beberapa kali pula" jawab raden pamungkas.
Empu windujati lalu mengangguk angguk kan kepalanya, dan setelah menarik nafas panjang kemudian berkata,
"gurumu itu mempunyai sifat yang aneh, seseorang yang boleh dibilang suka mempelajari penyatuan gerak olah kanuragan dari beberapa unsur perguruan, walau memang dia membatasi hanya pada aliran putih, sampai-sampai pada perkembangannya aku sempat hampir tidak melihat unsur ilmu gurumu dalam hubungannya dengan ilmuku dimana kami dulu berguru dalam satu aliran..., maka dari itu aku tak heran jika kau mampu meluluhkan ilmu aliran pengging itu pada puncak tertinggi dari ilmu cambuk yang kau salurkan tadi"
"gurumu itu mempunyai sifat yang aneh, seseorang yang boleh dibilang suka mempelajari penyatuan gerak olah kanuragan dari beberapa unsur perguruan, walau memang dia membatasi hanya pada aliran putih, sampai-sampai pada perkembangannya aku sempat hampir tidak melihat unsur ilmu gurumu dalam hubungannya dengan ilmuku dimana kami dulu berguru dalam satu aliran..., maka dari itu aku tak heran jika kau mampu meluluhkan ilmu aliran pengging itu pada puncak tertinggi dari ilmu cambuk yang kau salurkan tadi"
Raden Pamungkas hanya tertunduk mendengarkan apa yang di katakan kakeknya itu,
Ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, namun dia yakin kakeknya bukanlah seorang yang kolot membatasi perkembangan ilmu dengan hanya brdasarkan satu unsur saja. seperti halnya raden pamungkas sendiri juga menyadap ilmu dari perbagai unsur pula, bahkan dapat luluh dalam dirinya hingga watak ilmu-ilmu itu tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya.
Ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, namun dia yakin kakeknya bukanlah seorang yang kolot membatasi perkembangan ilmu dengan hanya brdasarkan satu unsur saja. seperti halnya raden pamungkas sendiri juga menyadap ilmu dari perbagai unsur pula, bahkan dapat luluh dalam dirinya hingga watak ilmu-ilmu itu tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya.
Sesaat kemudian terlihat justru mpu windujati sambil tersenyum berkata,
"pamungkas, apakah kau juga meniru prilaku gurumu yang punya seribu nama itu?
Hanya senyum pula jawaban raden pamungkas.
"terakhir aku mendengar adi dipa sajaya itu bergelar Ki Ajar Tundhung Lara.. ya, dia juga seorang ahli pengobatan yang luar biasa, dia sangat tekun mendalami kitab tentang pengobatan dari guru, hingga pada suatu saat entah dari mana gurumu mendapatkan sebuah batu cincin yang mampu menawarkan segala jenis racun yang paling tajam sekalipun"
Sejenak empu windujati terdiam sambil menatap jari tengah di tangan kanan raden pamungkas seraya berkata,
"Dan rupa-rupanya cincin itu telah di wariskan kepadamu ngger"
"Dan rupa-rupanya cincin itu telah di wariskan kepadamu ngger"
Sambil memandang cincin batu akin di jarinya kemudian raden pamungkas berkata,
"Demikianlah eyang, memang guru memberikan cincin ini padaku sebelum guru pergi ke pertapaannya untuk menyepi"
"Demikianlah eyang, memang guru memberikan cincin ini padaku sebelum guru pergi ke pertapaannya untuk menyepi"
"Apakah kau juga mempelajari ilmu pengobatan itu ngger?
Sahut mpu widujati
Sahut mpu widujati
"Sebenarnyalah eyang" jawab raden pamungkas singkat.
"Dengan demikian bekalmu semakin lengkap ngger.., pesan ku pergunakanlah segala apa yang di anugerahkan Yang Maha Agung padamu itu sebaik-baiknya, untuk memayu hayuning bebrayan"
"Pengestu eyang, aku akan selalu mengingat segala petunjuk yang eyang berikan padaku" terdengar suara raden pamungkas lirih.
Sejenak suara binatang malam semakin mengisi keheningan di sekitar pondok itu, juga mengisi suasana percakapan ketiga orang itu yang beberapa saat terdiam, sebelum suara mpu widujati kemudian kembali terdengar.
"Pamungkas..., sudah sekian lama aku berada di pondok ini, untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Agung, melepaskan segala urusan yang menjemukan dari kehidupan ramai, namun aku seakan merasakan tubuh tuaku ini sudah saatnya kembli ke asalnya"
"Jangan berkata demikian eyang..." sela raden pamungkas.
