GTK Buku VIII
Ki Dipasanjaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar apa yang diucapkan muridnya tersebut. Lalu berkata dalam hatinya,
"Hemm..anak itu pendiam, rendah hati akan tetapi begitu kukuh mempertahankan sesuatu yang perlu dipertahankan, termasuk keinginannya yang hidup bagai bayang-bayang, bahkan dengan Widuri pun dia tak mau membuka jati dirinya" --desis Ki Dipasanjaya dalam hatinya.
Lalu kepada Raden Pamungkas orang tua itupun berkata, katanya:
"Pamungkas, menurutku jauh sebelum mengenal Arya Salaka, anak gadis adi Kebo Kanigara itu sebenarnya menyukaimu ngger.." -- kata Ki Dipasanjaya yang serta merta meneruskan ucapannya ketika Raden Pamungkas hendak menjawab, -- "tentu saja suka bukan dalam arti antara pria dan wanita, karna waktu itu anak itu masih remaja"
Raden Pamungkaspun menarik nafas dalam-dalam seraya menjawab, -- "aku hanya menganggapnya seperti seorang adik guru" --Raden Pamungkas sedikit menyunggingkan senyum --"anak itu lincah, bicaranya sangat renyah meski sedikit nakal"
"Namun aku yakin anak itu tidak akan pangling padamu ngger...meskipun kau mengatakan kau bukan dirimu" -- sahut Ki Dipasanjaya
"Mungkin guru, namun biarlah, biarlah aku menjadi orang asing dimana satupun tak ada yang mengenali aku, kecuali, guru"
Ki Dipasanjaya kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "sudahlah ngger, jalanilah hidupmu dari apa yang kau pandang baik, aku sebagai orang tua hanya bisa berdoa untukmu"
"Terimakasih guru"
"Pamungkas...meski aku tau walau kau masih terbilang muda, dari sisi kejiwaanmu telah mencapai tataran yang jauh lebih tinggi dari usiamu, apa lagi kau sering bersama eyangmu selepas kau turun gunung"
"Tentu tidak hanya kepada eyang Windujati semata, akan tetapi gurupun telah mewarnai jiwaku dari segala petunjuk yang selalu aku ingat" -- sahut Raden Pamungkas.
Ki Dipasanjaya pun kemudian tersenyum seraya berkata, -- "rasa-rasanya saat ini aku seperti melihat kakang Windujati pada dirimu...diusiamu yang masih terbilang muda kau bagaikan lumbung dari segudang ilmu yang tidak dimiliki orang-orang sebayamu" --- Ki Dipasanjaya menarik nafas panjang lalu kembali berucap, -- "berhati-hatilah membawa diri ngger...karna semakin tinggi ilmu yang kau miliki, semakin tinggi pula tanggung jawab yang harus kau pegang"
"Trimakasih guru, aku akan selalu mengingat-ingat dan menjalankan segal petunjuk guru" -- desis Raden Pamungkas seraya menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Ki Dipasanjaya mendongakkan kepalanya kelangit malam seraya berkata, --
"nampaknya malam akan semakin jauh, aku akan kembali kepedhukuhan induk untuk melihat perkembangan Ki Ageng Gajah Sora, apakah kau mau ikut denganku" -- berkata Ki Dipasanjaya seraya tersenyum.
"Ampun guru, saat ini aku tidak bisa ikut, ada sesuatu yang harus aku kerjakan"
"Kau mau kemana ngger?"
"Aku mau keluar dari tanah perdikan ini guru, sebelum malapetaka itu terjadi"
Ki Dipasanjaya pun mengerutkan keningnya, -- "malapetaka? apa maksudmu ngger?"
"Sekelompok orang yang mengaku orang-orang dari Goa Susuhing Angin akan mencegat rambongan prajurit Pajang yang tempo hari berada di tanah perdikan in"
"Goa Susuhing Angin?" -- desis Ki Dipasanjaya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Demikianlah guru, Goa Susuhing Angin yang konon ketuanya yang berjuluk Kyai Pager Wesi itu sangat mendendam terhadap Kanjeng Adipati Pajang, maka segala apa yang berhubungan dengan pajang akan dibinasakannya"
"Mungkinkah ada silang sengketa diantara Ki Pager Wesi itu dengan Adipati Pajang yang duku berjuluk Jaka Tingkir itu?"
"Entahlah guru aku juga kurang paham akan hal itu, namun yang terpenting bagiku adalah menggagalkan rencana mereka yang akan membantai rombongan prajurt Pajang itu, karna jika pembantaian itu berhasil tentu akan mempengaruhi perkembangan persoalan Demak yang semakin lama semakin keruh itu"
"Bukankah menurut yang aku dengar rombongan Prajurit itu dipimpin Ki Juru Mertani?"
"Memang guru, akan tetapi kelompok Ki Pager Wesi itu tentu tidak sendirian, tentu mereka akan mencegat kelompok prajurit itu bersama beberapa orang yang berilmu sangat tinggi, mereka sudah tau kalau Ki Juru Mertani ada diantara rombongan prajurit itu" .. Jawab Raden Pamungkas.
"Baiklah ngger, berhati-hatilah, niatmu untuk menghentikan orang-orang yang menjual trah Brawijaya demi sebuah ambisi mereka untuk mencapai kejayaan itu tentu akan menghadapkanmu pada persoalan yang teramat sulit, bahkan tidak menutup kemungkinan kau akan berhadapan dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan langka didunia ini.. apalagi aku mendengar para penerus perguruan yang sebenarnya masih satu jalur dengan perguruan kitapun banyak yang tersesat, dan tergelincir pada persoalan perebutan untuk memegang kekuasaan ditanah jawa ini" -- ucap Ki Dipasanjaya.
Raden Pamungkas mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, sebelum kembali terdengar suara gurunya yang kadang suka bercanda itu,
"Pamungkas, sebelum aku pergi aku mau menanyakan sesuatu padamu" -- berkata Ki Dipasanjaya.
"Silahkan guru, mudah-mudahan aku mampu menjawabnya"
Ki Dipasanjaya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali tersenyum, -- "tentu kau mampu menjawabnya ngger.."
-- katanya kemudian, -- "aku hanya ingin bertanya berapa nama yang kau miliki sampai sekarang?" -- kata Ki Dipasanjaya.
"Ahh..." -- desis Raden Pamungkas seraya tersenyum pula, --
"aku hanya meniru guru yang juga suka berganti nama" -- jawab Raden Pamungkas.
Ki Dipasanjaya tertawa lebar lalu kembali berkata, -- "baiklah ngger, aku hanya memberimu satu masukan perihal nama-nama itu, dan menurutku paling tepat kau memakai nama seperti corak kain kesukaanmu itu....Kain Gringsing, mungkin Jaka Gringsing atau apa"
Raden Pamungkas menjadi termangu-mangu mendengar perkataan gurunya tersebut, bahkan tiba-tiba saja terbesit kesukaan dengan nama Gringsing itu muncul dari lubuk hatinya...
"Kenapa kau melamun ngger.." -- kata Ki Dipasanjaya.
"tidak guru..., aku suka dengan nama yang guru berikan itu" -- desis Raden Pamungkas.
"Baiklah ngger, aku pergi dulu, kau hati-hatilah" -- berkata kemudian Ki Dipasanjaya.
Akan tetapi suara Raden Pamungkas, menghentikan langkah orang tua itu, -- "guru, sebenarnya ada satu hal penting bagiku untuk memohon petunjuk walau hanya beberapa patah kata"
"Katakanlah ngger, mudah-mudahan aku bisa mengabulkan permintaanmu"
"Sebelum aku pergi dari lereng gunung Semeru disaat aku berkunjung menjenguk eyang Windujati, eyang telah memberikan petunjuk dasar dalam memahami sebuah ilmu yang menurut eyang bernama Aji Kidang Melar, apakah guru juga memahami ilmu itu?" -- bertanya Raden Pamungkas.
"Aji Kidang Melar?" -- Ki Dipasanjaya kemudian tersenyun dan berkata, -- "rupanya kau ingin berpacu melawan kuda ngger... tapi baiklah aku akan berusaha melengkapi keterangan dari eyangmu itu"
Semikianlah Ki Dipasanjaya menunda waktunya sebentar untuk kembali ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru, secara rinci Ki Dipasanjaya kemudian memberikan petunjuk pelengkap tentang ilmu yang kini sedang dipahami Raden Pamungkas tersebut. Satu demi satu mulai dari laku hingga pengungkapan tenaga cadangan untuk mengurai ilmu Kidang Melar itu didengarkan dengan seksama, hingga lambat-laun Raden Pamungkas memahami petunjuk-petunjuk gurunya sebagai pelengkap dasar petunjuk yang diberikan mpu Windujati beberapa bulan yang lalu.
Demikianlah setelah semuanya dianggap selesai, kedua guru dan murid itu berjalan berpisah untuk menyelasaika urusan masing-masing. Ki Dipasanjaya pun berjalan menuju pesukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru, Sementara Raden Pamungkas berjalan menuju ke arah timur mengikuti jejak perjalanan Ki Juru Mertani bersama rombongan prajurit Pajang yang dipimpinnya.
Suasana malam di banjar kademangan Ngampel itu tak seramai malam-malam seperti basanya. Terlebih serombongan prajurit Pajang yang singgah dan beristirahat dibanjar itu sedikit banyak telah membuat paa penghuni rumah induk kademangan menjadi sibuk. Bahkan Ki Demang pun dengan tergopoh-gopoh datang sendiri untuk memimpin acara penyambutan itu, meskipun dalam ketidaksiapan semuanya.
Ki Juru Mertani yang berkuda paling depan itu kemudian berpaling kearah perwira prajurit lalu sejenak mwnghentikan laju kudanya,
" Ki Lurah Upasanta, malam nampaknya telah semakin larut, lebih baik kita menginap dibanjar kademangan itu, sebelum besuk mataharti muncul kita akan lanjutkan pejalanan" -- kata Ki Juru Mertani, sebelum Ki Demang Ngampel mendatanginya.
Ki Lurah Upasanta mengangguk-anggukkan kepalanya, namun tidak sempat menjawab ketika Ki Demang telah berada didekat mereka,
"Sungguh satu kehormatan tuan-tuan sekalian telah datang di kademangan kami, mari, silahkan.." -- kata Ki Demang Ngampel
Ki Juru Mertani kemudian tersenyum lalu menjawab, -- "trimakasih kisanak, kami ingin bertemu kepala kademangan ini"
"Saya kepala kademangan Ngampel ini tuan-- jawab orang itu.
"O, trimakasih Ki Demang, maaf aku tidak tau, ternyata aku berbicara dengan Ki Demang sendiri" -- berkata Ki Juru kemudian.
Tak lama kemudian Ki Juru Mertani beserta rombongan prajurit Pajang itupun memasuki halaman banjar. Dan ternyata halaman banjar kademangan itu cukup luas bahkan ruang pendapa juga cukup lebar menampung rombongan Prajurit yang berjumlah sekitar tigapuluh orang tersebut.
"Ki Demang.." -- berkata Ki Juru kemudian, -- "kedatangan kami kemari hanya untuk meminta ijin singgah barang semalam di kademangan ini"
"Marilah, aku persilahkan kisanak sekalian.." -- jawab Ki Demang seraya tersenyum , lalu melanjutkan ucapannya, -- "cuma beginilah keadaan kami tuan.
"Ah, jangan panggil tuan Ki Demang, namaku Martani,..dan kawanku ini bernama Upasanta, Ki Lurah Upasanta" -- tukas ki Juru.
"Ki Juru Mertani.." -- desis Ki Demang seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah Ki Demang pun memerintahkan para pegawai kademangannya untuk menyiapkan tempat yang akan digunakan para prajurit Pajang tersebut untuk beristirahat. Sementara para prajurit itu serta merta menuju tempat peristirahatan yang telah disiapkan, sehingga rasa lelah yang dirasakannya dalam perjalanan itu seakan-akan tak mampu menahan kekantukan mata mereka yang tiba-tiba saja mendera.
Akan tetapi rupanya di pringgitan bangunan induk kademangan itu Ki Juru Mertani dan Ki Lurah Upasanta masih terlihat berbincang-bincang bersama Ki Demang ditemani beberapa bekel dipedukuhan terdekat.
"Sungguh kami tak mengira ternyata kademangan ini telah kedatangan serombongan prajurit dari pajang" -- Kata Ki Demang.
"Sebenarnyalah ki Demang, sesungguhnya kami akan kembali ke kota raja, selepas menjalankan titah kanjeng Adipati untuk datang ke Tanah Perdikan Banyubiru" -- "jawab Ki Juru, --- "dan semoga kedatangan kami tidak membuat kademangan ini menjadi terganggu" -- lanjutnya.
"tentu tidak Ki Juru, sebaliknya justru kami senang bisa membantu Pajang walau cuma sebuah pelayanan yang tak berarti ini" --desis Ki Demang.
Ki Juru Mertani mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menarik nafas panjang-panjang, lalu kembali berucap, -- "apapun yang ki demang berikan kepada kami saat ini tentulah sangat berarti bagi kami, dan atas nama prajurit pajang kami akan selalu mengingat kebaikan ki Demang sekarang ini"
Dalam pada itu malam yang semakin lama semakin larut itu seakan-akan berhembus angin sejuk diseluruh penjuru sudut bangunan induk kademangan tersebut. Hawa yang sebelumnya sedikit gerah tiba-tiba saja menjadi nyaman seakan-akan tertiup angin sejuk yang berhembus tanpa henti.
Sesaat kemudian Ki Juru Mertani mengerutkan keningnya demi melihat Ki Demang juga para bekel itu tiba-tiba saja tertidur lelap dengan punggung mereka yang bersandar didinding-dinging ruang pringgitan itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi Ki Juru merasakan ada sesuatu yang tidak semestinya tiba-tiba merubah suasana di kademangan tersebut, tiupan hawa angin yang terasa nyaman itu telah menggelitik mata batinnya sehingga serta merta diapun menggamit Ki Lurah Upasanta yang hampir saja tertidur pula,
"Ki Lurah..!! waspadalah, pusatkan nalar budimu sesaat dan rasakan apa yang telah terjadi" -- desis Ki Juru.
Ki Lurah Upasanta pun menjadi tergagap sesaat, lalu serta-merta mengikuti apa yang dikatakan Ki Juru kepadanya, -- "sirep..ki Juru" -- desis Ki Lurah Upasanta.
Ki Juru Mertani pun mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, -- "waspadalah ki Lurah, sepertinya akan ada yang datang malam ini"
Begitu kuat daya aji sirep yang melanda rumah Ki Demang Ngampel itu, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama suasanapun menjadi bertambah hening, tak satupun orang yang berada dirumah ki Demang itu mampu manahan berat kantuk yang melanda mata mereka, bahkan seluruh rombongan prajurit Pajangpun kecuali Ki Juru Mertani dan Ki Lurah Upasanta semuanya telah terbuai dalam mimpi yang bagai tak berujung.
"Ki Juru, apakah akan kita bangunkan para prajurit itu?" - desis Ki Lurah Upasanta seraya meminta pendapat.
"Tunggu dulu Ki Lurah, kita lihat dulu apa yang akan terjadi" -- jawab Ki Juru. Yang kemudian pandangan matanya yang tajam menangkap tiga sosok bayangan yang berdiri di halaman banjar yang tak jauh dari tempat mereka berada.
"Apakah kau melihat tiga bayangan itu Ki Lurah?" -- desis Ki Juru.
Ki Lurah pun serta merta memicingkan matanya mempertajam pandangannya ke arah halaman banjar kademangan itu,
"Aku melihatnya Ki Juru.." -- sahut Ki Lurah
"Biarkan saja, kita tunggu apa yang akan mereka lakukan" -- tukas Ki Juru.
Sementara itu ketiga bayangan manusia ditengah halaman banjar tersebut terlihat berbincang-bincang diantara mereka. Tiga orang yang tidak lain adalah Jalak Kepik dan Tapak Liman yang datang bersama guru mereka. Ki Ajar Wulungan.
"Guru, nampaknya sudah tidak ada barang satu manusiapun mampu membuka matanya" -- berkata Jalak Kepik seraya berpaling ke arah gurunya.
Ki Ajar Wulunganpun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa kecil. Orang tua itu merasa bangga oleh kekuatan aji sirepnya yang luar biasa itu,
"Jalak Kepik dan kau Tapak Liman, periksalah kedalam, jika masih ada yang terjaga bunuh saja..!!" -- jawab Ki Ajar Wulungan dengan suara berat.
"Baik guru.." -- desis Jalak Kepik yang kemudian mengangguk memberi tanda kepada Tapak Liman memasuki bangunan induk Kademangan itu. Akan tetapi sebelum kedua orang itu beringsut dari tempatnya berdiri, tiba-tiba saja bayangan dua orang berjalan mendekati mereka dari arah rumah ki Demang tersebut.
Jalak Kepik dan Tapak Liman sesaat menjadi termangu-mangu melihat kedatangan dua sosok manusia yang bukan lain adalah Ki Juru Mertani bersama Ki Lurah Upasanta tersebut, mereka tidak mengira bahwa ternyata masih ada orang yang mampu melawan aji sirep Ki Ajar Wulungan guru mereka yang dalam pandangan mereka mempunyai kekuatan luar biasa tersebut. Bahkan dibelakang Jalak Kepik dan Tapak Liman, Ki Ajar Wulungan nempak seperti gusar melihat dua orang itu tak terpengaruh sedikitpun dengan ilmu sirep yang dilontarkannya. Karnanya Ki Ajar Wulungan serta merta menggeram,
"Setan alas...siapa kau he?! kenapa kalian masih sadar.." -- geram Ki Ajar Wulungan yang serta merta mendekati kedua muridnya tersebut.
"Udara malam ini memang begitu nyaman kisanak, tapi sayang aku masih ingin menikmati malam yang masih panjang ini, sehingga sayang pula jika kami harus tidur sore-sore" -- jawab Ki Juru Mertani.
"Sombong..!! katakan siapa kau..?!" -- tukas Ki Ajar Wulungan
"Apakah penting bagiku untuk mengatakan siapa namaku?" --sahut Ki Juru
"Diam..!!" -- sergah ki Tapak Liman yang kemudian melanjutkan ucapannya, -- "jangan kau bicara kurang ajar iblis..!! kau tak tau sedang berhadapan dengan siapa?!"
"Kau jangan bergurau kisanak...tentu aku tidak tau siapa kalian karna memang diantara kita belum pernah saling kenal" -- jawab Ki Juru Mertani.
"Dengarlah..!! Kau sedang berhadapan dengan guru besar padepokan Tambak Wulung dari lereng Gunung Sumbing, maka cepatlah berlutut, dan mohon ampun..!! agar hukumanmu tidak terlalu berat" -- berkata ki Tapak Liman kemudian.
Serta merta Ki Juru Mertani justru tertawa geli mendengar kata-kata ki Tapak Liman tersebut, -- "kau aneh kisanak, bertemupun baru sekali, lalu apa dasarnya aku harus berlutut minta ampun? lagi pula aku juga belum pernah mendengar nama yang kau sebutkan itu".
"Sombong kau..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan, seraya kembali bertanya, -- "aku tanya sekali lagi, siapa kau sebelum aku lumatkan karna kesombonganmu itu..!!"
Ki Juru Mertani kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu diapun berkata, -- "baiklah kisanak, kali ini aku turuti permintaanmu, namaku Ki Juru Mertani"
"Juru Mertani..!!" -- sahut Ki Ajar Wulungan, -- "o, jadi kau salah satu gedibalnya si Karebet itu?" -- lanjut Ki Ajar Wulungan.
"Guru, ijinkan aku memberi pelajaran pada manusia sombong ini, aku ingin tau apakah nama Juru Mertani itu sebesar apa yang selama ini dikatakan orang" -- sela Tapak Liman
"Tidak..!! kalian urusi saja kunyuk yang satunya itu, biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran pada orang ini, ingat setelah itu bunuh semua prajurit Pajang yang sedang bermimpi itu, biar mereka tidur sehingga tidak akan bangun-bangun lagi" -- geram Ki Ajar Wulungan.
"Baiklah guru" -- jawab Ki Tapak Liman seraya berpaling ke arah Ki Jalak Kepik yang kemudian saling menganggukkan kepalanya.
Disisi lain Ki Juru Mertani dadanya menjadi berdebar-debar, secara pasti dia tidak tau ujung pangkal persoalannya sehingga orang yang bernama Ki Ajar Wulungan itu berniat menghabisi seluruh prajurit yang sedang terlelap itu tanpa sisa.
"Kau licik kisanak, kau perdaya kami dengan aji sirep mu itu lalu kau akan membinasakan mereka dalam keadaan tidak sadar, itu pekerjaan yang biadab" -- geram Ki Juru Mertani yang sedikit marah dengan apa yang telah dilakukan Ki Ajar Wulungan beserta kedua orang muridnya itu.
Ki Ajar Wulungan pun tiba-tiba tertawa melengking dan berteriak, -- "kau tak perlu merajuk, nikmati saja nasib yang harus kalian terima, dan kau..Juru Martani hanya akan tinggal nama sampai di Pajang"
Ki Juru Mertani pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menjawab, -- "baiklah kisanak, jika itu memang sudah menjadi , apa boleh buat, namun kami para prajurit Pajang bukanlah cacing yang akan diam tanpa perlawanan"
"Bagus...besok aku akan memberi kejutan kepada Karebet dengan mengirimkan kepala-kepala kalian e istana Pajang" -- geram Ki Ajar Wulungan.
"Ki Lurah Upasanta.." -- desis Ki Juru Mertani memanggil, sebelum meneruskan ucapannya..-- "kau tahanlah dua orang itu sekuat yang kau mampu, nyawa kawan-kawan kita akan tergantung pada kita"
"Baiklah Ki Juru, aku akan berusaha semampuku menahan dua orang Murid Ki Ajar Wulungan itu, meski aku sadar bahwa mungkin ilmuku tidak sentinggi ilmu mereka, akan tetapi sebagai prajurit Pajang Aku pantang menyerah"
"bagus Ki Lurah, mari kita pertahankan kehormatan ini" -- jawab Ki Juru singkat.
Demikianlah kemudian tiba-tiba Ki Ajar Wulungan mulai membuka serangan-serangannya. Walaupun masih dalam tataran dasar dari ilmunya. Nampaknya Ki Ajar Wulungan mencoba untuk menjajagi kemampuan Ki Juru Mertani itu setahap-demi setahap.
Disisi lain Ki Juru pun paham oleh apa yang dilakukan ki Ajar Wulungan tersebut, maka Ki Jurupun tidak menjadi tergesa-gesa pula untuk meningkatkan tataran ilmunya meskipun sedikitpun tidak kehilangan kewaspadaan terhadap tadang orang tua itu.
Akan tetapi naas bagi Ki Lurah Upasanta, untuk melawan salah satu diantara ki Jalak Kepik ataupun Ki Tapak Liman saja Lurah prajurit itu harus mengeluarkan segala kemampuannya, apa lagi kini kedua murid Ki Ajar Wulungan itu maju bersama-sama. Maka tidaklah mengherankan jika pada gerakan-gerakan awal itu Ki Lurah Upasanta terdesak hebat.
Kedua murid Ki Ajar Wulungan itu bagaikan mendapat permainan yang menyenangkan, sehingga mereka tertawa-tawa melihat Ki Lurah Upasanta yang begitu kerepotan menahan serangan keduanya.
"Akan kita apakan tikus kurap ini kakang Jalak Kepik..!!" -- berkata Ki Tapak Liman sambil tertawa disela gerakan-gerakan yang mempermainkan Lurah prajurit itu.
"Kita ikuti saja apa maunya, sampai tikus ini kehabisan nafas dan mati dengan sendirinya" -- jawab Ki Jalak Kepik sambil tersenyum pula.
Disisi lain Ki Lurah Upasanta sangatlah berantakan posisinya, nafasnya yang memang semakin tersengal-sengal itu masih berusaha memberikan perlawanan kepada kedua orang murid Ki Ajar Wulungan itu.
Sementara itu di sisi pertarungan lain, Ki Ajar Wulungan sendiri masih setapak demi setapak meningkatkan kemampuannya dalam menjajagi lawannya. Akan tetapi Ki Juru Mertani yang menjadi lawannya ternyata sangat tangguh tanggon dalam setiap gerakannya. Bahkan ketika Ki Ajar Wulungan semakin lama mendekati tingkat ilmunya dalam pengungkapan tenaga cadangannya, Ki Juru pun terlihat masih saja bergerak lincah seakan tidak merasa tertekan sedikitpun.
"Ternyata bekalmu lumayan juga he...orang Pajang, akan tetapi janganlah kau menjadi girang, aku Ki Ajar Wulungan akan membinasakanmu sebelum langit menjadi terang" -- geram Ki Ajar Wulungan seraya semakin mempertajam tekanan tekanannya.
"Kau jangan bergurau orang tua, kau kira aku mau kau binasakan?" - jawab Ki Juru Mertani yang justru tersenyum.
"Setan kau..!! Kau berani bermain-main denganku, baiklah kini saatnya kau sadar dengan siapa kau berhadapan!!" -- berkata Ki Ajar Wulungan seraya mengumpat-umpat.
Lalu dalam sekejap Ki Ajar Wulungan mulai meningkatkan ilmu nya pada tingkatan yang semakin tinggi. Tubuhnya semakin bergerak dengan sangat cepat sehingga lambat laun tubuh orang tua itu hanya terlihat bagaikan bayangan-bayangan yang berkelebat. Namun Ki Ajar Wulungan pun menjadi heran, lawan yang jauh lebih muda daripadanya itu masih mampu mengimbangi permainannya, sesekali Ki Juru berkelit pula dengan kecepatan yang sulit diduga, lalu kadang menukik dengan menjulurkan kakinya yang beberapa kali hampir menggapai tubuh Ki Ajar Wulungan, sehingga orang tua itu serta merta mengumpat-umpat dalam hatinya. Demikianlah ketika pertarungan itu semakin memuncak sehingga pertarungan antara Ki Ajar Wulungan dengan Ki Juru Mertani itu semakin lama semakin sengit.
Suasana hiruk pikuk pertarungan dihalaman banjar kademangan ngampel itu sedikitpun tidak berpengaruh pada orang-orang yang terlena oleh kekuatan sirep yang sebelumnya telah dilontarkan Ki Ajar Wulungan. Bahkan para prajuritpun satupun tidak ada yang berkeming mendengar teriakan-teriakan pertarungan itu.
Sebenarnyalah semua itu telah diperhitungkang Ki Ajar Wulungan beserta kedua muridnya itu. Karna walau bagaimanapun tinggi ilmu mereka tentu dengan hanya berkekuatan tiga orang itu tentu tidak akan mampu melawan rombongan prajurit pilihan dari Pajang yang berjumlah puluhan orang tersebut. Sehingga untuk melancarkan niatnya Ki Ajar Wulungan pun harus membuat pasukan itu tidak berdaya sebelum bertarung. Maka ketika rombongan Prajurit itu singgah di Kademangan Ngampel, kesempatan itu tidaklah disia-siakan oleh Ki Ajar Wulungan.
Demikian ketika pertarungan itu semakin lama menjadi semakin sengit, tak satu orangpun diantara penghuni rumah Ki Demang Ngampel yang tertidur itu menjadi bangun.
Sementara Ki Juru Mertani masih tangguh tanggon melayani setiap serangan Ki Ajar Wulungan yang kini sudah mulai mendaki pada tataran ilmu puncaknya. Sehingga orang tua itu pun tak henti mengumpat-umpat dalam hatinya.
Tidak demikian halnya dengan Ki Lurah Upasanta. Ternyata memang Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman benar-benar ingin mempermainkan Lurah Prajurit itu. Mereka tidak melancarkan pukulan-pukulan mematikan akan tetapi hanya berusaha mendesak dan mendesak Ki Lurah Upasanta sehingga keadaan tubuh lurah itu semakin lama semakin payah. Namun Lurah Prajurit itu tidak menjadi surut, sehingga dengan sisa-sisa tenadanya Ki Lurah Upasanta tetap berusaha untuk berdiri di kedua kakinya menahan serangan-serangan kedua murid Ki Ajar Wulungan tersebut.
Sementara itu, dengan tidak diketahui seorangpun dari mereka yang sedang bertarung dihalaman banjar Kademangan Ngampel tersebut. Dalam kegelapan malam yang berjarak sekitar duapuluh tombak diluar pagar halaman banjar itu, seseorang dengan memakai cadar telah mengendap-endap memperhatikan dengan seksama jalan nya pertarungan tersebut. Sesekali orang tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya lalu sesekali pula bergumam dalam hatinya.
"Nampaknya orang yang bernama Ki Ajar Wulungan itu tidak akan dengan mudah menundukkan Ki Juru Mertani" -- desis orang itu dalam hatinya.
Akan tetapi orang itu serta merta menarik nafas panjang-panjang ketika melihat pertarungan tidak seimbang antara Ki Lurah Upasanta melawan Ki Jalak Kepik bersama-sama dengan Ki Tapak Liman tersebut. Namun orang yang menyaksikan pertarungan dibalik kegelapan yang bukan lain adalah Raden Pamungkas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula demi melihat Ki Lurah Upasanta yang tak pantang menyerah ditengah tekanan hebat kedua murid Ki Ajar Wulungan tersebut.
"Luar biasa..!! Lurah prajurit itu benar-benar mempunyai ketahan tubuh yang sangat mengagumkan" -- desis Raden Pamungkas
Dan sebenarnyalah memang Lurah prajurit itu masih kokoh memberikan perlawanan dari dua orang berilmu tinggi tersebut. Mungki jika Ki Jalak Kepik juga Ki Tapak Liman berkehendak membinasakannya, sudah barang tentu sejak awal pertarungan Ki Lurah Upasanta tidak akan mampu bertahan lama. Akan tetapi kedua murid Ki Ajar Wulungan itu memang sengaja ingin menguras habis tenaga Lurah Prajurit itu sehingga akan terkapar dengan sendirinya karna kehabisan tenaga.
Dalam hal ini ternyata niat dari kedua murid ki Ajar Wulungan itu tecium oleh Raden Pamungkas yang sejak awal pertarungan sudah berada ditempat persembunyiannya.
"Kedua orang itu benar-benar keji.." -- berkata Raden Pamungkas dalam hatinya, -- "sungguh aku tak mungkin masuk dalam arena pertarungan ini, aku tidak ingin besinggungan secara langsung dengan urusan mereka, meskipun perbuatan kelompok seperti Ki Ajar Wulungan yang katanya orang-orang dari Goa Susuhing Angin melakukan kekacauan yang tidak jelas itu tidak boleh dibiarkan saja, terlebih kelompok yang menurut Bango Lamatan adalah trah Majapahit yang ingin menghidupkan kembali kejayaan Majapahit tersebut" -- berkata Raden Pamungkas sambil berfikir untuk menyelamatkan rombongan Prajurit Pajang itu tanpa dirinya terlibat secara langsung.
Sementara itu pertarungan antara Ki Ajar Wulungan dan Ki Juru Mertani berlangsung semakin sengit, mereka berdua telah melancarkan kemampuan dengan tingkatan yang semakin tinggi. Bahkan sesekali tubuh Ki Ajar Wulungan itu wujudnya bagaikan timbul tenggelam yang secara tak terduga-duga melancarkan serangan kearah Ki Juru Mertani, akan tetapi meskipun demikian satupun pukulan orang tua itu belumlah mampu menyentuh tubuh Ki Juru apalagi menciderainya. Bahkan Ki Ajar Wulungan sempat termangu-mangu yang pada suatu ketika dia melihat tidak hanya satu Ki Juru Mertani dihadapannya, akan tetapi tiga dalam wujud yang sama.
Demikianlah pertarungan Ki Ajar Wulungan melawan Ki Juru Mertani dihalaman banjar Kademangan Ngampel itu semakin lama semakin menegangkan, tataran demi tataran telah dilewati kedua tokoh berilmu sangat tinggi tersebut, akan tetapi belum satupun diantara mereka yang terlihat siapa yang lebih unggul dalam perbendaharaan ilmu mereka, sehingga Ki Ajar Wulungan dalam hatinya memutuskan untuk mengakhiri perlawanan Ki Juru Mertani dengan puncak ilmunya.
Berbeda dengan medan pertarungan antara Ki Lurah Upasanta melawan Jalak Kepik dan Tapak Liman, dimana terlihat jelas pada dasarnya kedua orang murid Ki Ajar Wulungan itu hanya mempermainkan Lurah prajurit yang semakin lama semakin sempoyongan tersebut.
Akan tetapi disaat pertarungan diantara mereka itu hampir mencapai babak akhir, tiba-tiba orang-orang yang sedang bertarung dihalaman banjar itu seketika terhenti sesaat dan sekejap menjadi termangu-mangu ketika satu ledakan keras diudara terhampar bagai memekakkan telinga.
Bahkan sejurus kemudian ledakan yang ditimbulkan oleh lecutan cambuk itu semakin kerap terdengar bersahut-sahutan seakan muncul dari berbagai arah.
"Anak iblis..!! siapa yang lancang mengganggu pekerjaanku, cepat keluar..!!" -- teriak Ki Ajar Wulungan yang merasa tidak senang dengan suara cambuk itu.
Sementara Ki Juru Mertani masih termangu-mangu mendengar suara cambuk yang beberapa waktu lalu juga dilihatnya pada saat pertempuran antara Laskar Banyubiru melawan kelompok Ki Singo Rodra ditepian Rawa Pening.
"Hemm...orang bercambuk itu..?" -- desis Ki Juru Mertani, -- "sepertinya orang yang sama ketika muncul ditepian rawa pening lalu"
Tidak ada jawaban dari apa yang telah diteriakkan Ki Ajar Wulungan tadi. Namun justru suara cambuk itu kembali terdengar lebih dahsyat dari yang pertama. Suasana rumah induk Kademangan itu terdengar semakin bergemuruh bagaikan suara halilintar yang menggelegar berulang-ulang kali.
Maka terjadilah sesuatu yang sangat tidak dikehendaki Ki Ajar Wulungan bersama dua orang muridnya tersebut. Ternyata suara ledakan cambuk itu telah menggelitik telinga orang-orang yang beberapa saat lalu tertidur oleh kekuatan aji sirep yang dilontarkan Ki Ajar Wulungan, termasuk para prajurit yang tertidur itu menjadi terkejut mendengar suara ledakan dahsyat tersebut, sehingga secara naluri keprajuritan mereka serta merta bangun dan berdiri masing-masing dengan senjata terhunus.
Apalagi begitu mata mereka melihat Ki Lurah Upasanta yang tertatih-tatih oleh serangan dua orang yang tidak mereka kenal.
Sehingga salah satu pimpinan kelompok prajurit itu pun dengan tegas memberikan aba-aba kepada kawannya untuk mengepung seraya tanpa diperintah menyerang Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman. Bahkan kelompok yang lain telah mengepung Ki Ajar Wulungan yang sedang beehadapan dengan Ki Juru Mertani. Namun suara ledakan cambuk itu sudah tidak terdengar lagi.
Ki Jalak Kepik dan Ki Tapak Liman menjadi berdebar-debar ketika puluhan prajurit itu serta merta menyerangnya dengan hebat. Dan meskipun kedua orang itu berilmu tinggi, tentu saja tidak akan mampu melawan puluhan prajurit Pajang tersebut.
Jangankan menyerang, untuk mencari waktu sekedar memusatkan nalar budinyapun kedua murid Ki Ajar Wulungan itu tidak berkesempatan, sehingga yang dapat dilakukannya hanyalah bertahan dan menghindar.
Disisi lain Ki Ajar Wulungan semakin gusar sehingga berteriak-teriak dengan berbagai umpatan yang keluar dari mulutnya.
"Anak iblis...ternyata orang-orang pajang bangsa licik yang tak tau diri..!! ayo majulah kalian semua...majulah jika ingin binasa..!!" -- teriak Ki Ajar Wulungan.
"Apakah kau panik orang tua, kau panik oleh para prajurit yang dengan cara licik telah kau tidurkan itu?" -- jawab Ki Juru Mertani seraya tersenyum.
"Kau kira aku takut dengan tikus-tikus ini..!! setan..!! ayo majulah semua..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan.
"Kau menutupi kekalutanmu dengan bahasamu yang tak terpuji itu Ki Ajar.." -- tukas Ki Juru Mertani, -- "baiklah Ki Ajar aku akan mengabulkan permintaanmu...Prajurit, tangkap pengacau itu..!!" -- teriak Ki Juru yang memberi aba-aba prajuritnya.
Bagaikan gelombang dahsyat para prajurit itu serta merta menyerbu seakan tidak memberi ruang gerak kepada Ki Ajar Wulungan yang semakin lama semakin kerepotan menghadapi prajurit yang berjumlah cukup banyak tersebut, sehingga sedikitpun tak ada waktu untuk memusatkan nalar budinya pula sebagai pengungkapan puncak ilmunya. Bahkan sesaat kemudian Ki Ajar Wulungan menjadi berdebar-debar ketika telinganya mendengar suara bunyi ketongan bersahut-sahutan diseluruh Kademangan tersebut. Maka seketika Ki Ajar Wulungan bersuit panjang sebeluh bayangan tubuhnya hilang dari halaman banjar tersebut diikuti kedua orang muridnya.
"Luar biasa..! Cara melarikan diri yang mengagumkan" -- desis Ki Juru Mertani seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Juru, apa yang terjadi? sungguh saya menyesal sebagai tuan rumah justru tidur saat para pengacau itu datang" -- kata Ki Demang Ngampel yang serta merta menghampiri Ki Juru Mertani yang masih termangu-mangu memandang ke arah dimana Ki Ajar Wulungan pergi.
"Bukan salah ki demang, orang-orang itu memang sebelumnya menebarkan sejenis ilmu sirep sehingga semua orang seakan-akan dicekam rasa kantuk yang luar biasa" -- sahut Ki Juru Mertani.
Ki demang pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, - "apakah Ki Juru sebelumnya mengenal mereka?"
"Tidak Ki Demang.." -- jawab Ki Juru Mertani seraya menarik nafas dalam-dalam, -- mudah-mudahan akan segera terungkap siapa dan kenapa akhir-akhir ini banyak kelompok-kelompok tak jelas yang selalu menyatroni kami"
Ki Demang Ngampel kemudian mempersilahkan Ki Juru Mertani untuk masuk kembali ke ruang Pringgitan bersama beberapa tetua juga bebehu kademangan tersebut. Akan tetapi Ki Juru Mertani justru berjalan melihat keadaan Ki Lurah Upasanta yang terihat menderita kelelahan yang begitu hebat.
"Bagaiman keadaanmu Ki Lurah?" -- tanya Ki Juru Mertani
Dengan nafas yang masih terlihat belum teratur Ki Lurah Upasanta pun menjawab, -- "aku tidak apa-apa Ki Juru, kedua orang itu begitu luar biasa.."
"Beristirahatlah, mudah-mudahan kau akan segera pulih, tenagamu banyak terkuras menghadapi kedua orang itu sekaligus, biarla para prajurit akan berjaga bergiliran sampai hari terang besok" -- desis Ki Juru Mertani.
Dalam pada itu ditengah jalan pelariannya ketiga orang itu terutama Ki Ajar Wulungan tak henti-hentinya mengumpat-umpat dalam hati, semua rencananya untuk membuat orang-orang Pajang itu binasa menjadi berantakan oleh suara ledakan dari orang yang tidak diketahuinya.
"Berhenti..!!" -- berkata Ki Ajar Wulungan kepada kedua orang muridnya, "nampaknya kita sudah jauh meninggalkan pedhukuhan induk kademangan itu"
"Guru, apakah guru tau siapa manusia licik yang meledakkan suara cambuk itu?" -- bertanya Ki Jalak Kepik.
"Entahlah, sering kali kemunculan orang bercambuk itu mengganggu pekerjaan kita orang-orang gua susuhing angin" -- desis Ki Ajar Wulungan.
"Apakah orang yang hampir membinasakan Kyai Tumbak Jalu beberapa waktu lalu juga orang yang sama?" -- ucap Tapak Liman seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Ki Ajar Wulungan pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap kegelapan malam seakan-akan pikirannya melayang jauh untuk mencari jawaban misteri orang bercambuk yang senantiasa selalu mencampuri pekerjaannya tersebut.
"Orang bercambuk itu dulu memang sebuah nama yang menakutkan dikalangan lawan-lawannya, akan tetapi semestinya tidak mungkin berkeliaran lagi pada saat ini, semestinya orang itu sudah tua bangka" - - berkata Ki Ajar Wulungan dalam hatinya.
Dalam suasana ketidakpastian tentang kemunculan orang bercambuk itu, tiba-tiba Ki Ajar Wulungan mengerutkan keningnya ketika padangan matanya menatap sesosok tubuh yang berdiri dikegelapan yang berjarak beberapa tombak dihadapannya. Sesosok tubuh manusia itu berdiri membalakangi ketiga orang guru dan murid tersebut, ujung bawah kain gringsing yang menyerupai jubah itu terlihat terjuntai tertiup angin yang kebetulan berhembus cukup kencang melambai-lambai dikegelapan malam.
Tak sedetikpun bayangan itu berkeming dari tempatnya berdiri apa lagi bersuara atau berpaling ke arah Ki Ajar Wulungan pun tidak, sehingga sebagai orang yang merasa berilmu tinggi Ki Ajar Wulungan hatinya menjadi tersinggung dengan apa yang dilakukan orang tersebut.
"Siapa kau he..!!" -- sergah Ki Ajar Wulungan.
Orang itu masih saja diam membelakangi Ki Ajar Wulungan dan dua orang muridnya itu, sehingga membuat ki Ajar Wulungan semakin gusar.
"Sekali lagi aku tanya, siapa kau..!!" -- geram Ki Ajar Wulungan. Akan tetapi orang itu tidak juga berkeming.
Ki Tapak liman yang tidak telaten melihat tingkah orang itu tiba-tiba saja beringsut kedepan dari tempatnya berdiri seraya berteriak, -- "He manusia sombong..!! Ku tidak tau sedang berhadapan dengan siapa he?!"
Sekali ini sosok manusia itu belum juga berpaling, bahkan bersuarapun tidak, sehingga Tapak Liman menjadi semakin marah, maka dengan disertai satu umpatan kotor Tapak Liman pun bergerak cepat menerjang ke arah sosok manusia itu,
"Iblis laknat..!! Kau mencari mampus..!!" -- geram Tapak Liman sesaat tubuhnya meluncur kearah orang itu.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat Ki Ajar Wulungan dan Jalak Kepik yang masih berdiri ditempatnya itu menjadi terkesiap, ketika mereka melihat sosok manusia itu membalikkan tubuhnya seraya tangan kanannya menyibakkan kainnya yang menyerupai jubah itu kearah laju tubuh Tapak Liman. Tiba-tiba saja entah darimana datangnya, satu gelombang udara sangat dahsyat bergelung memapas kearah salah satu murid Ki Ajar Wulungan tersebut.
Disisi lain Tapak Liman pun menjadi terkejut oleh munculnya gelombang udara yang teramat dahsyat itu, karna sama sekali Tapak Liman tidak menduga akan hal itu, sehingga dengan kalang kabut dia berusaha menghindar dari kekuatan gelombang udara tersebut. Akan tetapi naas bagi Tapak Liman yang tak sepenuhnya mampu menghindar dari kekuatan gelombang udara yang terlontar hingga tubuhnya terpelanting kebelakang lalu berguling-guling diatas tanah. Matanya yang berkunang-kunang membuat Tapak Liman tidak lagi mampu berdiri diatas kedua kakinya lalu roboh terkapar diatas tanah. Pingsan.
"Luar biasa..!!" -- desis Ki Ajar Wulungan lalu berjalan beberapa langkah kearah orang itu.
Sementara Jalak Kepik serta-merta menghampiri saudara seperguruannya itu lalu memeriksa keadaan tubuhnya, -- "Tapak Liman..!!" -- berkata Jalak Kepik seraya menggoyang-nggoyangkan tubuh Tapak Liman yang tergolek tanpa daya tersebut.
Disisi lain Ki Ajar Wulungan sedah berada semakin dekat dengan sesosok tubuh itu lalu diapun berkata, -- "kau luar biasa kisanak, akan tetapi tanpa guna memamerkan kehebatanmu sidepan Ki Ajar Wulungan..!!" -- ucak Ki Ajar Wulungan yang bicaranya tidak sekasar tadi.
Jelas sudah apa yang dilihat Ki Ajar Wulungan setelah menjadi semakin dekat dimana sosok manusia itu berdiri. Dan sosok tubuh manusia yang ternyata wajahnya tertutup kain cadar itupun kemudian berbicara,
"Maaf kisanak, aku tidak sengaja membuat kawanmu itu pingsan.." -- kata orang itu seraya memalingkan wajahnya ke arah Tapak Liman yang terkapar tak berdaya.
"Katakan siapa kau..!! untuk apa pula kau mendatangi kami disini?" - berkata Ki Ajar Wulungan kemudian.
"Bukankah kau mencari siapa orang yang bermain-main dengan cambuk dihalaman banjar kademangan beberapa saat lalu?" - jawab orang yang tidak lain adalah Raden Pamungkas itu.
"Apa maksud mu..?!" -- tukas Ki Ajar Wulungan.
"Maksudku bahwa aku yang bermain-main cambuk gembala itu" -- sergah Raden Pamungkas.
"Setan alas..!! ternyata kau yang menganggu pekerjaanku" -- geram Ki Ajar Wulungan.
"Bukan maksudku kisanak!!" - tukas Raden Pamungkas.
"Baiklah, sekarang kaulah yang harus menanggung dari akibatnya dan nyawamu sebagai penggantinya" -- kata Ki Ajar Wulungan.
"Jangan begitu kisanak..karna aku datang kali ini bukan untuk mengajakmu bertarung, kecuali menyampaikan pesan untuk kau sampaikan kepada pimpinan kalian yang berjuluk Kyai Pager Wesi itu"
Demikianlah tiba-tiba tangan kanan Raden Pamungkas melontarkan sesuatu tepat menancap ketanah tepat dimana Ki Ajar Wulungan berdiri. dan ketika Ki Ajar Wulungan mengambil dan melihat benda itu matanya menjadi terbelalak. Ternyata benda itu adalah bendera segitiga putih yang tertaut pada batang penjalin sepanjang satu jengkal dengan gambar cakra bergerigi tertaut di ujung juntai cambuk.
"Perguruan Windujati..!!" -- desis Ki Ajar Wulungan demi melihat bendera segitiga itu bergambar cakra terkait ujung juntai sebuah cambuk. -- "tidak mungkin..!! perguruan itu telah lenyap dari jagad kanuragan"
Namun ketika Ki Ajar Wulungan kembali berpaling kearah sosok manusia yang bukan lain adalah Raden Pamungkas itu, sosoknya sudah tidak ada lagi. Akan tetapi tiba-tiba suaranya terdengar bagai menggema pada didinding-dinging tebing seperti memantul kian kemari.
"Ki Sanak..aku hanya titip pesan sampaikanlah benda itu pada pimpinan kalian orang-orang gua susuhing angin yang kalian sebut Kyai Pager Wesi itu, mudah-mudahan pimpinan kalian senang" -- suara Raden Pamungkas yang serta merta bagai lenyap tak berbekas dari awal tempatnya berdiri.
**
Kesejukan pagi itu perlahan-lahan sedikit sirna, dimana matahari semakin lama semakin naik, seakan-akan ingin meluahkan cahayanya tanpa batas di segala penjuru alam. Bahkan sisa-sisa embun dipucuk-pucuk daunpun seakan tak berbekas lagi diseperempat hari itu.
Dalam pada itu di pedukuhan induk Tanah Perdikan Banyubiru Ki Ageng Gajah Sora masih terlihat terbaing di bilik pribadinya, meskipun kini alur pernafasan orang tua itu lebih teratur, dan kulit wajahnya telah terlihat merona dibalik kerut-kerut ketuaanya. Sesekali jari-jemari orang tua itu bergerak sebentar, kemudian setelah seakan menggerakkan kepalanya, Ki Ageng Gajah Sora kemudian teebatuk beberapa kali sebelum perlahan-lahan matanya terbuka,
"Ayah..!!" -- desis Arya Salaka yang sejak Ki Ageng Gajah Sora terbaring sedikitpun belum beranjak dan menemani ayahnya hingga terlihat siuman.
Ki Ageng Gajah Sora hanya mengangguk kecil sambil memandang putra satu-satunya itu,
-- "apa yang terjadi..?" -- desis Ki Ageng Gajah Sora lirih.
"Ayah sudah siuman? Ayah terbaring pingsan lebih dari sehari semalam" -- jawab Arya Salaka.
"Pingsan..?" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora seraya hendak bangun namun terbaring kembali
"Ayah jangan banyak bergerak...biarkan tenaga ayah pulih dulu" -- sergah Arya Salak yang buru-buru menangkap tubuh ayahnya sehingga tidak terhempas diatas dipan pembaringannya.
"Tapi...grombolan orang-orang gila itu?!" -- lanjut Ki Ageng.
"Mereka semua sudah terpukul mundur, bahkan beberapa ketuanya telah binasa, Kyai Naga Pertalapun sudah mati oleh paman Mahesa Jenar" -- jawab Arya Salaka
"Mahesa Jenar..?!" -- sahut Ki Ageng Gajah Sora lalu kembali berucap, -- "ya, bagaimana keadaan pamanmu itu Arya?"
"Paman baik-baik saja ayah, sekarang sedang diruang pendapa bersama para para sanak kadangnyang lain"
"Panggilah pamanmu kemari Arya..!" kata Ki Ageng.
Sekejab Arya Salaka pun pergi meninggalkan gandhok menuju ruang pendapa untuk menemui Mahesa Jenar. yang beberapa saat kemudian keduanya terlihat memasuki bilik utama Ki Ageng Gajah Sora.
"Sukurlah..kau sudah sadar kakang" -- kata Mahesa Jenar.
"Aku tidak merasakan sakit adhi...kecuali tubuhku ini serasa tak lagi berdaya" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora.
"Sabarlah kakang, kau telah terkena pukulan beracun yang teramat jahat dari Kyai Nagapertala. perlahan-lahan kakang akan segera pulih"
"Saudara muda Kyai Nagapasa itu memang benar-benar luar biasa" -- desis Ki Ageng.
"Ya, tapi jika orang tua itu tidak secara bersama dengan ketua kelompok Macan Lodaya, tentu tidak akan segampang itu menundukkan mu kakang" -- jawab Mahesa Jenar seraya tersenyum.
"Ah, tidak adhi, aku sudah tidak seperti Gajah Sora yang dulu, tubuhku yang semakin lama semakin rapuh ini telah membuatku tak berdaya" -- desis Ki Ageng.
"Kakang jangan melemah...kau tetap Gajah Banyubiru yang perkasa" -- tukas Mahesa Jenar.
Sementara Ki Ageng Gajah Sora teelihat mengangguk-anggukkan kepalanya dipembaringan, lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum berkata,
"Trima kasih adhi, akan tetapi apapun daya kita tidak akan mampu melawan kodrat Yang Maha Agung"
"Kakang jangan bicara tentang hal yang melemahkan jiwa kakang sendiri"
"Bukan itu maksudku adhi Mahesa Jenar, akan tetapi aku tidak akan mampu memotong waktu untuk pemulihan wadhagku ini, karna memang aku sudah semakin renta"
"Usia kita tidak terpaut jauh kakang..!!" -- tukas Mahesa Jenar. Sementara Ki Ageng Gajah Sora terlihat tersenyum memandang sahabat karibnya itu.
"Kau benar adhi, tapi sesungguhnya keadaanlah yang kadang menentukan kehidupan kita" - sahut Ki Ageng Gajah Sora.
Suasana gandhok itupun seakan-akan menjadi hening sekejab sebelum kembali suara Ki Ageng Gajah Sora terdengar.
"Adhi Mahesa Jenar...maukah kau mengabulkan satu permintaanku? bertanya Ki Ageng.
"Katakanlah kakang, jika aku mampu dan bisa, tentu dengan senang hati aku akan melakukannya" -- jawab Mahesa Jenar.
"Mudah-mudahan kau bisa.." -- sahut Ki Ageng yang kemudian melanjutkan ucapannya, -- "Adhi Mahesa Jenar, seperti kau tau, sebentar lagi aku harus lengser dari segala urusan menyangkut Banyubiru ini, biarlah putraku itu yang memang sudah pada waktunya tampil menggantikan aku"
"Lalu..?" -- sela Mahesa Jenar.
Sesaat Ki Ageng Gajah Sora kembali menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya.. -- "aku akan pergi ke pengrantuan untuk menghabiskan masa tuaku disana, menempati bekas rumah ayah Dipayana"
Mahesa Jenar pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya dan masih mendengar setiap ucapan Ki Ageng Gajah Sora dengan seksama.
"Adhi Mahesa Jenar...apakah kau bersedia, jika aku memintamu untuk tinggal di Banyubiru ini, setidaknya sampai Arya Salaka matang menjadi seorang kepala tanah perdikan ini....atau jika kau mau tinggalah kau disini selamanya"
Mahesa Jenar pun menjadi termangu-mangu bahkan hatinya menjadi berdebar-debar mendengar apa yang dikatakan sahabat karibnya tersebut.
Kini Mahesa Jenar bukanlah seperti puluhan tahun yang lalu sebagai seorang pengembara. Mahesa Jenar sekarang adalah seseorang yang terikat dan tidak boleh begitu saja memutuskan hal-hal yang bersifat penting dalam hidupnya. Mahesa Jenar kini adalah suami Rara Wilis, juga seorang ayah dari anak yang saat itu tidak dibawanya serta. Seorang anak laki-laki buah cintanya bersama Rara Wilis yang kini berada bersama pamannya di Gunung Kidul.
Maka tentu saja tawaran Ki Ageng Gajah Sora itu tidak bisa begitu saja dijawabnya, Mahesa Jenar harus membicarakan itu kepada keluarganya.
"Kenapa kau diam adhi?" -- bertanya Ki Ageng Gajah Sora, hingga Mahesa Jenar menjadi terkejut.