Namun sebelum raden pamungkas meneruskan bicaranya mpu windujati pun menyahutinya, hingga membuat raden pamungkas hanya kembali diam.
Namun sebelum raden pamungkas meneruskan bicaranya mpu windujati pun menyahutinya, hingga membuat raden pamungkas hanya kembali diam.
"Dengarkan dulu ngger... Memang kita tidak akan mendahului kehendak Sang Pencipta, namun isyarat itu selalu saja datang pada saat saat tertentu,... untuk itu mungkin besok atau lusa aku akan meninggalkan pesanggrahan ini, jika Sang Pencipta menghendaki aku, biarlah aku menhadadap, namun aku ingin kembali ke padepokan ku di jatirogo"
Setelah menarik nafas panjang kemudian mpu windujati melanjutkan ucapannya kembali.
"Besok setelah matahari sepenggalah, kamu turunlah bersama pamanmu gagak sipat, tentu kau akan melanjutkan perjalananmu,... dan kepadamu adi gagak sipat, berangkatlah dahulu ke jati rogo, nanti aku akan menyusulmu kemudian"
"Aku rasa bukan mpu yang menyusulku, melainkan aku yang akan menyusul mpu ke jatirogo, walau aku berangkat terlebih dulu, aku yakin ketika sampai di sana mpu pasti sudah beberapa hari ada di sana" sahut ki gagak sipat sambil tersenyum.
Mpu windujatipun hanya menjawab dengan tersenyum pula.
Lalu kembali berkata,
Lalu kembali berkata,
"Terakhir yang ingin aku katakan kepada kalian berdua,.. Nampaknya mendung di langit demak semakin tebal setelah wafatnya kanjeng sultan itu..., maka kepadamu cucuku, berhati-hatilah, janganlah terjrumus pada keberpihakan yang tak berarti ngger, kecuali kau waspadai justru jika ada pihak-pihak yang berusaha justru karna ambisi pribadi,.. Sungguh yang seperti itulah yang berbahaya, mereka tidak akan memperhitungkan segala sesuatu demi ambisinya tersebut, sekalipun terjadi perang yang bisa menyengsarakan rakyat banyak"
Dengan seksama raden pamungkas mendengarkan apa yang dikatakan kakeknya tersebut, sebelum selanjutnya terdengar suara kakeknya,
"Nampaknya malam sudah semakin larut, beristirahatlah, besok tentu kau akan memulai perjalannmu, dan sekali lagi ngger, selalu ingatlah semua yang telah aku katakan kepadamu, semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu"
"Trimakasih eyang, aku akan selalu berusaha, dan selalu ingat pesan-pesan eyang, semoga aku dapat menjalankan sebaik baiknya"
******
Dahsyaaat...close to perfection...!!! SHM sangat peduli terhadap details dan terkadang membosankan..tapi justru disitu sebenarnya salah satu ciri dan kekuatan SHM. Ki Rangga tidak terjebak dgn detail yg membosankan ala SHM, namun mengalir secara wajar...well done Ki Rangga...
BalasHapustrimakasih atensi dan dukungannya kisanak, semoga usaha kecil ini bermanfaat rahayu
HapusIkut nyantik ki Rangga,
BalasHapusSemoga diberikan sehat, supaya mendapat kejernihan hati, untuk menguntai kata2 yang membuat perasaan ini deg-degan, senang, gembira, sedih dll.
Salam hormat....pujanggan muda.
Karyamu selalu ditunggu oleh sang waktu.
Semoga menjadi air untuk mengobati kehausanku sepeninggal SHM.
Salam hormat kembali sahabat Edi, salam a rahayu
Hapusterusannya yang susah dicarinya
BalasHapusMudah-mudahan diperkenankan untuk dapat ikut sebagai cantrik ... terima kasih Ki Rangga Agung Sedayu ..
BalasHapusKi rangga mulai produktif lagi dalam menulis, sebenarnya ki rangga itu sangat berbakat, semoga selalu sehat dan selalu mempunyai ide menulis yang sangat cenerlang. Cangkokan SHM nya pancen joss gandos
BalasHapusIni adalah asal usul kiai Gringsing dalam edisi Api di Bukit menoreh. tak bosanya saya membaca cerita ini walau baru edisi 224 tapi tak membuat saya bosan.
BalasHapusMantap .... Ksuwun ndoro
BalasHapusSemoga saya bisa mencontoh sifat yang ada pada diri Ki windu jadi maupun yang ada pada diri Ki Rangga pamungkas/kyai gringsinh
BalasHapusSalam hormat saya kepada panjenengan semua....