"O, tidak apa-apa kakang, hanya saja soal permintaan itu aku harus bicarakan ini kepada Rara Wilis terlebih dahulu" --tukas Mahesa Jenar
"Kau benar adhi, aku mengerti itu, maka secara pribadi nanti aku juga akan meminta kesediaan istrimu Rara Wilis tentang hal ini" -- jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Mahesa Jenar pun kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menarik nafas dalam-dalam.
Waktu yang berjalan bagaikan tak terasa, sehingga lambat namun pasti keadaan Ki Ageng Gajah Sora juga semakin membaik, seiring ramuan obat yang diberikan oleh guru Raden Pamungkas. Ki Dipasanjaya.
Meskipun belum pulih total, Ki Ageng Gajah Sora pun telah mampu melakukan kegiatan dihari-harinya.
Tujuh hari waktu telah berlalu semenjak terjadi pertempuran ditepian Rawa Pening lalu sedikit dami sedikit Banyubiru sudah mampu melupakan kejadian itu, bahkan kehidupan masyarakatnya seakan telah berjalan normal seperti biasanya.
Kini upacara pergantian Kepala Tanah Perdikan yang lama juga jumenengan tanah Perdikan Banyubiru yang baru telah mulai disusun kembali oleh para pemimpin tanah perdikan tersebut. Seiring dengan semakin pulihnya kondisi Ki Ageng Gajah Sora maka telah ditetapkan bahwa upacara peralihan kepemimpinan perdikan Banyubiru itu akan dilaksanakan empat hari kedepan.
Akan tetapi meskipun keadaan di Tanah Perdikan Banyubiru itu sudah dapat dikatakan aman, namun kewaspadaan tetap selalu dikedepankan demi menjaga hal-hal yang mungkin saja masih datang tanpa diduga. Karna itu tidak jarang para pasukan pengawal tanah perdikan itu merapatkan jeda waktu untuk meronda hingga sampai perbatasan dipedukuhan paling jauh.
Widagdo, sebagai pemimpin utama para pemuda pengawal tanah perdikan Banyubiru itu telah menyusun jadwal-jadwal parondan diantara para kelompok pasukan pengawal tersebut. Bahkan tidak ketinggalan para cantrik dari Pengrantunan yang ternyata masih berada di Banyubiru juga tidak ketinggalan membantu memperkuat kelompok-kelompok parondan itu.
"Widagdo...bagaimana keadaan pedukuhan sebelah timur? -- bertanya Jaka Raras yang merupakan salah satu cantrik Ki Ageng Gajah Sora dari Pangrantunan itu.
"Atas kehendak Yang Maha Agung tidak ada hal yang mengkhawatirkan" -- jawab Widagdo
Jaka Raras pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, -- "o, syukurlah, dipedukuhan paling barat dan utara juga dalam keadaan yang aman"
Widagdopun mengangguk-anggukkan kepalanya juga seraya berkata, -- "mudah-mudahan tidak ada lagi hal mencekam seperti beberapa hari lalu" -- desis Widagdo lalu menarik nafas panjang-panjang, .. "Baiklah Raras, aku akan melanjutkan tugasku"
"Silahkan, aku akan ke pedukuhan induk" -- jawab Jaka Raras.
Kemudian dua kelompok parondan yang berpapasan itu menyebar melakukan tugas mereka masing-masing.
Dalam pada itu keadaan pendapa bangunan induk perdikan Banyubiru itu menjadi agak ramai. Ki Ageng Gajah Sora bersama beberapa bebahu, juga para tamunya, seperti Ki Dipasanjaya, Ki Kanigara, Mahesa Jenar, bahkan Rara Wilis juga Widuripun nampak berada diantara orang-orang tersebut setelah sesaat menyuguhkan baberapa makanan juga minuman untuk mereka.
"Ki Ageng.." -- terdengar Ki Dipasanjaya berucap, -- "mungkin kewajibanku di tanah perdikan Banyubiru ini telah usai, dan aku sungguh senang ternyata ramuan obatku yang sederhana itu berjodoh dengan Ki Ageng, sehingga dengan berat hati besok wayah lingsir wengi sebelum matahari muncul aku akan mohon diri melanjutkan perjalananku"
Ki Ageng Gajah Sora pun sesaat termangu-mangu mendengar Ki Dipasanjaya secara tidak terduga tiba-tiba saja hendak berpamitan meninggalakan tanah perdikan itu. Sebenarnyalah Ki Ageng Gajah Sora sangat mengharap seluruh tamunya sudi menjadi saksi di upacara sulih pemimpin tersebut.
"Ki Dipasanjaya" -- jawab Ki Ageng Gajah Sora, -- "apakah tidak sebaiknya Ki Dipa menunggu usainya hajat tanah peedikan ini?"
"Sebenarnyalah Ki Ageng... aku sangat ingin menyaksikan hajatan itu, akan tetapi perjalanan ku sudah tertunda beberapa lama" -- jawab Ki Dipasanjaya.
Ki Ageng Gajah Sora kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berkata,
"Ki Dipa, aku secara pribadi juga mewakili seluruh rakyat Banyubiru mengucapkan terima kasih atas segala sumbangsih, yang Ki Dipa berikan kepada kami" --
Ki Ageng Gajah Sora kembali menarik nafas panjang-panjang lalu meneruskan ucapannya,
_ "jika saja tidak ada kehadiran Ki Dipa disini, mungkin hari ini aku tidak lagi terlihat disini"
"Ah, aku hanya berusaha Ki Ageng, semua terjadi karna kehendak Yang Maha Agung" -- sahut Ki Dipasanjaya.
"Akan tetapi jika tidak ada Ki Dipa tentuk cerita tentang aku sudah berbeda dengan saat ini, tentu saja racun Kyai Nagapertala itu sudah meremas jantungku" -- tukas Ki Ageng Gajah Sora.
"Namun aku justru mohon maaf jika terpaksa tidak bisa menyaksikan hajatan yang sangat penting ditanah perdikan ini, sungguh sebenarnya aku dan adhi Kanigara sedang dalam pekerjaan yang sangat penting bagi kami"
"Ayah..?!" -- sahut Widuri demi mendengar Ki Dipasanjaya menyebut nama Ki Kebo Kanigara.
Ki Kebo Kanigara pun serta merta berpaling kepada putri satu-satunya tersebut, lalu mengangguk kecil
"Apakah kakang Kanigara juga akan minta diri?" -- ucap Mahesa Jenar seakan melanjutkan maksud Widuri.
"Benar Mahesa Jenar, benar pula apa yang dikatakan kakang Dipasanjaya, bahwa ada pekerjaan yang harus kami selesaikan oleh orang-orang tua macam kami ini" -- jawab Ki Kebo Kanigara.
Sementara usai terdengar suara Ki Kanigara itu, tiba-tiba saja Widuri beringsut dari duduknya lalu pergi meninggalkan pertemuan itu dengan wajah yang sedikit lesu dan memerah.
"Widuri..!!" -- tukas Arya Salaka memanggil istrinya.
"Kau kenapa Widuri?" -- bertanya Arya Salaka seraya mengikuti langkah kecil istrinya.
Nampaknya ada sesuatu yang bergelora dalam hati Widuri yang membuatnya bagai tidak mendengar sapaan suaminya itu, bahkan langkah perempuan itu menjadi semakin cepat menuju halaman belakang bangunan induk rumah itu.
Sementara semua orang yang berada didalam pendapa itu menjadi termangu-mangu melihat Widuri yang tiba-tiba seperti merasakan kekecewaan yang membuat istri Arya Salaka itu begitu saja pergi meninggalkan pendapa tanpa sepatah katapun.
Hanya Ki Kebo Kanigara yang nampak sedikit menyunggingkan senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu bagi Widuri, tentu saja Ki Kebo Kanigara sangat megenal perangai putri satu-satunya itu.
"Widuri..." -- desis Arya Salaka yang telah berada didekat istrinya.
"Kakang..."
"Kau marah..?" -- lanjut Arya Salaka.
"Tidak kakang, aku hanya sedikit kecewa" -- jawab Widuri.
"Soal ayah Kanigara?"
Widuri tidak menjawab namun terlihat mengangguk pelan. Dan Arya Salaka kemudian menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap,
"Nampaknya kita tak akan mampu menahan ayah Kanigara untuk tinggal dan menetap bersama kita disini, jiwa petualangannya itu telah mendarah daging, dan mestinya kau tau itu Nyai.."
"Tapi ayah adalah keluargaku satu-satunya kakang, dan ayah kini sudah semakin tua, aku tak ingin sisa hidupnya terlunta-lunta tak jelas!" -- tukas Widuri
"Ya, aku mengerti, dan aku sangat mendukung keinginanmu itu, akan tetapi kita juga tidak bisa memaksa apa yang menjadi kehendak ayah" -- sahut Arya Salaka seraya menarik nafas dalam-dalam.
Widuripun kemudian berkata pula, --
"Aku sudah beeulang kali membujuknya agar ayah bersedia tinggal di Banyubiru, atau mungkin ke Pajang sehingga kita selalu tau keadaannya, dan aku yakin kakang Karebet pasti akan menerimanya dengan baik" -- desis Widuri
"Kalian benar..!! tentu anak itu akan menerimaku dengan baik" -- tiba-tiba saja terdengar suara Ki Kebo Kanigara yang sudah berada diantara mereka.
"Ayah.." -- desis Arya Salaka dan Widuri bersamaan. Namun Widuri serta merta nampak mencibirkan mulutnya kemudian berbalik membelakangi ayahnya.
"Kau sudah bukan anak-anak lagi Widuri" -- berkata Ki Kebo Kanigara sambil tersenyum, -- "tidaklah mungkin selamanya kau harus bersama ayah, kau sudah punya pengganti ayah untuk mengawanimu selamanya, apa lagi sebentar lagi kau akan menjadi Nyi Gede Banyubiru"
"Aku minta ayah tinggal disini bukan karna itu" -- tukas Widuri
"Lalu" -- sahut Ki Kanigara.
"sebaliknya gantian aku yang merawat ayah" -- jawab Widuri singkat.
"Seharusnya kau sudah paham siapa ayah ini, ayah tidak pernah betah tinggal menetap" -- berkata Ki Kanigara yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali berucap.
"Widuri...satu yang menjadi kebahagiaanku sekarang ini aku tidak lagi memikirkan masa depan putriku, keberadaanmu di Banyubiru ini telah mambuat hati ayah bahagia ngger.. ditambah lagi kakangmu Karebet yang kini telah menjadi seorang Adipati di Pajang, semua itu adalah hikmah dari keluarga Pengging yang dulu porak poranda, dan ternyata apa yang dulu pernah diucapkan seorang Wali Waskitha kepadaku nampaknya lambat laun akan menjadi kenyataan"
"Anak-anaku.." -- sesaat Ki Kanigara melajutkan ucapannya setelah menarik nafas panjang-pajang, -- "pandanglah masa depan kaliyan, selaksa tugas akan segera kalian jalankan beberapa waktu dekat ini, kaliyan sebagai pemimpin tanah perdikan ini harus bisa membawa Banyubiru lebih baik lagi dari sebelumnya, bawalah perdikan ini dalam kemakmuran yang nyata, artinya kemakmuran yang benar-benar dirasakan segenap lapisan masyarakatnya"
"Tapi ayah sendiri?!" -- sela Widuri yang kemudian diam ketika Ki Kanigara mengangkat tangan kanannya,
"Ayah mengerti apa yang ada dibenakmu Widuri, bukan maksud ayah menolak baktimu kepada ayah, akan tetapi ketahuilah, keberadaanmu disini bersama suamimu adalah harapan ayah yang terwujud" -- kembali Ki Kanigara menarik nafas panjang-panjang, lalu dilayangkannya mata yang sudah tampak menua itu menembus rimbun papohonan dihalaman rumah itu, sesekali dialihkanya jauh menatap langit seakan menembus sulur-sulur awan yang berarak dihari yang telah lepas sepenggalan, setelah beberapa saat kembali terdengar suara Ki Kanigara,
"Anak-anakku, bagi ayah yang sudah semakin tua ini, rasanya tidak ada bedanya dimana kaki berpijak, karna tanah dimana kaki ini bepijak adalah Bumining Hyang Widhi, dimana kita dapat mencari ketenangan dimanapun berada dalam mendekatkan diri pada Hyang Maha Agung, maka janganlah terlalu memikirkan ayah, karna ayah akan selalu baik-baik saja, dan jika kaliyan bisa menjadi orang yang berguna bagi kehidupan disekitarmu, demikianlah kau telah menunjukkan bakti kepada ayah, karna memang itulah yang selalu aku harapkan pada kaliyan"
"Ayah..."
Widuripun kemudian berlari memeluk tubuh ayahnya, tidak ada ucapan yang ,keluar dari mulutnya kecuali kedua mata perempuan itu yang membasah.
Dengan lembut Ki Kanigara mengelus rambut putri satu-satunya itu lalu berkata,
"Widuri...kanapa kau menangis ngger? ayah tidak pernah mengajarimu menangis meskipun kau seorang perempuan, Trah Pengging tidak boleh meneteskan air mata ngger...apa lagi hal sepele seperti ini" -- desis Ki Kanigara yang kemudian beringsut melepaskan diri dari pelukan putrinya tersebut, -- "sudahlah...ayah ingin sekarang kau berdiri disamping suamimu Ki Gedhe Banyubiru Arya Salaka, aku ingin melihat kalian tegar bersanding sebagai pemimpin yang perkasa, sebelum ayah pergi"
Seperti apa yang dikatakan Ki Kebo Kanigara, maka Widuripun beringsut mendekati suaminya dan berdiri disampingnya. Nampak wajah tua Ki Kanigara sesaat menjadi berbinar-binar dengan senyum yang tersungging dibibirnya, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anakku Arya Salaka....kemarilah" -- terdengar kemudian Ki Kanigara berkata,
"Saya ayah..." --jawab Arya Salaka serta merta menghampiri Ki Kanigara
Dalam pada itu Ki Kanigara kemudian terlihat mengambil sesuatu dibalik bajunya, lalu sesaat memandang benda yang digenggamnya itu seraya berkata, -- "anakku, sebagai orang tua aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali rontal-rontal didalam kain ini, didalam rontal-rontal ini aku tuliskan hal-hal dalam perjalanan hidupku sampai saat ini, terimalah..!! mudah-mudahan berguna untukmu"
Demikian Ki Kanigara menyodorkan benda itu kepada Arya Salaka,
"Trimakasih ayah, aku akan selalu ingat pesan-pesan yang ayah Kanigara berikan padaku, aku akan meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan didalam rontal ini" -- jawab Arya Salaka.
Demikian Ki Kanigara kemudian menarik nafas dalam-dalam seraya menepuk-nepuk bahu calon kepala tanah perdikan Banyubiru tersebut,
"Baiklah....sudah saatnya ayah berpamitan pada kalian, nanti sebelum wayah surup ayah, juga pamanmu Ki Dipasanjaya akan berangkat...." -- desis Ki Kanigara.
"Bolehkah kami tau kemana tujuan ayah? hingga kami menjadi lega mengetahui keberadaan ayah" -- bertanya Arya Salaka.
Ki Kanigara kemudian tersenyum dan menjawab, -- "ayah hanya mengikuti kemana kaki ini melangkah, bagaimana mungkin ayah memberitahu kepada kalian?"
Arya Salaka pun kemudian terdiam lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berpaling kearah Widuri yang terlihat menundukkan wajahnya...
ke Buku I
Gugat Trahing Kusumo
Jumat, 16 September 2016
Jumat, 19 Februari 2016
Gugat Trahing Kusuma 9
GTK IX
Sementara itu langit diatas Kadipaten Pajang nampaknya sedikit meredup terbias oleh mendung yang semakin pekat yang memayungi Kerajaan Demak Bintara yang kian menghitam. Persaingan perebutan kekuasaan diantara trah-trah Sultan Fatah rupa-rupanya semakin mengental dan menimbulkan benih-benih permusuhan yang kian menjadi-jadi. Bahkan diakhir tersiar kabar yang begitu menggeparkan seluruh wilayah Demak.
Pangeran Mukmin yang dinobatkan sebagai penerus Sultan Trenggana tiga tahun yang lalu dikabarkan terbunuh beberapa waktu yang lalu. Suasana yang semakin memanas ketika tersiar kabar pula bahwa Pangeran Arya Jipang dari trah pangeran Kinkin dibalik pembunuhan tersebut, dimana ketika Sorengpati dari kadipaten Jipang bernama Rungkut sebagai pembunuh, justru terbunuh pula dalam peristiwa itu.
Persetruan diantara keluarga Demak nampaknya kian menjadi tajam, ketika trah pangeran Trenggana yang lain, adalah Ratu Retna Kencana tidak dapat menerima apa yang telah dilakukan pangeran Arya Jipang terhadap saudaranya tersebut. Hingga konon dewan Walisongo pun menjadi kalang kabut menanggapi apa yang terjadi diantara trah keluarga Demak tersebut.
Demikianlah mendung yang semakin pekat di langit Demak itu serta merta membuat Kadipaten Pajang turut menjadi redup. Sehingga meskipun secara keseluruhan kota kadipaten pajang masih terlihat tenang akan tetapi jelas terlihat kewaspadaan yang begitu jelas. Beberapa pasukan acap kali terlihat hilir mudik melintas diberbagai perbatasan kota kadipaten, bahkan jumlah prajurit diseluruh gardu-gardu penjagaan terlihat semakin banyak dalam kesiagaan yang semakin ketat.
Dalam pada itu, sebelum waktu sepenggalan, perjalanan Raden Pamungkas telah memasuki pedukuhan Pucangan sebelah barat kota Kadipaten Pajang, sebelum beberapa saat lalu Rombongan Ki Juru Mertanipun melintasi daerah tersebut kearah timur menuju Kota Kadipaten.
"Nampaknya ada sesuatu yang lain terjadi didaerah ini.." -- desis Raden Pamungkas dalam hatinya.
Demikianlah Raden Pamungkas melihat serombongan-serombongan prajurit dari Pajang seperti melakukan perondaan secara silih berganti melintasi jalan dimana dirinya berada pada saat itu, meskipun kehadiran para prajurit itu tidak menimbulkan kegaduhan diantara para penduduk dipedukuhan itu. Bahkan Raden Pamungkas melihat kesibukan disebuah pasar di timur pedukuhan Pucangan itu nampak berjalan normal seperti tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan.
"Aneh...suasana terlihat aman, tapi kenapa prajurit Pajang itu silih berganti melakukan perondaan sampai jauh di pedukuhan Pucangan ini?" -- bertanya Raden Pamungkas dalam hati,
Dalam berbagai pertanyaan dalam hatinya, Raden Pamungkas pun kemudian memasuki sebuah kedai yang terletak ditepi jalan pedukuhan Pucangan menuju kota Kadipaten Pajang tersebut.
"Jarak kademangan Tulung masih cukup jauh dari sini, hemmm...nampaknya aku akan beberapa waktu berada di Pajang ini sebelum ke Kademangan Tulung..." -- desis Raden Pamungkas yang serta merta pandangan matanya menjadi sayu setelah membayang sosok wanita yang pernah ditemuinya beberapa waktu yang lalu,-- "Ehmmm Laras...sudah begitu lama aku meninggalkanmu, semestinya saat ini aku sudah menemuimu seperti janji kedatanganku padamu dulu, mudah-mudahan semua baik-baik saja" -- desisnya dalam hati.
"Mari kisanak, silahkan masuk, mau pesan apa..?" -- tanya seorang pelayan kedai itu seakan-akan menyadarkan Raden Pamungkas yang secara tidak sadar berdiri di depan pintu kedai sambil termangu-mangu.
"O, ya terima kasih kisanak, tolong sediakan wedang sere dan beberapa potong makanan untukku" -- sahut Raden Pamungkas.
"Baiklah kisanak, segera saya siapkan, silahkan kisanak ambil tempat duduk" -- pelayan kedai
Raden Pamungkas pun serta merta mengambil tempat duduk disudut kedai tersebut. Sesekali pandangan matanya memandang berkeliling melihat suasana yang sedari tadi membuat hatinya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, hingga tidak lama kemudian sang pelayanpun kembali dengan membawa hidangan yang dipesannya.
"Mari kisanak, pesanan telah kami sediakan" -- berkata pelayan kedai tersebut.
"Terimakasih, tumben kedainya sepi..?" -- bertanya Raden Pamungkas berbasa basi.
"demikianlah kisanak, memang kedai ini hanya ramai pada saat pagi saja" -- jawab sipelanyan.
"Kisanak...apakah aku boleh bertanya?" -- kata Raden Pamungkas.
"Kisanak ingin bertanya soal apa?" -- tukas pelayan kedai.
"Aku cuma heran kisanak, aku melihat pedukuhan ini tidak ada sesuatu kejadian yang mencemaskan, kenapa banyak serombongan-serombongan prajurit pajang silih berganti seperti melakukan perondaan?"
"Kisanak bukan penduduk sini?" -- bertanya pelayan kedai tersebut.
"Aku dari Pakuwon kisanak" -- jawab Raden Pamungkas
Pelayan kedai itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali berkata
"Jadi kisanak belum mendengar?"
"Mendengar apa?" -- tukas Raden Pamungkas seraya mengerutkan keningnya.
"Memang tidak ada satu kejadian apapun yang menimbulkan kecemasan dipedukuhan Pucangan ini, namun setelah tersiar kabar terbunuhnya pangeran Perwata di Demak, prajurit-prajurit Pajang itu acap kali melakukan perondaan jauh sampai diluar perbatasan kota kadipaten seperti di Pucangan ini"
"Apa..?! Pangeran Perwata terbunuh?" -- desis Raden Pamungkas kemudian termangu-mangu.
"Nampaknya suasana akan semakin memanas, dan berlarut-larut" -- berkata Raden Pamungkas dalam hati, yang kemudian tertegun melihat beberapa orang memasuki kedai itu pula.
Seorang tua dengan tampang yang begitu sangar dengan muka berwarna kemerah-merahan diiringi beberapa orang yang rata-rata juga menunjukkan wajah-wajah beringas meskipun usia mereka tidak setua pemimpin mereka yang bermuka kemerah-merahan tersebut.
Akan tetapi meskipun wajah-wajah mereka menujukkan kegarangan yang begitu jelas, prilaku orang-orang itu begitu tenang, bahkan tutur kata orang tua bermuka kemerah-merahan itu nampak halus tidak menunjukkan sedikitpun watak-watak keras seperti sosok-sosok sangar mereka.
"Mari tuan...silahkan masuk, kami siap melayani permintaan tuan.." -- demikian pelayan kedai itu tergopoh-gopoh menyambut kedatangan rombongan orang tua bermuka kemerah-merahan itu dengan suara tergagap.
Akan tetapi orang tua itu seakan tidak mendengar perkataan pelayan kedai tersebut, hanya diam, bahkan dengan tatapan mata yang dingin orang tua itu memandang keliling ruangan kedai, dan sesaat pandangan matanya terhenti kearah dimana Raden Pamungkas duduk menikmati makanan dan minuman didepannya.
Kemudian orang tua bermuka kemerah-merahan itu mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian duduk di bangku sebelah diikuti para pengikutnya, sebelum suaranya yang agak berat itu terdengar,
"Makanan dan minuman terbaik apa yang kau punya?" -- kata orang tua bermuka kemerah-merehan itu kepada pelayan kedai.
"Ampun tuan, kedai kami kedai sederhana, hanya pepes ikan badhèr makanan kami punya" --- jawab pelayan kedai tebata-bata.
"Minuman?" --tanya orang tua itu singkat
"Legen, tuan"
Demikian orang tua bermuka kemerah-merahan itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali berkata, -- "baiklah, sediakan makan terbaik yang kau punya untuk kami" -- orang tua itu kemudian berpaling dimana Raden Pamungkas duduk.
Seperti tidak terjadi apa-apa Raden Pamungkas masih saja duduk tenang seakan-akan tidak mempedulikan kedatangan orang-orang tersebut.
Akan tetapi Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar ketika dengan suara lembut orang tua bertampang sangar dengan muka kemerah-merahan itu berkata kepada pelayan kedai,
"Pelayan, apakah aku bisa memakai kedai ini tanpa ada seorangpun orang lain disini?"
"maksud tuan..??" -- bertanya pelayan kedai itu lalu berpaling pula sebentar ke arah Raden Pamungkas duduk.
"Ya, aku ingin menyewa kedai ini beberapa waktu tanpa orang lain selain kami, kami ingin makan dan beristirahat dengan tenang disini" -- kembali orang tua itu bicara.
"Tapi tuan..??"
"Bisa apa tidak?!" -- sahut orang tua itu dengan suara masih lembut akan tetapi kini terdengar sedikit parau.
Disisi lain pelayan kedai itu menjadi kebingungan, hingga menjadi termangu-mangu, karna tidak mungkin baginya tiba-tiba mengusir Raden Pamungkas yang lebih dulu berada dikedai tersebut.
Dalam pada itu Raden Pamungkas merasakan ada yang aneh dengan kedatangan orang-orang tersebut. Panggraitanya yang tajam mengatakan bahwa orang-orang itu tentu mempunyai maksud yang tersembuyi dibalik sikap dan tutur katanya tersebut. Karnanya semua itu justru membuat Raden Pamungkas ingin mengetahui, siapa sebenarnya orang tua bermuka kemerah-merahan itu, dan apa sebenarnya tujuan mereka. Untuk itu serta merta Raden Pamungkas pun segera beranjak dari tempat duduknya, setelah membayar makanan dan minumannya diapun kemudian beranjak keluar meninggalkan kedai tersebut.
"Maafkan kami kisanak.." -- pelayan kedai itu mendekati Raden Pamungkas sambil berkata lirih.
"tidak apa-apa, bukankah aku juga sudah lama berada disini? sudah saatnya aku melanjutkan perjalananku" -- jawab Raden Pamungkas yang kemudian tersenyum, berjalan menuju pintu keluar kedai tanpa menghiraukan apapun.
"Sombong..!! orang itu tidak menghargai keberadaan kita..!!" -- geram salah satu pengikut orang tua bermuka kemerah-merahan itu, sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
"Jangan gegabah..!!" -- sahut temannya yang lain -- "ini bukan saatnya membuat keributan.
Tiba-tiba orang tua berwajah garang bermuka kemerah-merahan itu kemudian berpaling memandang para pengikutnya dengan tatapan mata yang tajam namun dingin, hingga para pengikutnya itu serta merta serentak menudukkan wajahnya masing-masing. Lalu kembali berbicara pada pelayan kedai tersebut.
"Pelayan, cepat siapkan makanan yang aku pesankan, setelah itu jangan sekali-kali kau kemari jika tidak aku panggil"
"Baik tuan segera saya siapkan" -- jawab pelayan itu yang kemudian meninggalkan tempat itu.
Disisi lain ternyata Raden Pamungkas tidak benar-benar pergi jauh meninggalkan kedai tersebut, akan tetapi berhenti bawah pohon termbesi yang berjarak beberapa puluh tombak dari kedai itu, setelah duduk diatas batu yang tak jauh dari pohon termbesi itu, bagai seorang yang terlihat beristirahat melepaskan rasa lelah dari perjalanan jauh, Raden Pamungkas kemudian memusatkan nalar dan budinya, dengan mempertajam indera pendengarannya ke arah pembicaraan orang-orang didalam kedai tersebut.
"Siapa sebenarnya orang-orang itu? dan apa tujuannya?" -- bertanya Raden Pamungkas dalam hati.
"Bagaimana guru? apakah sudah saatnya recana kita mulai?" -- bertanya salah seorang pengikut orang tua bermuka kemerah-merahan itu.
Sementara orang tua itu mengerutkan keningnya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berpaling kepada salah seorang muridnya tersebut.
"Bagaimana pendapatmu Sura Landung..?" -- bertanya orang tua itu kepada murid yang lainnya.
"Ampun guru, seperti yang kita lihat, Ki Ajar Wulungan juga Kyai Tumbak Jalu yang guru utus selangkahpun tidak mampu memasuki Pajang untuk berbuat sesuatu yang berarti, bahkan Kyai Tumbak Jalu pun hampir saja binasa, hingga guru memutuskan untuk turun gunung menyelesaikan orang tingkir itu"
Orang yang dipanggil Sura Landung itu diam sesaat sembari beringsut dari tempat duduknya, lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum melanjutkan ucapannya,
-- "akan tetapi seperti yang kita dengar, berita terbunuhnya pangeran Prawata, tentu akan membuat orang tingkir itu lebih memusatkan perhatiannya pada persoalan Demak, daripada menanggapi persoalan dengan kita....ampun guru"
Orang tua yang tidak lain adalah Kyai Pager Wesi itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu dengan suara landai diapun berkata, -- "aku tidak peduli, aku sudah sampai disini, apapun alasannya aku harus mendapatkan Jaka Tingkir untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya atas Goa Susuhing Angin pada waktu lalu"
"ampun guru, apakah tidak sebaiknya kita langsung membuat keonaran dipusat kota kadipaten untuk menarik perhatian Jaka Tingkir?" -- berkata seorang yang duduk disamping Sura Landung.
"Kau jangan gegabah Paniling.." -- sahut Sura Landung -- "jika kita membuat keonaran di pusat kadipaten, tentu bukan Jaka Tingkir yang akan kita hadapi, akan tetapi para gedibalnya, apakah kau lupa Jaka Tingkir itu sekarang seorang Adipati?"
"Akan kita binasakan siapapun yang menghalangi kita..!! Aku yakin tak satupun orang Pajang akan mampu menghentikan kita, apalagi kini guru bersama kita" -- tukas Paniling.
"Kau benar Paniling, memang guru bersama kita, akan tetapi tetap saja segala rencana harus dicermati secara matang, tidak grasa-grusu seperti maksudmu" -- sergah Sura Landung.
"Sudah jangan berdebat sendiri..!!" -- geram Kyai Pager Wesi, lalu berkata -- "kau benar Sura Landung, aku juga tidak ingin mengotori tanganku dengan darah kroco-kroco gedibalnya Jaka Tingkir, kecuali manusia satu yang sekarang pongah menjadi adipati Pajang itu yang aku mau"
"apakah kakang Sura Landung takut akan munculnya Orang Bercambuk itu?" --- desis Paniling seraya tersenyum kecut.
"Kau meremehkan aku Paniling?!" -- geram Sura Landung
"Bukan maksudku kakang, akan tetapi sejak peristiwa gagalnya Kyai Tumbak Jalu, juga Ki Ajar Wulungan oleh orang bercambuk itu kau selalu bertanya-tanya saperti jerih tentangnya?"
"Diam kau Paniling..!! kenapa kau selalu membuat persoalan denganku..!!" -- geram Sura Landung seraya berdiri dari tempat duduknya dengan muka merah padam.
"Duduk kau..Sura Landung.." -- suara Kyai Pager Wesi terdengar berat.
"Ampun guru, selama ini adi Paniling itu nampaknya tidak suka kepadaku" -- desis Sura Landung.
"Sudahlah, apapun persoalan kalian aku tidak ingin kalian bertengkar sendiri, jangan sampai pertikaian kalian aku anggap menghambat rencanaku, kalian tau apa hukumannya orang yang berani menghambat rencana Kyai Pager Wesi" --
Entah apa yang dilakukan orang tua itu. Yang terlihat hanyalah dua kali kibasan tangan, dua larik pula cahaya putih melesat dari tangan Kyai Pager Wesi kearah bangku-bangku dimana Paniling juga Sura Landung duduk.
Dan yang terjadi amatlah luar biasa. Paniling juga Sura Landung tiba-tiba saja terjungkal dari duduknya karna bangku mereka bagai rapuh teronggok menjadi serpihan kayu.
Jarak pohon termbesi dimana Raden Pamungkas duduk, dengan kedai itu memang teramat jauh, sehingga Kyai Pager Wesi yang berilmu sangat tinggi itu tidak menyangka jika pembicaraannya secara diam-diam didengar oleh orang yang tidak lain adalah Raden Pamungkas.
Ketajaman pendengaran Raden Pamungkas yang luar biasa itu bagaikan tak terhalang jarak sehingga apa yang perbincangkan Kyai Pager Wesi dengan para pengikutnya itu tak sedikitpun terlepas dari pendengarannya. Sambil duduk dengan kepala menunduk, sementara nampak tangan kanannya memegang ranting kering untuk menggurat-gurat tanah didepannya. Sesekali Raden Pemungkas mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata dalam hatinya,
"Luar biasa..!! aku mendengar desir lontaran tenaga cadangan yang sangat tinggi, Hemm...jadi orang tua bermuka kemerah-merahan itulah yang berjuluk Kyai Pager Wesi, rupa-rupanya orang tua itu ingin turun tangan sendiri mencari Kanjeng Adipati" -- desisnya dalam hati, seraya dengan seksama tetap menyimak pembicaraan orang-orang dalam kedai itu jarak jauh.
Dalam pada itu didalam kedai tersebut Paniling dan Sura Landung terlihat berusaha berdiri dari tempat dimana mereka terjungkal,
"Ampun guru .." -- desis Sura Landung juga Paniling hampir bersamaan.
"Sudahlah...kalian ambil bangku yang lain dan duduklah, dan ingat aku tidak suka melihat kalian bertengkar.." -- ucap Kyai Pager Wesi, seraya berpaling kepada dua muridnya yang lain, -- "Kau Sampar Angin, juga Sampar Banyu....apa yang ada dibenak kalian?"
"Ampun guru, aku ikut petunjuk guru.." -- jawab Sampar Banyu.
Sementara Sampar Angin nampak masih terdiam dan termangu-mangu seperti memikirkan sesuatu, akan tetapi sebelum orang itu bicara, kembali terdengar suara Kyau Pager Wesi,
"Aku sudah turun gunung, artinya apa yang aku mau harus terlaksana, aku harus mendapatkan anak tingkir itu untuk aku binasakan sebagai hukuman atas perbuatannya dahulu dan siapapun yang menghalangi dia pun akan binasa.."
"Ampun guru.." -- kata Sampar Angin, lalu melanjutkan ucapannya, -- "bagaimanapun kita harus memperhatikan kehadiran orang bercambuk yang kadang tiba-tiba muncul itu guru.."
"Orang Bercambuk..?? ya kau benar Sampar Angin, akan tetapi ketahuilah, aku tau dengan pasti orang bercambuk yang aku kenal dulu mustahil muncul, sudah lama kabar aku dengar bahwa dia sudah menjauhkan diri dari keramaian, kecuali seorang gembala kambing yang berlagak menamakan diri sebagai orang bercambuk palsu..meskipun orang itu mampu mengalahkan Tumbak Jalu, akan tetapi jangan harap bisa bernafas lagi jika bertemu dengan Pager Wesi.!!"
Dengan seksama Sampar Angin mendengarkan apa yang diucapkan Kyai Pager Wesi, dan setelah mengangguk-anggukkan kepalanya diapun kembali berkata, -- "ampun guru, apakah aku diperkenankan mengajukan usul?"
"Katakanlah...!!"
"Begini guru, menurutku, hanya ada satu cara untuk membuat orang tingkir itu datang menemui kita"
"Katakanlah, jangan berbelit-belit"
"guru, jika kita ingin Jaka Tingkir menemui kita, kita ambil sesuatu yang dianggap orang tingkir itu paling berharga"
"Maksudmu..?"
"guru, menurut kabar Jaka Tingkir mempunyai seorang putera yang sangat dikasihinya, juga mengangkat pula seorang putera yang juga sangat dikasihinya, mereka adalah Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya"
Kyai Pager Wesi terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum sambil berucap,
"Ya...kau benar Sampar Angin, ambil kedua anak itu atau salah satu dari keduannya, dan jika Jaka Tingkir tidak mau datang menemuiku, aku akan membinasakan anak itu.." - desis Kyai Pager Wesi yang kemudian memandang ke empat muridnya satu persatu, sebelum kembali berucap' -- "baiklah...tugas kalian berempat, kau bawa anak-anak itu dihadapanku" -- lanjut Kyai Pager Wesi.
Sementara jauh beberapa tombak dari kedai itu, dibawah pohon termbesi Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar mendengar rencana Kyai Pager Wesi dan pengikutnya. Dalam benak Raden Pamungkas, jika rencana penculikan kedua pangeran Pajang itu terjadi, mau tidak mau para petinggi Pajang akan mengira ada sangkut pautnya dengan apa yang baru saja terjadi soal terbunuhnya pangeran Mukmin, orang-orang Pajang bisa saja mengira pelaku penculikan itu sama dengan pelaku pembunuhan yang terjadi di Demak. Sehingga akan menimbulkan keadaan yang semakin mengkhawatirkan diantara para keluarga Sultan Trenggana.
"gila...rencana itu tidak boleh dibiarkan" -- desis Raden Pamungkas dalam hati.
**
Bulak ombo yang terletak di pedukuhan Manahan memang berada agak jauh di sisi sebelah utara pura Kadipaten Pajang. Demikian ada yang berbeda dari bulak ombo di pedukuhan Manahan itu dari pada dataran luas yang biasa ditemui di tiap-tiap daerah diantero tanah jawa ini. Jika boleh disebut, bulak ombo yang terletak di pedukuhan Manahan itu layaknya padang rumput yang luas melingkar dengan ratusan pohon-pohon cemara juga berjajar melingkar di sepanjang sisinya.
Kesejukan seakan tiada pernah berhenti terasa diantara dataran rumput luas tersebut, bahkan acap kali tiupan angin yang menerpa pucuk-pucuk cemara itu seperti mengungkapkan suara rinding yang begitu lembut, berdesau merajuk hati dalam selaksa kenyamanan yang luar biasa.
Maka tidak mengherankan jika banyak para musyafir, ataupun para saudagar acap kali singgah beberapa saat di bulak itu untuk sekedar melepaskan lelah selama dalam perjalanan mereka. Sistim pemerintahan Kadipaten Pajang yang begitu baik dibawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya membuat menjadi daerah yang begitu makmur, demikian juga sistem keamanan yang begitu kuat membuat wilayah Kadipaten Pajang penuh dengan kenyamanan dalam sisi kehidupan masyarakatnya. Oleh karna itu para musyafir juga para saudagar yang kebetulan melintas di wilayah kadipaten Pajang pun merasa nyaman untuk berlama-lama berada di wilayah tersebut, tak terkecuali daerah bulak ombo di pedukuhan Manahan tersebut.
Terik matahari di waktu sepengalan itu seakan tidak mampu membongkar kesejukan angin yang bertiup diantara liukan-liukan pohon-pohon cemara itu. Namun tidak seperti biasa yang terjadi siang itu setika terlihat dua orang remaja dengan kuda-kuda mereka yang tegar saling berpacu mengelilingi bulak ombo tersebut. Dua orang remaja berwajah tampan itu terlihat begitu tangkas memacu kuda-kuda mereka, wajah-wajah riang mereka selalu menyunggingkan senyum canda tawa diantara keduanya, meskipun keduanya terlihat bersaing dalam ketangkasan menunggang kuda-kuda mereka.
"Adimas...!! ayo pacu kudamu lebih kencang, kejar aku..!!" -- terdengar teriak remaja penunggang kuda yang berada beberapa langkah didepan. Remaja dengan usia kurang lebih 14 tahun itu memang terlihat sangat tangkas memacu kudanya.
Akan tetapi sebenarnyalah remaja yang lebih muda 2 tahun itupun tidak kalah tangkasnya, yang sesaat kemudian kudanya berhasil menyusul bahkan kadang mendahului kuda kawannya tersebut. Maka terjadilah susul menyusul diantara keduanya, bahkan kadang kala mereka berpacu sejajar dengan kecepatan yang luar biasa menyusuri padang rumput yang melingkar itu.
"Hiyaa....jangan lengah kakang mas, aku menyusulmu..!!" -- demikian teriak remaja yang lebih muda itu sambil tertawa riang.
Demikianlah kedua anak remaja itu bagai tak kenal waktu berlomba memacu kuda mereka masing-masing hingga tak terasa matahari semakin bergeser ke arah barat, cahaya mataharipun semakin lama semakin redup terhalang rimbun pepohonan di antara bulak ombo tersebut, sebelum terlihat kedua orang remaja itu memperlambat laju kuda-kuda mereka.
"Adimas...nampaknya sudah lewat wayah asar, sebaiknya kita pulang sebelum ayahanda mengutus orang mencari kita" -- berkata remaja yang lebin tua.
"Marilah...kita berpacu pelan saja kakangmas.." .. jawab remaja yang lebih muda
Akan tetapi remaja itu menjadi termangu-mangu ketika empat orang yang juda menunggang kuda seakan berhenti menghalangi jalan yang akan dilewati kedua remaja tersebut.
"Luar biasa...!! masih muda belia tetapi sangat trengginas memacu kuda.." -- desis salah seorang dari empat orang itu.
"Maaf paman, kami akan lewat, tolong paman sekalian untuk menepi.." -- berkata remaja yang lebih tua.
Namun keempat orang itu tidak juga menepikan kudanya, lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kembali berucap,
"Apakah anakmas yang bernama Raden Sutawijaya? dan anakmas Pangeran Benawa?"
Kedua remaja yang memang sebenarnyalah Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa itu menjadi termangu-mangu mendengar pertanyaan orang itu.
"Sebenarnyalah paman, namaku Sutawijaya, dan ini adimas Pangeran Benawa, dan siapakah paman-paman ini?" -- jawab Raden Sutawijaya
"Oh, ternyata benar dugaanku, kalian memang anak-anak perkasa, sepantasnyalah menjadi anak-anak Jaka Tingkir" -- kembali seorang dari orang itu berkata.
"Mendengar nama Jaka Tingkir, Raden Sutawijaya juga Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar, karna ketika orang itu menyebut nama Jaka Tingkir, nama panggilan ayahanda mereka semasa menjadi pengembara.
"Lalu siapakah paman berempat ini?" kembali Raden Sutawijaya bertanya.
"Baiklah Raden, namaku Sampar Angin, dan ketiga orang ini saudara-saudaraku, Sampar Banyu, Sura Landung, dan Paniling, kami adalah sahabat ayahanda anakmas berdua saat dalam pengembaraan"
"O, baiklah paman, nanti aku sampaikan kepada ayahanda kalau paman berempat saat ini berada di Pajang" -- kata Raden Sutawijaya
"Tidak perlu Raden, kami sudah bertemu kanjeng Adipati, dan justru kedatanganku kesini juga atas perintah kanjeng Adipati untuk menjemput anakmas berdua pulang ke Pura Kadipaten" -- tukas Sampar Angin.
Dengan alasan yang disampaikan Ki Sampar Angin itu membuat kedua anak itu menjadi semakin berdebar-debar, karna selama ini orang yang selalu mengawasi mereka dalam berbagai hal adala Ki Lurah Wimbasara, dan hanya Lurah Prajurit Pajang itu pulalah yang selalu mencari mereka manakala terlalu lama berada di luar istana. Maka dengan kecerdasan kedua anak itu telah dapat mengira bahwa keempat orang itu telah berbohong.
"Baiklah paman, marilah...kami juga akan segera pulang" -- kini terdengar suara Pangeran Benawa, lalu menoleh ke arah Raden Sutawijaya yang mengangguk kecil, kemudian merekapun memacu pelan kuda-kuda mereka.
Raden Sutawijaya dan Pangeran benawa memacu pelan kuda-kuda mereka diikuti empat orang itu beberapa langkah dibelakang mereka.
"Kakang Sampar Angin, apakah saatnya kita bertindak, kita paksa anak-anak itu ikut dengan kita sekarang" -- desis Sura Landung.
"Tunggu, beberapa saat lagi hari akan gelap, nanti aku beri aba-aba" -- jawab Ki Sampar Angin lirih.
Berjalan didepan, kedua anak itupun dadanya semakin berdebar-debar
"Bagaimana kakangmas?" -- bisik Pageran Benawa kepada kakaknya
"Sepertinya orang-orang ini mempunyai maksud kurang baik pada kita adimas" -- jawab Raden Sutawijaya yang juga berbisik.
"Lalu..??" -- tukas Pangeran Benawa.
Sementara Raden Sutawijaya nampak berfikir keras untuk bisa menjauh dan lepas dari keempat orang itu.
"Adimas, satu-satunya cara kita harus memacu kuda kita secepat-cepatnya, aku yakin kuda-kuda orang-orang itu tidak akan mampu menandingi kecepatan kuda kita" -- desis Raden Sutawijaya.
Lalu kedua remaja itu saling pandang, dan setelah saling mengedipkan mata, dihentakkanyalah tali kuda mereka sehinga bagai tatit kedua kuda tegar itu berlari begitu kencang meninggalkan keempat orang itu...
"Setan alas, iblis thethekan..!! cepat tangkap tikus-tikus kecil itu..!! jangan sampai mereka lolos!!" -- teriak Sampar Angin seraya menghentakkan tali kekang kudanya pula.
Debu-debu jalanan menuju ke arah pura Kadipaten Pajang itu serta merta berhamburan oleh derap kaki beberapa ekor kuda yang berpacu begitu kencang. Sebenarnyalah kuda-kuda tunggangan kedua Pangeran Pajang benar-benar luar biasa, hingga pelan namun pasti memperlebar jarak dengan keempat orang yang mengejarnya, hingga membuat Ki Sampar Angin mengumpat-umpat dalam hatinya.
Menghadapi kenyataan itu, Ki Sampar Angin pun berinisiatif menggunakan ilmunya untuk menangkap kedua anak itu. Maka dengan sebuah hentakan ringan, tiba-tiba saja Ki Sampar Angin melenting tinggi dari punggung kudanya, kemudian dengan kecepatan gerak yang susah dipandang mata, tubuhnya melesat tinggi, kakinya bagai ringan menginjak ranting-ranting pepohonan ditepian jalan lalu melenting lagi sambung menyambung dengan kecepatan yang teramat tinggi, hingga beberapa saat kemudian tubuhnya mampu mendahului laju kuda kedua pangeran Pajang itu, hingga keduanya menjadi terkejut ketika tanpa diperhitungkannya tiba-tiba Ki Sampar Angin telah berdiri tegak menghadang laju kuda-kuda mereka ditengah jalan.
Demikian pulalah kuda-kuda kedua remaja itu menjadi terkejut dan meringkik keras hingga merekapun terlempar. Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukanlah anak-anak kebanyakan, sehingga meskipun terlempar dari punggung kudanya, dengan berguling-guling kedua anak itu lalu mampu mangontrol keseimbangan tubuhnya sehingga tidak mengalami cidera yang begitu berat.
"Anak-anak iblis..!!! Kalian mau lari kemana he?!" -- geram Sampar Angin.
"Adimas...adimas..!! kau tidak apa-apa?" -- bertanya Raden Sutawijaya cemas, yang tidak mempedulikan ucapan Ki Sampar Angin
"Aku baik-baik saja kakangmas"
"Kita tidak boleh menyerah begitu saja adimas, kita akan melawan orang itu semampu kita"
"Marilah kakangmas, aku juga tidak mau diam begitu saja"
Demikianlah kedua anak itu bangkit dari tempatnya terjatuh, dan bersiap semampu mereka untuk mempertahankan dirinya dari sergapan Ki Sampar Angin.
Akan tetapi tiba-tiba saja kedua anak itu menjadi semakin berdebar debar mana kala dalam sekejap ketiga orang kawan Ki Sampar Angin sudah berada mengepung keduanya.
"He, kau mau melawan anak iblis..!?" -- berkata Ki Paniling
"Menyerahlah....kami tidak akan menyakiti kalian!!" -- sahut Ki Sura Landung dari sisi lain
Sementara Raden Sutawijaya maupaun Pangeran Benawa hanya diam seribu kata tanpa berucap sedikitpun, sampai pada suatu ketikan satu suara lain berkumandang pula ...
"Kalian berempat menyingkir dari anak-anak itu..!! dan menyerahlah..!!"
"Paman Wimbasara..!!" -- teriak Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bersamaan.
Sebenarnyalah Ki Lurah Wimbasara dengan beberapa prajurit Pajang itu telah tiba pula di tempat tersebut.
"Hem ...rupanya kita harus berloncat-loncatan sebentar melayani rombongan brandal dari Pajang ini..!!" -- teriak Ki Sampar Angin kepada keempat saudaranya..
"Baiklah kakang Sampar Angin, aku akan urus gedibal-gedibal Pajang ini, kau tangkap anak-anak itu dan bawa ke hadapan guru" -- jawab Sura Landung.
"Siapa sebenarnya kalian..?! sekali lagi..menyingkir dari anak-anak itu, atau kalian ditangkap..!!" -- teriak Ki Lurah Wimbasara.
"Sombong kau iblis..!! Kami orang-orang Jipang..!!" -- geram Ki Paniling yang mengaku sekehendak hatinya, seraya melabrak kearah Ki Lurah Wimbasara dengan serangan-serangan yang cukup mematikan.
Akan tetapi Ki Lurah Wimbasara bukanlah prajurit kebanyakan, sebagai salah satu dari saudara seperguruan Ki Panjawi tentu kemampuan Ki Lurah Wimbasara tidak bisa dianggap sebelah mata. Maka dengan gesit pula Ki Lurah Wimbasara membendung serangan-serangan Ki Paniling..
"Adi Sentanu...kau ambil alih pimpinan pasukan, bentuk gelar-gelar kecil untuk penyelamatan..!!" -- demikian Ki Lurah Wimbasara berteriak memerintahkan bawahannya, kemudian kembali melayani serangan-serangan Ki Paniling yang semakin membadai.
Namun apes yang dialami Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, yang serta merta telah berada dalam kekuasaan Ki Sampar Angin, kedua anak itupun tidak berdaya, setelah Ki Sampar Angin menotok simpul-simpul sayaraf kedua pangeran Pajang tersebut.
Disisi lain Ki Sura Landung dan Ki Sampar Banyu harus menghadapi sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Ki Sentanu, sambil pelan-pelan mencoba menggeser pertarungan itu mengarah dimana kedua anak itu berada dibawah kekuasaan Ki Sampar Angin.
"He..!! Sampar Banyu, Paniling, dan kau Sura Landung..!! Aku tidak ada waktu menunggu kalian bertarung, selesaikan kroco-kroco Pajang itu, aku akan bawa anak-anak ini kehadapan guru!!" --teriak Ki Sampar Angin
Hari semakin lama semakin gelap seiring matahari yang baru saja tenggelam dalam praduannya usai menuntaskan tugasnya menaburkan cahaya penghidupan sepanjang hari. Sementara beberapa ratus tombak diutara gerbang masuk pedukuhan Mutihan masih terjadi pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Ki Paniling ternyata harus bekerja keras untuk menundukkan lawannya, yang semula dianggapnya tidak berarti itu. Meskipun Ki Wimbasara hanyalah seorang Lurah Prajurit, ternyata Ki Paniling tidak mampu begitu saja menundukkannya setelah beberapa usaha peningkatan ilmu dilakukannya. Bahkan pada beberapa gerak selanjuntnya kecepatan gerak Ki Wimbasara beberapa kali pula mampu mendesak Ki Paniling, sehingga murid Kyai Pager Wesi dari gua susuhing angin itu mengumpat-umpat dalam hatinya.
"Setan alas ...!! boleh juga kau Ki Lurah..!!" -- geram Ki Paniling.
"Kau juga hebat kisanak...terima kasih telah memberikan beberapa petunjuk gerak kepadaku" -- sahut Ki Wimbasara yang masih dalam posisi mendesak Ki Paniling yang tangkas pula mempertahankan kedudukannya.
Sehingga pada pergerakan selanjutnya Ki Paniling kembali meningkatkan tataran ilmunya, dengan diawali satu teriakan pendek, tubuhnya melenting dan berputar beberapa putaran ke udara, yang kemudian dengan kecepatan tinggi menukik bagaikan bagaikan burung elang kearah Ki Wimbasara. Juluran tangan dan kaki Ki Paniling seakan akan tiada henti dan bertubi-tubi mematuk-matuk ke arah Ki Wimbasara yang secara perlahan mampu didesaknya.
Akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Ki Paniling untuk terus mendesak lawannya, ternyata Lurah Prajurit itu masih teramat tangguh baginya, bagaikan harimau yang gesit, lincah, dan kuat Ki Wimbasara dengan gagah masih mampu melayani setiap serangan-serangan rumit yang dilancarkan Ki Paniling. Sehingga pada gerakan-gerakan selanjutnya pertarungan kedua orang itu semakin bertambah sengit.
Tidak kalah sengitnya, ternyata Ki Sampar Banyu dan Ki Sura Landung harus mengeluarkan tenaga tambahan pula menghadapi enam orang Prajurit Pajang yang dipimpin Ki Sentanu itu.
Tubuh kedua orang murid gua susuhing angin itupun harus bekerja keras menghindari ujung-ujung pedang para prajurit tersebut dalam gelar kecil yang nampaknya justru membuat Sampar Banyu juga Sura Landung terkadang bingung memperkirakan arah serangan lawan mereka. Sehingga mau tidak mau kedua orang murid goa susuhing angin itu harus mengeluarkan senjata mereka masing-masing pula.
"Iblis laknat...!! ternyata para prajurit pajang sangat mahir keroyokan..!!" -- teriak Sampar Banyu
"Kau kaget kisanak..?!" -- jawab Ki Sentanu, yang selanjutnya selalu meneriakkan aba-aba itu.
"Sombong kau anak iblis..!! sebentar lagi kau dan anak buahmu itu akan binasa..!!" -- lanjut Sampar Banyu
"Jika mampu..?" -- kata Ki Sentanu pendek
Demikianlah pertarungan berkelompok antara Sampar Banyu, Sura Landung melawan enam prajurit pajang itu juga tidak kalah sengitnya dengan pertarungan antara Ki Paniling melawan Ki Lurah Wimbasara. Suara gemerincing beradunya senjata-senjata mereka semakin lama menjadi semakin sering terdengar menembus kegelapan hari yang telah memasuki waktu malam tersebut.
Di sisi lain Ki Sampar Angin setelah meneriakkan maksudnya kepada saudara-saudara seperguruannya itu telah meletakkan tubuh Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya diatas punggung kuda dan siap membawa kedua anak itu ke utara mengarah kejalan kademangan Banyuanyar.
Akan tetapi sebelum melangkahkan kakinya Ki Sampar Angin nampak termangu-mangu mana kala sesosok bayangan berdiri tegak diantara kegelapan malam menghalangi jalannya.
"He, siapapun kau menepilah..!! atau kaki-kaki kuda ini akan menggilas tubuhmu hingga lumat..!!" --geram Ki Sampar Angin.