BalasHapustak pernah ada rasa bosan membaca cerita ini , entah ini untuk yang ke berapa kalinya ku baca , Makasih Ki Rangga agung Sedayu ( Haris Ph )
BalasHapusNuwun sewu Ki Rangga Sedayu, jika diijinkan, saya ingin sedikit menyorot perihal cincin penawar segala racun yang dimiliki oleh Raden Pamungkas (a.k.a) Kyai Gringsing. Yang mana, bukankah cincin itu didapat dari sahabatnya yang mempunyai 2 cincin sepasang? Yang satu memiliki daya racun sangat tinggi, sedangkan yang satu lagi adalah cincin penawar racun sebagaimana telah digunakan oleh Kyai Gringsing. Dan cincin penawar racun itu diberikan oleh sahabatnya yang lalu justru membuang cincin racun ke laut / sungai dengan sedikit rasa berat hati... Lalu sahabat itu kemudian dalam penyesalan yang malahan kemudian dengan rasa itu jistru membawanya menuju alam keabadian... Mohon maaf, saya bukan bermaksud buruk. Hanya sekedar menyampaikan dengan maksud yang baik. Nuwun, kawula nuwun.
BalasHapusTerima kasih ats tulisan ini ki Rangga...sy telah mengikuti semua tulisan sh mintarja. .namun tulisan ki rangga sungguh menghancurkan pembaca.. lanjut!
BalasHapusMaksud sy menghanyutkan pembabaca. Maaf .
BalasHapusMohon ijin untuk ikut nyantrik ...Ki Rangga .....saya dari kecil penggemar SHM, suwun
BalasHapusMatur nuwun .. Ki Rangga Agung Sedayu... mugi Gusti Ingkang Maha Agung.. keparing paring Sih Nugraha Widada Rahayu Wilujeng Ayem Tentrem Raharja Bagya Mulya dateng kito sedaya...
BalasHapusSumonggo dipun lejengaken paringipun sesuluh lumantar R.Timur Pamungkas...
Nuwun...
Msih nyari bcaan yg bersmbungan.
BalasHapusAdbm. Sbuk intn. Dn trahing kusumo. Adakah yg lain?
Nuwun..😊😊
Alhamdulilah dapat menelusuri jejak yang tersembunyi sebulum adbm yg pnh tanda tanya. Good excellent
BalasHapusRuuuuuaar biasa,matur suwun
BalasHapusMembawa Kembali Ke Alam Masa Lalu
BalasHapusBetapa Menarik kehidupan Dan Kejadian Berdirinya Kerajaan dan Negeri ini
Terasa seperti ikut Menjalani kehidupan di masa itu ..
Mpu Windujati
Raden Pamungkas
Berakhir di
Agung Sedayu
Memuaskan Hati dan Angan
Salam Rahayu
Tks ki Rangga Sedayu... mohon lanjutan ceritranya, Menarik krn berlatar belakang sejarah sambil mempelajari budaya adiluhung moyang bangsa indonesia yang juga melengkapi ceritra ADBM yang juga masih blm selesai
BalasHapusKi Rangga Sedayu memang ...................
BalasHapusLuaaarrrr Biasaaa............!!!!!
Jossss....!! Bagusss...binhits
BalasHapuslanjutkan berkarya untuk kekayaan budaya nusantara tercinta
BalasHapusMonggo ki Haris... Dilanjut
BalasHapusbagus pembukaannya ki..mohon di lanjut
BalasHapusTelusuran luar biasa juga terkait pencaharian sy ber tahun tahun.
BalasHapusAnicri godean
BalasHapusSangat membanggakan cerita yg sangat bagus n patut dijadikan tuntunan n sikap hidup bebrayan, bnyak tauladan baik n luhur yg sulit ditemui di bacaan yg ada saat ini. Terimakasih Alm. Shm n juga apresiasi untuk Ki Tenggo AgungSedayu. Sy ingin anak2 sy suka membaca cerita ini agar ada keseimbangan hidup dlm masa melineal ini
BalasHapusBacaan baru yg sangat berkesan, penuh tuntunan hidup yang bermanfaat....
BalasHapusHaturnuwun Ki, semoga sehat sareng keluarga aamiin
Sangat menarik dan menghibur.
BalasHapusPasingsingan Sepuh (Raden Buntara) dan Kiai Gringsing (Raden Pamungkas) sama2 trah Majapahit.
Pasingsingan Sepuh peduli pada kondisi kerajaan Demak sedang Kiai Gringsing pada Kerajaan Pajang..
Jilid 2 belum terbaca