Akan tetapi sosok tubuh itu sedikitpun tidak menjawabnya, akan tetapi justru berjalan pelan mendekat, dimana Ki Sampar Angin berada. Hingga semakin dekat semakin jelas pula wajah dari orang yang menghadang langkahnya itu.
Kini jelas telah berdiri dihadapan Ki Sampar Angin seorang pria berbadan cukup tegap dan gagah, dengan tatap mata yang cukup berwibawa pula.
"Apakah kau tuli he..!? minggir atau tubuhmu lumat terinjak kaki-kaki kuda ini..!!" -- berkata Ki Sampar Angin.
"Kenapa kau membuat keonaran disini kisanak?" -- orang itu justru bertanya kepada Ki Sampar Angin.
"Setan tidak tau diri..!! kau tidak berhak bertanya seperti itu!!" -- tukas Ki Sampar Angin
"Tidak begitu kisanak, sebagai orang Pajang tentu aku berhak bertanya jika orang membuat keonaran di Pajang ini, termasuk kepada mu" -- sahut orang itu.
"Baiklah, jika kau ingin membuat persoalan denganku, kataka siapa kau? dan apa pedulimu hingga kau berani menghabat pekerjaanku disini"
"Sudah aku katakan aku orang Pajang tentu punya kuwajiban menjaga keamanan wilayah pajang ini"
"Manusia sombong...kau tidak tau sekarang berhadapan dengan siapa?!"
"Jika tau tentu aku tidak akan bertanya kisanak"
"baiklah...he kau manusia sombong..!! tidakkah kau pernan mendengar gua susuhing angin" -- geram Ki Sampar Angin.
Dalam kegelapan malam orang yang mengahadang langkah Ki Sampar angin itu mengerutkan dahinya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, -- "ya, kebetulan aku pernah mendengarnya" -- jawab orang itu.
"Karna itu cepat segera menyingkir dari sini, sebelum kau pingsan mengetahui siapa aku!!" -- tukas Ki Sampar Angin
"Kau terlalu mengada-ada kisanak, aku kira belum pernah'aku mendengar seorang pingsan melihat dan mengetahui orang lainnya, kecuali bertemu sesosok hantu" -- jawab orang itu.
"Iblis kau..!! kau sengaja menghina Ki Sampar Angin, murid utama padepokan gua susuhing angin..!!"
"O, jadi namamu Ki Sampar Angin, murid utama padepokan Goa Susuhing Angin?"
"Kau sudah tau sekarang.. Karna itu sekarang menyingkirlah sebelum aku kehabisan kesabaran"
"baiklah kisanak, dengan senang hati aku akan pergi dari sini, akan tetapi kedua anak diatas punggung kuda itu harus ikut denganku"
"Hemmhh .. setan alas ..!! sekarang jelas kau memang datang untuk mencari persoalan denganku" -- geram Ki Sampar Angin
"Tidakkah terbalik kisanak..? bukankah kau yang sengaja datang untuk mencari persoalan dengan orang-orang Panjang?" -- jawab orang itu.
Kini terlihat wajah Ki Sampar Angin menjadi merah, dan tidak telaten lagi berbicara dengan orang yang baru datang itu, oleh karna itu diapun kemudian berjalan kedepan dan berdiri dalam jaram satu tombak dihadapan orang itu.
"Katakan siapa kau..!! aku tidak suka membunuh orang tanpa mengetahui jatidirinya..!" -- berkata Ki Sampar Angin dengan suara berat menahan amarahnya.
"Apakah begitu penting tentang nama bagimu, Ki Sampar Angin?" -- desis orang itu
"Tentu saja, karna namamu sebentar lagi akan menggenapi catatan-catatan nama lain yang sudah aku binasakan"
"Luar biasa..!! ternyata kau punya kegemaran membunuh orang ya"
"Ya terutama orang-orang tolol yang tak tau diri sepertimu itu"
Demikian orang yang baru saja datang itu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, seraya menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap, -- "baiklah Ki Sampar Angin, jika demikian maksudmu dengarlah, namaku Wuragil, orang-orang Pajang suka memanggilku Ki Wuragil"
Mendengar nama Ki Wuragil, tiba-tiba saja Ki Sampar Angin nampak surut satu langkah, dengan dada yang berdebar-debar,
"Ki Wuragil..!!" -- desis Ki Sampar Angin
"Ya, itulah namaku, hanya nama orang desa yang tak berarti apa-apa"
"Hemm, jadi kau..kau salah satu komplotan Karebet yang tempo dulu ikut membuat keonaran dipadepokan gua susuhing angin" -- geram Ki Sampar Angin
"Kalian salah paham, kami berempat memang pernah berkunjung di padepokan kalian, akan tetapi kami tidak melakukan sesuatu yang merugikan kalian, apa lagi mengambil sesuatu yang berharga seperti yang kalian tuduhkan kepada kami selama ini"
"Omong kosong..!! semua orang anak murid padepokan susuhing angin, yang kini masih hidup tau, hanya kalian, terutama si Karebet itu yang datang dipedepokan kami, sebelum padepokan kami porak poranda, kitab kami hilang, juga beberapa cantrik telah ditemukan binasa"
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnaya, kami berempat, aku, kakang Karebet, kakang Wila, juga kakang Mas Manca memang datang kepadepokan goa susuhing angin pada waktu itu untuk bertemu guru besar kalian, Kyai Pager Wesi yang menurut salah seorang cantrik senior sedang tidak ada ditempat, setelah itu kami pergi, dan setelah itu kami tidak tau apa-apa jika memang terjadi suatu hal di padepokan kalian"
"Kyai memang sedang mesu diri disuatu tempat pada waktu itu, dan kami berempat yang mengiringi beliau, dan tentu saja jangan harap kalian mampu memusnahkan padepokan goa susuhing angin jika pada saat itu guru berada ditempat" -- sahut Ki Sampar Angin.
"Sudah aku katakan bukan kami yang melakukannya..!!" -- tukas Ki Wuragil
"Kau tidak bisa mengelak iblis..!! Karna kepada anak murid kami salah satu kalian mengaku bernama Karebat, setelah memporak porandakan padepokan kami..!!" -- geram Ki Sampar Angin.
Ki Wuragil sesaat termangu-mangu lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap, -- "apakah murid yang kau katakan itu kini masih ada? ataukah mungkin masih mengenali wajahku?"
"Kau jangan bergurau Wuragil, tentu saja murid kami tidak akan mengenalmu, bukankah kalian secara licik memakai penutup muka?"
"Ki Sampar Angin..!!, perlu kau sadari, jika aku menutupi muka untuk tidak dikenali orang lain tentu aku tidak akan mengaku nama..!!" -- berkata Ki Wuragil dengan suara yang bergetar.
"Sudahlah...semua telah jelas, kalianlah yang telah menabur benih permusuhan dengan kami, karnanya kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dihadapan guru besar padepokan Goa Susuhing Angin, Kyai Pager Wesi, kalian harus mengembalikan dua kitab perguruan kami yang hilang, kitab Rogo Pitu, juga Kitab Jênggès Khayangan, setelah itu hukuman apa yang harus kalian terima itu tergantung Guru Besar kami" -- ucap Ki Sampar Angin.
"kau bergurau Ki sampar, kalian tidak akan bisa menutut hal yang tidak kami lakukan..!!" -- geram Ki Wuragil kemudian.
"Sekarang sudah jelas, kini kau kembalilah, katakan kepada si Jaka Tingkir itu, untuk datang menghadap Kyai Pager Wesi dari Goa Susuhing Angin, jika tidak nyawa kedua putera kesayangannya ini akan kami jadikan taruhan" -- kata Ki Sampar Angin kemudian.
Kembali Ki Wuragil mengangguk-anggukkan kepalanya lalu diam sesaat sebelum berkata, -- "baiklah, aku sudah mengatakan yang sebenarnya, kami tidak melakukan semua yang kalian tuduhkan, akan tetapi jangan harap kau dengan mudah mampu membawa kedua anak itu dari hadapan ku"
Tiba tiba saja Ki Sampar Angin terdengar tertawa pelan, pelan, dan berubah landai menjadi tertawa yang begitu lantang, bagaikan memantul-mantul ke seluruh penjuru tempat itu. Gelombang suara tertawa Ki Sampar Angin lambat laun semakin kuat, semakin kuat bagaikan menekan rongga dada setiap orang yang mendengarnya.
"Bukan main.. tenaga cadangan murid gua susuhing angin ini benar-benar sangat tinggi" -- berkata Ki Wuragil dalam hatinya, kemudian dengan serta merta memusatkan nalar dan budinya untuk menahan lontaran aji Gelap Ngampar dalam tataran yang sangat tinggi dari Ki Sampar Angin.
Gelak tawa yang dilandasi aji Gelap Ngampar yang dilontarkan Ki Sampar Angin itu seakan sesaat menghentikan dua lingkuo peetarungan yang sejak tadi telah terjadi.
Ki Wimbasara pun sadar dan tau, bahwa suara gelak tawa yang dilontarkan Ki Sampar Angin itu buka sekedar tertawa biasa, sebagai orang yang telah cukup merasakan kerasnya dunia kanuragan, Ki Wimbasara mengerti telah terjadi pameran Aji Gelap Ngampar yang di ungkapkan oleh seseorang, maka dengan sigap disela-sela perlawanannya terhadap Ki Paniling, Ki Lurah Wimbasara mengetrapkan nalar dan budinya pula untuk menawarkan getar suara yang bergelombang bagai merontokkan dada siapapun yang mendengarnya.
Akan tetapi naas bagi para prajurit pajang itu, lambat laun mereka merasakan tenaganya bagai terkuras hebat ketika suara gelak tawa Ki Sampar Angin itu bagaikan melanda dan menghentak-hentak rongga dada mereka. Maka lambat namun pasti para prajurit pajang itu limbung, tulang kakinya bagaikan sirna lalu satu per satu merekapun rubuh tak berdaya.
Bukan hanya para prajurit yang bertarung melawan Ki Sampar Banyu, juga Sura Landung, yang kemudian roboh oleh getar suara tawa Ki Sampar Angin. Bahkan Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya yang belum mempunyai bekal ilmu yang cukup itu menjadi pingsan dalam ketidak berdayaan mereka.
"Gila...jika begini terus keadaan akan sangat berbahaya bagi prajurit yang bertarung melawan dua orang itu" -- desis Ki Wuragil yang serta merta ingin memunahkan Aji Gelap ngampar tersebut.
Ki Wuragil pun kemudian menundukkan wajahnya, lalu tiba-tiba kedua tangannya bersedekap didepan dada, lalu kembali memusatkan nalar dan budinya.
Dan yang terjadi kemudian sungguh menakjubkan. Tiba-tiba saja muncul desir angin yang lembut mendayu-dayu, bahkan daun-daun pepohonan disekitar tempat itupun menjadi bersuara gemerisih tertiup desir angin yang semakin lama menjadi semakin kuat, bahkan seakan mampu memecah suara tawa Ki Sampar Angin yang lambat laun kehilangan kekuatannya.
"Aji Saipi Angin..!!" -- desis Ki Sampar Angin.
"bukan main, kau mampu memadamkan ilmu Gelap Ngamparku"
"Hanya mencoba mempertahankan diriku, agar rongga dadaku tidak menjadi lumat" -- sahut Ki Wuragil
"Baiklah, aku ingin melihat seberapa tangguh salah seorang yang dengan sombong telah berani membuat onar dipadepokan Goa Susuhing Angin, bersiaplah, dan jangan merasa bangga kau mampu memadamkan Aji Gelap Ngampar andalanku"
"Ki Sampar Angin, aku tidak keberatan bermain-main satu dua juru denganmu, akan tetapi seperti yang aku katakan, bukan kami yang melakukan keonaran di padepokan kalian, marilah aku sudah siap menerima petunjuk-petunjukmu"
Akan tetapi sebelum kedua orang itu mengawali pertarungan mereka, tiba-tiba saja keduanya menjadi terpaku, melihat kilatan-kilatan cahaya yang tiba-tiba pula muncul dibalik gelapnya rerimbunan daun-daun pepohonan yang berada tak begitu jauh dari mereka, disusul tiga kali ledakan cambuk yang keras memekakkan telinga bagai suara halilintar. Lalu sesosok bayangan manusia berkelebat sangat cepat melesat kearah dua ekor kuda dimana Raden Sutawijaya , dan Pangeran Benawa tertelungkup tak berdaya diatas punggung-punggung kuda tersebut.
Ki Sampar Angin yang baru saja tertegun oleh cahaya kilat dan ledakan cambuk itu tidak mampu menahan lajunya bayangan yang melesat cepat tersebut, yang kemudian didapatinya Pangeran Benawa, juga Raden Sutawijaya sudah tidak ada lagi diatas pungggung-punggung kudanya, lenyap bersama hilangnya bayangan itu.
"Luar biasa..!! satu pameran ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, siapa orang itu? dengan kecepatan gerak seperti itu mampu membawa dua anak itu sekaligus" -- desis Ki Wuragil, yang tanpa menghiraukan Ki Sampar Angin, dirinya pun melesat cepat pula mengejar arah bayangan yang membawa tubuh Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya sekaligus.
Demikian pula Ki Lurah Wimbasara juga para prajurit pajang lainya, tanpa diperintah telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing lalu memacu kudanya dengan cepat kearah kemana perginya bayangan hitam tersebut.
Sementara Ki Sampar Angin masih berdiri termangu-mangu menatap kearah lenyapnya bayangan itu pula,
"Orang bercambuk...?!" -- desisnya
"Lagi-lagi orang bercambuk itu mengacaukan rencana-rencana kita" -- berkata Sura Landung setelah menghampiri Ki Sampar Angin.
Ki Sampar Anginpun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berucap, -- "siapa sebenarnya orang itu?"
"Bagaimana rencana kita sekarang kakang?" -- bertanya Ki Paniling kemudian
"Tidak ada lain, kita segera menghadap guru untuk melaporkan apa yang terjadi" -- jawab Sampar Angin
"Guru pasti akan murka melihat kenyataan kita gagal malam ini" -- ucap Sura Landung
"Apa boleh buat...kita terima saja apa yang harus kita terima, marilah kita pergi" -- desis Sampar Angin, lalu menuju ke arah dimana kuda-kuda mereka berada.
Namun sekali lagi Ki Sampar Angin seperti terpaku dan termangu-mangu melihat sebuah benda menacap di pelana kudanya, lalu tangannya meraih benda tersebut.
"Sampar Banyu, Paniling, dan kau Sura Landung, apakah kau mengenal benda ini?" -- desis Ki Sampar Angin
"Windujati...apakah ini simbol perguruan Windujati?" -- jawab Sura Landung dengan suara bergetar.
Sebenarnyalah diatas pelana kuda milik Ki Sampar Angin itu telah tertancap bendera kecil berwarna putih bergambar cambuk terjuntai dengan ujung juntai terkait sebuah cakra bergerigi sembilan.
"Cepat kita menghadap guru, kita harus segera menunjukkan benda ini kepadanya" -- berkata Ki Sampar Angin lalu memacu kudanya dengan cepat ke arah barat, disusul ketiga saudaranya, hingga bayangan keempat orang itu hilang dibalik kegelapan malam.
Dalam pada itu Ki Wuragil masih berlari cepat membelah kegelapan malam, untuk mencoba mengejar kemana perginya bayangan yang membawa tubuh Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tersebut. Akan tetapi sampai beberapa jauh jarak yang ditempuh, satu klebatan pun tidak ditemuinya dari bayangan tersebut, hingga pada saatnya Ki Wuragil memutuskan untuk berhenti.
"Bukan main !!...aku kehilangan jejak orang itu, sungguh luar biasa kecepatan geraknya" -- desis Ki Wuragil dalam hati, yang kemudian memutuskan untuk berjalan menuju istana dan melaporkan apa yang terjadi kepada Kanjeng Adipati. Akan tetapi belum genap sepuluh langkah Ki Wuragil bagai terkejut, lalu termangu-mangu ketika satu suara kecil memanggilnya.
"Paman Wuragil"
"Pangeran...Raden...kaliankah disitu?" -- berkata Ki Wuragil lalu mendekati arah suara tersebut.
"Benar paman, ini aku, juga adimas Pangeran Benawa" -- jawab Raden Sutawijaya.
"O, syukurlah..kalian baik-baik saja, kemana orang yang membawa kalian itu?"
"Kami tidak tau paman, orang itu melepaskan kami disini, dan berkata paman akan lewat jalan ini, lalu orang itu pergi, dan ternyata benar paman melewati jalan ini" -- jawab Pangeran Benawa.
"Kalian tau siapa orang itu?"
"Tidak paman, orang itu menutup wajahnya, kami tidak mengenalinya" -- ucap Raden Sutawijaya.
Demikian Ki Wuragil kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu setelah menarik nafas dalam-dalam diapun berkata, -- "baiklah, mari kita segera pulang ke istana, tentu Ayahanda juga ibunda anakmas berdua telah menjadi cemas"
Sejenak kemudian terdengar derap beberapa kaki kuda terdengar mendekati ketiga orang tersebut, yang bukan lain adalah Ki Lurah Wimbasara dan beberapa prajuritnya.
"Kau Ki Lurah.." -- desis Ki Wuragil, yang kemudian kembali berkata, -- "aku butuh beberapa ekor kuda Ki Lurah"
"Baiklah Ki..."
Lalu Ki Lurah Wimbasara memberikan tiga ekor kuda dari beberapa anak buahnya dan diserahkan kepada Ki Wuragil yang kemudian memacu pelan kudanya menuju istana Pajang bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
Dalam pada itu suasana kecemasan tiba-tiba melanda seisi istana Pajang. Belum kembalinya Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya keistana malam itu telah membuat raut muka Adipati Adiwijaya bermuram durja.Sehingga tidak seperti biasanya para petinggi istana secara mendadak dipanggil untuk menghadap. Bahkan Ki Juru Mertani yang baru saja tiba dari tugasnya melawat ke Tanah Perdikan Banyubiru pun nampak hadir dalam paseban tersebut. Akan tetapi satupun para petinggi itu tidak ada yang berani bersuara barang sedikitpun, sehingga meskipun sasana pasewakan itu nampak penuh dengan para punggawa utama, akan tetapi suasananya bagaikan hening, kecuali hanya desir suara langkah kanjeng Adipati yang tiada henti berjalan mondar-mandir disekitar sasana pasewakan tersebut.
Sekali-sekali Kanjeng Adipati keluar pendapa sasana pasewakan, dengan pandangan matanya yang gelisah nampak jauh menembus gelapnya malam seakan ingin segera melihat apa yang diharapkanya, sekali-sekali pula kembali masuk lalu memandang berkeliling seakan-akan menelanjangi benak para bawahannya satu persatu.
"Kenapa satupun tidak ada yang bisa mengamat-amati prilaku kedua anak itu..!!" -- terdengar suara bernada berat Kanjeng Adipati seperti berbicara pada dirinya sendiri, lalu kembali tatapan mata Kanjeng Adipati yang mengandung murka dan gelisah itu memandang berkeliling diantara para punggawa dan petinggi istana yang hadir disitu.
"Kakang Pemanahan, apakah kau sudah mengutus orang mencari kemana kedua anak itu berada?!"
Ki Gede Pemanahan kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Hamba Kanjeng Adipati, sebenarnyalah hamba sudah mengutus beberapa orang prajurit pilihan dibawah pimpinan Ki Lurah Wimbasara, akan tetapi merekapun belum juga kembali" -- jawab Ki Gede Pemanahan, yang serta merta kembali menundukkan wajahnya.
"Apakah jebeng Danang Sutawijaya tidak memberitahukan kepadamu kemana sebelum anak itu pergi?" -- kembali Kanjeng Adipati bertanya singkat.
"Hamba Kanjeng, sebenarnyalah jebeng Danang Sutawijaya hanya berkata akan berlatih menunggang kuda bersama angger Pangeran Benawa, namun mohon ampun Kanjeng Adipati, hamba teledor untuk bertanya kemana, untuk itu hamba siap mempertanggung jawabkan keteledoran hamba, dan hamba pantas untuk mendapatkan hukuman" -- desis Ki Gede Pemanahan.
Kanjeng Adipati pun kemudian menarik nafas panjang-panjang lalu terdengar lagi suaranya, -- "sekalipun aku memberikan hukuman kepada siapapun, bagiku tidak akan menyelesaikan persoalan, karna yang aku inginkan saat ini kedua anak itu harus diketemukan sebelum fajar menyingsing, jika tidak....aku sendiri yang akan keluar mencarinya..!!"
"Ampun Kanjeng.." -- tiba-tiba saja Ki Juru Mertani bersuara,
"Ada yang hendak kakang Juru katakan..?" -- tukas Kanjeng Adipati singkat.
Ki Juru Mertani pun kemudian tambak beringsut sebentar dari tempat duduknya lalu kembali berkata, -- "ampun Kanjeng, apakah tidak sebaiknya kita perintahkan kembali beberapa kelompok prajurit untuk mencari anakmas Pangeran, juga jebeng Sutawijaya? sehingga pencarian itu bisa melebar kesegala penjuru kota kadipaten, untuk menciptakan harapan yang lebih besar menemukan mereka"
"Baiklah kakang Juru, segera kau laksanakan maksudmu itu, akan tetapi jika sampai lewat wayah sirep wong belum juga ada kabar, aku sendiri yang akan mecari mereka!!" -- sahut Kanjeng Adipati yang serta merta masuk keruang dalam istana tanpa bicara apapun lagi.
"Hamba Kanjeng, akan segera hamba laksanakan" -- desis Ki Juru Mertani yang kemudian begitu Kanjeng Adipati memasuki ruang dalam istana, Ki Juru pun surut dari sasana pasewakan untuk segera melaksanakan maksudnya.
Sementara para petinggi yang lain tetap saja berada di ruang tersebut tanpa bergeser dari tempat duduknya, sampai pada suatu saat seluruh punggawa yang hadir di tempat itu menjadi termangu-mangu ketika mereka melihat Kanjeng Adipati keluar dari ruang dalam istana dengan tampilan yang berbeda.
Terlihat Kanjeng Adipati telah melepaskan (Busana Kebesarannya), dan kini nampak Adipati Pajang itu telah berganti pakaian layaknya pengembara di jagad kanuragan, lalu nampak gagah seakan-akan menjelma kembali sebagai seorang Jaka Tingkir yang pernah menggemparkan jagad kanuragan beberapa tahun yang lewat.
"Kanjeng Adipati.." -- terdengar salah seorang petinggi Pajang berdesis,
"Apakah ada yang ingin Kakang Patih katakan?" -- tukas Kanjeng Adipati, yang kemudian berpaling kearah Ki Patih Manca Negara.
"Hamba kanjeng Adipati, apakah tidak sebaiknya kita menunggu kabar dari para utusan, sebelum andika memutuskan untuk turun tangan sendiri..? Ampun Kanjeng Adipati, sebenarnyalah kami semua para nayaka praja akan merasa sangat bersalah jika andika sendiri harus turun tangan menyelesaikan persoalan ini" -- jawab Patih Mas Manca.
"Aku kira kalian tidak perlu merasa bersalah, karna bagiku persoalan ini bukanlah persoalan yang berhubungan dengan persoalan negara, akan tetapi persoalan seorang ayah yang sedang kehilangan anak-anaknya" -- tukas Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng...akan tetapi.."
"Cukup kakang patih..!! seperti yang aku katakan, kita tunggu sampai wayah sirep wong, setelah itu jangan ada satupun yang berusaha bertanya tentang apa yang aku lakukan... kecuali kalian tetap melaksanakan tugas-tugas kalian masing-masing, selama aku tidak berada di istana" -- tukas Kanjeng Adipati yang nampak telah dilanda kegelisahan yang luar biasa.
"Hamba kanjeng" -- ucap Ki Patih Manca Negara lirih.
Derap ringan beberapa kaki kuda yang memasuki gerbang alun-alun istana itu seakan-akan membuat hati Ki Juru Mertani berdesir. Sehingga serta-merta menghentikan arahan-arahan yang sedang dilakukannya pada beberapa kelompok prajurit untuk tugas pencarian putra-putra kesayangan Kanjeng Adipati tersebut.
"Apakah itu rombongan Ki Lurah Wimbasara?" -- berkata Ki Juru dalam hatinya, yang kemudian bergegas memapasi rombongan tersebut.
"Ki juru.."
"Oh, Ki Wuragil, dan kau Ki Lurah Wimbasara" -- desis Ki Juru Mertani yang kemudian berpaling ke arah dua orang remaja diatas punggung kuda diantara rombongan itu, --
"Anakmas Pangeran..."
"ya paman Juru, ini aku" -- jawab Pangeran Benawa.
Lalu pandangan mata Ki Juru pun beralih ke arah Raden Sutawijaya, -- "kemana saja kau jebeng? apa yang kalian lakukan, tidakkah kalian tau jika ayahanda kalian menjadi cemas dan hampir-hampir murka karna kalian"
Raden Sutawijaya hanya menundukkan wajahnya sambil berkata, -- "ampun paman...aku"
"bukan salah mereka Ki Juru".-- sahut Ki Wuragil tiba-tiba, -- "anak-anak itu hampir saja tertimpa malapetaka"
"Oh.."
"Marilah kita menghadap Kanjeng Adipati, ada hal penting yang ingin aku laporkan berkenaan dengan anak-anak itu" -- ucap Ki Wuragil.
Dalam pada itu seorang prajurit telah memberikan laporan akan kedatangan rombongan Ki Wuragil dan Ki Lurah Wimbasara, juga Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, kepada prajurit prawira anom penjaga gerbang sasana pasewakan sehingga kedatangan itupun kemudian sampai pula ke telinga Kanjeng Adipati.
"suruh mereka menghadap kemari.." -- demikian titah Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng" -- jawab prajurit Prawira Anom tersebut.
Demikianlah rombongan itu kemudian memasuki pendapa pasewakan yang juga masih dipenuhi para punggawa istana tersebut.
Pangeran Benawa, juga Raden Sutawijaya hanya menundukkan wajahnya dan sedikitpun tidak berani menatap wajah ayahandanya, diikuti Ki Wuragil, Ki Lurah Wimbasara, kemudian Ki Juru Mertanipun menyusul paling belakang.
"Kemana saja kalian?" -- bertanya Kanjeng Adipati kepada putra, dan putra angkatnya tersebut.
Akan tetapi kedua anak itu hanya menundukkan wajahnya, mulut mereka seakan-akan kelu, sehingga sedikitpun suara mereka tidak mampu berucap,
"Kenapa kalian diam saja?!" --- terdengar kembali ucapan Kanjeng Adipati dengan suara berat.
"Ampun Ayahanda" -- jawab Raden Sutawijaya, akan tetapi kemudian diam, karna anak itu bingung ingin memulai dari mana untuk menjelaskan apa yang dialaminya kepada ayahandanya tersebut.
"Ampun Kanjeng Adipati.." -- sahut Ki Wuragil
"Adi Wuragil, ada yang ingin kau katakan?"
"Hamba Kanjeng, sebenarnyalah ada hal yang hampir saja menjadi mala petaka bagi putra-putra andika, yang menghalangi, mereka pulang hingga sampai malam.
Kanjeng Adipati nampak mengerutkan keningnya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Malapetaka?"
Hamba Kanjeng" -- desis Ki wuragil.
"Baiklah adi Wuragil, katakanlah apa yang terjadi..!!" -- tukas Kanjeng Adipati.
Demikianlah Ki Wuragil kemudian menceritakan kejadian-kejadian yang dilihatnya beberapa saat lalu tanpa satupun terlupakan, bahkan kemunculan misterius orang bercambuk yang tiba-tiba itupun lambat laun menjadi buah bibir diantara para punggawa Pajang.
"Kyai Pager Wesi...? goa Susuhing Angin?" -- desis Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Hamba kanjeng Adipati, ternyata mereka telah mengira kita telah memusnahakan perguruan mereka pada waktu yang telah lama berlalu itu, bahkan mereka mengira kita mengambil kitab perguruan mereka" -- jawab Ki Wuragil.
Kanjeng Adipati Hadiwijaya terlihat menarik nafas panjang-panjang lalu kembali terdengar suaranya,
"Jadi apa yang mereka inginkan?"
"Hamba Kanjeng, menurut murid Kyai Pager Wesi, guru besar Padepokan itu meminta pertanggung jawaban kita, juga mengembalika kitab-kitab perguruan mereka yang hilang"
"gila..!! apakah kau tidak jelaskan kepada murid pedepokan itu bahwa mereka telah salah mengira?"
"Hamba Kanjeng, akan tetapi bukti sepihak dari mereka mengarah kepada kita, mereka tetap menuntut pertangung jawaban kita, terutama kepada....ampun kanjeng Adipati...kepada andika"
Kanjeng Adipati mengangguk-anggukkan kepalanya lalu terlihat memalingkan wajahnyanke arah patih Manca Negara -- "bagaimana pendapatmu kakang Patih?!"
"Hamba Kanjeng Adipati, sebenarnyalah menurut hamba ini persoalan yang pelik, karna kejadian itu telah terjadi berberapa tahun yang lalu, dan tuduhan mereka nampaknya terpaku pada kita yang memang pernah mengunjungi padepokan mereka, sayangnya kita sama sekali tidak tau ada kejadian malapetaka setelah kita meninggalkan padepokan itu"
"Dan apakah mereka berkata benar? atau hanya sebuah siasat dengan membuat cerita kosong untuk maksud-maksud tersembunyi yang kita belum ketahui?!" -- sahut Adipati Hadiwijaya.
"Hamba Kanjeng Adipati, yang demikian bisa terjadi, mengingat situasi istana Demak yang semakin memanas, mau tidak mau kita harus selalu waspada dengan apa yang terjadi" -- ucap Ki Patih Mancanegara
"Ya, aku justru merasakan ada hal yang aneh dengan pengakuan orang-orang Goa Susuhing Angin itu, jika benar apa yang mereka katakan tentang malapetaka yang terjadi, juga hilangnya kitab-kitab mereka itu benar, tentu mereka tidak akan menunggu bertahun-tahun untuk mencari pelakunya, apalagi mereka sudah tau, dan berkeyakinan bahwa aku pelakunya" -- desis Adipati Hadiwijaya, yang selanjutnya mengakhiri pertemuan disasana pasewakan tersebut.
Pada keesokan harinya Kanjeng Adipati kembali mengumpulkan para punggawa juga petinggi istana untuk kembali membicarakan beberapa hal yang terkait dengan keamanan, bahkan masa depan pemerintahan Kadipaten tersebut. Rentetan peristiwa yang terjadi di Kasultanan Demak Bintara, ternyata telah membuat Kanjeng Adipati Hadiwijaya untuk lebih mencurahkan perhatiannya pada kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat membahayakan kedudukannya.
Bagaimanapun juga sebagai menantu mendiang Sultan Trenggana, tentu saja Adipati Hadiwijaya tidak bisa diam begitu saja dengan perkembangan Demak baru-baru ini.
Terbunuhnya Sunan Prawoto sebagai pemangku kekuasaan Demak yang konon dilakukan oleh utusan pangeran Arya Jipang tentu pada akhinya akan menyeret Pajang untuk terlibat dalam penyelesaian persoalan itu. Apalagi telah sampai ke telinga kanjeng Adipati bahwa Kanjeng Ratu Retna Kencana, adik Prabu Prawoto yang juga kakak ipar kanjeng Adipati Pajang itu tidak terima atas terbunuhnya sang kakak.
Dari itu setelah para punggawa dan petinggi istana itu datang menghadap dan berkumpul dan sasana Saweka Kanjeng Adipatipun mulai mengutarakan rencana-rencana sehubungan dengan apa yang terjadi atas pergolakan saat itu.
Nampak telah hadir Ki Patih Mancanegara, para Tumenggung, telah menunggu apa yang akan diutarakan kanjeng Adipati. Tidak ketinggalan hadir pula Ki Juru Mertani yang selama ini selalu menciptakan pemikiran-pemikiran yang luar biasa, juga kedua saudaranya Ki Gede Pemanahan, juga Ki Penjawi, tiga sekawan yang juga menjadi sebuah benteng kekuatan Pajang baik secara fisik ataupun non fisik.
"Seperti telah kita semua mendengar persoalan terbunuhnya kakang Prawata, juga kejadian-kenjadian yang akhir-akhir ini nganeh-anehi dibumi Pajang ini, aku ingin meminta pedapat pada kalian semua untuk menentukan sikap yang sebaik-baiknya dalam menghadapi persoalan ini" -- demikian Adipati Hadiwijawa memulai bicaranya.
"Ampun Kanjeng, mohon diperkenankan hemba mengutarakan pendapat"
"Apa yang akan kau katakan Tumenggung Darpayuda?" -- sahut Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Ampun Kanjeng" -- berkata salah seorang petinggi istana tersebut, -- "satu hal yang membuat persoalan menjadi pelik tengang pusaka Kyai Bethok yang diketemukan dalam peristiwa pembunuhan itu"
"Kau benar Tumenggung Darpayuda" -- desis Kanjeng Adipati seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, -- "bahkan semua orang tau siapa pemilik keris Kyai Bethok itu"
"Ampun Kanjeng"
"Bagaimana Kakang Patih?" -- sahut Kanjeng Adipati.
Demikian Ki Patih pun mengangkat bicara - - "Menurut hamba, kita harus berhati-hati dalam menentukan sikap, Kanjeng, karna seperti yang kita lihat, tentu peroalan ini bukanlah persoalan tentang pembunuhan belaka"
"ya.. tahta" -- desis Kanjeng Adipati, lalu pandangan metanya seakan menerawang jauh pada angan-angan yang ingin dicapainya. Tanpa sadar Kanjeng Adipati menarik nafas panjang-panjang lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berpaling ke arah Ki Juru Mertani yang masih diam ditempatnya.
"Ada sesuatu yang mungkin kakang Juru sampaikan?" -- bertanya Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng.." -- jawab Ki Juru Mertani seraya beringsut dari duduknya kemudian melanjutkan ucapannya, -- "ampun Kanjeng, menurut hamba, saat ini bumi Pajang sedang melihat kepekatan mendung dikejauhan yang sebentar lagi menitikkan derasnya hujan, dan menurut hemat hamba hujan itupun akan tercurah pula hingga ke Pajang, karnanya menurut hamba tidaklah perlu kita menyonsongnya, kecuali mempersiapkan segala sesuatu agar kita bisa menghadapi genangan air yang mungkin melanda, dan memanfaatkan genangan itu menjadi sesuatu yang berguna"
Kanjeng Adipati kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya memahami maksud ucapan Ki Juru Mertani tersebut...
"Maksud kakang Juru waspada dan menyesuaikan segala sesuatu yang mungkin terjadi?"
"Hamba Kanjeng" -- desis Ki Juru.
****
Sementara itu langit diatas Kadipaten Pajang nampaknya sedikit meredup terbias oleh mendung yang semakin pekat yang memayungi Kerajaan Demak Bintara yang kian menghitam. Persaingan perebutan kekuasaan diantara trah-trah Sultan Fatah rupa-rupanya semakin mengental dan menimbulkan benih-benih permusuhan yang kian menjadi-jadi. Bahkan diakhir tersiar kabar yang begitu menggeparkan seluruh wilayah Demak.
Pangeran Mukmin yang dinobatkan sebagai penerus Sultan Trenggana tiga tahun yang lalu dikabarkan terbunuh beberapa waktu yang lalu. Suasana yang semakin memanas ketika tersiar kabar pula bahwa Pangeran Arya Jipang dari trah pangeran Kinkin dibalik pembunuhan tersebut, dimana ketika Sorengpati dari kadipaten Jipang bernama Rungkut sebagai pembunuh, justru terbunuh pula dalam peristiwa itu.
Persetruan diantara keluarga Demak nampaknya kian menjadi tajam, ketika trah pangeran Trenggana yang lain, adalah Ratu Retna Kencana tidak dapat menerima apa yang telah dilakukan pangeran Arya Jipang terhadap saudaranya tersebut. Hingga konon dewan Walisongo pun menjadi kalang kabut menanggapi apa yang terjadi diantara trah keluarga Demak tersebut.
Demikianlah mendung yang semakin pekat di langit Demak itu serta merta membuat Kadipaten Pajang turut menjadi redup. Sehingga meskipun secara keseluruhan kota kadipaten pajang masih terlihat tenang akan tetapi jelas terlihat kewaspadaan yang begitu jelas. Beberapa pasukan acap kali terlihat hilir mudik melintas diberbagai perbatasan kota kadipaten, bahkan jumlah prajurit diseluruh gardu-gardu penjagaan terlihat semakin banyak dalam kesiagaan yang semakin ketat.
Dalam pada itu, sebelum waktu sepenggalan, perjalanan Raden Pamungkas telah memasuki pedukuhan Pucangan sebelah barat kota Kadipaten Pajang, sebelum beberapa saat lalu Rombongan Ki Juru Mertanipun melintasi daerah tersebut kearah timur menuju Kota Kadipaten.
"Nampaknya ada sesuatu yang lain terjadi didaerah ini.." -- desis Raden Pamungkas dalam hatinya.
Demikianlah Raden Pamungkas melihat serombongan-serombongan prajurit dari Pajang seperti melakukan perondaan secara silih berganti melintasi jalan dimana dirinya berada pada saat itu, meskipun kehadiran para prajurit itu tidak menimbulkan kegaduhan diantara para penduduk dipedukuhan itu. Bahkan Raden Pamungkas melihat kesibukan disebuah pasar di timur pedukuhan Pucangan itu nampak berjalan normal seperti tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan.
"Aneh...suasana terlihat aman, tapi kenapa prajurit Pajang itu silih berganti melakukan perondaan sampai jauh di pedukuhan Pucangan ini?" -- bertanya Raden Pamungkas dalam hati,
Dalam berbagai pertanyaan dalam hatinya, Raden Pamungkas pun kemudian memasuki sebuah kedai yang terletak ditepi jalan pedukuhan Pucangan menuju kota Kadipaten Pajang tersebut.
"Jarak kademangan Tulung masih cukup jauh dari sini, hemmm...nampaknya aku akan beberapa waktu berada di Pajang ini sebelum ke Kademangan Tulung..." -- desis Raden Pamungkas yang serta merta pandangan matanya menjadi sayu setelah membayang sosok wanita yang pernah ditemuinya beberapa waktu yang lalu,-- "Ehmmm Laras...sudah begitu lama aku meninggalkanmu, semestinya saat ini aku sudah menemuimu seperti janji kedatanganku padamu dulu, mudah-mudahan semua baik-baik saja" -- desisnya dalam hati.
"Mari kisanak, silahkan masuk, mau pesan apa..?" -- tanya seorang pelayan kedai itu seakan-akan menyadarkan Raden Pamungkas yang secara tidak sadar berdiri di depan pintu kedai sambil termangu-mangu.
"O, ya terima kasih kisanak, tolong sediakan wedang sere dan beberapa potong makanan untukku" -- sahut Raden Pamungkas.
"Baiklah kisanak, segera saya siapkan, silahkan kisanak ambil tempat duduk" -- pelayan kedai
Raden Pamungkas pun serta merta mengambil tempat duduk disudut kedai tersebut. Sesekali pandangan matanya memandang berkeliling melihat suasana yang sedari tadi membuat hatinya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, hingga tidak lama kemudian sang pelayanpun kembali dengan membawa hidangan yang dipesannya.
"Mari kisanak, pesanan telah kami sediakan" -- berkata pelayan kedai tersebut.
"Terimakasih, tumben kedainya sepi..?" -- bertanya Raden Pamungkas berbasa basi.
"demikianlah kisanak, memang kedai ini hanya ramai pada saat pagi saja" -- jawab sipelanyan.
"Kisanak...apakah aku boleh bertanya?" -- kata Raden Pamungkas.
"Kisanak ingin bertanya soal apa?" -- tukas pelayan kedai.
"Aku cuma heran kisanak, aku melihat pedukuhan ini tidak ada sesuatu kejadian yang mencemaskan, kenapa banyak serombongan-serombongan prajurit pajang silih berganti seperti melakukan perondaan?"
"Kisanak bukan penduduk sini?" -- bertanya pelayan kedai tersebut.
"Aku dari Pakuwon kisanak" -- jawab Raden Pamungkas
Pelayan kedai itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali berkata
"Jadi kisanak belum mendengar?"
"Mendengar apa?" -- tukas Raden Pamungkas seraya mengerutkan keningnya.
"Memang tidak ada satu kejadian apapun yang menimbulkan kecemasan dipedukuhan Pucangan ini, namun setelah tersiar kabar terbunuhnya pangeran Perwata di Demak, prajurit-prajurit Pajang itu acap kali melakukan perondaan jauh sampai diluar perbatasan kota kadipaten seperti di Pucangan ini"
"Apa..?! Pangeran Perwata terbunuh?" -- desis Raden Pamungkas kemudian termangu-mangu.
"Nampaknya suasana akan semakin memanas, dan berlarut-larut" -- berkata Raden Pamungkas dalam hati, yang kemudian tertegun melihat beberapa orang memasuki kedai itu pula.
Seorang tua dengan tampang yang begitu sangar dengan muka berwarna kemerah-merahan diiringi beberapa orang yang rata-rata juga menunjukkan wajah-wajah beringas meskipun usia mereka tidak setua pemimpin mereka yang bermuka kemerah-merahan tersebut.
Akan tetapi meskipun wajah-wajah mereka menujukkan kegarangan yang begitu jelas, prilaku orang-orang itu begitu tenang, bahkan tutur kata orang tua bermuka kemerah-merahan itu nampak halus tidak menunjukkan sedikitpun watak-watak keras seperti sosok-sosok sangar mereka.
"Mari tuan...silahkan masuk, kami siap melayani permintaan tuan.." -- demikian pelayan kedai itu tergopoh-gopoh menyambut kedatangan rombongan orang tua bermuka kemerah-merahan itu dengan suara tergagap.
Akan tetapi orang tua itu seakan tidak mendengar perkataan pelayan kedai tersebut, hanya diam, bahkan dengan tatapan mata yang dingin orang tua itu memandang keliling ruangan kedai, dan sesaat pandangan matanya terhenti kearah dimana Raden Pamungkas duduk menikmati makanan dan minuman didepannya.
Kemudian orang tua bermuka kemerah-merahan itu mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian duduk di bangku sebelah diikuti para pengikutnya, sebelum suaranya yang agak berat itu terdengar,
"Makanan dan minuman terbaik apa yang kau punya?" -- kata orang tua bermuka kemerah-merehan itu kepada pelayan kedai.
"Ampun tuan, kedai kami kedai sederhana, hanya pepes ikan badhèr makanan kami punya" --- jawab pelayan kedai tebata-bata.
"Minuman?" --tanya orang tua itu singkat
"Legen, tuan"
Demikian orang tua bermuka kemerah-merahan itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali berkata, -- "baiklah, sediakan makan terbaik yang kau punya untuk kami" -- orang tua itu kemudian berpaling dimana Raden Pamungkas duduk.
Seperti tidak terjadi apa-apa Raden Pamungkas masih saja duduk tenang seakan-akan tidak mempedulikan kedatangan orang-orang tersebut.
Akan tetapi Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar ketika dengan suara lembut orang tua bertampang sangar dengan muka kemerah-merahan itu berkata kepada pelayan kedai,
"Pelayan, apakah aku bisa memakai kedai ini tanpa ada seorangpun orang lain disini?"
"maksud tuan..??" -- bertanya pelayan kedai itu lalu berpaling pula sebentar ke arah Raden Pamungkas duduk.
"Ya, aku ingin menyewa kedai ini beberapa waktu tanpa orang lain selain kami, kami ingin makan dan beristirahat dengan tenang disini" -- kembali orang tua itu bicara.
"Tapi tuan..??"
"Bisa apa tidak?!" -- sahut orang tua itu dengan suara masih lembut akan tetapi kini terdengar sedikit parau.
Disisi lain pelayan kedai itu menjadi kebingungan, hingga menjadi termangu-mangu, karna tidak mungkin baginya tiba-tiba mengusir Raden Pamungkas yang lebih dulu berada dikedai tersebut.
Dalam pada itu Raden Pamungkas merasakan ada yang aneh dengan kedatangan orang-orang tersebut. Panggraitanya yang tajam mengatakan bahwa orang-orang itu tentu mempunyai maksud yang tersembuyi dibalik sikap dan tutur katanya tersebut. Karnanya semua itu justru membuat Raden Pamungkas ingin mengetahui, siapa sebenarnya orang tua bermuka kemerah-merahan itu, dan apa sebenarnya tujuan mereka. Untuk itu serta merta Raden Pamungkas pun segera beranjak dari tempat duduknya, setelah membayar makanan dan minumannya diapun kemudian beranjak keluar meninggalkan kedai tersebut.
"Maafkan kami kisanak.." -- pelayan kedai itu mendekati Raden Pamungkas sambil berkata lirih.
"tidak apa-apa, bukankah aku juga sudah lama berada disini? sudah saatnya aku melanjutkan perjalananku" -- jawab Raden Pamungkas yang kemudian tersenyum, berjalan menuju pintu keluar kedai tanpa menghiraukan apapun.
"Sombong..!! orang itu tidak menghargai keberadaan kita..!!" -- geram salah satu pengikut orang tua bermuka kemerah-merahan itu, sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
"Jangan gegabah..!!" -- sahut temannya yang lain -- "ini bukan saatnya membuat keributan.
Tiba-tiba orang tua berwajah garang bermuka kemerah-merahan itu kemudian berpaling memandang para pengikutnya dengan tatapan mata yang tajam namun dingin, hingga para pengikutnya itu serta merta serentak menudukkan wajahnya masing-masing. Lalu kembali berbicara pada pelayan kedai tersebut.
"Pelayan, cepat siapkan makanan yang aku pesankan, setelah itu jangan sekali-kali kau kemari jika tidak aku panggil"
"Baik tuan segera saya siapkan" -- jawab pelayan itu yang kemudian meninggalkan tempat itu.
Disisi lain ternyata Raden Pamungkas tidak benar-benar pergi jauh meninggalkan kedai tersebut, akan tetapi berhenti bawah pohon termbesi yang berjarak beberapa puluh tombak dari kedai itu, setelah duduk diatas batu yang tak jauh dari pohon termbesi itu, bagai seorang yang terlihat beristirahat melepaskan rasa lelah dari perjalanan jauh, Raden Pamungkas kemudian memusatkan nalar dan budinya, dengan mempertajam indera pendengarannya ke arah pembicaraan orang-orang didalam kedai tersebut.
"Siapa sebenarnya orang-orang itu? dan apa tujuannya?" -- bertanya Raden Pamungkas dalam hati.
"Bagaimana guru? apakah sudah saatnya recana kita mulai?" -- bertanya salah seorang pengikut orang tua bermuka kemerah-merahan itu.
Sementara orang tua itu mengerutkan keningnya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berpaling kepada salah seorang muridnya tersebut.
"Bagaimana pendapatmu Sura Landung..?" -- bertanya orang tua itu kepada murid yang lainnya.
"Ampun guru, seperti yang kita lihat, Ki Ajar Wulungan juga Kyai Tumbak Jalu yang guru utus selangkahpun tidak mampu memasuki Pajang untuk berbuat sesuatu yang berarti, bahkan Kyai Tumbak Jalu pun hampir saja binasa, hingga guru memutuskan untuk turun gunung menyelesaikan orang tingkir itu"
Orang yang dipanggil Sura Landung itu diam sesaat sembari beringsut dari tempat duduknya, lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum melanjutkan ucapannya,
-- "akan tetapi seperti yang kita dengar, berita terbunuhnya pangeran Prawata, tentu akan membuat orang tingkir itu lebih memusatkan perhatiannya pada persoalan Demak, daripada menanggapi persoalan dengan kita....ampun guru"
Orang tua yang tidak lain adalah Kyai Pager Wesi itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu dengan suara landai diapun berkata, -- "aku tidak peduli, aku sudah sampai disini, apapun alasannya aku harus mendapatkan Jaka Tingkir untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya atas Goa Susuhing Angin pada waktu lalu"
"ampun guru, apakah tidak sebaiknya kita langsung membuat keonaran dipusat kota kadipaten untuk menarik perhatian Jaka Tingkir?" -- berkata seorang yang duduk disamping Sura Landung.
"Kau jangan gegabah Paniling.." -- sahut Sura Landung -- "jika kita membuat keonaran di pusat kadipaten, tentu bukan Jaka Tingkir yang akan kita hadapi, akan tetapi para gedibalnya, apakah kau lupa Jaka Tingkir itu sekarang seorang Adipati?"
"Akan kita binasakan siapapun yang menghalangi kita..!! Aku yakin tak satupun orang Pajang akan mampu menghentikan kita, apalagi kini guru bersama kita" -- tukas Paniling.
"Kau benar Paniling, memang guru bersama kita, akan tetapi tetap saja segala rencana harus dicermati secara matang, tidak grasa-grusu seperti maksudmu" -- sergah Sura Landung.
"Sudah jangan berdebat sendiri..!!" -- geram Kyai Pager Wesi, lalu berkata -- "kau benar Sura Landung, aku juga tidak ingin mengotori tanganku dengan darah kroco-kroco gedibalnya Jaka Tingkir, kecuali manusia satu yang sekarang pongah menjadi adipati Pajang itu yang aku mau"
"apakah kakang Sura Landung takut akan munculnya Orang Bercambuk itu?" --- desis Paniling seraya tersenyum kecut.
"Kau meremehkan aku Paniling?!" -- geram Sura Landung
"Bukan maksudku kakang, akan tetapi sejak peristiwa gagalnya Kyai Tumbak Jalu, juga Ki Ajar Wulungan oleh orang bercambuk itu kau selalu bertanya-tanya saperti jerih tentangnya?"
"Diam kau Paniling..!! kenapa kau selalu membuat persoalan denganku..!!" -- geram Sura Landung seraya berdiri dari tempat duduknya dengan muka merah padam.
"Duduk kau..Sura Landung.." -- suara Kyai Pager Wesi terdengar berat.
"Ampun guru, selama ini adi Paniling itu nampaknya tidak suka kepadaku" -- desis Sura Landung.
"Sudahlah, apapun persoalan kalian aku tidak ingin kalian bertengkar sendiri, jangan sampai pertikaian kalian aku anggap menghambat rencanaku, kalian tau apa hukumannya orang yang berani menghambat rencana Kyai Pager Wesi" --
Entah apa yang dilakukan orang tua itu. Yang terlihat hanyalah dua kali kibasan tangan, dua larik pula cahaya putih melesat dari tangan Kyai Pager Wesi kearah bangku-bangku dimana Paniling juga Sura Landung duduk.
Dan yang terjadi amatlah luar biasa. Paniling juga Sura Landung tiba-tiba saja terjungkal dari duduknya karna bangku mereka bagai rapuh teronggok menjadi serpihan kayu.
Jarak pohon termbesi dimana Raden Pamungkas duduk, dengan kedai itu memang teramat jauh, sehingga Kyai Pager Wesi yang berilmu sangat tinggi itu tidak menyangka jika pembicaraannya secara diam-diam didengar oleh orang yang tidak lain adalah Raden Pamungkas.
Ketajaman pendengaran Raden Pamungkas yang luar biasa itu bagaikan tak terhalang jarak sehingga apa yang perbincangkan Kyai Pager Wesi dengan para pengikutnya itu tak sedikitpun terlepas dari pendengarannya. Sambil duduk dengan kepala menunduk, sementara nampak tangan kanannya memegang ranting kering untuk menggurat-gurat tanah didepannya. Sesekali Raden Pemungkas mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata dalam hatinya,
"Luar biasa..!! aku mendengar desir lontaran tenaga cadangan yang sangat tinggi, Hemm...jadi orang tua bermuka kemerah-merahan itulah yang berjuluk Kyai Pager Wesi, rupa-rupanya orang tua itu ingin turun tangan sendiri mencari Kanjeng Adipati" -- desisnya dalam hati, seraya dengan seksama tetap menyimak pembicaraan orang-orang dalam kedai itu jarak jauh.
Dalam pada itu didalam kedai tersebut Paniling dan Sura Landung terlihat berusaha berdiri dari tempat dimana mereka terjungkal,
"Ampun guru .." -- desis Sura Landung juga Paniling hampir bersamaan.
"Sudahlah...kalian ambil bangku yang lain dan duduklah, dan ingat aku tidak suka melihat kalian bertengkar.." -- ucap Kyai Pager Wesi, seraya berpaling kepada dua muridnya yang lain, -- "Kau Sampar Angin, juga Sampar Banyu....apa yang ada dibenak kalian?"
"Ampun guru, aku ikut petunjuk guru.." -- jawab Sampar Banyu.
Sementara Sampar Angin nampak masih terdiam dan termangu-mangu seperti memikirkan sesuatu, akan tetapi sebelum orang itu bicara, kembali terdengar suara Kyau Pager Wesi,
"Aku sudah turun gunung, artinya apa yang aku mau harus terlaksana, aku harus mendapatkan anak tingkir itu untuk aku binasakan sebagai hukuman atas perbuatannya dahulu dan siapapun yang menghalangi dia pun akan binasa.."
"Ampun guru.." -- kata Sampar Angin, lalu melanjutkan ucapannya, -- "bagaimanapun kita harus memperhatikan kehadiran orang bercambuk yang kadang tiba-tiba muncul itu guru.."
"Orang Bercambuk..?? ya kau benar Sampar Angin, akan tetapi ketahuilah, aku tau dengan pasti orang bercambuk yang aku kenal dulu mustahil muncul, sudah lama kabar aku dengar bahwa dia sudah menjauhkan diri dari keramaian, kecuali seorang gembala kambing yang berlagak menamakan diri sebagai orang bercambuk palsu..meskipun orang itu mampu mengalahkan Tumbak Jalu, akan tetapi jangan harap bisa bernafas lagi jika bertemu dengan Pager Wesi.!!"
Dengan seksama Sampar Angin mendengarkan apa yang diucapkan Kyai Pager Wesi, dan setelah mengangguk-anggukkan kepalanya diapun kembali berkata, -- "ampun guru, apakah aku diperkenankan mengajukan usul?"
"Katakanlah...!!"
"Begini guru, menurutku, hanya ada satu cara untuk membuat orang tingkir itu datang menemui kita"
"Katakanlah, jangan berbelit-belit"
"guru, jika kita ingin Jaka Tingkir menemui kita, kita ambil sesuatu yang dianggap orang tingkir itu paling berharga"
"Maksudmu..?"
"guru, menurut kabar Jaka Tingkir mempunyai seorang putera yang sangat dikasihinya, juga mengangkat pula seorang putera yang juga sangat dikasihinya, mereka adalah Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya"
Kyai Pager Wesi terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum sambil berucap,
"Ya...kau benar Sampar Angin, ambil kedua anak itu atau salah satu dari keduannya, dan jika Jaka Tingkir tidak mau datang menemuiku, aku akan membinasakan anak itu.." - desis Kyai Pager Wesi yang kemudian memandang ke empat muridnya satu persatu, sebelum kembali berucap' -- "baiklah...tugas kalian berempat, kau bawa anak-anak itu dihadapanku" -- lanjut Kyai Pager Wesi.
Sementara jauh beberapa tombak dari kedai itu, dibawah pohon termbesi Raden Pamungkas menjadi berdebar-debar mendengar rencana Kyai Pager Wesi dan pengikutnya. Dalam benak Raden Pamungkas, jika rencana penculikan kedua pangeran Pajang itu terjadi, mau tidak mau para petinggi Pajang akan mengira ada sangkut pautnya dengan apa yang baru saja terjadi soal terbunuhnya pangeran Mukmin, orang-orang Pajang bisa saja mengira pelaku penculikan itu sama dengan pelaku pembunuhan yang terjadi di Demak. Sehingga akan menimbulkan keadaan yang semakin mengkhawatirkan diantara para keluarga Sultan Trenggana.
"gila...rencana itu tidak boleh dibiarkan" -- desis Raden Pamungkas dalam hati.
**
Bulak ombo yang terletak di pedukuhan Manahan memang berada agak jauh di sisi sebelah utara pura Kadipaten Pajang. Demikian ada yang berbeda dari bulak ombo di pedukuhan Manahan itu dari pada dataran luas yang biasa ditemui di tiap-tiap daerah diantero tanah jawa ini. Jika boleh disebut, bulak ombo yang terletak di pedukuhan Manahan itu layaknya padang rumput yang luas melingkar dengan ratusan pohon-pohon cemara juga berjajar melingkar di sepanjang sisinya.
Kesejukan seakan tiada pernah berhenti terasa diantara dataran rumput luas tersebut, bahkan acap kali tiupan angin yang menerpa pucuk-pucuk cemara itu seperti mengungkapkan suara rinding yang begitu lembut, berdesau merajuk hati dalam selaksa kenyamanan yang luar biasa.
Maka tidak mengherankan jika banyak para musyafir, ataupun para saudagar acap kali singgah beberapa saat di bulak itu untuk sekedar melepaskan lelah selama dalam perjalanan mereka. Sistim pemerintahan Kadipaten Pajang yang begitu baik dibawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya membuat menjadi daerah yang begitu makmur, demikian juga sistem keamanan yang begitu kuat membuat wilayah Kadipaten Pajang penuh dengan kenyamanan dalam sisi kehidupan masyarakatnya. Oleh karna itu para musyafir juga para saudagar yang kebetulan melintas di wilayah kadipaten Pajang pun merasa nyaman untuk berlama-lama berada di wilayah tersebut, tak terkecuali daerah bulak ombo di pedukuhan Manahan tersebut.
Terik matahari di waktu sepengalan itu seakan tidak mampu membongkar kesejukan angin yang bertiup diantara liukan-liukan pohon-pohon cemara itu. Namun tidak seperti biasa yang terjadi siang itu setika terlihat dua orang remaja dengan kuda-kuda mereka yang tegar saling berpacu mengelilingi bulak ombo tersebut. Dua orang remaja berwajah tampan itu terlihat begitu tangkas memacu kuda-kuda mereka, wajah-wajah riang mereka selalu menyunggingkan senyum canda tawa diantara keduanya, meskipun keduanya terlihat bersaing dalam ketangkasan menunggang kuda-kuda mereka.
"Adimas...!! ayo pacu kudamu lebih kencang, kejar aku..!!" -- terdengar teriak remaja penunggang kuda yang berada beberapa langkah didepan. Remaja dengan usia kurang lebih 14 tahun itu memang terlihat sangat tangkas memacu kudanya.
Akan tetapi sebenarnyalah remaja yang lebih muda 2 tahun itupun tidak kalah tangkasnya, yang sesaat kemudian kudanya berhasil menyusul bahkan kadang mendahului kuda kawannya tersebut. Maka terjadilah susul menyusul diantara keduanya, bahkan kadang kala mereka berpacu sejajar dengan kecepatan yang luar biasa menyusuri padang rumput yang melingkar itu.
"Hiyaa....jangan lengah kakang mas, aku menyusulmu..!!" -- demikian teriak remaja yang lebih muda itu sambil tertawa riang.
Demikianlah kedua anak remaja itu bagai tak kenal waktu berlomba memacu kuda mereka masing-masing hingga tak terasa matahari semakin bergeser ke arah barat, cahaya mataharipun semakin lama semakin redup terhalang rimbun pepohonan di antara bulak ombo tersebut, sebelum terlihat kedua orang remaja itu memperlambat laju kuda-kuda mereka.
"Adimas...nampaknya sudah lewat wayah asar, sebaiknya kita pulang sebelum ayahanda mengutus orang mencari kita" -- berkata remaja yang lebin tua.
"Marilah...kita berpacu pelan saja kakangmas.." .. jawab remaja yang lebih muda
Akan tetapi remaja itu menjadi termangu-mangu ketika empat orang yang juda menunggang kuda seakan berhenti menghalangi jalan yang akan dilewati kedua remaja tersebut.
"Luar biasa...!! masih muda belia tetapi sangat trengginas memacu kuda.." -- desis salah seorang dari empat orang itu.
"Maaf paman, kami akan lewat, tolong paman sekalian untuk menepi.." -- berkata remaja yang lebih tua.
Namun keempat orang itu tidak juga menepikan kudanya, lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kembali berucap,
"Apakah anakmas yang bernama Raden Sutawijaya? dan anakmas Pangeran Benawa?"
Kedua remaja yang memang sebenarnyalah Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa itu menjadi termangu-mangu mendengar pertanyaan orang itu.
"Sebenarnyalah paman, namaku Sutawijaya, dan ini adimas Pangeran Benawa, dan siapakah paman-paman ini?" -- jawab Raden Sutawijaya
"Oh, ternyata benar dugaanku, kalian memang anak-anak perkasa, sepantasnyalah menjadi anak-anak Jaka Tingkir" -- kembali seorang dari orang itu berkata.
"Mendengar nama Jaka Tingkir, Raden Sutawijaya juga Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar, karna ketika orang itu menyebut nama Jaka Tingkir, nama panggilan ayahanda mereka semasa menjadi pengembara.
"Lalu siapakah paman berempat ini?" kembali Raden Sutawijaya bertanya.
"Baiklah Raden, namaku Sampar Angin, dan ketiga orang ini saudara-saudaraku, Sampar Banyu, Sura Landung, dan Paniling, kami adalah sahabat ayahanda anakmas berdua saat dalam pengembaraan"
"O, baiklah paman, nanti aku sampaikan kepada ayahanda kalau paman berempat saat ini berada di Pajang" -- kata Raden Sutawijaya
"Tidak perlu Raden, kami sudah bertemu kanjeng Adipati, dan justru kedatanganku kesini juga atas perintah kanjeng Adipati untuk menjemput anakmas berdua pulang ke Pura Kadipaten" -- tukas Sampar Angin.
Dengan alasan yang disampaikan Ki Sampar Angin itu membuat kedua anak itu menjadi semakin berdebar-debar, karna selama ini orang yang selalu mengawasi mereka dalam berbagai hal adala Ki Lurah Wimbasara, dan hanya Lurah Prajurit Pajang itu pulalah yang selalu mencari mereka manakala terlalu lama berada di luar istana. Maka dengan kecerdasan kedua anak itu telah dapat mengira bahwa keempat orang itu telah berbohong.
"Baiklah paman, marilah...kami juga akan segera pulang" -- kini terdengar suara Pangeran Benawa, lalu menoleh ke arah Raden Sutawijaya yang mengangguk kecil, kemudian merekapun memacu pelan kuda-kuda mereka.
Raden Sutawijaya dan Pangeran benawa memacu pelan kuda-kuda mereka diikuti empat orang itu beberapa langkah dibelakang mereka.
"Kakang Sampar Angin, apakah saatnya kita bertindak, kita paksa anak-anak itu ikut dengan kita sekarang" -- desis Sura Landung.
"Tunggu, beberapa saat lagi hari akan gelap, nanti aku beri aba-aba" -- jawab Ki Sampar Angin lirih.
Berjalan didepan, kedua anak itupun dadanya semakin berdebar-debar
"Bagaimana kakangmas?" -- bisik Pageran Benawa kepada kakaknya
"Sepertinya orang-orang ini mempunyai maksud kurang baik pada kita adimas" -- jawab Raden Sutawijaya yang juga berbisik.
"Lalu..??" -- tukas Pangeran Benawa.
Sementara Raden Sutawijaya nampak berfikir keras untuk bisa menjauh dan lepas dari keempat orang itu.
"Adimas, satu-satunya cara kita harus memacu kuda kita secepat-cepatnya, aku yakin kuda-kuda orang-orang itu tidak akan mampu menandingi kecepatan kuda kita" -- desis Raden Sutawijaya.
Lalu kedua remaja itu saling pandang, dan setelah saling mengedipkan mata, dihentakkanyalah tali kuda mereka sehinga bagai tatit kedua kuda tegar itu berlari begitu kencang meninggalkan keempat orang itu...
"Setan alas, iblis thethekan..!! cepat tangkap tikus-tikus kecil itu..!! jangan sampai mereka lolos!!" -- teriak Sampar Angin seraya menghentakkan tali kekang kudanya pula.
Debu-debu jalanan menuju ke arah pura Kadipaten Pajang itu serta merta berhamburan oleh derap kaki beberapa ekor kuda yang berpacu begitu kencang. Sebenarnyalah kuda-kuda tunggangan kedua Pangeran Pajang benar-benar luar biasa, hingga pelan namun pasti memperlebar jarak dengan keempat orang yang mengejarnya, hingga membuat Ki Sampar Angin mengumpat-umpat dalam hatinya.
Menghadapi kenyataan itu, Ki Sampar Angin pun berinisiatif menggunakan ilmunya untuk menangkap kedua anak itu. Maka dengan sebuah hentakan ringan, tiba-tiba saja Ki Sampar Angin melenting tinggi dari punggung kudanya, kemudian dengan kecepatan gerak yang susah dipandang mata, tubuhnya melesat tinggi, kakinya bagai ringan menginjak ranting-ranting pepohonan ditepian jalan lalu melenting lagi sambung menyambung dengan kecepatan yang teramat tinggi, hingga beberapa saat kemudian tubuhnya mampu mendahului laju kuda kedua pangeran Pajang itu, hingga keduanya menjadi terkejut ketika tanpa diperhitungkannya tiba-tiba Ki Sampar Angin telah berdiri tegak menghadang laju kuda-kuda mereka ditengah jalan.
Demikian pulalah kuda-kuda kedua remaja itu menjadi terkejut dan meringkik keras hingga merekapun terlempar. Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukanlah anak-anak kebanyakan, sehingga meskipun terlempar dari punggung kudanya, dengan berguling-guling kedua anak itu lalu mampu mangontrol keseimbangan tubuhnya sehingga tidak mengalami cidera yang begitu berat.
"Anak-anak iblis..!!! Kalian mau lari kemana he?!" -- geram Sampar Angin.
"Adimas...adimas..!! kau tidak apa-apa?" -- bertanya Raden Sutawijaya cemas, yang tidak mempedulikan ucapan Ki Sampar Angin
"Aku baik-baik saja kakangmas"
"Kita tidak boleh menyerah begitu saja adimas, kita akan melawan orang itu semampu kita"
"Marilah kakangmas, aku juga tidak mau diam begitu saja"
Demikianlah kedua anak itu bangkit dari tempatnya terjatuh, dan bersiap semampu mereka untuk mempertahankan dirinya dari sergapan Ki Sampar Angin.
Akan tetapi tiba-tiba saja kedua anak itu menjadi semakin berdebar debar mana kala dalam sekejap ketiga orang kawan Ki Sampar Angin sudah berada mengepung keduanya.
"He, kau mau melawan anak iblis..!?" -- berkata Ki Paniling
"Menyerahlah....kami tidak akan menyakiti kalian!!" -- sahut Ki Sura Landung dari sisi lain
Sementara Raden Sutawijaya maupaun Pangeran Benawa hanya diam seribu kata tanpa berucap sedikitpun, sampai pada suatu ketikan satu suara lain berkumandang pula ...
"Kalian berempat menyingkir dari anak-anak itu..!! dan menyerahlah..!!"
"Paman Wimbasara..!!" -- teriak Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bersamaan.
Sebenarnyalah Ki Lurah Wimbasara dengan beberapa prajurit Pajang itu telah tiba pula di tempat tersebut.
"Hem ...rupanya kita harus berloncat-loncatan sebentar melayani rombongan brandal dari Pajang ini..!!" -- teriak Ki Sampar Angin kepada keempat saudaranya..
"Baiklah kakang Sampar Angin, aku akan urus gedibal-gedibal Pajang ini, kau tangkap anak-anak itu dan bawa ke hadapan guru" -- jawab Sura Landung.
"Siapa sebenarnya kalian..?! sekali lagi..menyingkir dari anak-anak itu, atau kalian ditangkap..!!" -- teriak Ki Lurah Wimbasara.
"Sombong kau iblis..!! Kami orang-orang Jipang..!!" -- geram Ki Paniling yang mengaku sekehendak hatinya, seraya melabrak kearah Ki Lurah Wimbasara dengan serangan-serangan yang cukup mematikan.
Akan tetapi Ki Lurah Wimbasara bukanlah prajurit kebanyakan, sebagai salah satu dari saudara seperguruan Ki Panjawi tentu kemampuan Ki Lurah Wimbasara tidak bisa dianggap sebelah mata. Maka dengan gesit pula Ki Lurah Wimbasara membendung serangan-serangan Ki Paniling..
"Adi Sentanu...kau ambil alih pimpinan pasukan, bentuk gelar-gelar kecil untuk penyelamatan..!!" -- demikian Ki Lurah Wimbasara berteriak memerintahkan bawahannya, kemudian kembali melayani serangan-serangan Ki Paniling yang semakin membadai.
Namun apes yang dialami Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, yang serta merta telah berada dalam kekuasaan Ki Sampar Angin, kedua anak itupun tidak berdaya, setelah Ki Sampar Angin menotok simpul-simpul sayaraf kedua pangeran Pajang tersebut.
Disisi lain Ki Sura Landung dan Ki Sampar Banyu harus menghadapi sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Ki Sentanu, sambil pelan-pelan mencoba menggeser pertarungan itu mengarah dimana kedua anak itu berada dibawah kekuasaan Ki Sampar Angin.
"He..!! Sampar Banyu, Paniling, dan kau Sura Landung..!! Aku tidak ada waktu menunggu kalian bertarung, selesaikan kroco-kroco Pajang itu, aku akan bawa anak-anak ini kehadapan guru!!" --teriak Ki Sampar Angin
Hari semakin lama semakin gelap seiring matahari yang baru saja tenggelam dalam praduannya usai menuntaskan tugasnya menaburkan cahaya penghidupan sepanjang hari. Sementara beberapa ratus tombak diutara gerbang masuk pedukuhan Mutihan masih terjadi pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Ki Paniling ternyata harus bekerja keras untuk menundukkan lawannya, yang semula dianggapnya tidak berarti itu. Meskipun Ki Wimbasara hanyalah seorang Lurah Prajurit, ternyata Ki Paniling tidak mampu begitu saja menundukkannya setelah beberapa usaha peningkatan ilmu dilakukannya. Bahkan pada beberapa gerak selanjuntnya kecepatan gerak Ki Wimbasara beberapa kali pula mampu mendesak Ki Paniling, sehingga murid Kyai Pager Wesi dari gua susuhing angin itu mengumpat-umpat dalam hatinya.
"Setan alas ...!! boleh juga kau Ki Lurah..!!" -- geram Ki Paniling.
"Kau juga hebat kisanak...terima kasih telah memberikan beberapa petunjuk gerak kepadaku" -- sahut Ki Wimbasara yang masih dalam posisi mendesak Ki Paniling yang tangkas pula mempertahankan kedudukannya.
Sehingga pada pergerakan selanjutnya Ki Paniling kembali meningkatkan tataran ilmunya, dengan diawali satu teriakan pendek, tubuhnya melenting dan berputar beberapa putaran ke udara, yang kemudian dengan kecepatan tinggi menukik bagaikan bagaikan burung elang kearah Ki Wimbasara. Juluran tangan dan kaki Ki Paniling seakan akan tiada henti dan bertubi-tubi mematuk-matuk ke arah Ki Wimbasara yang secara perlahan mampu didesaknya.
Akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Ki Paniling untuk terus mendesak lawannya, ternyata Lurah Prajurit itu masih teramat tangguh baginya, bagaikan harimau yang gesit, lincah, dan kuat Ki Wimbasara dengan gagah masih mampu melayani setiap serangan-serangan rumit yang dilancarkan Ki Paniling. Sehingga pada gerakan-gerakan selanjutnya pertarungan kedua orang itu semakin bertambah sengit.
Tidak kalah sengitnya, ternyata Ki Sampar Banyu dan Ki Sura Landung harus mengeluarkan tenaga tambahan pula menghadapi enam orang Prajurit Pajang yang dipimpin Ki Sentanu itu.
Tubuh kedua orang murid gua susuhing angin itupun harus bekerja keras menghindari ujung-ujung pedang para prajurit tersebut dalam gelar kecil yang nampaknya justru membuat Sampar Banyu juga Sura Landung terkadang bingung memperkirakan arah serangan lawan mereka. Sehingga mau tidak mau kedua orang murid goa susuhing angin itu harus mengeluarkan senjata mereka masing-masing pula.
"Iblis laknat...!! ternyata para prajurit pajang sangat mahir keroyokan..!!" -- teriak Sampar Banyu
"Kau kaget kisanak..?!" -- jawab Ki Sentanu, yang selanjutnya selalu meneriakkan aba-aba itu.
"Sombong kau anak iblis..!! sebentar lagi kau dan anak buahmu itu akan binasa..!!" -- lanjut Sampar Banyu
"Jika mampu..?" -- kata Ki Sentanu pendek
Demikianlah pertarungan berkelompok antara Sampar Banyu, Sura Landung melawan enam prajurit pajang itu juga tidak kalah sengitnya dengan pertarungan antara Ki Paniling melawan Ki Lurah Wimbasara. Suara gemerincing beradunya senjata-senjata mereka semakin lama menjadi semakin sering terdengar menembus kegelapan hari yang telah memasuki waktu malam tersebut.
Di sisi lain Ki Sampar Angin setelah meneriakkan maksudnya kepada saudara-saudara seperguruannya itu telah meletakkan tubuh Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya diatas punggung kuda dan siap membawa kedua anak itu ke utara mengarah kejalan kademangan Banyuanyar.
Akan tetapi sebelum melangkahkan kakinya Ki Sampar Angin nampak termangu-mangu mana kala sesosok bayangan berdiri tegak diantara kegelapan malam menghalangi jalannya.
"He, siapapun kau menepilah..!! atau kaki-kaki kuda ini akan menggilas tubuhmu hingga lumat..!!" --geram Ki Sampar Angin.
Akan tetapi sosok tubuh itu sedikitpun tidak menjawabnya, akan tetapi justru berjalan pelan mendekat, dimana Ki Sampar Angin berada. Hingga semakin dekat semakin jelas pula wajah dari orang yang menghadang langkahnya itu.
Kini jelas telah berdiri dihadapan Ki Sampar Angin seorang pria berbadan cukup tegap dan gagah, dengan tatap mata yang cukup berwibawa pula.
"Apakah kau tuli he..!? minggir atau tubuhmu lumat terinjak kaki-kaki kuda ini..!!" -- berkata Ki Sampar Angin.
"Kenapa kau membuat keonaran disini kisanak?" -- orang itu justru bertanya kepada Ki Sampar Angin.
"Setan tidak tau diri..!! kau tidak berhak bertanya seperti itu!!" -- tukas Ki Sampar Angin
"Tidak begitu kisanak, sebagai orang Pajang tentu aku berhak bertanya jika orang membuat keonaran di Pajang ini, termasuk kepada mu" -- sahut orang itu.
"Baiklah, jika kau ingin membuat persoalan denganku, kataka siapa kau? dan apa pedulimu hingga kau berani menghabat pekerjaanku disini"
"Sudah aku katakan aku orang Pajang tentu punya kuwajiban menjaga keamanan wilayah pajang ini"
"Manusia sombong...kau tidak tau sekarang berhadapan dengan siapa?!"
"Jika tau tentu aku tidak akan bertanya kisanak"
"baiklah...he kau manusia sombong..!! tidakkah kau pernan mendengar gua susuhing angin" -- geram Ki Sampar Angin.
Dalam kegelapan malam orang yang mengahadang langkah Ki Sampar angin itu mengerutkan dahinya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, -- "ya, kebetulan aku pernah mendengarnya" -- jawab orang itu.
"Karna itu cepat segera menyingkir dari sini, sebelum kau pingsan mengetahui siapa aku!!" -- tukas Ki Sampar Angin
"Kau terlalu mengada-ada kisanak, aku kira belum pernah'aku mendengar seorang pingsan melihat dan mengetahui orang lainnya, kecuali bertemu sesosok hantu" -- jawab orang itu.
"Iblis kau..!! kau sengaja menghina Ki Sampar Angin, murid utama padepokan gua susuhing angin..!!"
"O, jadi namamu Ki Sampar Angin, murid utama padepokan Goa Susuhing Angin?"
"Kau sudah tau sekarang.. Karna itu sekarang menyingkirlah sebelum aku kehabisan kesabaran"
"baiklah kisanak, dengan senang hati aku akan pergi dari sini, akan tetapi kedua anak diatas punggung kuda itu harus ikut denganku"
"Hemmhh .. setan alas ..!! sekarang jelas kau memang datang untuk mencari persoalan denganku" -- geram Ki Sampar Angin
"Tidakkah terbalik kisanak..? bukankah kau yang sengaja datang untuk mencari persoalan dengan orang-orang Panjang?" -- jawab orang itu.
Kini terlihat wajah Ki Sampar Angin menjadi merah, dan tidak telaten lagi berbicara dengan orang yang baru datang itu, oleh karna itu diapun kemudian berjalan kedepan dan berdiri dalam jaram satu tombak dihadapan orang itu.
"Katakan siapa kau..!! aku tidak suka membunuh orang tanpa mengetahui jatidirinya..!" -- berkata Ki Sampar Angin dengan suara berat menahan amarahnya.
"Apakah begitu penting tentang nama bagimu, Ki Sampar Angin?" -- desis orang itu
"Tentu saja, karna namamu sebentar lagi akan menggenapi catatan-catatan nama lain yang sudah aku binasakan"
"Luar biasa..!! ternyata kau punya kegemaran membunuh orang ya"
"Ya terutama orang-orang tolol yang tak tau diri sepertimu itu"
Demikian orang yang baru saja datang itu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, seraya menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap, -- "baiklah Ki Sampar Angin, jika demikian maksudmu dengarlah, namaku Wuragil, orang-orang Pajang suka memanggilku Ki Wuragil"
Mendengar nama Ki Wuragil, tiba-tiba saja Ki Sampar Angin nampak surut satu langkah, dengan dada yang berdebar-debar,
"Ki Wuragil..!!" -- desis Ki Sampar Angin
"Ya, itulah namaku, hanya nama orang desa yang tak berarti apa-apa"
"Hemm, jadi kau..kau salah satu komplotan Karebet yang tempo dulu ikut membuat keonaran dipadepokan gua susuhing angin" -- geram Ki Sampar Angin
"Kalian salah paham, kami berempat memang pernah berkunjung di padepokan kalian, akan tetapi kami tidak melakukan sesuatu yang merugikan kalian, apa lagi mengambil sesuatu yang berharga seperti yang kalian tuduhkan kepada kami selama ini"
"Omong kosong..!! semua orang anak murid padepokan susuhing angin, yang kini masih hidup tau, hanya kalian, terutama si Karebet itu yang datang dipedepokan kami, sebelum padepokan kami porak poranda, kitab kami hilang, juga beberapa cantrik telah ditemukan binasa"
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnaya, kami berempat, aku, kakang Karebet, kakang Wila, juga kakang Mas Manca memang datang kepadepokan goa susuhing angin pada waktu itu untuk bertemu guru besar kalian, Kyai Pager Wesi yang menurut salah seorang cantrik senior sedang tidak ada ditempat, setelah itu kami pergi, dan setelah itu kami tidak tau apa-apa jika memang terjadi suatu hal di padepokan kalian"
"Kyai memang sedang mesu diri disuatu tempat pada waktu itu, dan kami berempat yang mengiringi beliau, dan tentu saja jangan harap kalian mampu memusnahkan padepokan goa susuhing angin jika pada saat itu guru berada ditempat" -- sahut Ki Sampar Angin.
"Sudah aku katakan bukan kami yang melakukannya..!!" -- tukas Ki Wuragil
"Kau tidak bisa mengelak iblis..!! Karna kepada anak murid kami salah satu kalian mengaku bernama Karebat, setelah memporak porandakan padepokan kami..!!" -- geram Ki Sampar Angin.
Ki Wuragil sesaat termangu-mangu lalu menarik nafas panjang-panjang sebelum kembali berucap, -- "apakah murid yang kau katakan itu kini masih ada? ataukah mungkin masih mengenali wajahku?"
"Kau jangan bergurau Wuragil, tentu saja murid kami tidak akan mengenalmu, bukankah kalian secara licik memakai penutup muka?"
"Ki Sampar Angin..!!, perlu kau sadari, jika aku menutupi muka untuk tidak dikenali orang lain tentu aku tidak akan mengaku nama..!!" -- berkata Ki Wuragil dengan suara yang bergetar.
"Sudahlah...semua telah jelas, kalianlah yang telah menabur benih permusuhan dengan kami, karnanya kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dihadapan guru besar padepokan Goa Susuhing Angin, Kyai Pager Wesi, kalian harus mengembalikan dua kitab perguruan kami yang hilang, kitab Rogo Pitu, juga Kitab Jênggès Khayangan, setelah itu hukuman apa yang harus kalian terima itu tergantung Guru Besar kami" -- ucap Ki Sampar Angin.
"kau bergurau Ki sampar, kalian tidak akan bisa menutut hal yang tidak kami lakukan..!!" -- geram Ki Wuragil kemudian.
"Sekarang sudah jelas, kini kau kembalilah, katakan kepada si Jaka Tingkir itu, untuk datang menghadap Kyai Pager Wesi dari Goa Susuhing Angin, jika tidak nyawa kedua putera kesayangannya ini akan kami jadikan taruhan" -- kata Ki Sampar Angin kemudian.
Kembali Ki Wuragil mengangguk-anggukkan kepalanya lalu diam sesaat sebelum berkata, -- "baiklah, aku sudah mengatakan yang sebenarnya, kami tidak melakukan semua yang kalian tuduhkan, akan tetapi jangan harap kau dengan mudah mampu membawa kedua anak itu dari hadapan ku"
Tiba tiba saja Ki Sampar Angin terdengar tertawa pelan, pelan, dan berubah landai menjadi tertawa yang begitu lantang, bagaikan memantul-mantul ke seluruh penjuru tempat itu. Gelombang suara tertawa Ki Sampar Angin lambat laun semakin kuat, semakin kuat bagaikan menekan rongga dada setiap orang yang mendengarnya.
"Bukan main.. tenaga cadangan murid gua susuhing angin ini benar-benar sangat tinggi" -- berkata Ki Wuragil dalam hatinya, kemudian dengan serta merta memusatkan nalar dan budinya untuk menahan lontaran aji Gelap Ngampar dalam tataran yang sangat tinggi dari Ki Sampar Angin.
Gelak tawa yang dilandasi aji Gelap Ngampar yang dilontarkan Ki Sampar Angin itu seakan sesaat menghentikan dua lingkuo peetarungan yang sejak tadi telah terjadi.
Ki Wimbasara pun sadar dan tau, bahwa suara gelak tawa yang dilontarkan Ki Sampar Angin itu buka sekedar tertawa biasa, sebagai orang yang telah cukup merasakan kerasnya dunia kanuragan, Ki Wimbasara mengerti telah terjadi pameran Aji Gelap Ngampar yang di ungkapkan oleh seseorang, maka dengan sigap disela-sela perlawanannya terhadap Ki Paniling, Ki Lurah Wimbasara mengetrapkan nalar dan budinya pula untuk menawarkan getar suara yang bergelombang bagai merontokkan dada siapapun yang mendengarnya.
Akan tetapi naas bagi para prajurit pajang itu, lambat laun mereka merasakan tenaganya bagai terkuras hebat ketika suara gelak tawa Ki Sampar Angin itu bagaikan melanda dan menghentak-hentak rongga dada mereka. Maka lambat namun pasti para prajurit pajang itu limbung, tulang kakinya bagaikan sirna lalu satu per satu merekapun rubuh tak berdaya.
Bukan hanya para prajurit yang bertarung melawan Ki Sampar Banyu, juga Sura Landung, yang kemudian roboh oleh getar suara tawa Ki Sampar Angin. Bahkan Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya yang belum mempunyai bekal ilmu yang cukup itu menjadi pingsan dalam ketidak berdayaan mereka.
"Gila...jika begini terus keadaan akan sangat berbahaya bagi prajurit yang bertarung melawan dua orang itu" -- desis Ki Wuragil yang serta merta ingin memunahkan Aji Gelap ngampar tersebut.
Ki Wuragil pun kemudian menundukkan wajahnya, lalu tiba-tiba kedua tangannya bersedekap didepan dada, lalu kembali memusatkan nalar dan budinya.
Dan yang terjadi kemudian sungguh menakjubkan. Tiba-tiba saja muncul desir angin yang lembut mendayu-dayu, bahkan daun-daun pepohonan disekitar tempat itupun menjadi bersuara gemerisih tertiup desir angin yang semakin lama menjadi semakin kuat, bahkan seakan mampu memecah suara tawa Ki Sampar Angin yang lambat laun kehilangan kekuatannya.
"Aji Saipi Angin..!!" -- desis Ki Sampar Angin.
"bukan main, kau mampu memadamkan ilmu Gelap Ngamparku"
"Hanya mencoba mempertahankan diriku, agar rongga dadaku tidak menjadi lumat" -- sahut Ki Wuragil
"Baiklah, aku ingin melihat seberapa tangguh salah seorang yang dengan sombong telah berani membuat onar dipadepokan Goa Susuhing Angin, bersiaplah, dan jangan merasa bangga kau mampu memadamkan Aji Gelap Ngampar andalanku"
"Ki Sampar Angin, aku tidak keberatan bermain-main satu dua juru denganmu, akan tetapi seperti yang aku katakan, bukan kami yang melakukan keonaran di padepokan kalian, marilah aku sudah siap menerima petunjuk-petunjukmu"
Akan tetapi sebelum kedua orang itu mengawali pertarungan mereka, tiba-tiba saja keduanya menjadi terpaku, melihat kilatan-kilatan cahaya yang tiba-tiba pula muncul dibalik gelapnya rerimbunan daun-daun pepohonan yang berada tak begitu jauh dari mereka, disusul tiga kali ledakan cambuk yang keras memekakkan telinga bagai suara halilintar. Lalu sesosok bayangan manusia berkelebat sangat cepat melesat kearah dua ekor kuda dimana Raden Sutawijaya , dan Pangeran Benawa tertelungkup tak berdaya diatas punggung-punggung kuda tersebut.
Ki Sampar Angin yang baru saja tertegun oleh cahaya kilat dan ledakan cambuk itu tidak mampu menahan lajunya bayangan yang melesat cepat tersebut, yang kemudian didapatinya Pangeran Benawa, juga Raden Sutawijaya sudah tidak ada lagi diatas pungggung-punggung kudanya, lenyap bersama hilangnya bayangan itu.
"Luar biasa..!! satu pameran ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, siapa orang itu? dengan kecepatan gerak seperti itu mampu membawa dua anak itu sekaligus" -- desis Ki Wuragil, yang tanpa menghiraukan Ki Sampar Angin, dirinya pun melesat cepat pula mengejar arah bayangan yang membawa tubuh Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya sekaligus.
Demikian pula Ki Lurah Wimbasara juga para prajurit pajang lainya, tanpa diperintah telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing lalu memacu kudanya dengan cepat kearah kemana perginya bayangan hitam tersebut.
Sementara Ki Sampar Angin masih berdiri termangu-mangu menatap kearah lenyapnya bayangan itu pula,
"Orang bercambuk...?!" -- desisnya
"Lagi-lagi orang bercambuk itu mengacaukan rencana-rencana kita" -- berkata Sura Landung setelah menghampiri Ki Sampar Angin.
Ki Sampar Anginpun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berucap, -- "siapa sebenarnya orang itu?"
"Bagaimana rencana kita sekarang kakang?" -- bertanya Ki Paniling kemudian
"Tidak ada lain, kita segera menghadap guru untuk melaporkan apa yang terjadi" -- jawab Sampar Angin
"Guru pasti akan murka melihat kenyataan kita gagal malam ini" -- ucap Sura Landung
"Apa boleh buat...kita terima saja apa yang harus kita terima, marilah kita pergi" -- desis Sampar Angin, lalu menuju ke arah dimana kuda-kuda mereka berada.
Namun sekali lagi Ki Sampar Angin seperti terpaku dan termangu-mangu melihat sebuah benda menacap di pelana kudanya, lalu tangannya meraih benda tersebut.
"Sampar Banyu, Paniling, dan kau Sura Landung, apakah kau mengenal benda ini?" -- desis Ki Sampar Angin
"Windujati...apakah ini simbol perguruan Windujati?" -- jawab Sura Landung dengan suara bergetar.
Sebenarnyalah diatas pelana kuda milik Ki Sampar Angin itu telah tertancap bendera kecil berwarna putih bergambar cambuk terjuntai dengan ujung juntai terkait sebuah cakra bergerigi sembilan.
"Cepat kita menghadap guru, kita harus segera menunjukkan benda ini kepadanya" -- berkata Ki Sampar Angin lalu memacu kudanya dengan cepat ke arah barat, disusul ketiga saudaranya, hingga bayangan keempat orang itu hilang dibalik kegelapan malam.
Dalam pada itu Ki Wuragil masih berlari cepat membelah kegelapan malam, untuk mencoba mengejar kemana perginya bayangan yang membawa tubuh Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tersebut. Akan tetapi sampai beberapa jauh jarak yang ditempuh, satu klebatan pun tidak ditemuinya dari bayangan tersebut, hingga pada saatnya Ki Wuragil memutuskan untuk berhenti.
"Bukan main !!...aku kehilangan jejak orang itu, sungguh luar biasa kecepatan geraknya" -- desis Ki Wuragil dalam hati, yang kemudian memutuskan untuk berjalan menuju istana dan melaporkan apa yang terjadi kepada Kanjeng Adipati. Akan tetapi belum genap sepuluh langkah Ki Wuragil bagai terkejut, lalu termangu-mangu ketika satu suara kecil memanggilnya.
"Paman Wuragil"
"Pangeran...Raden...kaliankah disitu?" -- berkata Ki Wuragil lalu mendekati arah suara tersebut.
"Benar paman, ini aku, juga adimas Pangeran Benawa" -- jawab Raden Sutawijaya.
"O, syukurlah..kalian baik-baik saja, kemana orang yang membawa kalian itu?"
"Kami tidak tau paman, orang itu melepaskan kami disini, dan berkata paman akan lewat jalan ini, lalu orang itu pergi, dan ternyata benar paman melewati jalan ini" -- jawab Pangeran Benawa.
"Kalian tau siapa orang itu?"
"Tidak paman, orang itu menutup wajahnya, kami tidak mengenalinya" -- ucap Raden Sutawijaya.
Demikian Ki Wuragil kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya lalu setelah menarik nafas dalam-dalam diapun berkata, -- "baiklah, mari kita segera pulang ke istana, tentu Ayahanda juga ibunda anakmas berdua telah menjadi cemas"
Sejenak kemudian terdengar derap beberapa kaki kuda terdengar mendekati ketiga orang tersebut, yang bukan lain adalah Ki Lurah Wimbasara dan beberapa prajuritnya.
"Kau Ki Lurah.." -- desis Ki Wuragil, yang kemudian kembali berkata, -- "aku butuh beberapa ekor kuda Ki Lurah"
"Baiklah Ki..."
Lalu Ki Lurah Wimbasara memberikan tiga ekor kuda dari beberapa anak buahnya dan diserahkan kepada Ki Wuragil yang kemudian memacu pelan kudanya menuju istana Pajang bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
Dalam pada itu suasana kecemasan tiba-tiba melanda seisi istana Pajang. Belum kembalinya Pangeran Benawa juga Raden Sutawijaya keistana malam itu telah membuat raut muka Adipati Adiwijaya bermuram durja.Sehingga tidak seperti biasanya para petinggi istana secara mendadak dipanggil untuk menghadap. Bahkan Ki Juru Mertani yang baru saja tiba dari tugasnya melawat ke Tanah Perdikan Banyubiru pun nampak hadir dalam paseban tersebut. Akan tetapi satupun para petinggi itu tidak ada yang berani bersuara barang sedikitpun, sehingga meskipun sasana pasewakan itu nampak penuh dengan para punggawa utama, akan tetapi suasananya bagaikan hening, kecuali hanya desir suara langkah kanjeng Adipati yang tiada henti berjalan mondar-mandir disekitar sasana pasewakan tersebut.
Sekali-sekali Kanjeng Adipati keluar pendapa sasana pasewakan, dengan pandangan matanya yang gelisah nampak jauh menembus gelapnya malam seakan ingin segera melihat apa yang diharapkanya, sekali-sekali pula kembali masuk lalu memandang berkeliling seakan-akan menelanjangi benak para bawahannya satu persatu.
"Kenapa satupun tidak ada yang bisa mengamat-amati prilaku kedua anak itu..!!" -- terdengar suara bernada berat Kanjeng Adipati seperti berbicara pada dirinya sendiri, lalu kembali tatapan mata Kanjeng Adipati yang mengandung murka dan gelisah itu memandang berkeliling diantara para punggawa dan petinggi istana yang hadir disitu.
"Kakang Pemanahan, apakah kau sudah mengutus orang mencari kemana kedua anak itu berada?!"
Ki Gede Pemanahan kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Hamba Kanjeng Adipati, sebenarnyalah hamba sudah mengutus beberapa orang prajurit pilihan dibawah pimpinan Ki Lurah Wimbasara, akan tetapi merekapun belum juga kembali" -- jawab Ki Gede Pemanahan, yang serta merta kembali menundukkan wajahnya.
"Apakah jebeng Danang Sutawijaya tidak memberitahukan kepadamu kemana sebelum anak itu pergi?" -- kembali Kanjeng Adipati bertanya singkat.
"Hamba Kanjeng, sebenarnyalah jebeng Danang Sutawijaya hanya berkata akan berlatih menunggang kuda bersama angger Pangeran Benawa, namun mohon ampun Kanjeng Adipati, hamba teledor untuk bertanya kemana, untuk itu hamba siap mempertanggung jawabkan keteledoran hamba, dan hamba pantas untuk mendapatkan hukuman" -- desis Ki Gede Pemanahan.
Kanjeng Adipati pun kemudian menarik nafas panjang-panjang lalu terdengar lagi suaranya, -- "sekalipun aku memberikan hukuman kepada siapapun, bagiku tidak akan menyelesaikan persoalan, karna yang aku inginkan saat ini kedua anak itu harus diketemukan sebelum fajar menyingsing, jika tidak....aku sendiri yang akan keluar mencarinya..!!"
"Ampun Kanjeng.." -- tiba-tiba saja Ki Juru Mertani bersuara,
"Ada yang hendak kakang Juru katakan..?" -- tukas Kanjeng Adipati singkat.
Ki Juru Mertani pun kemudian tambak beringsut sebentar dari tempat duduknya lalu kembali berkata, -- "ampun Kanjeng, apakah tidak sebaiknya kita perintahkan kembali beberapa kelompok prajurit untuk mencari anakmas Pangeran, juga jebeng Sutawijaya? sehingga pencarian itu bisa melebar kesegala penjuru kota kadipaten, untuk menciptakan harapan yang lebih besar menemukan mereka"
"Baiklah kakang Juru, segera kau laksanakan maksudmu itu, akan tetapi jika sampai lewat wayah sirep wong belum juga ada kabar, aku sendiri yang akan mecari mereka!!" -- sahut Kanjeng Adipati yang serta merta masuk keruang dalam istana tanpa bicara apapun lagi.
"Hamba Kanjeng, akan segera hamba laksanakan" -- desis Ki Juru Mertani yang kemudian begitu Kanjeng Adipati memasuki ruang dalam istana, Ki Juru pun surut dari sasana pasewakan untuk segera melaksanakan maksudnya.
Sementara para petinggi yang lain tetap saja berada di ruang tersebut tanpa bergeser dari tempat duduknya, sampai pada suatu saat seluruh punggawa yang hadir di tempat itu menjadi termangu-mangu ketika mereka melihat Kanjeng Adipati keluar dari ruang dalam istana dengan tampilan yang berbeda.
Terlihat Kanjeng Adipati telah melepaskan (Busana Kebesarannya), dan kini nampak Adipati Pajang itu telah berganti pakaian layaknya pengembara di jagad kanuragan, lalu nampak gagah seakan-akan menjelma kembali sebagai seorang Jaka Tingkir yang pernah menggemparkan jagad kanuragan beberapa tahun yang lewat.
"Kanjeng Adipati.." -- terdengar salah seorang petinggi Pajang berdesis,
"Apakah ada yang ingin Kakang Patih katakan?" -- tukas Kanjeng Adipati, yang kemudian berpaling kearah Ki Patih Manca Negara.
"Hamba kanjeng Adipati, apakah tidak sebaiknya kita menunggu kabar dari para utusan, sebelum andika memutuskan untuk turun tangan sendiri..? Ampun Kanjeng Adipati, sebenarnyalah kami semua para nayaka praja akan merasa sangat bersalah jika andika sendiri harus turun tangan menyelesaikan persoalan ini" -- jawab Patih Mas Manca.
"Aku kira kalian tidak perlu merasa bersalah, karna bagiku persoalan ini bukanlah persoalan yang berhubungan dengan persoalan negara, akan tetapi persoalan seorang ayah yang sedang kehilangan anak-anaknya" -- tukas Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng...akan tetapi.."
"Cukup kakang patih..!! seperti yang aku katakan, kita tunggu sampai wayah sirep wong, setelah itu jangan ada satupun yang berusaha bertanya tentang apa yang aku lakukan... kecuali kalian tetap melaksanakan tugas-tugas kalian masing-masing, selama aku tidak berada di istana" -- tukas Kanjeng Adipati yang nampak telah dilanda kegelisahan yang luar biasa.
"Hamba kanjeng" -- ucap Ki Patih Manca Negara lirih.
Derap ringan beberapa kaki kuda yang memasuki gerbang alun-alun istana itu seakan-akan membuat hati Ki Juru Mertani berdesir. Sehingga serta-merta menghentikan arahan-arahan yang sedang dilakukannya pada beberapa kelompok prajurit untuk tugas pencarian putra-putra kesayangan Kanjeng Adipati tersebut.
"Apakah itu rombongan Ki Lurah Wimbasara?" -- berkata Ki Juru dalam hatinya, yang kemudian bergegas memapasi rombongan tersebut.
"Ki juru.."
"Oh, Ki Wuragil, dan kau Ki Lurah Wimbasara" -- desis Ki Juru Mertani yang kemudian berpaling ke arah dua orang remaja diatas punggung kuda diantara rombongan itu, --
"Anakmas Pangeran..."
"ya paman Juru, ini aku" -- jawab Pangeran Benawa.
Lalu pandangan mata Ki Juru pun beralih ke arah Raden Sutawijaya, -- "kemana saja kau jebeng? apa yang kalian lakukan, tidakkah kalian tau jika ayahanda kalian menjadi cemas dan hampir-hampir murka karna kalian"
Raden Sutawijaya hanya menundukkan wajahnya sambil berkata, -- "ampun paman...aku"
"bukan salah mereka Ki Juru".-- sahut Ki Wuragil tiba-tiba, -- "anak-anak itu hampir saja tertimpa malapetaka"
"Oh.."
"Marilah kita menghadap Kanjeng Adipati, ada hal penting yang ingin aku laporkan berkenaan dengan anak-anak itu" -- ucap Ki Wuragil.
Dalam pada itu seorang prajurit telah memberikan laporan akan kedatangan rombongan Ki Wuragil dan Ki Lurah Wimbasara, juga Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, kepada prajurit prawira anom penjaga gerbang sasana pasewakan sehingga kedatangan itupun kemudian sampai pula ke telinga Kanjeng Adipati.
"suruh mereka menghadap kemari.." -- demikian titah Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng" -- jawab prajurit Prawira Anom tersebut.
Demikianlah rombongan itu kemudian memasuki pendapa pasewakan yang juga masih dipenuhi para punggawa istana tersebut.
Pangeran Benawa, juga Raden Sutawijaya hanya menundukkan wajahnya dan sedikitpun tidak berani menatap wajah ayahandanya, diikuti Ki Wuragil, Ki Lurah Wimbasara, kemudian Ki Juru Mertanipun menyusul paling belakang.
"Kemana saja kalian?" -- bertanya Kanjeng Adipati kepada putra, dan putra angkatnya tersebut.
Akan tetapi kedua anak itu hanya menundukkan wajahnya, mulut mereka seakan-akan kelu, sehingga sedikitpun suara mereka tidak mampu berucap,
"Kenapa kalian diam saja?!" --- terdengar kembali ucapan Kanjeng Adipati dengan suara berat.
"Ampun Ayahanda" -- jawab Raden Sutawijaya, akan tetapi kemudian diam, karna anak itu bingung ingin memulai dari mana untuk menjelaskan apa yang dialaminya kepada ayahandanya tersebut.
"Ampun Kanjeng Adipati.." -- sahut Ki Wuragil
"Adi Wuragil, ada yang ingin kau katakan?"
"Hamba Kanjeng, sebenarnyalah ada hal yang hampir saja menjadi mala petaka bagi putra-putra andika, yang menghalangi, mereka pulang hingga sampai malam.
Kanjeng Adipati nampak mengerutkan keningnya, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Malapetaka?"
Hamba Kanjeng" -- desis Ki wuragil.
"Baiklah adi Wuragil, katakanlah apa yang terjadi..!!" -- tukas Kanjeng Adipati.
Demikianlah Ki Wuragil kemudian menceritakan kejadian-kejadian yang dilihatnya beberapa saat lalu tanpa satupun terlupakan, bahkan kemunculan misterius orang bercambuk yang tiba-tiba itupun lambat laun menjadi buah bibir diantara para punggawa Pajang.
"Kyai Pager Wesi...? goa Susuhing Angin?" -- desis Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Hamba kanjeng Adipati, ternyata mereka telah mengira kita telah memusnahakan perguruan mereka pada waktu yang telah lama berlalu itu, bahkan mereka mengira kita mengambil kitab perguruan mereka" -- jawab Ki Wuragil.
Kanjeng Adipati Hadiwijaya terlihat menarik nafas panjang-panjang lalu kembali terdengar suaranya,
"Jadi apa yang mereka inginkan?"
"Hamba Kanjeng, menurut murid Kyai Pager Wesi, guru besar Padepokan itu meminta pertanggung jawaban kita, juga mengembalika kitab-kitab perguruan mereka yang hilang"
"gila..!! apakah kau tidak jelaskan kepada murid pedepokan itu bahwa mereka telah salah mengira?"
"Hamba Kanjeng, akan tetapi bukti sepihak dari mereka mengarah kepada kita, mereka tetap menuntut pertangung jawaban kita, terutama kepada....ampun kanjeng Adipati...kepada andika"
Kanjeng Adipati mengangguk-anggukkan kepalanya lalu terlihat memalingkan wajahnyanke arah patih Manca Negara -- "bagaimana pendapatmu kakang Patih?!"
"Hamba Kanjeng Adipati, sebenarnyalah menurut hamba ini persoalan yang pelik, karna kejadian itu telah terjadi berberapa tahun yang lalu, dan tuduhan mereka nampaknya terpaku pada kita yang memang pernah mengunjungi padepokan mereka, sayangnya kita sama sekali tidak tau ada kejadian malapetaka setelah kita meninggalkan padepokan itu"
"Dan apakah mereka berkata benar? atau hanya sebuah siasat dengan membuat cerita kosong untuk maksud-maksud tersembunyi yang kita belum ketahui?!" -- sahut Adipati Hadiwijaya.
"Hamba Kanjeng Adipati, yang demikian bisa terjadi, mengingat situasi istana Demak yang semakin memanas, mau tidak mau kita harus selalu waspada dengan apa yang terjadi" -- ucap Ki Patih Mancanegara
"Ya, aku justru merasakan ada hal yang aneh dengan pengakuan orang-orang Goa Susuhing Angin itu, jika benar apa yang mereka katakan tentang malapetaka yang terjadi, juga hilangnya kitab-kitab mereka itu benar, tentu mereka tidak akan menunggu bertahun-tahun untuk mencari pelakunya, apalagi mereka sudah tau, dan berkeyakinan bahwa aku pelakunya" -- desis Adipati Hadiwijaya, yang selanjutnya mengakhiri pertemuan disasana pasewakan tersebut.
Pada keesokan harinya Kanjeng Adipati kembali mengumpulkan para punggawa juga petinggi istana untuk kembali membicarakan beberapa hal yang terkait dengan keamanan, bahkan masa depan pemerintahan Kadipaten tersebut. Rentetan peristiwa yang terjadi di Kasultanan Demak Bintara, ternyata telah membuat Kanjeng Adipati Hadiwijaya untuk lebih mencurahkan perhatiannya pada kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat membahayakan kedudukannya.
Bagaimanapun juga sebagai menantu mendiang Sultan Trenggana, tentu saja Adipati Hadiwijaya tidak bisa diam begitu saja dengan perkembangan Demak baru-baru ini.
Terbunuhnya Sunan Prawoto sebagai pemangku kekuasaan Demak yang konon dilakukan oleh utusan pangeran Arya Jipang tentu pada akhinya akan menyeret Pajang untuk terlibat dalam penyelesaian persoalan itu. Apalagi telah sampai ke telinga kanjeng Adipati bahwa Kanjeng Ratu Retna Kencana, adik Prabu Prawoto yang juga kakak ipar kanjeng Adipati Pajang itu tidak terima atas terbunuhnya sang kakak.
Dari itu setelah para punggawa dan petinggi istana itu datang menghadap dan berkumpul dan sasana Saweka Kanjeng Adipatipun mulai mengutarakan rencana-rencana sehubungan dengan apa yang terjadi atas pergolakan saat itu.
Nampak telah hadir Ki Patih Mancanegara, para Tumenggung, telah menunggu apa yang akan diutarakan kanjeng Adipati. Tidak ketinggalan hadir pula Ki Juru Mertani yang selama ini selalu menciptakan pemikiran-pemikiran yang luar biasa, juga kedua saudaranya Ki Gede Pemanahan, juga Ki Penjawi, tiga sekawan yang juga menjadi sebuah benteng kekuatan Pajang baik secara fisik ataupun non fisik.
"Seperti telah kita semua mendengar persoalan terbunuhnya kakang Prawata, juga kejadian-kenjadian yang akhir-akhir ini nganeh-anehi dibumi Pajang ini, aku ingin meminta pedapat pada kalian semua untuk menentukan sikap yang sebaik-baiknya dalam menghadapi persoalan ini" -- demikian Adipati Hadiwijawa memulai bicaranya.
"Ampun Kanjeng, mohon diperkenankan hemba mengutarakan pendapat"
"Apa yang akan kau katakan Tumenggung Darpayuda?" -- sahut Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Ampun Kanjeng" -- berkata salah seorang petinggi istana tersebut, -- "satu hal yang membuat persoalan menjadi pelik tengang pusaka Kyai Bethok yang diketemukan dalam peristiwa pembunuhan itu"
"Kau benar Tumenggung Darpayuda" -- desis Kanjeng Adipati seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, -- "bahkan semua orang tau siapa pemilik keris Kyai Bethok itu"
"Ampun Kanjeng"
"Bagaimana Kakang Patih?" -- sahut Kanjeng Adipati.
Demikian Ki Patih pun mengangkat bicara - - "Menurut hamba, kita harus berhati-hati dalam menentukan sikap, Kanjeng, karna seperti yang kita lihat, tentu peroalan ini bukanlah persoalan tentang pembunuhan belaka"
"ya.. tahta" -- desis Kanjeng Adipati, lalu pandangan metanya seakan menerawang jauh pada angan-angan yang ingin dicapainya. Tanpa sadar Kanjeng Adipati menarik nafas panjang-panjang lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berpaling ke arah Ki Juru Mertani yang masih diam ditempatnya.
"Ada sesuatu yang mungkin kakang Juru sampaikan?" -- bertanya Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng.." -- jawab Ki Juru Mertani seraya beringsut dari duduknya kemudian melanjutkan ucapannya, -- "ampun Kanjeng, menurut hamba, saat ini bumi Pajang sedang melihat kepekatan mendung dikejauhan yang sebentar lagi menitikkan derasnya hujan, dan menurut hemat hamba hujan itupun akan tercurah pula hingga ke Pajang, karnanya menurut hamba tidaklah perlu kita menyonsongnya, kecuali mempersiapkan segala sesuatu agar kita bisa menghadapi genangan air yang mungkin melanda, dan memanfaatkan genangan itu menjadi sesuatu yang berguna"
Kanjeng Adipati kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya memahami maksud ucapan Ki Juru Mertani tersebut...
"Maksud kakang Juru waspada dan menyesuaikan segala sesuatu yang mungkin terjadi?"
"Hamba Kanjeng" -- desis Ki Juru.
****
Langganan:
Postingan (Atom)